MATARAM – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat melayangkan teguran kepada TV9, Lombok TV dan Sindo TV Mataram. Teguran itu dikeluarkan, karena ketiga lembaga penyiaran itu diduga melanggar ketentuan penyiaran Pemilu. ”Kita sudah layangkan teguran tertulis per 1 April kemarin,” kata Sukri Aruman, Ketua Desk Pemilu KPID NTB di Mataram, Rabu, 2 April 2014.

Sukri menjelaskan, teguran ke TV9 merupakan teguran yang kedua kali, karena sebelumnya teguran pertama diminta untuk penyesuaian durasi dan frekuensi iklan partai politik dan calon legislatif seperti yang diatur dalam PKPU Nomor 1 tahun 2013. Menurut Sukri, TV9 dalam sehari tidak kurang dari 11 jenis iklan peserta Pemilu 2014 ditayangkan.

“Mereka sebenarnya sudah melakukan perbaikan dan perubahan, tapi masih setengah hati. Misalnya, dari durasi 3 menit menjadi 1,5 menit. Padahal aturannya diperbolehkan 30 detik dengan frekuensi 10 kali sehari,” ujar Sukri.

Selain itu, TV9 ditegur karena menyiarkan siaran tunda kampanye nasional Partai Golkar yang berdurasi 30 menit pada 24 Maret lalu. Teguran serupa juga dilayangkan kepada Lombok TV yang menayangkan siaran tunda kampanye nasional Partai Golkar dengan durasi 1,5 jam. “Aturannya sudah jelas, melarang lembaga penyiaran menjual blocking time atau blocking segment untuk kampanye Pemilu,” terang Sukri.

Sedangkan Sindo TV Mataram ditegur karena menyiarkan iklan parpol dan caleg melebihi durasi yang ditentukan. “Dalam tayangannya, ada satu iklan caleg berdurasi 4 menit, ada juga yang berdurasi 1 menit, intinya melebihi durasi yang telah ditentukan,” papar Sukri. Dengan teguran itu, Sukri berharap, lembaga penyiaran melakukan evaluasi internal dan menyesuaikan ketentuan penyiaran iklan kampanye Pemilu sesuai ketentuan yang berlaku.

Dalam rangka pengawasan Pemilu, Desk Pemilu KPID NTB juga menerima aduan dan laporan masyarakat terkait penyiaran. Menurut Sukri, saat ini KPID NTB masih mendalami aduan yang masuk dan berkoordinasi dengan Bawaslu NTB terkait temuan pelanggaran siaran kampanye Pemilu melalui lembaga penyiaran.

Dari kanan ke kiri: Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Wakil Ketua Umum MUI KH. Ma'ruf Amin, Ketua Umum MUI sekaligus Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Infokom MUI, S. Sinansari Ecip, Sekretaris Komisi Pengkajian MUI Cholil NafisJakarta - Jelang Ramadan tahun 2014, Majelis Ulama Indonesia mengadakan pertemuan dengan berbagai kalangan membicarakan konten media televisi bermuatan Islam di televisi. Pertemuan itu dihadiri dan dibuka oleh Ketua Umum MUI yang juga Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, kemudian Wakil Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin, S. Sinansari Ecip, dan yang lainnya, dan dari regulator penyiaran Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad.

Pertemuan yang bertajuk, “Halaqah Penguatan Dakwah dan Pendidikan Islam di Televisi” menghadirkan para dai dan produser televisi yang menyiarkan siaran program bermuatan Islam dan program Ramadan. Juga mengundang rumah produksi yang menyediakan konten media bermuatan Islam untuk televisi.

KH. Ma’ruf Amin menjelaskan perkembangan teknologi informasi masih menempatkan televisi sebagai media dakwah yang efektif. Dari hasil pantauan kajian MUI terhadap semua siaran program Ramadan, KH Ma’ruf menjelaskan menyisakan banyak catatan pada beberapa program acara yang dianggap keluar dari semangat keagamaan.

“Ada banyak laporan masyarakat tentang program Ramadan dan program bermuatan Islam ke MUI. Beberapa acara dakwah di televisi lebih banyak menyajikan tontonan daripada tuntunan, ada yang menyimpang, hingga kurang dalam hal teladan dalam keseharian,” kata KH. Ma’ruf Amin di Gedung MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa, 1 April 2014. Meski begitu, menurut Ma’ruf, acara Halaqah itu MUI tidak mau menjadi penilai saja. Namun ingin menekankan kepada seluruh elemen di stasiun televisi agar tetap mengedepankan dakwah yang santun dan efektif.

