Jakarta – Minimnya siaran nasional dan melubernya siaran asing di kawasan perbatasan negara membunyikan alarm kita betapa longgarnya sisi luar negara ini. Ancaman terhadap keutuhan bangsa dan intergasi nasional mengintai diam-diam.

Komisioner KPI Pusat Agung Suprio membenarkan jika kebanyakan masyarakat di wilayah batas terutama dengan negara Malaysia lebih banyak mendapatkan infromasi dari negeri tetangga. Hal ini sangat beralasan karena akses siaran nasional di wilayah batas negara sangat sedikit dan cenderung tidak ada.

Menurut Agung, kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada langkah konkrit untuk menyaingi luberan siaran asing. “Luberan siaran dari negara lain tidak bisa ditolak dan memang tidak ada larangan. Satu-satunya jalan adalah dengan membanjiri kawasan di perbatasan dengan siaran nasional,” katanya di sela-sela acara pembahasan siaran televisi di kawasan perbatasan negara yang diadakan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Kamis, 19 Januari 2017..

Agung mengingatkan kebutuhan penyiaran di kawasan perbatasan sangat erat hubungan dengan rasa nasionalisme. Kehadiran siaran nasional yang kreatif dan edukatif di wilayah batas negara akan membangun rasa kebanggaan berbangsa Indonesia. Kebanggaan ini akan memupuk rasa nasionalisme dalam jiwa warga perbatasan. “Penyiaran juga akan menumbuhkan tingkat ekonomi di kawasan perbatasan,” tambahnya.

Kebutuhan akan siaran adalah hak setiap warga negara yang dijamin Undang-undang. Terkait hal ini, kata Agung, adalah tanggungjawab negara untuk menyediakan kebutuhan tersebut dengan opsi mengembangkan siaran TVRI di wilayah perbatasan. “Adalah hak dari TVRI untuk memberikan siaran gratis kepada warga negara Indonesia karena TVRI di biayai negara,” katanya.

Sementara itu, Plt Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan, H. Boytenjuri mengatakan, untuk membangun kawasan perbatasan itu membutuhkan misi dan visi yang kuat. Selain itu, perlu juga strategi pendekatan yang intens untuk mencapai tujuan di kawasan itu. “Saat ini, pengelolaan kawasan perbatasan termasuk penyiaran menjadi kewenangan pusat. Hal ini dikarenakan daerah masih memiliki keterbatasan kemampuan untuk membangun penyiaran di wilayah perbatasan,” jelasnya.

Boytenjuri juga setuju jika TVRI menjadi garda terdepan siaran untuk masyarakat perbatasan. Untuk itu, TVRI harus juga didukung kebijakan-kebijakan yang menguatkan agar proses siaran di kawasan perbatasan lancar.

Dalam kesempatan itu, Boytenjuri mengharapkan adanya dukungan kementerian dan lembaga terhadap penyiaran. Dukungan ini berupa penyediaan anggaran untuk pengembangan di kawasan tersebut tidak masuk dalam paket penghematan. “Jika ada penghematan jangan diambil dari kawasan perbatasan,” katanya.  ***

Jakarta - Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai perwakilan publik harus dinyatakan dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran yang saat ini sedang dibahas Komisi I DPR RI. Hal tersebut mengacu pada undang-undang saat ini yang secara tegas menyatakan bahwa KPI sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.  Hal tersebut disampaikan Hardly Stefano, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, dalam Diskusi Publik “Menelaah Peran Publik Dalam Revisi UU Penyiaran” yang diselenggarakan Komite Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP), di Universitas Neger Jakarta (18/1).

Dalam kesempatan tersebut Hardly menegaskan bahwa wujud peran serta masyarakat tersebut harus tetap muncul dalam terminologi KPI pada rancangan Undang-Undang Penyiaran yang baru. Selain itu, Hardly juga mengharapkan adanya penguatan terhadap KPI melalui kewenangan kelembagaan, masa kerja dan anggaran. Hardly melihat, dengan masa kerja yang hanya 3 (tiga) tahun, KPI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi kelembagaan. Apalagi jika akhir masa tugas KPI bersamaan dengan agenda politik nasional. “Misalnya pada 2019 mendatang, saat masa tugas KPI berakhir bersamaan dengan Pemilu dan Pemilihan Presiden”, ujar Hardly. Hal ini tentunya akan menyulitkan KPI dalam mengawal kepentingan publik mengawasi muatan penyiaran dalam momentum Pemilu dan Pemilihan Presiden.

