Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kebebasan pers saat ini harus diikuti dengan modernisasi regulasi media yang ada. Jika ini terwujud, persoalan celah hukum dan ketidakadilan pengawasan seperti antara media konvensional dan media baru, akan larut. 

Pendapat tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat menjadi narasumber acara “Ngobrol Bareng” secara daring yang diselenggarakan Universitas Dian Nusantara dengan tema “Hambatan Pers dalam Demokrasi di Indonesia”, Rabu (10/2/2021).  

Salah satu aturan yang menurut Agung harus direvisi secepatnya adalah Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurutnya, aturan dalam UU Penyiaran tidak dapat menyentuh dan mengatur media baru karena target utamanya (kewenangan) hanya mengawasi media penyiaran (TV dan radio). 

Ketidakmampuan ini, lanjut Agung, membuat industri penyiaran protes atas perlakuan yang tidak sama tersebut. “Ada sejumlah media penyiaran yang akhirnya melakukan judicial review  terhadap UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan pengawasan terhadap media baru. Sayangnya, hal itu ditolak oleh Mahkamah Konsitutusi karena UU Penyiaran hanya diamanatkan mengawasi media penyiaran,” jelasnya.

Jika dikaitkan dengan kebebasan pers yang dijalani oleh dua media tersebut, hal ini jelas timpang. Media penyiaran, ujar Agung, semua tindak tanduknya diawasi oleh UU. Penerapan kebebasan persnya pun ada dalam batasan tersebut. Adapun media baru, yang tidak memiliki payung regulasi, jelas terasa lebih bebas. 

“Padahal jika kita pahami, kebebasan itu harus bertanggungjawab, jika tidak akan anarkis. Oleh karenanya, kebebasan harus diatur tapi tidak untuk mematikannya. Sekarang ini, fungsi pers itu tidak hanya di media cetak ataupun media penyiaran, tapi juga media baru. Di dalam UU Penyiaran kebebasan juga diatur termasuk soal jurnalistik. Kebebasan itu diatur agar ada tanggung jawab pers terhadap masyarakat,” papar Agung.  

Selain soal pengawasan media baru, kata Agung, urgensi dari perubahan UU ini adalah soal masih banyaknya kesulitan KPI dalam menindak berbagai kesalahan siaran. Misalnya dalam menindak pelanggaran siaran kampanye yang tidak diatur dalam UU Penyiaran sekarang. “Perubahan ini untuk menjawab banyak kesulitan yang dihadapi KPI dalam menegakkan peraturan yang masih terhambat oleh lemahnya UU Penyiaran tahun 2002,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Agung menilai lembaga penyiaran sudah taat terhadap aturan dan memahaminya. “Yang jadi masalah sekarang adalah media baru. Pasalnya, siapapun bisa jadi jurnalis ini yang kemudian harus ada semacam komitmen kita bersama untuk memberikan literasi dan pengaturan. Pengaturannya seperti apa, ini yang harus kita formulasikan,” ujarnya.

Pada diskusi itu, turut hadir Komisioner KPI Pusat Periode 2013-2016, Bekti Nugroho, Pimpinan Redaksi Metro TV, Arif Suditomo, dan Anggota Dewan Pers, Jamalul Insan. ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi administratif teguran tertulis kepada Program Siaran “Nih Kita Kepo” di Trans TV. Program ini dinilai tidak mengindahkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 tentang perlindungan terhadap anak dan remaja dalam aspek isi siaran. Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran tertulis untuk Trans TV, Jumat (5/2/2021) lalu.

Adapun bentuk pelanggaran “Nih Kita Kepo” yakni menampilkan koleksi barang-barang branded dan mewah Indra dan Vanessa berupa topi, kalung, jam tangan, cincin, sepatu, baju dan mobil. Barang-barang mewah tersebut oleh mereka dipandang sebagai barang yang “murah banget”. Terdapat pula adegan seorang wanita yang menjadikan beberapa tas koleksinya sebagai bantal untuk tidur dan uang dolar yang dihambur-hamburkan ke lantai.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menyatakan tayangan seperti ini sama sekali tidak memberikan pembelajaran yang baik dan bermanfaat terlebih bagi anak dan remaja. “Di mana sisi positifnya dari tayangan tersebut. Jika gambaran ini dapat memotivasi mestinya dari bagaimana kesuksesan tersebut diperoleh. Bukan cara melebih-lebihkan memamerkannya atau dengan menyebarkan uang-uang tersebut,” katanya kepada kpi.go.id.

