Wakil Ketua KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin

Tarakan - Kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah di Kalimantan Utara (Kaltara) sangat dibutuhkan untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat di Kaltara akan informasi yang seimbang dan sesuai dengan kepentingan integrasi nasional. Hal ini dikarenakan provinsi Kaltara adalah merupakan salah satu daerah perbatasan di Indonesia yang menjadi jendela bagi republik ini dari negara-negara tetangga. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin, dalam sambutannya di acara sosialisasi KPI Pusat dengan lembaga penyiaran dan masyarakat dalam rangka menghadapi peluang usaha penyelenggaraan penyiaran, (15/12).

Rahmat menjelaskan, KPI Pusat memiliki kepentingan untuk mendorong agar KPID di Kaltara segera terbentuk. “Januari-Maret 2018 mendatang, peluang usaha untuk radio FM akan dibuka”, ujar Rahmat. Sedangkan menurut Undang-Undang Penyiaran, proses pertama permohonan izin penyelenggaraan penyiaran dimulai di KPID. Sehingga jika KPID di Kaltara sudah terbentuk, tentunya proses pelayanan perizinan bagi pelaku usaha penyiaran dapat dilakuan lebih mudah. “Jangan sampai proses perizinan tidak terlayani dengan baik, lantaran tidak adanya KPID di Kaltara”, ujar Rahmat. Padahal, lewat lembaga penyiaran inilah citra Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersiarkan guna menjaga dan memperkuat integrasi bangsa.

Pada kesempatan tersebut, hadir pula Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiara, Agung Suprio, Komisioner Bidang Kelembagaan, Ubaidillah, dan Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran, Dewi Setyarini.  Kepada masyarakat Tarakan yang hadir pada sosialisasi tersebut, Agung menjelaskan mengenai peluang usaha penyiaran yang akan dibuka pada awal tahun 2018.  “Biasanya, untuk sosialisasi ke masyarakat tentang proses perizinan dilakukan oleh KPID”, ujar Agung. Namun karena provinsi paling bungsu ini belum ada KPID, maka KPI Pusat yang mengambil alih peran-peran KPID tersebut, demi terpenuhinya hak-hak masyarakat di Kaltara terkait penyiaran. 

Selain dari KPID, pembicara lain yang turut melengkapi sosialisasi adalah Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Utara serta perwakilan dari Balai Monitoring dari Provinsi Kalimantan Timur.  Sebelum mengakhiri acara, KPI melakukan sosialisasi proses perizinan melalui mekanisme e-licensing lewat aplikasi online yang disediakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Komisoner KPI Pusat, Hardly Stefano.

 

Jakarta -- Pemanfaatan frekuensi sebagai ranah publik, terbatas, dan dikuasai negara, seharusnya digunakan secara proporsional. Penggunaan frekuensi oleh kelompok tertentu ataupun pribadi secara berlebihan untuk urusan politiknya dinilai bertentangan dengan tujuan penyiaran yang ada dalam UU Penyiaran. 

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, di depan peserta kegiatan bertema “Evaluasi Penyiaran, Pemberitaan, dan Iklan Politik di Lembaga Penyiaran” yang berlangsung di Kantor KPI Pusat, di bilangan Jalan Djuanda, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).

Menurut Hardly, pemanfaatan frekuensi yang dipinjamkan negara ke lembaga penyiaran seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam konteks itu, masyarakat harusnya mendapatkan manfaat salah satunya untuk pendidikan politik yang baik sekaligus berimbang.

“Terasa sekali informasi atau berita politik yang disampaikan sudah diframing. Kita nonton berita seperti nonton sinetron. Ada pemeran antagonisnya ada yang baik. Hal ini dibangun sedemikian rupa. Hal yang sama juga dapat kita rasakan dalam acara talkshow, terasa sekali membangun framing,” tegas Hardly kepada peserta yang sebagian besar perwakilan media penyiaran, LSM dan partai politik.

Hardly mengusulkan sebaiknya lembaga penyiaran memperlakukan hal yang sama kepada kontestan politik lain dalam pemanfaatan frekuensi untuk kepentingan politik. Pasalnya, tidak semua partai politik memiliki akses ke media.

Dia menambahkan, akses yang diperoleh partai politik di media dapat berupa program siaran khusus seperti acara Rakernas atau Rapim yang waktu tayangnya diusulkan antara satu hingga satu setengah jam. “Kita juga akan mendorong lembaga penyiaran memberi waktu setengah jam kepada semua partai untuk mempublikasikan diri. Hal-hal seperti ini mestinya juga dipikirkan,” kata Hardly.

Ketua Komisi II DPR RI, Zainudin Amali.


Sementara itu, di tempat yang sama, Ketua Komisi II DPR RI, Zainudin Amali, menyatakan peran KPI dalam menyikapi permasalahan siaran politik di lembaga penyiaran harus tegas jika lembaga penyiaran tersebut sudah memiliki kecenderungan berpihak. Menurutnya, harus ada batasan antara subyektivitas dan obyektivitas.