Sedangkan Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad menerangkan, dari pantauan KPI akan siaran Ramadan untuk acara dakwah tidak semuanya baik dan buruk. Menurut Idy, dakwah di televisi itu berbeda dengan dakwah langsung dalam lapangan terbuka. “Acara dakwah di televisi itu pelakunya tidak tunggal. Di situ ada kameramen, pengatur tata lampu, sound system, dan yang lainnya. Jadi acara dakwah yang bagus di televisi karena memang timnya bagus, karena ini juga menyangkut kemasan acara. Ini tantangan dakwah di media televisi,” ujar Idy menerangkan.

Lebih lanjut Idy menerangkan, dalam kemasan acara dakwah menggabungkan dua hal, yakni isi materi dan kemasan yang menarik. Menurutnya hal itu tidak gampang, namun bukan berarti tidak mungkin. Bagi Idy, pemantauan dan perbaikan acara program Ramadan tidak bisa hanya menjadi tugas KPI semata, tapi juga MUI dan Ormas Islam yang kiranya perlu mengingatkan kembali, agar siaran Ramadan sesuai dengan spiritnya.

Khoirul Huda, salah seorang dai yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan, mendukung MUI dalam upaya dengar pendapat acara dakwah di televisi dengan para dai dan pelakunya. Bahkan, menurut Khoirul untuk isi materi dakwah yang menarik, MUI bisa memberikan bimbingan ilmu secara berkala kepada para dai.

“Masyarakat yang menonton saat ini sudah kritis. Sedangkan ulama yang kompeten di bidangnya jarang mau tampil di media. Jadi kami para dai, biarkan jadi corongnya melalui media penyiaran. Makanya pengetahuan dan ilmu agama kami bisa di upgrade. Semoga nanti ada wadah perkumpulannya juga,” papar Khoirul.

Hal senada juga dikemukakan dai kondang Yusuf Mansur. Yusuf merasa apa yang dikatakan pihak MUI terkait dakwah di televisi juga harus tetap menampilkan materi yang sesuai dengan ajaran Islam yang semestinya. Bukan hanya menampilkan tayangan yang menarik dari sisi kemasan. “Saya kira, sebagai dai perlu meningkatkan kemampuan keilmuan. MUI bisa memfasilitasi pertemuan itu. Dalam hal ini MUI punya legitimasi dari masyarakat untuk melakukannya dan kami selaku dai harus disiplin untuk hadir di dalamnya. Isinya bisa berupa pengajian bersama atau sekadar berbagi pengalaman dari sesama dai,” kata Yusuf Mansur.

Sedangkan Syarif Rahmat yang juga seorang dai mengatakan, komitmen memperbaiki isi siaran dakwah di televisi tidak hanya bisa dilakukan MUI sendirian bersama dai dan produser siaran. Menurut Syarif, adanya terus perbaikan acara dakwah televisi, sebaiknya MUI menemui para pemilik televisi untuk menjelaskan kondisi riil yang ada dan diajak membuat komitmen untuk membuat acara dakwah atau program Ramadan yang lebih baik dari sisi materi dan kemasan.

“Saya kira pemilik media televisi kita saat ini, masih memiliki komitmen untuk terus memperbaiki acara siaran dakwah di televisi. Ini masih terlihat dari program-program dakwah yang memang bagus dan masih dipertahankan,” terang Rahmat.

Menjawab masukan dari para dai, KH. Ma’ruf mengatakan, pihak MUI akan mengusahakan menemui pemilik media penyiaran untuk membicarakan hal itu dan pembuatan komitmen. Sedangkan untuk wadah pertemuan para dai, MUI hanya bisa menyediakan pemateri untuk menambah keilmuan para dai. Namun, menurut KH. Ma’ruf, untuk wadah sebaiknya para dai membuat perkumpulan sendiri dan MUI membantu untuk kebutuhan pemateri atau pengajar sekaligus sebagai dewan penasihat.

“Untuk usulan MUI ke pemilik televisi akan kami usahakan. Kalau nanti belum efektif nanti kami akan berunding dengan KPI. Ini adalah usaha kebaikan dan upaya semacam ini tidak boleh berhenti demi perbaikan umat yang lebih baik,” terang KH Ma’ruf

Di akhir pertemuan, Idy  menjelaskan untuk program acara dakwah yang bermartabat memang harus ada sinergi dari semua pihak. Hanya dengan cara itu, perbaikan acara dakwah di televisi bisa terus ditingkatkan sekaligus memperbanyak siaran dakwah yang bagus. “Meski begitu, dalam dunia televisi yang terkait dengan isi siaran ada persaingan yang ketat di dalamnya. Kami berharap dengan pertemuan ini, akan menumbuhkan persaingan yang sehat antar televisi dan para dai tanpa melupakan materi siaran dan kemasan yang menarik secara bersamaan kepada penonton,” papar Idy.

