- Detail
- Dilihat: 22811
Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself. Ungkapan Leo Tolstoy ini tampaknya dapat dijadikan refleksi untuk membicarakan kondisi penyiaran Indonesia saat ini. Belum selesai pengaturan mengenai
TV analog free to air dan berlangganan, teknologi sudah berkembang ke digital. Belum tuntas digital diimplementasikan di seluruh dunia, kini sudah mulai berkembang Over the Top TV atau kerap disebut TV Broadband.
Over the Top (OTT) TV sendiri sebenarnya bukan merupakan barang baru. Pada pertengahan 90-an banyak orang menyadari potensi internet tidak hanya sebagai medium tukar-menukar data. Namun juga dapat dikembangkan dengan berbagai perangkat komunikasi yang lebih luas.
Selain data, internet sendiri sudah ditumpangi dengan suara atau voice call melalui VoIP (Voice over Internet Protocol). Dengan VoIP, berbincang dengan rekan di tempat yang sangat jauh dapat dilakukan dengan biaya murah, bahkan nyaris gratis. Di dunia Teknologi VoIP diperkenalkan setelah internet mulai berkembang sekitar tahun 1995. Ini dimulai dengan perusahaan seperti Vocaltech dan kemudian pada akhirnya diikuti oleh Microsoft dengan program Netmeeting-nya. Di Indonesia, komunitas pengguna/ pengembang VoIP di masyarakat, berkembang di tahun 2000.
Komunitas awal pengguna / pengembang VoIP adalah “VoIP Merdeka” yang dicetuskan oleh pakar internet Indonesia, Onno W. Purbo. Teknologi yang digunakan adalah H.323 yang merupakan teknologi awal VoIP. Sentral VoIP Merdeka di hosting di Indonesia Internet Exchange (IIX) atas dukungan beberapa Internet Service Provider (ISP) dan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet (APJII). Sayangnya VoIP tidak terlalu populer di Indonesia karena perkembangannya terganjal regulasi di sektor telekomunikasi dan dominannya industri jasa penyedia jaringan dan layanan telekomunikasi seluler.
Selanjutnya internet kemudian digunakan sebagai medium tukar menukar video atau video sharing. Perkembangan situs video sharing mulai booming seiring membaiknya kualitas kecepatan jaringan internet yang memungkinkan konten video ditonton secara langsung tanpa harus menunggu buffer. Teknologi ini dikenal secara teknis dengan istilah Television on the Desktop (ToD), TV over IP (Television over Internet Protocol). Hulu, Megavideo, Alluc, Youtube, MetaCafe adalah beberapa situs video sharing yang populer.
Pada awalnya semua situs video sharing berbasis User Generated Content (UGC) atau konten yang berasal dari pengguna dan dapat diakses secara gratis. DI antara situs UGC paling populer, adalah Youtube yang menurut Internet Hitwise, pada Mei 2006 memiliki pangsa pasar sebesar 43 persen.
Tidak perlu menunggu lama, industri konten menyadari potensi yang ada di teknologi internet. Salah satunya yang beranjak berbayar adalah Hulu.com yang pada 2009 berbagi kepemilikan dengan Walt Disney setelah sebelumnya berafiliasi dengan NBC Universal dan News Corp.
Disney menayangkan film-film Disney pada situs tersebut. Persekutuan ini menjadikan tiga dari empat jaringan besar yaitu ABC, NBC, dan Fox berhadapan dengan situs video streamingTV.com yang diakuisisi CBS pada 2008 sebagai bagian dari pembelian Cnet Networks Inc seharga 1,8 Milyar Dolar AS. Sedangkan Youtube sendiri sampai sekarang masih bertahan dengan konsep UGC dan menjadi situs video sharing paling populer saat ini.
Lalu, apa bedanya dengan TV biasa. Sebagai agregator konten, TV Internet punya beberapa keunggulan. Beberapa diantaranya, pengguna dapat melakukan rewind, replay dan pause. Selain itu, pengguna juga dapat memesan film atau acara TV yang disuka kapanpun dan dimanapun, selama terkoneksi dengan internet. Selain itu, TV Internet juga dapat menyiarkan konten yang dibuat secara profesional dan juga disiarkan secara livestreaming. DI Indonesia sendiri sudah ada beberapa situs TV Internet semacam Mivo TV dan IniTV yang kemudian diikuti oleh banyak situs lainnya.