Dalam diskusi itu, hadir pula Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Gerindra, El Nino Husein Mohi, Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementrian Komunikasi dan Informatika, Geryantika Kurnia, serta anggota KNRP Lestari Nurhayati.

Elnino sendiri menyatakan bahwa peran publik tidak akan dikesampingkan oleh DPR, dalam revisi undang-undang ini. Dirinya menyampaikan beberapa masalah krusial dalam revisi tersebut, termasuk soal penentuan penyelenggara multiplekser dalam digitalisasi penyiaran. Namun demikian, Elnino menjelaskan bahwa sikap fraksinya atas multiplekser ini adalah memilih Single Mux.

Sementara itu Geryantika mendukung adanya penguatan KPI, termasuk memberikan sanksi denda dan melakukan audit rating. Namun demikian, Gery mengakui bahwa pemerintah saat ini dalam posisi menunggu draft yang akan diajukan oleh DPR untuk kemudian dibahas oleh pemerintah.

Kritisi terhadap draf RUU Penyiaran disampaikan pula oleh Remotivi. Muhammad Heychael dari Remotivi menolak asumsi bahwa pelayanan izin penyiaran tidak ada hubungannya dengan isi siaran. Disampaikan Heychael, bahwa potensi iklan nyaris tidak berubah dari tahun ke tahun. Namun pemain dalam industri penyiaran terus bertambah. Dengan kata lain, ketatnya persaingan mendapatkan iklan tentu, lantaran jumlah televisi dan radio yang terus bertambah, sudah pasti memberikan pengaruh besar pada kualitas isi siaran.
Heychael menambahkan, seharusnya undang-undang ini juga memberikan pengaturan bagaiman masyarakat mendapatkan keadilan informasi. “Tidak ada artinya kita punya banyak televisi, tapi pemilik dan isi siarannya seragam”, ujarnya.

Dalam kesempatan itu, KPI diharap mampu menghimpun berbagai unsur publik untuk ikut memberikan kritisi terhadap revisi atas undang-undang penyiaran ini. Draf terakhir RUU yang menyebutkan larangan iklan rokok di lembaga penyiaran, harus dikawal hingga undang-undang ini ditetapkan. Namun demikian untuk beberapa masalah yang dinilai bertentangan dengan prinsip demokratisasi penyiaran, masih memungkinkan untuk adanya perbaikan. Elnino sendiri menjelaskan bahwa masih banyak tahapan yang harus dilewati sebelum rancangan ini menjadi Undang-Undang.Namun dirinya meyakinkan bahwa Revisi Undang-Undang Penyiaran harus selesai tahun ini, mengingat ada tugas Komisi I selanjutnya seperti membahas RUU RTRI dan revisi undang-undang telekomunikasi. 

Jakarta -  Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, KH Ma`ruf Amin menyampaikan kerisauannya terhadap fenomena saat ini yang membenturkan aqidah (Islam) dengan wawasan kebangsaan. Seolah kalau ulama, ustadz, dai banyak berbicara agama, maka itu dipandang atau dicurigai sebagai anti-kebhinekaan, tidak pluralis, bahkan menolak Pancasila. Sebaliknya, jika bicara kebhinekaan, kemajemukan bangsa, Pancasila, maka yang terkait aqidah harus dipinggirkan.

“Jangan kita atas nama kebangsaan mengorbankan aqidah, namun jangan pula atas nama aqidah kita mengorbankan kebangsaan kita. Aqidah, agama dan kebangsaan harus kita kelola bersama secara baik,” kata KH Ma`ruf Amin, saat menerima kunjungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa,17 Januari 2017.

Upaya membenturkan opini yang berkembang tentang Islam versus Pancasila marak muncul di media massa, terutama media sosial melalui postingan yang bernuansa fitnah, adu domba, dengan berbagai informasi yang menyesatkan. “Kita berharap media televisi jangan ikut terjebak. Harusnya justru mengklarifikasi, meluruskan informasi hoax. Peran KPI sangat menentukan terhadap media penyiaran,” ujar Kiyai Ma`ruf.

KH Ma’ruf Amin juga mengharapkan media massa untuk cerdas menampilkan narasumber atau pembicara yang layak untuk publik. “KPI dan MUI memiliki tanggungjawab terhadap negara  dan agama,” katanya.

