Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta media khususnya televisi tidak menjadi provokator yang dapat membangkitkan emosi massa pendukung dan simpatisan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertanding dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2014.
Permintaan tersebut disampaikan KPI terkait dengan makin dekatknya pelaksanaan pilpres 9 Juli dan makin meningkatnya eskalasi persaingan dua kubu pasangan capres. “Justeru media TV harusnya mampu menjadi penyejuk suasana, bukan memanas-manasi,” ungkap Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, kepada wartawan Senin di Jakarta (23/6).
Idy menyayangkan sikap media TV yang ber-genre news yang cenderung memperkeruh suasana persaingan pilpres dengan memberitakan serta menyiarkan informasi yang memihak dan bahkan saling menjatuhkan.
Idy mengingatkan kontestasi capres yang hanya dua dan berlangsung ketat membuat dukungan dalam posisi head to head, sehingga provokasi sedikitpun bias berpotensi menimbulkan ketegangan yang bisa mengarah kepada konflik fisik. “Kalau situasinya terus dikompori oleh TV, maka kejadian bisa runyam. Makanya perlu ada antisipasi,” kata Idy.
Ia juga menyampaikan bahwa media penyiaran yang menggunakan frekuensi yang merupakan sumber daya terbatas milik publik yang dikelola negara dan dipinjamkan kepada pemilik stasiun TV, seharusnya berpihak kepada kepentingan publik, bukan salah satu pasangan capres.
“Media TV harus tetap menjaga indepensi, tidak berpihak dan berimbang dalam memberitakan dan menyiarkan informasi terkait dua pasangan capres,” kata Idy. KPI sudah melayangkan surat teguran kepada dua media TV, yakni TV One dan Metro TV yang dianggap tidak netral dan memihak salah satu pasangan capres.
Batam - Peran teknologi dan informasi memiliki andil dalam perkembangan ekonomi dan ketahanan sosial masyarakat. Hal itu diterangkan oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Republik Indonesia Freddy H. Tulung dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dan Workshop “Penguatan Penyelenggaraan Penyiaran Kawasan Perbatasan Antar Negara” yang diselenggarakan KPI Pusat di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Rabu, 18 Juni 2014.
Demikian juga keberadaan teknologi dan informasi sangat dibutuhkan di wilayah perbatasan atau wilayah terdepan Indonesia. Menurut Freddy peran teknologi dan informasi memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
“Penguatan sektor teknologi dan informasi lokal di wilayah perbatasan yang kuat dapat menciptakan, lapangan kerja, memberikan kontribusi untuk, diversifikasi ekonomi, mempromosikan inovasi lokal, dan meningkatkan akses semua anggota masyarakat untuk peluang pengembangan, termasuk mereka yang berdiam di wilayah perbatasan,” kata Freddy dihadapan peserta saat menyampaikan materinya.
Dari estimasi Deloitte Access Economics, Freddy menjelaskan, kontribusi teknologi dan informasi terhadap perekonomian Indonesia mencapai 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto PDB . Angka pertumbuhan itu, menurut Freddy, melebihi kontribusi ekspor peralatan elektronik sebanyak 1,5 persen, liquefied natural gas sebanyak 1,4 persen, dan kayu serta produk manufaktur lainnya mencapai 1,4 persen.
“Dari data yang dikeluarkan Bank Dunia (World Bank), setiap peningkatan 10 persen penetrasi broadband menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3 persen,” ujar Freddy.
Menurut Freddy, saat ini infrastruktur untuk kebutuhan informasi dan teknologi terus mengalami peningkatan. Dia menjelaskan tentang, pembangunan infrastruktur jaringan fiber optic oleh pemerintah telah mencapai total panjang 41.151,6 Km dan diperkirakan akan selesai pada akhir tahun 2014. Dari data lembaganya, pembangunan infrastruktur fiber optc telah berlangsung yang meliputi wilayah Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara dengan total kapasitas 2.071,18 Gbps dan 1616 core yang tersebar di wilayah tersebut.
Tak hanya di pulau-pulau besar Indonesia, Freddy juga menjelaskan infrastruktur infrastruktur dan konten informasi telah dibangun di wilayah perbatasan. Di antaranya, Palapa Ring, Desa Berdering, Desa Pinter, Desa Informatif, Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK), Mobile-Pusat Layanan Internet Kecamatan (M-PLIK).
Freddy menjelaskan, mestinya dengan adanya peningkatan pembangunan infrastruktur berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam Index Pembangunan Manusia (Human Development Index). Hal ini menunjukkan, menurut Freddy, pembangunan sektor teknologi informasi lebih menitikberatkan pada infrastruktur semata. Sementara pengembangan isi atau kontennya terabaikan.
