Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) berharap industri televisi memiliki misi menjadikan siaran televisi yang menghibur dan informatif tetapi juga mencerdaskan rakyat. Hal itu disampaikan KH Masduki Baidlowi, Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, saat memberikan keterangan pers seusai acara Evaluasi 15 Hari Tayangan Ramadhan 2017 bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Kantor KPI Pusat, Jumat (16/6/17).
“Karena ruang yang digunakan oleh televisi pada dasarnya ruang publik, jadi publik punya hak sangat besar untuk mendapatkan kecerdasan dari informasi yang diterima, juga mendapatkan hiburan yang sehat dari siaran industri televisi tersebut,” jelas Baidlowi.
Hiburan televisi yang sifatnya mencari untung, sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan hal hal dalam ajaran agama. Menurut Baidlowi, banyak tontonan yang sifatnya menghibur sesuai dengan ajaran agama. “Tontonan yang menghibur sekaligus menguntungkan pihak industri pun tidak bertentangan dengan ajaran agama,” katanya.
Intinya, lanjut Baidlowi, marilah industri televisi berkreasi dan bekerjasama dalam hal ini dengan MUI untuk berdialog bagaimana siaran TV itu bisa menghibur, sehat dan secara moral dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelumnya, dalam laporan evaluasi tayangan Ramadhan, MUI menyampaikan pelanggaran umum siaran televisi di 15 hari Ramadhan. Adapun pelanggaran itu seperti pemakaian busana yang tidak menurup aurat, perilaku siaran yang berlebihan yang tidak mencerminkan akhlak mulia, mengumbar ghibah dan membuka aib orang lain, mengolok-olok dan merendahkan orang lain khususnya secara fisik, perkataan dan sikap yang menjurus pornografi dan pornoaksi, penjelasan ustadz yang tidak disertai argumentasi keagamaan yang memadai, dialog yang menyamakan poligami dengan perselingkugan serta pernyataan berbau rasial dan menghina ras tertentu.
Adapun cakupan pemantauan MUI yakni program waktu sahur, program talkshow keagaaman, program menjelang berbuka puasa, sinetron, iklan selama Ramadhan, program berita, program komedi dan realty show. ***
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyayangkan munculnya program siaran di televisi di bulan Ramadhan yang bermuatan kekerasan, melanggar norma kesopanan dan kesusilaan, serta merendahkan derajat manusia. Hal tersebut tentunya mengganggu kekhusyukan masyarakat dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan. Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini menilai, tayangan tersebut juga sarat dengan makian dan celaan. Padahal yang diharapkan tentunya tayangan tersebut harus sesuai dengan spirit Ramadhan, kesederhanaan, kesabaran, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam pemantauan yang dilaksanakan selama 15 hari Ramadhan, KPI mengapresiasi insiatif pengelola televisi yang membuat program-program khusus Ramadhan yang bertujuan meningkatkan iman dan taqwa. Namun demikian, KPI menemukan adanya potensi pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dalam konten siaran Ramadhan pada periode 15 hari tersebut.
Secara umum, pelanggaran yang dilakukan adalah pada pasal 9 Standar Program Siaran (SPS) KPI tentang penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan, pasal 15 tentang perlindungan anak dan remaja, serta pasal 17 tentang perlindungan kepada orang dan masyarakat tertentu. “Selain tiga pasal tadi, KPI juga melihat adanya pelanggaran atas penggolongan program siaran dengan klasifikasi remaja,” ujar Dewi.
Program acara yang sarat dengan pelanggaran P3 & SPS itu adalah: 1. Sahurnya OVJ (Trans 7) 2. Pesbukers Ramadhan (ANTV) 3. Sahurnya Pesbukers (ANTV) 4. Keluarga Gunarso (Indosiar)
Keempat program acara yang tampil di tiga stasiun televisi ini masih sarat dengan dialog yang berupa celaan, makian dan hinaan. Dewi menilai, tidak sepatutnya pada program acara yang dikaitkan dengan bulan Ramadhan, namun justru diisi dengan candaan dan lawakan yang merendahkan martabat manusia.