Zainudin meminta lembaga penyiaran mengedepankan tanggungjawabnya sebagai media pemberi pendidikan termasuk pendidikan politik bagi publik. “Bagaimanapun juga kehadiran partai politik harus tetap ada dalam proses berdemokrasi,” jelasnya.

Hal yang sama juga disampaikan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Muttaqin Pratama. Menurutnya, frekuensi harus dperlakukan setara untuk semua peserta. Akses setara ini harus diikuti dengan fungsi partai politik sebagai wadah untuk menyampaikan pendidikan politik bagi masyarakat. ***

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah, saat diskusi Literasi Digital di Warun Daun Cikini, Selasa (12/12/2017).

 

Jakarta- Di tengah pertumbuhan teknologi internet dan perkembangan sosial media yang massif, penting untuk mengkampanyekan literasi digital. Hal ini, menjadi kesepakatan lintas institusi, dalam diskusi "Literasi Digital untuk Masa Depan Generasi Milenial", yang dihelat di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, pada Selasa malam (12/12/2017).  Diskusi yang diselenggarakan Pustekkom Kemdikbud bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dihadiri oleh pakar dan praktisi digital di antaranya, Alois Wisnuhardana (Kantor Staf Presiden/KSP Bidang Informasi), Hasan Chabibie (Pustekkom Kemdikbud), Ubaidillah Sadewa (Komisioner KPI), dan Hamzah Sahal (RMI PBNU).

A. Wisnuhardana menyampaikan bagaimana pentingnya literasi digital untuk menyehatkan komunikasi antar warga di media sosial. "Saat ini, teknologi internet dan media sosial memiliki peran signifikan. Ironisnya, masih banyak hoax dan konten-konten yang negatif. Kita harus bergerak bersama memproduksi konten-konten kreatif dan inspiratif untuk menyegarkan kembali media sosial dan media digital kita," ungkap Wisnu. 

Dalam diskusi ini Wisnu menyampaikan pemerintah sangat serius mendorong transformasi digital. "Presiden Joko Widodo serius dengan transformasi digital, untuk mendorong industri kreatif. Generasi milenial diharapkan melahirkan kreator yang mampu menginspirasi Indonesia dan dunia," jelas Wisnu.

Sementara itu, Hasan Chabibie menawarkan strategi literasi digital dan kampanye kreatif media sosial. "Literasi digital penting agar warga Indonesia, khususnya generasi milenial, generasi mudanya tumbuh dalam suasana media digital yang kondusif, jauh dari kebencian. Saat ini, ketika diskusi-diskusi tentang cerdas bermedia sosial telah massif, bagaimana membuat isu ini menjadi kepentingan bersama? Bagaimana cara sinergi dan bergerak bersama-sama, lintas institusi?" ungkapnya. Hasan mendorong, literasi digital menjadi isu bersama, yang dikawal pemerintah, ormas dan komunitas, untuk membuka ruang kreatifitas dengan teknologi digital.

Komisioner KPI, Ubaidillah Sadewa, berharap liiterasi digital menjadi isu bersama. "Sekarang ini, generasi muda harus didorong untuk kreatif dan produktif di media sosial. Perdebatan dan sengketa di ruang digital, tidak menarik bagi anak muda. Mereka tertantang dengan kreatifitas, dan kompetisi ide yang mendorong eksistensi dan kemandirian finansial," ungkapnya.

Pengurus Rabithah Ma'ahid Islamiyyah (RMI-NU), Hamzah Sahal mengusulkan pentingnya literasi digital masuk ke kurikulum. "Saya kira harus ada adab, etika bermedia sosial. Apakah ini mungkin masuk ke kurikulum pendidikan kita? Sangat mungkin, karena ini strategis," jelas Hamzah, yang juga founder alif.ID. 

Diskusi Literasi Digital ini diakhiri dengan kesepakatan sinergi antarpihak, dari KSP, Pustekkom Kemdikbud, KPI, dan RMI-PBNU untuk bersama melakukan kampanye literasi di ranah digital. Juga, dorongan untuk memasukkan literasi digital dalam kurikulum pendidikan, baik di pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.

Anggota Komisi I DPR RI, Ida Fauziah.

 

Jakarta – Perlu langkah sistematis guna menuntaskan masalah kualitas tayangan di lembaga penyiaran kita. Salah satu langkah itu dengan memberikan literasi bagi masyarakat agar mereka selektif saat memilih tayangan.

Pendapat tersebut disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Ida Fauziah, saat menjadi narasumber di kegiatan eveluasi pemantauan isi siaran KPI Pusat di Kantor KPI Pusat, kawasan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2017).

Politikus dari dari F-PKB ini menceritakan dirinya banyak dititipi aspirasi berupa keluhan dari masyarakat terkait tayangan televisi nasional yang tidak sesuai harapan. Tayangan televisi belum sepenuhnya berisi hal-hal yang positif, mendidik, dan penuh manfaat.