Selain itu, lanjut Mulyo, Tim Analis KPI Pusat menemukan beberapa pernyataan yang dianggap kurang sensitif terhadap masyarakat kelas bawah. Di antaranya pernyataan, “..gimana yaa aku tuh bangun pagi suka stres kadang pusing, karena lihat handphone duit masuk ngga abis-abis, pengennya dibelanjain terus..”, “..sekarang gue mau beli mobil lagi nih gabut..” dan “..tuh bebs yaa kalau orang kaya tu yaa ah mau beli berapa pun mah terserah aja yang penting kenikmatan..”. 

“Dalam muatan tersebut, penjelasan latar belakang profesi sebagai sumber penghasilan hanya disampaikan secara singkat dan sekilas sehingga terkaburkan oleh pernyataan serta sikap keangkuhan. Dalam kondisi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan akibat pandemi, rasanya tayangan ini tidak memiliki empati. Di luar situasi pandemi pun, hal seperti itu bukan menumbuhkan watak dan perilaku yang baik” ujar Mulyo.

Berdasarkan keterangan dalam surat teguran yang telah disampaikan ke Trans TV, program acara berklasifikasi R atau remaja mestinya mengikuti seluruh acuan yang ada dalam P3SPS KPI. Salah satunya terkait larangan menampilkan materi yang mengganggu perkembangan kesehatan fisik dan psikis remaja, seperti gaya hidup konsumtif, hedonistik.

“Kami menekankan hal ini karena dalam pedoman penyiaran terdapat larangan menyajikan materi demikian. Tentunya hal ini untuk menjaga perkembangan psikis dan psikologis anak dan remaja kita dari hal-hal yang tidak baik. Ada amanat dalam UU Penyiaran bahwa isi siaran harus menumbuhkan watak dan jatidiri masyarakat Indonesia yang baik. Mestinya, tayangan bagi mereka itu berisikan hal-hal yang mendidik, bernilai sosial, kaya budi pekerti, sergta penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar atau bersosialisasi dengan baik,” jelas Mulyo.

Dalam kesempatan itu, Mulyo meminta pihak Trans TV segera melakukan perbaikan internal dan terus meningkatkan pemahaman tentang acuan yang dibolehkan dan tidak dalam pedoman penyiaran. ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi PT Metropolitan Televisindo atau RTV yang sepanjang Oktober 2019 hingga Desember 2020 tidak pernah mendapatkan surat sanksi dari KPI. Catatan bersih ini cukup menggembirakan lantaran RTV menyadang sebagai TV untuk anak. 

“Sepanjang tahun 2020, RTV tidak pernah mendapatkan sanksi. Ini progres yang bagus. Pada tahun sebelumnya RTV pernah mendapatkan dua sanksi. Artinya ada penurunan sanksi,” kata Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, dalam evaluasi tahunan lembaga penyiaran TV swasta berjaringan RTV, Kamis (4/2/2021).

Penurunan ini juga diikuti dengan menurunnya angka pengaduan masyarakat terhadap RTV. Pada 2019 lalu, KPI menerima aduan publik terkait siaran RTV sebanyak 127 aduan. Adapun di 2020 kemarin, pengaduan masyarakat yang masuk ke KPI hanya 55 aduan. Bahkan, tim pemantauan KPI Pusat hanya mendapati 14 potensi pelanggaran dalam semua tayangan RTV. 

“Kebanyakan 14 potensi pelanggaran tersebut berkenaan dengan norma kesopanan dan kesusilaan serta berkaitan dengan kepentingan publik serta terkait etika jurnalistik,” jelas Mulyo Hadi.

Walaupun RTV bersih dari sanksi, catatan perolehan penghargaan anugerah penyiaran yang diselenggarakan KPI masih  minim. Hanya ada tiga penghargaan yang diperoleh RTV sepanjang 2020 antara lain untuk program acara “Masjid Bersejarah Nusantara dalam Anugerah Syiar Ramadan 2020, program acara “Dubi Dubi Dam” dalam Anugerah Penyiaran Ramah Anak 2020 dan program acara “Michael Candra Luar Biasa” dalam Anugerah KPI 2020. 

“Jika dilihat dari tidak adanya sanksi dan sedikitnya penghargaan ini, perlu menjadi catatan agar ke depan untuk ditingkatkan. Salah satunya terkait muatan program luar negeri yang rawan melebihi batas maksimal 40%,” pinta Mulyo. 

Selain itu, ada beberapa catatan yang harus diperbaiki RTV menyangkut pelaksanaan alokasi konten lokal dalam siaran jaringan yang belum memenuhi kuota maksimal. Menurut Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) sekaligus Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, berdasarkan data aplikasi SSJ bahwa alokasi konten lokal SSJ RTV belum mencapai 10%. Padahal, dalam evaluasi tahun lalu, RTV sudah menandatangani komitmen tersebut.

