- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 13213
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menyampaikan laporan pertanggungjawaban pembuatan buku ekspose Pengawasan Pemilu 2019 di Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Jakarta - Keterlibatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam pengawasan penyiaran pemilu merupakan amanat dari pasal 287-297 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Pers, KPI melakukan pengawasan terhadap penyiaran, pemberitaan dan Iklan Kampanye Pemilu 2019. Kiprah pengawasan KPI tersebut didokumentasikan dalam buku “Mengawal Demokrasi: Dinamika Pengawasan Penyiaran Pemilu 2019”.
Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano Pariela mengatakan, dalam mengawal pesta demokrasi di tahun 2019 ini, KPI berperan dalam menyusun regulasi, serta menindaklanjuti temuan dan aduan potensi pelanggaran. Buku ini, ujar Hardly, juga mengungkap “untold stories” dinamika relasi KPI dengan para pimpinan redaksi lembaga penyiaran, yang mempengaruhi dinamika penyiaran pada saat Pemilu. Diantaranya masalah penyiaran hitung cepat serta penayangan secara propoposional. Untuk masalah hitung cepat, KPI tidak saja melakukan pendekatan regulasi, ungkap Hardly. “Kami juga melakuan dialog dengan jajaran pemimpin redaksi lembaga penyiaran, untuk memastikan penyiaran hitung cepat saat itu tetap proporsional”. Buku setebal 256 halaman ini merupakan hasil kerja dari KPI periode 2016-2019, khususnya Mayong Suryo Laksono, Hardly Stefano Pariela, Nuning Rodiyah dan Dewi Setyarini yang mengampu bidang pengawasan isi siaran.
Terhadap pelaksanaan pengawasan siaran pemilu sendiri, KPI memiliki catatan penting. Perlunya kejelasan regulasi yang lebih detil dan teknis tentang penyiaran pemilu. “Semangatnya harus mengarahkan, bukan membatasi”, ujar Hardly. Lembaga penyiaran merupakan medium untuk meningkatkan partisipasi pemilih melalui pendidikan politik yang konstruktif. Interval waktu pemasangan iklan juga jangan terlalu pendek, hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dari peserta pemilu. Usulan kami, waktu pemasangan iklan baiknya memiliki interval yang lebih panjang, yaitu sejak masa kampanye. Namun frekuensi siaran hariannya untuk tiap peserta pemilu yang dapat dikurangi, ujar Hardly.
Hal ini diyakini dapat memberikan manfaat lebih banyak untuk publik tentang kepemiluan. Sedangkan bagi lembaga penyiaran, tentunya kesempatan mendapatkan pemasukan dari iklan kampanye menjadi lebih besar. Di satu sisi, bagi partai politik, menjadi kesempatan menyampaikan gagasan-gagasannya kepada publik dengan lebih massif.
Rekomendasi KPI terhadap pengawasan penyiaran pemilu:
1. Perlu koordinasi lebih baik antara penyelenggara pemilu dengan lembaga pendukung seperti KPI.
2. Sosialisasi regulasi dengan waktu yang cukup pada seluruh pemangku kepentingan
3. Konsistensi penegakan regulasi
Hasil dari pengawasan penyiaran pemilu ini, meskipun ada sedikit catatan terkait modus penayangan iklan non-kampanye yang dilakukan peserta pemilu sebelum masa kampanye 21 hari di televisi dan radio, secara umum lembaga penyiaran telah berupaya mematuhi regulasi penyiaran pemilu baik pada masa kampanye, masa tenang, hari pemilihan bahkan sampai dengan penetapan hasil pemilu. KPI mengapresiasi lembaga penyiaran yang telah mampu menjadi kontrol sekaligus perekat sosial dalam mengawal dinamika pemilu 2019. Melalui buku Dinamika Demokrasi ini, KPI berharap jejak sejarah lembaga ini, baik KPI Pusat ataupun KPI Daerah bukan hanya ada dan eksis, tetapi juga terlibat dan berkontribusi dalam menyukseskan Pemilu tahun 2019. Bahkan lebih dari itu, ungkap Hardly, KPI juga turut membangun dan mengawal demokrasi melalui pengawasan lembaga penyiaran. *