“Ini karena ketidakmampuan televisi kita menyajikan konten-konten yang mendorong perbaikan kualitas masyarakat. Padahal kita ketahui televisi masih menjadi media favorit bagi masyarakat. Jadinya, kita pun tidak bisa menghindar dari dampak negatif siaran tersebut,” kata Ida Fauziah.

Ida mengatakan program acara televisi seperti infotainmen, variety show, dan sinetron, kualitasnya masih di bawah standar. Menurut penelitian, penonton televisi kebanyakan adalah ibu rumah tangga. Hal ini, lanjut Ketua F-PKB, menjadi dilematis karena mestinya peran ibu adalah sebagai guru madrasah anak-anaknya.

Dampak dari siaran harusnya memiliki keselarasan dengan keinginan membangun generasi penerus bangsa. “Karena itu, perlu ada usaha yang sistematis untuk menanggulangi masalah tersebut. Perlu ada pendidikan literasi bagi semua lapisan seperti guru, orangtua, dan masyarakat. Hal ini juga bisa dilakukan dalam setiap program acara,” kata Ida Fauziah.

Dalam kesempatan itu, Ida Fauziah meminta pada analis pemantauan isi siaran KPI Pusat untuk lebih peka ketika melakukan pemantauan. Kepekaan ini akan meminimilisir wilayah-wilayah abu-abu yang membuat kita terusik.

Sementara Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana, mengatakan yang perlu dilakukan stasiun televisi harus sesuai dengan keinginan publik (public interst) bukan individu. “Perlu juga wisdom untuk menentukan tayangan apa yang layak atau tidak layak ditayangkan. Tidak boleh ada keberpihakan dan setiap tayangan harus memiliki nilai atau value,” katanya di tempat yang sama. ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, di acara diskusi usai penandatanganan MoU di Kementerian Kesehatan.

 

Jakarta -- Ada dua hal penting harus dilakukan usai nota kesepahaman (MoU) soal pengawasan iklan dan publikasi bidang kesehatan diteken yakni sosialisasi massif ke lembaga penyiaran dan penguatan koordinasi ke daerah dengan melibatkan KPID dan dinas kesehatan.

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner sekaligus Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat, Hardly Stefano, di sela-sela acara diskusi dan sosialisasi yang berlangsung usai penandatanganan MoU tentang Pengawasan Iklan dan Publikasi bidang Kesehatan di Kantor Kementerian Kesehatan, Selasa (19/12/2017).

Menurut Hardly, sosialisasi MoU ke stakeholder terkait seperti lembaga penyiaran dimaksudkan agar pesan tersebut sampai dan dipahami, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mereka. Lembaga penyiaran harus diajak diskusi terkait isi kesepakatan yang ada dalam MoU. Pasalnya, dalam kaitan regulasi penyiaran, KPI yang bertanggungjawab melakukan pengawasan dan penindakan ke lembaga penyiaran .

“Setiap tindakan yang dilakukan KPI ke lembaga penyiaran harus ada prosesi sebelumnya. Karena itu, kita perlu duduk bersama dengan mereka dan mendiskusikan hal ini,” kata Hardly.

Terkait penindakan terhadap pelanggar, Hardly juga meminta Kementerian Kesehatan melakukan langkah yang sama terhadap produsen. Produsen harus tahu apa yang tidak boleh dan boleh dilakukan. Pesan tersebut harus disampaikan oleh kemenkes.

Hasil kesepakatan di MoU kemudian harus diturunkan  ke daerah melalui payung koordinasi dengan KPID dan dinas kesehatan setempat. Replikasi kerjasama ini justru paling dibutuhkan di daerah karena dinamika persoalannya lebih luas.

“Kita harus mendorong KPID dan dinas kesehatan melakukan langkah yang sama. Terlebih persoalan penyiaran di daerah dan pengawasannya menjadi tanggungjawab KPID. Mereka lebih tahu seluk beluk di wilayah tersebut. Hal ini perlu didiskusikan dengan mereka untuk memastikan pesan ini sesuai dengan kondisi dan kebijakan mereka di daerah,” jelas Hardly.

Komisioner KPID Provinsi Banten, Ade Bujhaerimi, hadir pada saat penandatanganan MoU, mendukung usulan Hardly soal koordinasi MoU sampai ke daerah. Menurut hasil pengawasan KPID Banten, tayangan iklan kesehatan paling banyak ditemukan di media penyiaran lokal. “Paling banyak ditemukan di lembaga penyiaran radio,” katanya.

Sosialisasi MoU ke daerah yang melibatkan KPID dan dinas kesehatan setempat akan memudahkan pola kerjasama di daerah ketika diperlukan tindakan terhadap siaran iklan kesehatan yang dinilai melanggar dan banyak mendapat pengaduan publik. “Selama ini, jika ada pengaduan dari publik belum bisa dilakukan karena harus ada koordinasi dengan dinas kesehatan setempat,” papar Ade.

Sementara itu, dari Kementerian Kesehatan menyatakan siap dan mendukung adanya koordinasi dengan dinas kesehatan dan KPID. “Kita akan gandeng dinas kesehatan untuk berkoordinasi dengan KPID,” kata Oscar Primadi. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.