“Saya senang dengan prestasi RTV dengan semua penghargaan yang didapat dan tidak adanya sanksi yang didapat. Tetapi ini berbanding terbalik mengenai siaran lokal SSJ. Komitmen evaluasi tahun lalu untuk pemenuhan konten 10% hingga kini belum juga direalisasikan,” kata Reza.

Bahkan, KPI menerima keluhan terhadap siaran lokal RTV di Gorontalo dan Sulawesi Selatan. “Hal ini harus ada perbaikan ke depan bila tidak ada perubahan maka kami akan komunikasi dengan Kominfo agar RTV dipertimbangkan perizinan dalam hal induk jaringannya,” tegas Reza.

Terkait konten lokal SSJ, Reza menawarkan solusi pemenuhan konten lokal melalui kerjasama dengan institusi pendidikan setempat. Kerjasama ini bisa mudah dilakukan karena RTV adalah TV anak. 

Di kesempatan yang sama, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyampaikan apresiasi atas komitmen RTV yang konsisten dalam penayangan program anak. Hal ini, lanjutnya, karena tidak banyak stasiun televisi mengambil segmentasi program anak bila dilihat dari sisi bisnisnya yang kurang menarik dari pengiklan. “Tetapi RTV bertahan dan tetap menjaga kualitasnya sebagai televisi yang ramah anak,” tandasnya. ***/Foto: AR

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selalu menjaga agar lembaga penyiaran dalam hal ini televisi dan radio, tidak menjadi instrumen atau alat bagi penyebaran politik identitas. Setiap informasi yang dikelola melalui lembaga penyiaran haruslah berimbang dan proposional, serta memberikan penghormatan terhadap keragaman bangsa. Di satu sisi, KPI menuntut lembaga penyiaran mengambil peran sebagai kontrol sosial, sementara pada sisi yang lain diharapkan pula sebagai instrumen kohesi sosial. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam diskusi online tentang “Media dan Politik Identitas” yang diselenggarakan Dewan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Surabaya, (8/2), yang turut dihadiri Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur Kusnadi SH., M.Hum. 

Kepada mahasiswa anggota GMNI Surabaya, Hardly menjelaskan sejak awal berdirinya negara ini para founding fathers dan founding mothers telah memiliki konsensus kebangsaan yang kemudian jadi dasar negara yaitu Pancasila. Sejak awal pula bangsa Indonesia menyadari identitas yang beragam. Oleh karenanya, persatuan Indonesia adalah persatuan dalam keragaman. Jika sesanti Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi komitmen bersama seluruh anak bangsa, seharusnya tidak ada lagi ruang untuk politik identitas. 

Namun demikian, faktanya politik identitas hingga saat ini masih digunakan sebagai strategi politik dan alat untuk mencapai kekuasaan. Pada peserta webinar Hardly juga memaparkan data pengguna internet di Indonesia yang mencapai 174 juta atau setara dengan 65% penduduk. Karakteristik informasi melalui internet ini, ujarnya, dapat dibuat, diedit dan dibagikan oleh siapapun, kapanpun dan dimana pun. “Borderless, lintas batas dan bahkan sangat mungkin informasi dibuat secara anonim,” ujarnya. Pada media baru ini, arus informasi demikian besar hingga menjadi ledakan atau disrupsi informasi. Disrupsi ini tidak selalu berisi informasi yang benar dan baik, namun juga banyak terdapat disinformasi dan hoax. Dengan karakteristik yang demikian, maka internet lebih potensial menjadi instrumen untuk mobilisasi politik identitas dibanding media konvensional. “Mereka yang memiliki pandangan politik yang sama cenderung saling memperkuat pandangan sebagai satu komunitas dan menganggap yang berbeda sebagai lawan,” tambahnya.  

Regulasi yang ada di Indonesia saat ini mengamanatkan pengaturan dan pengawasan terhadap media cetak dan media elektronik (dalam hal ini televisi dan radio). “Yakni lewat undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers dan undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,” ujarnya. Sementara untuk konten yang hadir dalam media internet baik itu dalam website atau pun media sosial, pengaturannya  melalui undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE), yang menggunakan pendekatan hukum pidana. Dalam beberapa kesempatan, ucap Hardly, Ketika undang-undang ini digunakan untuk menindak pelaku politik identitas, kerap kali mendapat perlawanan publik atas nama kebebasan berpendapat. Hal yang berbeda terjadi pada media konvensional seperti media cetak dan elektronik, yang sudah memiliki perangkat pengawasan dan penindakan. 

KPI sebagai regulator penyiaran selalu meminta televisi dan radio menjadi penjernih informasi bagi masyarakat. Termasuk dalam setiap perhelatan politik, pemilu maupun pilkada, KPI senantiasa mengawasi lembaga penyiaran agar tidak menjadi instrument mobilisasi politik identitas. Setiap informasi harus dikelola dan disampaikan secara berimbang dan proporsional. 

