Jakarta - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Judhariksawan menerima undangan sebagai pembicara dari International Institute of Communications (IIC) dalam Forum Regulator Internasional (International Regulators Forum) yang berlangsung di Vienna, Austria (6-7, Oktober 2014). Dalam pertemuan tersebut, Judha menyampaikan materi dengan judul “Cultural Protection in a Converged World”. Judha menyampaikan mengenai aturan-aturan yang ada di Indonesia dalam melindungi nilai-nilai budaya lokal di ranah penyiaran.

Dalam forum tersebut, Judha menyampaikan bahwa dalam regulasi penyiaran yang ada di Indonesia setidaknya ada tiga pasal yang menegaskan tentang perlindungan nilai-nilai dan budaya lokal. “Salah satu tujuan terselenggaranya penyiaran nasional di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan budaya nasional,” ujar Judha mengutip dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Selain itu,  dalam undang-undang tersebut juga menyebutkan tentang konsep stasiun jaringan.

“Berdasarkan sistem ini, lembaga penyiaran wajib menyiarkan konten lokal minimal 10 persen dari semua durasi siaran per hari,” tegasnya. Konten lokal adalah program siaran yang bertujuan untuk mengembangkan setiap potensi daerah setempat serta dilakukan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran dari daerah setempat. Dengan adanya aturan tentang keberadaan konten lokal ini diharapkan tidak hanya memberikan tumbuhnya industri penyiaran lokal, tapi juga lestarinya budaya dan kearifan lokal.

Perlindungan atas budaya dan nilai-nilai lokal yang diatur dalam undang-undang penyiaran adalah mengenai muatan atau konten asing. Undang-Undang penyiaran telah menetapkan bahwa muatan asing hanya bisa hadir maksimun 40 persen dari seluruh siaran setiap hari. “Itu pun konten tersebut harus ada terjemahan dalam bahasa Indonesia,” terang Judha.

Dalam undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman juga menegaskan dukungan keberadaan nilai-nilai nasional, pengembangan dan keberlanjutan budaya bangsa. Keberadaan sensor film, menurut undang-undang perfilman ini, untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif untuk dorongan berbuat kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika, pornografi, penistaan dan atau penodaan nilai-nilai agama atau karena pengaruh negatif budaya asing.

Judha melihat saat ini masih banyak tantangan yang dihadapi regulator dalam memberikan perlindungan terhadap budaya lokal di ranah penyiaran. Keberadaan televisi berbayar, baik lewat terrestrial, satelit dan kabel misalnya. “Pada kenyataannya penyedia layanan televisi berbayar ini telah membantu pemerintah dalam menunaikan hak-hak warga atas ketersediaan informasi, utamanya di daerah-daerah blank spot”, ujar Judha. Namun lewat televisi berbayar pula, muatan siaran asing dari negara-negara dengan budaya dan juga regulasi berbeda dapat diterima masyarakat dengan mudah. Karenanya, aturan mengenai alat kunci parenting dan sensor internal pada lembaga penyiaran berlangganan adalah sebuah keharusan. Hal tersebut untuk melindungi masyarakat dari muatan siaran yang bertentangan dengan kultur, budaya serta kearifan yang dimiliki oleh daerah tersebut.

Disampaikan juga oleh Judha tentang pentingnya Literasi Media di masyarakat untuk memberikan  kemampuan dalam  memilah dan memilih muatan media yang berguna, terutama untuk melindungi budaya  mereka sendiri. Selain itu, literasi media juga akan menjadikan masyarakat semakin aktif dalam memberikan umpan balik pada lembaga penyiaran tentang program acara yang disiarkan ke tengah masyarakat. “Sehingga layar kaca dapat terhindar dari muatan yang dapat mencederai nilai-nilai budaya yang diyakini masyarakat setempat,” tuturnya.

Banyak pertanyaan yang mengemuka dalam forum tersebut. Salah satunya apakah Indonesia akan menjadi negara yang anti terhadap produk asing, dalam rangka menjaga kebudayaan lokal ini. JUdha menegaskan bahwa sejauh ini Indonesia mudah menerima produk asing selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang diyakini masyarakat. Selain itu, ujar Judha, kewajiban menjaga dan melindungi budaya lokal bukan semata tanggung jawab dari pemerintah, melainkan juga tanggung jawab seluruh rakyat.

Forum yang digagas IIC ini turut dihadiri oleh hampir seluruh regulator penyiaran di dunia. Tercatat dalam daftar partisipan forum ini diantaranya, Ketua Canadian Radio-television and Telecommunications Commissio (CRTC), Ketua National Commission on Television and Radio of Armenia, Presiden Autorita per le Garanzie nelle Comunicazioni Italy, Ketua Australian Communications and Media Authority (ACMA), Komisioner Federal Communications Commissions Amerika Serikat, Presiden Swiss Federal Communications Commissions, Direktur Eksekutif Broadcasting Commissions of Jamaica, Ketua Telecom Regulatory Authority of India, dan Ketua Malaysian Communications and Multimedia Commissions.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.