Ketua KPI Pusat JudhariksawanJakarta - Dalam kurun tiga tahun terakhir, perayaan Nyepi di Bali diikuti dengan penghentian siaran televisi maupun radio selama satu hari. Kesepakatan sudah disetujui Pemerintah Bali, DPRD, dan KPID Bali, dan himbauan ditujukan lembaga penyiaran yang memiliki izin siaran di wilayah Bali.

Tahun ini pelaksanaan Nyepi Tahun Baru Saka 1936 yang jatuh pada 31 Maret 2014 juga diikuti himbauan serupa kepada lembaga penyiaran untuk menghentikan siaran selama pelaksanaan Nyepi berlangsung. Hal itu untuk menjaga kekhusukan pelaksanaan Nyepi di Bali. Himbauan penghentian siaran dimulai sejak Senin, 31 Maret 2014, pukul 06.00 WITA sampai Selasa, 1 April 2014 pukul 06.00 WITA.

Dalam pelaksanaan Nyepi, umat Hindu melaksanakan Catur Brata atau tidak melakukan aktivitas keseharian selama 24 jam, yakni Amati Geni (tidak menghidupkan atau menggunakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelangun (tidak mendengar atau menonton hiburan).

Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan, penghentian siaran selama pelaksanaan Nyepi adalah permintaan masyarakat Bali. Judha menerangkan, penghentian siaran saat pelaksanaan Nyepi sudah berlangsung selama tiga tahun dan tahun ini berharap bisa kembali berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Ini adalah permintaan masyarakat Bali, himbauan itu kita dukung. Terpenting, pelaksanaan Nyepi tanpa siaran ini sudah berlangsung selama tiga tahun dan ini sudah memasuki tahun keempat. Artinya hal ini sudah dipahami oleh teman-teman di lembaga penyiaran,” kata Judhariksawan di Kantor KPI Pusat Jakarta pada Jumat, 29 Maret 2014.

Dilaksanakannya himbauan penghentian siaran saat Nyepi berlangsung, menurut Judha, patut diberikan apresiasi kepada lembaga penyiaran. “Kami apresiasi kepada lembaga penyiaran yang turut mendukung kekhidmatan pelaksanaan Nyepi dengan menghentikan siaran selama pelaksanaan ibadah berlangsung. Ini sebagai bentuk toleransi beragama di Indonesia. Tak lupa juga kita berikan apresiasi perusahaan periklanan yang bisa memahami lembaga penyiaran saat penghentian siaran,” ujar Judha.

Sebelumnya, pada Rabu, 19 Maret 2014 sejumlah pejabat Pemprov Bali, DPRD Bali, dan KPID Bali mengunjungi Kantor KPI Pusat untuk sosialisasi nota kesepahaman tiga lembaga terkait himbauan penghentian siaran televisi dan radio saat pelaksanaan Nyepi. 

Selamat Hari Raya Nyepi 2014.

Jakarta - Delapan puluh satu tahun yang lalu, tepatnya 1 April 1933 di Solo dikenang sebagai mengudaranya siaran Solosche Radio Vereniging (SRV). Saat itu SRV adalah radio dan siarannya adalah radio pertama di Indonesia yang didirikan bukan oleh Belanda yakni oleh Mangkunegoro VII dan Insinyur Sarsito Mangunkusumo.
 
Semangat SRV saat itu adalah untuk melawan dominasi siaran radio Pemerintah Hindia Belanda yang dalam siarannya yang digunakan sebagai media adu domba dan menurunkan semangat juang pribumi di berbagai daerah. Semangat penyiaran SRV adalah menumbuhkan semangat kebangsaan dan perjuangan melalui salah satu siarannya dengan lagu-lagu Indonesia yang bernuansa perjuangan.