“Pertanyaan, bagaimana dengan pengelolaan kontennya?” tanya Freddy.
Dari kajiannya, Freddy menemukan adanya anomali perkembangan media terhadap kesejahteraan, khususnya di wilayah perbatasan. Dia mencontohkan, dengan muncul fenomena “media disembeddedness”, perkembangan media penyiaran tidak seiring dan seirama dalam konteks perkembangan ekonomi dan sosial yang ada.
Dari semua itu, Freddy menarik garis merah antara pembangunan infrastruktur dan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Dia mengajukan beberapa hipotesa akan temuan itu. “Media penyiaran dan teknologi informasi kehilangan peran dalam memecahkan masalah sosial dan ekonomi yang ada di wilayah perbatasan? Lalu, apakah media penyiaran dan teknologi informasi malah menjadi ‘bagian dari masalah’ di perbatasan?” terang Freddy.
Untuk pembangunan wilayah perbatasan, menurut Freddy tidak cukup dengan pembangunan infrastuktur saja. Juga dibutuhkan pengelolaan konten di dalamnya. Salah satunya, bagi Freddy, perlunya peran media penyiaran di wilayah perbatasan yang konten yang berbasis 3E+1N atau pendidikan (Education), pemberdayaan (Empowering), pencerahan (Enlightening), NKRI (Nasionalism). Yang keseluruhannya untuk pembentukan opini yang sentral dalam prinsip kebangsaan dan pengembangan ekonomi.
“Juga dibutuhkan institusi-institusi yang berperan mengembangkan dan menyebarkan gagasan kebangsaan, seperti sekolah, organisasi keagamaan, media massa, yang kesemunya merupakan prasyarat yang penting untuk mensosialisasikan dan mempertahankan ideologi atau gagasan kebangsaan,” papar Freddy.
Selain itu, menurut Freddy, juga dibutuhkan usaha meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pemanfaatan media secara sehat dalam rangka penguatan sadar media. Kemudian penguatan kelembagaan media penyiaran di wilayah perbatasan dalam menyelenggarakan siaran yang bermuatan Empat Konsensus Dasar Republik Indonesia, yakni Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dari beberapa masalah itu, menurut Freddy, Kemenkominfo dan KPI sudah menyusun dan melaksanakan literasi media, meningkatkan kemampuan warga wilayah perbatasan untuk menyaring, memilah, memilih, dan memproduksi pesan-pesan yang terdapat dalam media penyiaran (digital) dan media baru (berbasis internet). Selain itu juga penguatan kelembagaan, dengan mendorong lembaga penyelenggara media penyiaran di wilayah perbatasan untuk mengisi konten siaran Empat Konsensus Dasar dengan mengedepankan kearifan lokal.
Batam - Dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dan Workshop “Penguatan Penyelenggaraan Penyiaran Kawasan Perbatasan Antar Negara” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menghadirkan pembicara dari Asisten Deputi Koordinasi Media Massa Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Brigjen. TNI A. Hafil Fuddin SH, Sip.
Pria yang biasa dipanggil Hafil ini menyampaikan materinya yang berjudul, “Pemanfaatan Penyiaran Sebagai Sarana Memperkuat Ketahanan NKRI di Wilayah Perbatasan”. Selain dari Polhukam peserta dan pemateri Rakor berasal dari lembaga terkait perbatasan dan penyiaran serta dari unsur masyarakat.
Hafil menjelaskan, masalah penyiaran di wilayah perbatasan adalah isu serius yang perlu dibicarakan dan ditindaklanjuti. Menurutnya, persoalan serius wilayah perbatasan adalah kesejangan informasi yang masuk ke wilayah perbatsan. “Masyarakat di daerah perbatasan begitu mudah mengakses berbagai jenis siaran dari negara-negara tetangga. Sementara radio dan siaran televisi nasional maupun daerah kadang tidak dapat diterima dengan baik di kabupaten-kabupaten terpencil di wilayah perbatasan,” kata Hafil dalam menyampaikan materinya di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Rabu 18 Juni 2014.
Kesenjangan informasi di wilayah perbatasan, menurut Hafil, harus segera ditangani dengan baik. Bila tidak hal itu akan berimpilaksi pada melemahnya ketahanan NKRI di wilayah perbatasan, meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan.
Upaya mewujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI yang aman dan sejahtera memerlukan konsolidasi komitmen nasional yang melibatkan sektor swasta dan pemangku kebijakan lainnya. Termasuk insan media dan pers, dengan orientasi utama peningkatan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
“Desentralisasi sistem pemerintahan melalui otonomi daerah menempatkan Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak dalam pengelolaan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan,” ujar Hafil.