Perkembangan OTT TV sendiri berpangkal pada populernya agregator konten video sharing ini. Industri kembali menyadari potensi yang dapat dikembangkan dari jaringan ini. Berbeda dengan ToD atau TV Internet, OTT TV adalah siaran konten televisi melalui jaringan internet pitalebar yang dapat diakses langsung di perangkat televisi.
Selain dapat diakses langsung oleh TV, kualitas piksel yang ditampilkan oleh OTT TV berkualitas 720p DVD video bahkan hingga 1080p setara dengan kualitas Blue Ray untuk HD TV. Selain itu semua layanan agregator konten seperti disediakan oleh TV Internet seperti livestreaming, rewind, replay, pause dan Video on Demand juga tersedia di OTT TV.
Selain itu, OTT TV juga memiliki keunggulan lain, yaitu merekam acara TV favorit bahkan acara yang belum ditayangkan, dapat menonton acara TV bahkan saat mesin merekam, berinternet dengan kecepatan tinggi, menonton TV internet lain yaitu dari www.jumptv.com atau dari website UGC lain, dapat dipakai untuk menelepon, memesan game (Game On Demand), memesan lagu baik lagu dengan lirik atau karaoke dan berpatisipasi secara langsung dalam voting dengan menekan remot. Intinya adalah OTT TV merupakan sarana komunikasi, informasi dan hiburan terkini dalam satu paket. Dan semuanya dapat dilakukan langsung di TV tanpa melalui komputer.
Perlu dicatat, semua fasilitas ini sebenarnya juga dapat tersedia dalam TV Digital. Yang membedakan TV Digital dan OTT TV adalah pada carrier-nya. Jika TV Digital menggunakan frekuensi sebagai carrier, maka OTT TV menggunakan internet sebagai carrier. Jadi, penyedia jaringan pada OTT TV adalah Internet Service Provider (ISP) yang menggunakan dua jenis perangkat untuk memancarkan layanannya yaitu kabel optik dan frekuensi radio.
Ada beberapa hambatan yang dihadapi oleh Indonesia. Tiga yang paling utama adalah regulasi, infrastruktur teknologi dan struktur industri.
Indonesia sendiri masih gagap menghadapi perubahan teknologi ini. Jangankan untuk memikirkan landscape penyiaran berbasis teknologi terkini, untuk mengatur keberadaan TV analog free to air dan berlangganan saja masih belum tuntas sepenuhnya. Untuk mengatur industri TV, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komifo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih berpegangan pada UU No. 32 tahun 2002 yang sudah berumur 10 tahun. Sedangkan, untuk mengatur keberadaan ISP, Kominfo masih mengacu pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang sudah berumur 13 tahun. Padahal Telkom, sebagai penyelenggara jaringan sudah mulai mengoperasikan ToT TV pertama di Indonesia dengan brand Groovia menggunakan jaringan Speedy. Tentunya ini sudah di luar jangkauan UU Penyiaran 2002.
Dalam konteks UU Penyiaran 2002, penyiaran yang dimaksud dan diatur oleh KPI dan Kominfo adalah siaran pancar TV dan Radio yang menggunakan frekuensi analog. Untuk itu, jangankan regulasi untuk Internet TV dan OTT TV, regulasi mengenai TV digital saja hingga saat ini belum ada. Indonesia sudah tertinggal jauh, padahal Amerika sudah melakukan cut off TV analog sejak 17 Februari 2009.
Dari sisi infrastruktur teknologi Indonesia masih ketinggalan jauh. Keberadaan Internet TV dan OTT TV harus didukung infrastruktur jaringan pitalebar yang kuat. Indonesia bukannya semakin membaik, justru semakin terpuruk dari tahun ke tahun. Perkembangan teknologi komputer dan jaringan pitalebar di dunia berkembang secara eksponensial. Dan Indonesia tertatih-tatih mengikuti perkembangan itu.
Dari data NetIndex, pada 2009 kecepatan internet di Indonesia berada di urutan 138 yaitu 1,21 Mb/s jauh di bawah peringkat satu dunia yaitu Korea Selatan dengan kecepatan 21,71 Mb/s. Saat ini pada 2012 Hong Kong berada di peringkat satu dengan 42.41 Mb/s. Sedangkan Indonesia justru terpuruk di urutan 154 dengan kecepatan 2,26 Mb/s.