Sementara itu, Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menyambut baik apa yang disampaikan Ketua MUI Pusat. Menurutnya, persoalan kebangsaan merupakan tanggungjawab semua pihak termasuk KPI dan MUI. Karena itu, Andre sangat berharap kerjasama antara pihaknya dengan MUI dapat mewujudkan harapan terhadap perbaikan isi siaran supaya lebih edukatif, aman dan bermanfaat untuk masyarakat terutama untuk menjaga keutuhan bangsa ini.

Selain Ketua KPI Pusat, turut hadir Komisioner KPI Pusat lainnya yakni Ubaidilah, Nuning Rodiyah, Dewi Setyarini, Mayong Suryo Laksono dan Agung Supriyo. Sementara itu, dari MUI turut hadir KH Zainut Tauhid (Wakil Ketua Umum MUI), KH Masduki Baidlowi (Ketua MUI), KH Cholil Nafis (Ketua Komisi MUI Bidang Dakwah), Usman Yatim (Sekretaris Komisi Infokom) dan anggota Komisi Infokom (Informasi dan Komunikasi) MUI Ibnu Hamad, Taryono Asa, serta Hidayati. Red dari bebagai sumber

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bersilaturahmi ke MUI (Majelis Ulama Indonesia), Selasa siang, 17 Januari 2017. Dalam pertemuan itu, KPI Pusat dan MUI sepakat memantapkan kerjasama yang telah terjalin baik selama ini. “Kita perlu terus mengembangkan kerjasama karena kualitas media siaran perlu terus kita tingkatkan agar umat, masyarakat luas mendapatkan sajian siaran televisi yang mendidik,” kata Ketua Umum MUI Pusat, KH Ma`ruf Amin.

Menurut KH Ma`ruf Amin, media siaran selain tetap menghibur juga diharapkan menyajikan informasi yang menjernihkan situasi, bukan membuat resah, menyebar fitnah, seperti yang banyak muncul di media sosial. “Hoax ada di mana-mana dalam medsos. Informasi di TV harusnya bukan ikut mengipas tapi harus menangkal, mengklarifikasi isu-isu yang meresahkan,” ucap Kiyai Ma`ruf yang juga Rois Aam PB NU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).

Ditambahkannya, pengaruh media siaran, terutama televisi sangat luar biasa, baik dalam kecepatan sampai ke khalayak maupun dampaknya. “Nah, ini tugas KPI yang tidak hanya memantau, mengawasi tapi juga menegur, bahkan memberi sanksi terhadap media siaran yang melanggar. Kalau MUI tidak sampai ke sana, cuma melihat, mendapat aduan dari umat,” ujarnya.

Diingatkannya, tugas MUI itu memberi pendapat, mengeluarkan fatwa terhadap berbagai masalah yang ditanyakan umat. “Apakah diikuti atau tidak, itu bukan tugas MUI memberi sanksi. MUI tidak mengeksekusi seperti KPI,” lanjutnya di depan Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis serta Komisioner KPI Pusat Ubaidilah, Nuning Rodiyah, Dewi Setyarini, Mayong Suryo Laksono dan Agung Supriyo yang hadir di pertemuan itu.

Ketua KPI Yuliandre Darwis menyatakan, sangat berterimakasih kepada MUI dalam memberikan masukan, menjalin kerjasama dengan KPI guna memajukan dunia penyiaran di Indonesia. Pemantauan yang dilakukan tim MUI terhadap siaran televisi, terutama selama Ramadhan, cukup berpengaruh dalam meningkatkan mutu siaran dakwah dan pendidikan. Bicara isi siaran terkait informasi agama Islam, dakwah, tentu yang lebih tahu adalah MUI. “KPI ingin terus mendapatkan masukan dari MUI. Pengelola siaran juga sangat memperhatikan masukan MUI,” ujarnya.

Ketua MUI Bidang Infokom, Masduki Baidlowi mengatakan, kerjasama MUI-KPI diharapkan tidak hanya saat menyambut Ramadhan, namun hendaknya sepanjang tahun karena siaran dakwah di televisi berlangsung setiap hari. Ditambahkan oleh Kiyai Cholil Nafis, siaran dakwah di televisi memang patut serius diperhatikan karena banyak umat mempertanyakan mutu narasumber yang dinilai tidak pas. “Ada narasumber, dai menafsirkan Al Quran tapi keliru karena bukan ahli tafsir. Belum lagi, lafal bacaan Al Qurannya dinilai tidak pas. Itu aduan yang masuk ke MUI,” ucap Cholil.