Dalam catatan KPI, beberapa program siaran di atas sudah pernah mendapatkan teguran pada Ramadhan tahun sebelumnya. Dewi meminta, pengelola televisi memainkan peran aktif di tengah masayrakat secara positif. Sajian tontonan hiburan yang informatif, seharusnya menjadi prioritas untuk disiarkan, ketimbang tayangan hibutan yang tiada maknanya. KPI berharap, program Ramadhan yang hadir di layar kaca, selain dapat meningkatkan iman dan taqwa, juga mampu mengokohkan jati diri bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jakarta - Coba bayangkan, apa yang dialami pemirsa televisi tanpa kehadiran sebuah alat bernama remote control? Di era monopoli TVRI zaman dulu, mungkin, peran remote control tidak terlalu penting, karena pemirsa praktis tanpa pilihan. Namun, di era multichannel seperti sekarang, di mana pemirsa punya banyak pilihan terhadap stasiun televisi, ketiadaan remote control pasti membuat repot. Apalagi persaingan antarstasiun televisi demikian ketat, sementara pada sisi lain, kesetiaan pemirsa terhadap satu acara di sebuah stasiun televisi begitu tipis. Menjadi tidak praktis jika untuk sekadar ganti channel, penonton harus bangkit dari tempat untuk memijit tombol di pesawat televisi. Mondar-mandir terus tiap ganti channel. Di sinilah urgensi kehadiran remote control, nasib sebuah tayangan di televisi benar-benar berada di ujung jari pemirsa.
Bicara tentang remote control, tak mungkin melupakan jasa seorang ahli fisika bernama Robert Adler. Dialah orang yang berjasa menciptakan alat yang bukan saja membuat praktis dalam menonton televisi, tapi juga mempengaruhi peradaban umat manusia. Remote control temuan Adler diperkenalkan setengah abad silam, tepatnya pada tahun 1956, saat ia menjabat Direktur Riset Zenith Electronics, produsen televisi AS. Remote control bernama Space Command itu lahir ketika bangsa AS memasuki era emas pertelevisian, ketika fungsi televisi mengalami perubahan dari semula barang luks (mewah) menjadi sumber informasi dan hiburan masyarakat.
Memang, ketika pertama diluncurkan, Space Command tergolong bukan gadget yang “nyaman” jika diukur dengan standar zaman sekarang. Bagaimana tidak, beratnya saja hampir 1 kg (sekitar 8 ons), sementara harganya yang mencapai 100 dolar AS kala itu, setara dengan sepertiga harga pesawat televisi. Namun demikian, temuan remote control Space Command tercatat sebagai state of the art dan puncak penampilan dari sebuah pencarian yang panjang.
Harus diakui pula, Robert Adler bukanlah orang pertama yang menemukan remote control. Lebih tepat ia sebagai penyempurna atas temuan sebelumnya yang juga diluncurkan oleh Zenith. Remote control pertama Zenith adalah sebuah gadget yang dikaitkan dengan pesawat televisi menggunakan kawat. Namanya Lazy Bones, diluncurkan tahun 1950 dengan lagu iklan “Prest-o! Change-O! Just Press a Button… to Change a Stasiun”. Lima tahun kemudian, Eugene Polley, insinyur yang juga bekerja di Zenith memperkenalkan Flashmatic yang bisa berdiri bebas.
Prinsip kerjanya menggunakan pancaran cahaya pada sensor yang dibenamkan dalam pesawat televisi. Meski harganya murah, namun punya kelemahan, sensor tak hanya bereaksi terhadap remote, tapi juga terhadap sinar matahari, lampu listrik, atau apa saja yang memancarkan sinar yang mengarah ke pesawat televisi.
Kelemahan itulah yang kemudian mendorong Zenith merancang ulang produk mereka. Di sinilah konsep remote control Adler masuk. Berbeda dengan prinsip kerja remote hasil gagasan Polley, remote control Adler yang diberi nama Space Command menggunakan ultrasonik atau suara frekwnsi tinggi yang dihasilkan dengan cara menekan tombol yang teruat dari lempengan aluminium tipis. Alat ini tak butuh baterai dan dikenal sebagai “the clickers” karena tidak berisik. Kampanye atau promosinya cukup menarik, “Nothing between You and The Set, but Space” (Tak ada apapun antara Anda dan pesawat televisi, kecuali Space (ruang).” Remote ini dengan cepat menggantikan Flashmatic dan teknologi ini menjadi standar industri pertelevisian hingga tahun 1980-an, ketika sinyal infra merah menjadi standar remote yang baru. Siapa Robert Adler?
Robert Adler lahir di Wina pada tanggal 4 Desember 1913 dari sebuah keluarga kelas menengah yang mapan dari Austria. Ibunya adalah seorang dokter dan ayahnya ahli sosiologi. Setelah mendapat gelar PhD dalam bidang fisika dari Universitas Wina tahun 1937—saat NAZI menganeksasi Austria—ia kemudian berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, mulai dari Belgia, Inggris hingga akhirnya ke AS pada tahun 1941. Ia langsung bergabung dengan Zenith Electronics di Chicago, yang memberinya keleluasaan mengejar projek apa pun yang dia inginkan.
