- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 2856
Surakarta - Revisi undang-undang penyiaran, diharapkan dapat mulai dibahas setelah rampungnya undang-undang perlindungan data pribadi (PDP) yang diperkirakan tuntas pada bulan Juli. Selanjutnya Komisi I DPR RI akan melakukan pembahasan rancangan undang-undang penyiaran sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021.
Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber Seminar Nasional yang dilangsungkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tema “Penyiaran Sebagai Pendorong Kebangkitan Ekonomi Pasca Pandemi”, di Auditorium RRI Surakarta (303).
Secara khusus Meutya menilai, topik yang diambil KPI dalam seminar yang menjadi rangkaian peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-88 ini sangat kontekstual. “Mungkin ini Harsiarnas pertama yang membahas ekonomi,” ujar Meutya. Saat ini negara memang sangat fokus terhadap pembenahan ekonomi dan kita berharap semua sektor termasuk penyiaran, ikut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi.
Salah satu tujuan penyiaran yang disebut dalam undang-undang penyiaran saat ini, ungkap Meutya, adalah untuk meningkatkan perekonomian nasional. “Jadi semangat penyiaran hadir untuk membantu perekonomian sudah ada dalam undang-undang saat ini,” tegasnya.
Undang-undang penyiaran ke depan, menurutnya, harus adaptif terhadap perubahan zaman. Kita harus paham, akan semakin banyak media melakukan konvergensi. Ke depan tentunya harus kita buka kemungkinan satu perusahaan dapat memiliki beragam jenis media, baik itu radio, televisi ataupun online.
Meutya kemudian mengutip undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga memuat pasal-pasal yang mengatur tentang penyiaran. Pada prinsipnya, undang-undang cipta kerja ini menembuh kebuntuan akan analog switch off (ASO) sehingga digitalisasi penyiaran dapat segera terealisasi.
Selain itu, politisi dari Partai Golkar ini juga menyebut tentang infrastruktur sharing sebagai upaya menghemat pembiayaan dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. “Sebetulnya kalau industry penyiaran dan industri telekomunikasi melakukan infrastruktur sharing, tentu akan menjadi lebih murah dan cepat dalam memenuhi kebutuhan di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Dia juga berpendapat, saat ini adalah era efisiensi untuk pembiayaan. Dulu di era kompetisi orang punya hak ekslusif atas sebuah infrastruktur telekomunikasi atau penyiaran. “Sah-sah saja sebenarnya, karena mereka yang menghidupi penyiaran saat ini,” ujarnya. Tapi Meutya mengingatkan bahwa frekuensi ini adalah milik publik dan bukan milik pemilik tower dan infrastruktur saja. Maka ke depan, semangatnya adalah kita bangun infrastrukut bersama-sama. Untuk daerah yang sulit menapatkan undang, pemerintah dapat ikut serta membantu pembiayaan. “Jadi barengan membuatnya, barengan juga memakainya,” tukasnya. Dia meyakini, untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur di Indonesia, tidak mungkin jalan sendiri-sendiri. Harus ada kerja sama dan kolaborasi, tambahnya.
Digital deviden yang didapat dalam migrasi system penyiaran dari analog ke digital, akan menghasilkan multiplier effect termasuk dalam usaha membangun perekonomian negara, termasuk yang paling utama penciptaan lapangan kerja. Akan ada banyak lapangan kerja baru yang terbuka bagi publik. “Inilah yang kita harap dapat membantu sekali pembenahan ekonomi di tanah air, termasuk dalam menyelesaikan pandemi,” tuturnya.
Terkait RUU Penyiaran mendatang, Meutya berharap tidak akan alot lagi pembahasannya, karena faktor yang membuat panjang pembahan dalam RUU lalu adalah soal digitalisasi. “Analog Swich Off sudah diambil pengaturannya di UUCK,” terangnya. Dia menegaskan, RUU penyiaran akan banyak mengatur tentang membuat konten siaran yang baik, bagaimana pengawasan yang baik, juga bagaimana struktur KPI menjadi lebih kuat. Sedangkan untuk lembaga penyiaran publik (LPP), tambahnya, akan diletakkan tidak sama dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Mengingat untuk LPP tidak hanya hak lebih yang didapatkan, tapi juga kewajiban yang lebih banyak. Dia meyakini pembahasan RUU Penyiaran mendatang betul-betul ke pembenahan konten penyiaran dan industrinya, karena masalah migrasi sistem penyiaran sudah diambil di undang-undang Cipta Kerja, pungkasnya.