Sementara itu, Anggota KPI Nuning Rodiyah menyatakan, indeks siaran televisi meningkat selama Ramadhan. Hal itu diharapkan dapat sebagai pintu masuk memperbaiki kualitas siaran untuk sepanjang tahun. Dia sependapat dengan Kiyai Cholil Nafis, perlunya standar kualitas para dai yang tampil di televisi. Diakui, para dai di televisi jago berkomunikasi, namun jangan isi dakwahnya tidak pas, apalagi bila sampai bacaan Al Qurannya saja salah. “Kita memang harus memperbarui MOU karena perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan sekarang, seperti soal kualitas dai, tayangan religi, dan lainnya,” kata Ubaidilah, rekan Nuning menambahkan.

Berdasarkan pertemuan MUI-KPI itu disepakati, dalam waktu dekat akan digelar pertemuan yang mengundang para pengelola media televisi guna membincangkan permasalahan siaran dakwah, agama Islam di televisi. “Kita harapkan dalam forum itu, kesepakatan baru antara MUI dan KPI dapat ditandatangani,” kata anggota KPI Mayong Suryo Laksono. Red dari berbagai sumber

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan lawatan ke kantor Kepala Staf Kepresidenan RI, Senin, 16 Januari 2017 di Bina Graha, Jakarta Pusat. Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis serta Komisioner KPI Pusat Ubaidillah, Dewi Setyarini dan Agung Suprio ikut dalam kunjungan yang diterima langsung Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Eko Sulistiyo.   

Di awal pertemuan, Eko Sulistiyo menyatakan persoalan penyiaran menjadi perhatian pemerintah sekarang. Beberapa hal yang penting menyangkut hal ini adalah soal pengayaan konten siaran dalam negeri. Menurutnya, persoalan konten ini sangat berhubungan dengan kreatifitas dan ini harus dikaitkan dengan peningkatan rasa nasionalisme warga negara.

Sementara itu, Yuliandre Darwis menyampaikan persoalan rating atau ukuran kepemirsaan siaran yang menjadi barometer industri televisi di Indonesia. Dia berharap keberadaan survey atau rating dapat lebih demokratis, dan tidak hanya menjadi monopoli satu pihak saja.

Menurut Andre, panggilan akrabnya, jika lembaga penyiaran hanya mengacu pada satu parameter rating saja hal ini akan mengakibatkan siaran televisi jadi kurang mencerdaskan. Jadi kesannya lembaga penyiaran hanya mengejar peringkat kepemirsaan demi bertambahnya kue iklan.

Dalam kesempatan itu, Andre juga menyampaikan kekhawatirannya terkait rancangan Undang-Undang Penyiaran yang akan dibahas DPR sebagai pengganti UU No. 32 tahun 2002. Menurutnya, di dalam draft RUU Penyiaran tidak lagi menegaskan keharusan adanya konten lokal, seperti yang saat ini diwajibkan dalam sistem siaran berjaringan. “KPI ingin agar ada keragaman konten siaran, sesuai karakteristik daerah masing-masing,” katanya.

Terkait hal itu, Komisioner bidang Isi Siaran Dewi Setyarini menambahkan, pihaknya berupaya mendorong daerah dapat tereksplorasi secara proporsional di ruang-ruang televisi nasional. “Keberagaman isi siaran harus diperhatikan, jangan hanya mengejar rating,” tambahnya.

Sementara itu, Agung Suprio menambahkan jika saat ini hanya sedikit lembaga penyiaran swasta yang masih menggelorakan nasionalisme, seperti dalam pemutaran lagu kebangsaan maupun iklan layanan masyarakat. “Kami mendorong iklan layanan masyarakat bertema nasionalisme dapat diperbanyak,” tandasnya.

Disela-sela pertemuan itu, Ketua KPI Pusat menyampaikan undangan kepada Presiden Joko Widodo untuk dapat menghadiri Konferensi Internasional Tahunan Organization of Islamic Cooperation Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) di Bandung, 21-24 Februari 2017. Sesuai pertemuan IBRAF di Jeddah, 2016 lalu,  KPI dipercaya menjadi Presiden IBRAF selama satu tahun. IBRAF merupakan forum diskusi serta tukar menukar informasi dan pengalaman terkait media dan regulasinya, di negara-negara anggota OKI.

Selain itu, KPI Pusat juga berharap, Presiden Jokowi menetapkan tanggal 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional sesuai lahirnya lembaga penyiaran pertama milik bangsa Indonesia bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakarsai KGPAA Sri Mangkunegoro VII di Solo, 1 April 1993. “Pada tahun ini, peringatan Hari Penyiaran Nasional akan digelar di Bengkulu,” kata Yuliandre. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.