Untuk mengenang itu, maka hari berdirinya SRV dijadikan sebagai Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas). Dalam masa 81 tahun, wajah penyiaran Indonesia sudah mengalami perubahan yang drastis. Penyiaran tidak hanya melalui jaringan radio, juga televisi. Demikian juga secara fungsi dan visi, bukan saja sebagai media perjuangan,  tapi sebagai media yang pendidikan, informasi, dan hiburan yang sehat.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Judhariksawan mengatakan, meski umur penyiaran di Indonesia sudah 81 tahun, sampai saat ini belum secara optimal atau paripurna dalam mewujudkan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Undang-undang Penyiaran. “Dengan Harsiarnas ke 81 tahun ini, kita berharap lembaga penyiaran dapat merekonstruksi dirinya untuk menjadi pelopor dalam pembentukkan watak dan jati diri bangsa, menghasilkan insan yang bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memperkukuh integrasi nasional,” kata Judhariksawan di Kantor KPI Pusat, Selasa, 1 April 2014.

Selain itu, dengan 81 tahun peringatan Harsiarnas, Judhariksawan berharap, adanya perubahan paradigma agar industri penyiaran tidak hanya berorientasi pada keuntungan. Tapi juga penyiaran yang menyeimbangkan keduanya antara keuntungan finansial dan penyiaran yang mencerdaskan kehidupan berbangsa melalui penyiaran.

“Melalui Harsiarnas tahun ini, semoga lembaga penyiaran terus memperbaiki diri dan memberikan siaran yang seimbang, sekaligus memenuhi harapan publik yang diamanahkan melalui pemanfaatan spektrum frekuensi publik yang tentu berorientasi untuk publik,” ujar Judha.

Peringatan Harsiarnas ke 81 tahun ini, KPI Pusat mengadakan acara peringatan puncak yang akan berlangsung di Jambi pada, 22 April 2014. Pelaksanaan acara akan digabung dengan acara Rapat Koordinasi Nasional semua KPID seluruh Indonesia untuk membahas masalah penyiaran dan kebijakan penyiaran. Tema yang diusung untuk Harsiarnas tahun ini, “Menuju Penyiaran Indonesia yang Berdaulat”.

 

 

Jakarta - Dari hasil pemantauan KPI Pusat terhadap iklan kampanye politik ditemukan adanya iklan menyerang dan merendahkan peserta lain. KPI yang tergabung dalam Gugus Tugas Pengawasan Pemilu bersama KPU, Bawaslu, dan KIP setelah berkoordinasi meminta agar iklan kampanye politik dan peserta pemilu yang muatannya menghina dihentikan penayangannya di lembaga penyiaran. 

“Kami dari Gugus Tugas sudah minta iklan semacam itu dihentikan, karena jika terus dilanjutkan akan berdampak saling menyerang. Hal itu kontra produktif. Maka sebagai usaha preventif, tidak diperbolehkan iklan yang muatan menghina dan menyerang,” kata Wakil Ketua KPI Idy Muzayyad dalam konfrensi pers Gugus Tugas Pemilu di kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat, 28 Maret 2014.

Lebih lanjut Idy menjelaskan, pada 24 Maret 2014 KPI sudah mengeluarkan surat teguran tertulis kepada lembaga penyiaran Metro TV yang menayangkan iklan partai NasDem versi "Kehadiran Anggota DPR RI Hanya 48,7 %". Menurut Idy, dari hasil kajian KPI atas materi iklan itu menyerang anggota DPR yang kembali mencalonkan diri dalam pemilu 2014. 

“Dalam iklan itu terdapat kata ‘tanpa empati’. Itu termasuk hal yang digeneralisir dan sudah diberikan teguran tertulis kepada lembaga penyiarannya,” ujar Idy lebih lanjut. Sedangkan terkait dugaan iklan kampanye di televisi yang menyerang Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) yang juga calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menurut Idy, KPI sudah berkoordinasi dengan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) tentang konten iklan versi “Ku Tagih Janjimu” itu.

Dalam penjelasan Idy, dari hasil penelusuran KPI, iklan itu tayang di tiga lembaga penyiaran, yakni RCTI, MNC TV, dan Global TV. Menurut Idy, dari hasil pertemuan KPI dengan PPPI dalam iklan itu ditemukan ada empat masalah ditemukan.

Pertama dari isi pesan yang ingin disampaikan ada nuansa menyerang. Kedua, kalau mencantumkan atau menampilkan gambar wajah seseorang harus seizin dari orang bersangkutan. "Kebetulan dalam iklan itu menampilkan wajah Jokowi. Kita tidak tahu apakah itu sudah dapat izin apa belum," ujar Idy. "Ketiga, iklan itu harus jelas siapa yang pasang.Tidak mungkin hantu yang memasang iklan itu, tapi dalam iklan itu tidak jelas siapa yang pasang. Keempat, sumber cuplikan video (footage) yang ditampilkan dalam iklan itu harusnya jelas." 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.