Kesenjangan informasi di wilayah perbatasan, menurut Hafil, disebabkan beberarapa hal. Di antaranya, lokasi daerah perbatasan relatif terisolasi dari pusaran geliat ekonomi bangsa, informasi tentang ekonomi dan pembangunan belum tersosialisasi secara baik karena banyaknya daerah perbatasan yang masih blank spot.
Terkait bidang ekonomi juga karena adanya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat, tatanan politik di daerah perbatasan relatif belum berkembang dan cenderung diwarnai isu-isu primordialisme dan kecemburuan sosial, kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan masih bersifat sektoral dan belum menyentuh kebutuhan riil masyarakat perbatasan, penyaluran aspirasi masyarakat yang belum berlangsung seperti yang diharapkan.
Menghadapi masalah itu, Hafil menerangkan, usaha dan upaya yang dilakukan pemerintah pusat melalui kementerian terkait Pemda perlu adanya koordinasi yang menyeluruh terkait dengan wilayah perbatasan ini. Salah satunya dengan memperkuat ketahanan NKRI di wilayah perbatasan, yakni dengan meningkatkan wawasan kebangsaan dalam rangka membentuk nasionalisme masyarakat perbatasan dan rasa bangga sebagai Bangsa Indonesia. Selain itu juga membantu memelihara imajinasi mengenai masyarakat Indonesia yang meskipun berbeda beda dan berjauhan, namun bersatu.
Instrumen untuk mencapai itu salah satunya, menurut Hafil, bisa menggunakan medium penyiaran. “Menjadikan penyiaran perbatasan sebagai instrumen efektif dan efisien. Dengan menyapa, memperlakukan, mempengaruhi dan membentuk konsesus kepada masyarakat,” terang Hafil di akhir acara.
Batam - Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau besar dan kecil. Membentang dari 94⁰ BT – 141⁰ BT dan 6⁰ LU – 11⁰ LS, dengan luas perairan/laut sekitar 5,8 Juta Km², dan luas wilayah daratan sekitar 2,01 Juta Km² serta panjang garis pantai sekitar 81.290 km.
Di darat Indonesia berbatasan dengan 3 negara, yakni Malaysia, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), dan Papua New Guinea (PNG), dengan panjang batas negara 3.094,16 km. Sedangkan di laut berbatasan dengan 10 negara, yakni India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Republik Palau, PNG, Australia, RDTL, dan Singapura.
Hal itu dijelaskan oleh Asisten Deputi Pengelola Lintas Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Sony Sumarsono dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dan Workshop “Penguatan Penyelenggaraan Penyiaran Kawasan Perbatasan Antar Negara” yang diselenggarakan KPI Pusat di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Rabu, 18 Juni 2014.
“Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, NKRI memiliki 92 pulau kecil terluar yang berbatasan langsung di wilayah laut dengan 10 negara tetangga,” kata Sony.
Salah satu isu strategis pengelolaan perbatasan, menurut Sony, kawasan perbatasan belum sepenuhnya aman/tertib, sehingga sering terjadi kasus-kasus pelanggaran batas negara dan lintas batas negara yang berpotensi merugikan negara. Selain itu, rendahnya kondisi sosial ekonomi warga masyarakat perbatasan padahal memiliki potensi sumber daya cukup besar, baik di darat maupun laut.
“Kondisi kawasan perbatasan masih terisolir baik secara fisik maupun komunikasi dan informasi, dan masih banyaknya desa-desa tertinggal pada kawasan perbatasan karena terbatasnya infrastruktur atau sarana prasarana,” ujar Sony.
Dengan adanya rapat koordinasi itu, Sony menegaskan, penyiaran di perbatasan antarnegara merupakan bagian strategi nasional yang perlu ditangani dengan sungguh-sungguh secara meneyeluruh. Ini tidak lain, karena memiliki kaitan erat dengan penciptaan situasi keamanan negara di wilayah perbatasan antarnegara.
Dari kajian dan temuan lembaganya di lapangan, terkait penyiaran di perbatasan, menurut Sony, banyak ditemukan permasalahan. Seperti banyak daerah perbatasan yang belum menerima siaran (blank spot), masyarakat t di kawasan perbatasan banyak menerima limpahan siaran dari negara tetangga (spill over), rendahnya minat pengusaha penyiaran mendirikan lembaga penyiaran di kawasan perbatasan, sumber daya manusia yang kurang mendukung, dan kebijakan terkait penyiaran yang belum ramah dengan pengembangan penyiaran di kawasan perbatasan antarnegara.