Selama PD II Adler bekerja pada bagian oskilator frekuensi tinggi dan filter elektro mekanik radio pesawat terbang. Usai PD II ia meneruskan pekerjaan pada teknologi televisi, di mana ia mampu menemukan sejumlah peralatan dan berjasa dalam revolusi petelevisian. Adler memelopori penggunaan teknologi penggunaan tabung hampa udara bercahaya yang meningkatkan kualitas transmisi audio televisi. Ia juga menjadi pelopor dalam pengembangan teknologi gelombang akustik permulaan yang menjadi dasar bagi pengembangan teknologi layar sentuh (touch screen).
Dalam kiprahnya selama 60 tahun di Zenith, mulai dari sebagai direktur riset dan menjadi konsultan lepas setelah ia pensiun pada tahun 1979, Adler telah mengantongi lebih dari 180 paten. Meskipun remote control adalah puncak temuan yang mengantarkannya pada ketenaran, ia mengaku bangga atas temuan lainnya.
Atas kerja keras dan prestasinya, berbagai penghargaan pun dianugerahkan kepada Adler. Atas temuan remote control Space Command, Adler menerima anugerah Outstanding Technical Achievement Award 1958 dari Institute of Radio Engineers atau sekarang dikenal dengan the Institute of Electronical and Electronics Engineerra (IEEE). Adler juga menerima anugerah dari IEEE berupa Outstanding Technical Paper Award tahun 1974, atas tulisannya berjudul “An Optical Video Dsc Player for NTSC Receivers”, yang merupakan presentasi awal atas kerjanya, yang kemudian dikenal dengan video cakram digital (digital video disc, DVD). Penghargaan lainnya adalah Edison Medal 1980 dan Ultrasonic Achievement 1981. Edison Medal adalah penghargaan tahunan yang diberikan kepada orang dalam kariernya berjasa dalam ilmu kelistrikan, rekayasa listrik, dan seni listrik.
Berkaitan dengan televisi dan remote control, ada yang unik dalam diri Adler. Di rumahnya ia hanya punya tiga remote control lebih sedikit dari jumlah remote control yang ada di rumah keluarga AS, yang rata-rata memiliki sedikitnya empat remote control. Soal televisi, saat bicara pada The Chicago Tribune pada tahun 1996, Adler berkata, “Aku hampir tak pernah menyalakan televisi dan berselancar channel (dengan remote control)”. Adler meninggal dunia di Idaho, AS, pada 15 Februari 2007 atau dua pekan setelah permohonan patennya yang terakhir mengenai teknologi touch screen (layar sentuh) disetujui Kantor Paten dan Merek Dagang AS 1 Februari 2007. Sumber : Pikiran Rakyat (8 Maret 2007)
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyayangkan munculnya program siaran di televisi di bulan Ramadhan yang bermuatan kekerasan, melanggar norma kesopanan dan kesusilaan, serta merendahkan derajat manusia. Hal tersebut tentunya mengganggu kekhusyukan masyarakat dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan. Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini menilai, tayangan tersebut juga sarat dengan makian dan celaan. Padahal yang diharapkan tentunya tayangan tersebut harus sesuai dengan spirit Ramadhan, kesederhanaan, kesabaran, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam pemantauan yang dilaksanakan selama 15 hari Ramadhan, KPI mengapresiasi insiatif pengelola televisi yang membuat program-program khusus Ramadhan yang bertujuan meningkatkan iman dan taqwa. Namun demikian, KPI menemukan adanya potensi pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dalam konten siaran Ramadhan pada periode 15 hari tersebut.
Secara umum, pelanggaran yang dilakukan adalah pada pasal 9 Standar Program Siaran (SPS) KPI tentang penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan, pasal 15 tentang perlindungan anak dan remaja, serta pasal 17 tentang perlindungan kepada orang dan masyarakat tertentu. “Selain tiga pasal tadi, KPI juga melihat adanya pelanggaran atas penggolongan program siaran dengan klasifikasi remaja,” ujar Dewi.
KPI akan menyampaikan secara detil program siaran apa saja yang berpotensi melakukan pelanggaran atas P3 & SPS kepada publik, pada Jumat 16 Juni 2017, di kantor KPI Jl Gajah Mada no 8 Jakarta Pusat. Selain itu, hasil evaluasi ini juga akan disampaikan kepada pengelola lembaga penyiaran agar dalam sisa waktu di bulan suci ini, dapat segera dilakukan perbaikan. KPI berharap, program Ramadhan yang hadir di layar kaca, selain dapat meningkatkan iman dan taqwa, juga mampu mengokohkan jati diri bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Medan - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Sumatera Utara mengimbau lembaga penyiaran (televisi) tidak menayangkan unsur kekerasan, mistik atau kekuatan supranatural yang dikuatirkan dapat ditiru anak-anak dan remaja.
Soalnya, sepanjang 2016 KPID telah menemukan sejumlah pelanggaran yang menyalahi Undang-Undang No32 Tahun 2002 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012.