Di sini peran negara melalui Kominfo sangat dibutuhkan, karena menyerahkan pengembangan backbone infrastruktur internet ke sektor swasta akan menjadi sulit. Swasta akan mempertimbangkan untung rugi dalam mengembangkan jaringan, terutama di Indonesia Timur yang potensi ekonominya kecil. Sebagai ilustrasi kecepatan jaringan pitalebar di Jakarta mencapai 7,49 Mb/s, bandingkan dengan rata-rata Indonesia yang hanya 2,26 Mb/s. Artinya daerah di luar Jakarta dan Jawa memiliki kualitas kecepatan internet jauh di bawah rata-rata nasional. Itulah mengapa pengguna internet di Indonesia baru mencapai 20-an persen dari total populasi.
Padahal potensi 200 juta lebih penduduk Indonesia sangat besar. Untuk itu, Beberapa proyek Universal Service Obligation (USO) seperti Palapa Ring harus segera direalisasikan untuk mempersempit digital divide. Hasil survei MarkPlus Insight tahun 2012 jumlah pengguna internet di Indonesia adalah 61 juta pengguna meningkat dari 55 juta pengguna pada 2011.
Dari sektor struktur industri, Indonesia dihadapkan pada tidak sehatnya industri TV. Rumitnya perkembangan industri TV adalah karena industri ini berkembang di tengah kekosongan hukum pasca dibubarkannya Departemen Penerangan pada 1999. Booming stasiun TV nasional Indonesia terjadi pada pada periode 2000-2004. Belum lagi kemunculan ratusan TV lokal pasca diberlakukannya UU Penyiaran 2002. Akibatnya kemampuan pasar yang ada tidak mampu menopang struktur industri yang sehat. Korbannya tentunya masyarakat yang dipaksa menikmati low brow content. KPI dan Kominfo sendiri, dua lembaga yang berperan mengatur aspek non teknis industri ini baru muncul pada 2004. Kedua lembaga ini akhirnya dihadapkan pada kompleksitas masalah ala kaki lima. selain harus melakukan konsolidasi kelembagaan internal, dua lembaga negara ini harus mengatur struktur industri yang terbiasa tidak diatur. Kebijakan koersif ala satpol PP tentunya juga tidak akan efektif. Sampai saat ini, hitung-hitungan mengenai daya tampung ekonomi dan struktur industri yang sehat dalam format blue print landscape penyiaran ideal belum ada. Sehingga kedua lembaga ini masih berjuang keras membenahi struktur industri penyiaran analog. Padahal teknologi penyiaran sudah berkembang sangat jauh ke depan.
Hal ini perlu diselesaikan segera jika Indonesia ingin berkembang dengan cepat mengikuti perkembangan informasi dunia. Untuk itu, Secara paradigmatik memang perlu dirumuskan bentuk pengaturan paling baik bagi jenis industri TV ini ke depan. Karena jenis, struktur dan keluaran produk yang dihasilkan oleh Internet TV dan OTT TV agak berbeda dengan TV konvensional. Saat ini masyarakat dibanjiri oleh konten, yang pada saatnya nanti akan mencapai batas yang tidak mungkin untuk diawasi seluruhnya. Untuk itu, perlu reposisi dan rejuvenasi peran lembaga negara dan pemerintah. Pengaturan yang dilakukan harus sebaik-baiknya demi kepentingan publik. Yaitu perlindungan anak dan remaja di sisi lain, dan akomodasi perkembangan teknologi komunikasi serta tukar menukar informasi. Karena kita percaya bahwa kemudahan komunikasi dan meningkatnya arus informasi berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat baik secara sosial, budaya maupun ekonomi. Namun harus diingat bahwa informasi juga membawa konsekuensi eksternalitas. Pada titik ini kemudian ditentukan sejauhmana negara dan masyarakat berbagi peran dalam melindungi generasi mendatang. Karena generasi mendatanglah yang menentukan maju dan tidaknya Indonesia sebagai bangsa. Karena sebagaimana ungkapan Tolstoy di atas untuk dapat mengubah dunia, maka sebelumnya kita harus dapat mengubah diri kita sendiri. Red