- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 9049
Yogyakarta - Budaya lokal sebagai entitas budaya bangsa seharusnya diletakkan dalam konteks pembentukan kepribadian bangsa. Merujuk dari Ki Hajar Dewantara, kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak-puncak dari budaya daerah. Ini berarti, kebudayaan nasional hanya dapat terwujud dengan baik jika kebudayaan daerah bertumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini disampaikan oleh Darmanto, pengamat media asal Yogyakarta saat menjadi narasumber Bimbingan Teknis Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Yogyakarta, (18/3).
Menurut Darmanto, ketika kebudayaan lokal tidak memiliki eksistensi, berarti tidak ada kebudayaan nasional. Harus disadari, pengakuan dari UNESCO atas kebudayaan kita, semuanya berbasis dari kebudayaan daerah. “Kita harus meletakkan budaya lokal dalam konteks ke-Indonesiaan. Yakni Indonesia yang beragam, multikultur, multietnik dan terdiri atas berbagai peradaban dan budaya daerah,” tegasnya.
Lembaga penyiaran, ujar Darmanto, diharapkan dapat berkontribusi atas tumbuh kembang kebudayaan nasional yang optimal. Salah satunya dengan menjalankan fungsi penyiaran sebagai perekayasa kultural. Dengan karakteristik penyiaran yang mampu menembus sekat-sekat ruang, bersifat serempak, cepat sampai ke sasaran, penyiaran ia memiliki kekuatan besar dalam membentuk cita rasa bersama dan integrasi budaya. “Kalau generasi muda saat ini tidak lagi mempunyai cita rasa makan-makanan lokal dan lebih tertarik pada produk makanan pabrikan, itu semua adalah salah satu dampak dari tidak bermaknanya konten lokal yang selama ini ditayangkan oleh lembaga penyiaran Indo¬nesia, khusus¬¬nya media televisi karena kuantitas maupun kualitasnya cenderung minim,” ujarnya.
Darmanto yang juga pegiat Rumah Perubahan mengatakan, seharusnya regulasi kita tidak sekedar mendorong persentase konten lokal saja. Tapi juga mendorong bagaimana konten lokal di televisi eksis, bukan hanya sekedar mengatur jumlah minimal semata. Aspirasi mengenai konten lokal juga disampaikan oleh Wakil Ketua KPI Daerah Istimewa Yogyakarta, Agnes Dwirusjiati. Menurutnya, rancangan undang-undang penyiaran yang tengah dirumuskan oleh Komisi I DPR RI harus dapat memberi penguatan pada eksistensi konten lokal. “Televisi berjaringan dapat ikut serta menjaga nilai-nilai moral dan tradisi bangsa ini yang mempersatukan,” ujarnya. Namun selayaknya siaran tersebut tidak hanya hadir pada jam-jam lewat tengah malam, saat masyarakat tertidur, tapi juga pada waktu produktif saat masyarakat terjaga.
Pada acara serupa di hari sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan bahwa Komisi I sudah menangkap aspirasi tentang pengaturan konten lokal. Diantaranya keinginan publik untuk kehadiran konten lokal dengan waktu yang lebih banyak. “Kesimpulannya minimun 30% konten lokal dan diatur waktu tayangnya bukan di jam zombie,” ujar Sukamta. Jika konten lokal muncul di jam 2 sampai jam 4 pagi, itu hanya untuk memenuhi kuota undang-undang semata. Lebih jauh, Sukamta berharap, aturan konten lokal ini dapat dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran sehingga muncul pencipta konten lokal dan juga produser lokal yang diharapkan pula dapat berkontribusi dalam mengembangkan perekonomian lokal.