“Terkait persoalan ini, lembaga penyiaran tersebut telah diberikan sanksi administratif berupa teguran,” ujar Ketua KPID Sumatera Utara, Parulian Tampubolon kepada wartawan dalam jumpa pers, di Aula Kantor KPID Sumut, Senin (12/6).
Dalam pertemuan bertopik “Membangun Bangsa Melalui Program Siaran yang Sehat” ini dihadiri komisioner KPID Sumut, Ramses Manulang, Jaramen Purba, Muhammad Syahril, Andrian, Meutya dan Ahmad Karo-karo.
Parulian menyatakan, dalam membangun dan mempertahankan karakter bangsa dari arus globalisasi yang sangat terbuka dibutuhkan peran serta media cetak dan elektronik guna memberikan informasi akurat dan proporsional serta bertanggung jawab dalam membangun karakter bangsa.
Namun, harus menjadi perhatian khusus bagi lembaga penyiaran agar menyajikan informasi sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang akurat dan melakukan ralat jika informasi tidak akurat seperti tertuang dalam SPS Bab XVIII, Pasal 40 (cukup jelas). Sebab, penyiaran di-selenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPID, Muhammad Syahril mengatakan dalam upaya meningkatkan pengawasan pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku lembaga penyiaran, KPID Sumut akan memperpanjang tangan dengan membentuk gugus tugas di kabupaten/kota.
Ini dimaksudkan untuk memantau format siaran terutama menghadapi Pilkada 2018. Artinya dalam setiap pemberitaan, siaran kuncinya harus berimbang. Sebagai lembaga negara independen yang mengawasi isi siaran televisi berjaringan tersebut, KPID menekankan penayangan siaran konten lokal sesuai SPS Bab XXV Pasal 68.
“Namun, dalam pelaksanaannya masih ada lembaga penyiaran yang tidak memenuhi 10 % konten lokal dilihat dari jam tayang per hari,” papar Syahril, mantan Ketua Sumut ini seraya berjanji KPID akan memberikan award bagi lembaga penyiaran yang memenuhi kriteria siaran.
Menyinggung tentang konten lokal, Jaramen Purba menyebutkan siaran lokal bagi Radio harus menayangkan program siaran lokal 60% per hari dan siaran asing 30 % per hari. Namun, diakui masih dijumpai beberapa radio melebihi 30 % siaran asing per hari dan menayangkan program siaran konten lokal kurang dari 60 %.
“Selain itu kami juga me¬nemukan pada program siaran konten lokal yaitu informasi yang tidak akurat. Bahkan disiarkan re-run secara beru¬lang-ulang oleh televisi. Ini dinilai sebagai upaya mem¬bo¬hongi dan menyesatkan publik dengan informasi yang tidak akurat itu. Seperti konten lokal “Expedition-Gliding Above Samosir”, sebut Jaramen.
Bukan hanya itu katanya, konten lokal yang ditayangkan lembaga penyiaran bukan produksi lokal dan mencantumkan character generator (CG) di layar televisi sebagai konten lokal. Ini terindikasi lembaga penyiaran itu ingin mengelabui konten lokal yang terdapat pada program “Pagi-pagi”.
Hal senada diungkapkan Pengawas Isi Siaran KPID Sumut, Andrian. Dia menyebutkan program tayangan sinetron “Boy” menampilkan tindakan kekerasan di lingkungan remaja secara berulang-ulang. Begitu juga pro¬gram siaran “Gajah Mada” dari lembaga penyiaran lainnya menampilkan tayangan yang mengandung unsur kekerasan, mistik/kekuatan supranatural dan lainnya.
“Jajak pendapat KPID dengan masyarakat tentang 10 televisi swasta bulan Januari 2016 menilai, muatan televisi belum seluruhnya menayangkan program untuk mendidik, banyak muatan kekerasan program anak, sinetron berlatar sekolah, geng motor, infotaiment mengumbar aib, pemberitaan tidak netral, tidak akurat dan cenderung fitnah”,ujar Andrian.
Perizinan
Tentang perizinan, Koordinator Bidang Perizinan KPID Sumut, Meutya menjelaskan, ada perubahan penting dalam Permen Nomor 18 Tahun 2016 yakni percepatan proses perizinan yang semula 104 hari kerja menjadi 61 hari kerja. Namun, tidak ada perpanjangan izin prinsip penyelenggaraan penyiaran.
“Pendelegasian penandatanganan izin dari menteri ke dirjen, mempersingkat proses birokrasi. Sedangkan pengaturan tahapan perizinan lebih jelas, baik di sisi KPID, KPI dan Kominfo tidak lagi melibatkan pemda dalam proses perizinan. Ini sesuai dengan ketentuan UU No23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Proses perizinan secara elektronik,” katanya. Red dari analisadaily.com