Menurut Sony, peraturan yang mengatur wilayah perbatasan diatur dalam Perban No. 2 Tahun 2011 tentang Renduk Tahun 2011-2014. Sony berharap rapat koordinasi dengan elemen terkait dapat didibentuk kesepatakan bersama untuk pengelolaan perbatasan terkait penyiaran. Seperti, pengarusutamaan bidang penyiaran dalam pengelolaan perbatasan antar negara, pemberian kebijakan khusus bidang penyiaran di kawasan perbatasan antar negara, pengembangan infrastruktur, sumber daya manusia dan program siaran di kawasan perbatasan antar negara, dan pemantauan dan evaluasi luberan siaran asing di kawasan perbatasan antar negara.
Adapun lembaga terkait yang hadir dalam rapat koordinasi penyiaran perbatasan adalah, Kemenkominfo, Kemendagri, Kemenkopolhukam, Kemendagri, KPI Pusat dan KPI Daerah yang masuk wilayah perbatasan. Pelaksanaan rapat koordinasi berlangsung selama tiga hari, 17, 18, 19 Juni 2014. Di akhir rapat seluruh elemen terkait perbatasan diharapkan dapat membuat rekomendasi untuk strategi pelaksanaan penyiaran di wilayah perbatasan.
Batam - Meski perkembangan teknologi informasi begitu pesat, saat ini televisi menjadi penetrasi tertinggi dalam bidang media komunikasi di Indonesia. Rata-rata masyarakat Indonesia menonton televisi selama 4,5 jam dalam sehari.
Hal itu dikemukakan Komisioner KPI Pusat Bidang Pengelolaan Infrastruktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Azimah Subagijo. Tingginya kebutuhan informasi masyarakat dari televisi saat ini, menurut Azimah, keterampilan literasi sudah seperti kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan.
Tingginya penetrasi media televisi dalam sektor komunikasi, menurut Azimah, membuat KPI terus mendorong agar masyarakat menjadi pemirsa yang kritis dan cerdas dalam menonton televisi. Salah satunya pembentukan masyarakat peduli penyiaran di beberapa daerah di Indoensia.
Cara lain efektif untuk menangkal dampak negatif televisi adalah dengan kegiatan literasi media ke masyarakat. Tak hanya itu, literasi media secara tidak langsung mengoptimalkan media oleh masyarakat, dan meningkatkan kualitas produksi lembaga penyiaran.
“Literasi media adalah keterampilan hidup. Media punya keterbatasan ruang dan waktu, media adalah alat yang punya sisi positif dan negatif,” kata Azimah dalam training literasi media KPI di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Selasa, 17 Juni 2014.
Dengan literasi media, masyarakat di didik mengapresiasi atas program acara yang bagus, karena kecenderungan memprotes dan menghina lebih mudah dari apresiasi. Dengan kata lain, menurut Azimah, literasi media adalah keterampilan dalam mengakses, memilah dan memilih konten media, keterampilan mengkritisi atau menonton dengan sadar, juga keterampilan memproduksi untuk program alternatif.
Pemahaman keterampilan sadar media, bisa dimulai dari keluarga dan orang-orag terdekat. “Guru dan orang tua merupakan dua kelompok yang penting mempunyai keterampilan media,” ujar Azimah.
Lebih lanjut Azimah menjelaskan, metode literasi media yang paling efektif adalah melalui gerakan kultural. Dengan membuat suatu komunitas terhadap suaru prgram siaran dan membuat kajian. Hasil kajiannya bisa memberikan memberikan rekomendasi atau solusi.
Dengan gerakan massif untuk sadar media sekaligus sebagai strategi dalam pengawasan lembaga penyiaran dari penyelewengan pemiliknya. “Kecenderungannya, media semakin berkuasa akan sering disalahgunakan,” terang Azimah.
Di akhir acara, peserta literasi media diberikan praktik kelompok dalam menilai tayangan televisi yang disediakan panitia. Peserta training diminta melihat konten isi siaran program acara yang ditayangkan. Kemudian komisioner KPI Pusat mengavaluasi hasil pengamatan dari tayangan yang diberikan.
Sudah lama saya resah dengan tayangan tidak bermutu on the spot, hari ini saya sudah "bosan", semoga KPI dapat menindak lanjutinya.
Baru saja mereka menayangkan video manusia-manusia barbar yang "joget-joget" di atas motor. Sangat disayangkan untuk ditonton bersama keluarga. Adik-adik saya masih kecil, semoga tidak memberi dampak negatif untuk mereka. Semoga KPI dapat memberi peringatan, agar mereka dapat menayangkan konten yang "berpendidikan" dan bermanfaat. Terimakasih KPI, jaya selalu penyiaran Indonesia.