Hardly menilai harus ada terobosan besar yang diambil dalam rangka menghadang penyebaran politik identitas melalui media. “Setidaknya butuh tiga strategi untuk dijalani secara simultan,” ungkapnya. Pertama, adanya regulasi terhadap media baru dan penegakan hukum yang tegas.  Kedua, penguatan literasi media di tengah masyarakat guna mendorong kecerdasan dalam memilah informasi, termasuk dalam menggunakan informasi dari media secara konstruktif. Ketiga, adanya counter narasi politik identitas melalui konten positif yang mampu merajut nilai kebangsaan. 

Mahasiswa sebagai agen perubahan juga harus dapat menjadi agen transformasi sosial secara virtual. Diantaranya dengan memperbanyak konten media sebagai usaha menghadang narasi politik identitas tersebut.  Menurutnya, sebagai intelektual muda, mahasiswa juga harus menjadi kelompok penekan atau pressure group guna melahirkan regulasi yang kuat dan mampu meminimalisir penyebaran konten negatif termasuk politik identitas melalui media baru. Tentunya, tanpa membungkam kebebasan berpendapat di era digital dan virtual ini, pungkasnya.

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berharap kick off siaran digital pada 2022 mendatang dapat memberi kemudahan dan peluang akses bagi partisipasi pemain lokal atau industri penyiaran daerah. Salah satunya menjamin ketersediaan multiplekser (MUX) dengan skema sewa yang terjangkau.

“Skema sewa harus dibuat sebaik mungkin sehingga pemain lokal dapat mengakses mux tersebut. Pemerintah harus menjamin ketersediaan mux itu agar dapat dipakai sehingga mereka dapat ikut terlibat,” kata Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, dalam Talkshow dengan tema “Memastikan Kepentingan Publik Khususnya Daerah dalam Persiapan ASO 2022” yang diselenggarkan Asosiasi TV Siaran Digital Indonesia (ATSDI), Kamis (4/2/2021) malam. 

Menurut Irsal, jaminan ketersediaan mux ini untuk memberi ruang partisipasi bagi publik yang ada di daerah dalam penyiaran digital. Semakin banyak pemain daerah yang ikut akan memberi warna konten di tanah air. “Dengan cara ini kemudian konten lokal akan hadir lebih banyak. Karena itu, mereka semestinya dikasih sewa yang murah dan dapat dengan mudah mendapatkannya,” pinta Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Namun begitu, keterlibatan pemain daerah dalam digitalisasi ini harus didukung oleh kemampuan daerahnya. Daya sokong daerah yang kuat akan menentukan kehadiran dan keberlangsung industri tersebut.

“Ekosistem bisnisnya seperti apa. Daya dukung daerah seberapa kuat. Industri media kan hidupnya dari iklan. Iklan itu dari swasta atau dari pemerintah. Menurut saya, daya dukung ekonomi daerah sangat mendung pemain lokal untuk masuk ke bisnis ini,” jelas Irsal. 

Dia juga melihat adanya celah baik dari pelaksanaan sistem siaran digital ini. Pemanfaatan infrastruktur digital untuk mendapatkan data tontonan publik atau rating. Selama ini, rating siaran dan kualitas program hanya ditentukan oleh satu lembaga penyelenggara rating di 11 kota. 

“Kita mulai berpikir untuk menggunakan atau memanfaatkan STB (Set Top Box) untuk kepentingan rating. Bayangkan saja jika 7 juta STB itu jalan, misalnya di dalam 700 ribu atau 70 ribu STB dipasangin alat people mater untuk mengukur tontonan masyarakat. Berapa besar data rating penyiaran kita,” ungkapnya.

Jika ini berjalan, lanjut Irsal, pengelolaannya dikuasi negara melalui KPI. Negara yang sudah mempraktekkan dan berhasil melakukan uji ini adalah India. “Kita sedang gagas untuk menyusun konsep awal agar bisa memanfaat infrastruktur digital ini untuk rating. Melalui KPI bahwa dapat dipastikan ratingnya ini baik. Termasuk ekosistem yang baru tadi,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Irsal menyoroti persoalan regulasi yang menyertai pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Menurutnya, tahapan ini sudah harus selesai terlebih dulu. Hal ini untuk memastikan pada saat sistem siaran ini beroperasi, tidak ada lagi masalah di tengah jalan. “Kita harus menjaga tahapan ini. Jadi kita nanti tidak disibukkan dengan urusan yang belum selesai. Pasalnya, jangka waktu persiapannya sangat dekat,” ujarnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.