- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 1108
Sembalun -- Tak dipungkiri, hadirnya media baru (media berbasis internet) ikut menambah daftar masalah media arus lama seperti radio. Bahkan, saat ini banyak radio yang beroperasi seperti pepatah lama “Hidup segan, mati tak mau”. Padahal, eksistensinya sangat dibutuhkan terutama untuk masyarakat di wilayah rawan bencana seperti di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Salah satu radio yang tetap eksis bersiaran di NTB meskipun secara finansial tak menguntungkan yakni Rinjani FM. Radio yang bersiaran di kaki Gunung Rinjani ini, hidup hanya dengan mengandalkan sokongan tunggal dari pemiliknya. Kendati demikian, perannya masih jadi andalan terlebih saat terjadi bencana gempa bumi di wilayah pulau Lombok di 2018 lalu.
“Tepatnya tanggal 30 Juli 2018 sekitar pukul 08.00 pagi. Waktu itu ada gempa pertama dan saya ada di Mataram. Pada saat itu sore hari. Besok paginya, terjadi gempa susulan yang besar dan pusat gempanya ada di Obel-obel. Pada saat kejadian, orang-orang belum tahu kabar yang terjadi. Kebetulan siaran radio kami menjangkau daerah tersebut,” kenang Gaguk Santoso, pemilik Radio Rinjani FM di acara Press Camp KPI Pusat di desa Sembalun Lawang, Lombok Timur, NTB, Minggu (25/2/2024).
Sekitar jam 11 siang, pria yang hampir seluruh hidupnya mengurusi radio ini, mendapatkan informasi dari salah satu penggemar radio Rinjani FM di tempat kejadian. Penggemar tersebut melaporkan situasi dan kondisi yang terjadi di wilayahnya pasca gempa.
“Satu kecamatan hampir rata tanah. Korbannya juga banyak. Belum ada bantuan yang masuk,” ujar Gaguk sembari membenarkan letak kaca matanya yang miring lantas meneruskan cerita.
Setelah mendapatkan kabar itu, Dia dan tim segera berkemas seadanya lalu berangkat menuju ke desa Obel-obel. “Saya hanya membawa uang tak lebih 2 juta, beberapa kardus mie instan, dan dua tenda,” katanya.
Sesampainya di lokasi, betapa terkejutnya Gaguk melihat kondisi saat itu. Hampir sebagian besar rumah hancur. Banyak korban meninggal bergelimpangan begitu saja. Korban luka dan patah tulang juga belum ditangani.
“Dua tenda yang saya bawa jadi rebutan. Mereka juga belum makan karena memang tidak ada makanan karena rumah mereka hancur. Bahkan, saya harus membantu seorang ibu yang baru melahirkan yang bayinya masih merah. Kami masukan ke tenda. Baru setelah magrib tim koramil masuk ke lokasi bencana. Malam itu, gelap sekali,” tutur Gaguk.
Pengalaman yang diceritakan Gaguk menguatkan jika siaran radio masih efektif dalam memitigasi kebencanaan. Terlebih dengan modelnya siaran yang bisa interaktif. Jadi informasi maupun berita tentang bencana atau apapun dapat disampaikan secara langsung oleh pendengarnya.
Sayangnya, posisi sentral radio di tengah kebencanaan tidak setangguh kondisinya. Saat ini, banyak radio mengalami kesulitan untuk bertahan hidup dan bahkan gulung tikar.
“Kondisi kami para pelaku usaha radio sangat memprihatinkan. Sudah setengah mati. Jadi, mohon dari KPI atau pemerintah, sekiranya kita dapat diperhatikan. Kami bisa hidup karena ditopang usaha lain. Tapi yang lain faktanya begitu itu. Kalau kita tidak ada kan lucu juga,” keluh Gaguk Santoso.
Digitalisasi radio
Cerita mengenai sepak terjang radio dan bencana juga dituturkan Anggota KPI Pusat, Muhammad Hasrul Hasan. Pada saat kejadian gempa di kota Palu, Sulawesi Tengah, beberapa tahun lalu, radio Nebula FM menjadi satu-satunya radio yang masih bersiaran di wilayah tersebut. Siarannya menjadi referensi utama informasi mengenai situasi dan keadaan terkini dari tempat bencana.
“Kami memantau siaran radio tersebut disaat jalur komunikasi belum stabil pasca terjadinya gempa. Jadi semua informasi mengenai situasi dan kondisi terkini Palu kami dapatkan dari siaran radio Nebula. Siaran dari radio ini sangat berharga di tengah sulitnya mencari informasi mengenai situasi kota Palu setelah gempa tersebut,” kata Hasrul dalam press camp tersebut.
Terkait hal ini, Hasrul mengatakan bahwa fungsi media penyiaran terkait mitigasi bencana begitu krusial. Bahkan, posisinya diperkuat dalam Peraturan Menteri (Permen) dengan pengaktifan sistem EWS (early warning sistem).
Dalam UU (Undang-undang) Cipta Kerja, migrasi atas siaran nasional (ASO: analog switch off) tidak hanya soal perpindahan teknologinya, tetapi juga penambahan perangkat pengingat kebencanaan. “Sistem EWS ini dapat memperingatkan soal kebakaran hutan, tsunami, gempa dan bencana lainnya. Jadi yang kirim informasi bencana ke MUX ini adalah lembaga berkompeten yakni BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Nanti disebarkan ke TV dan radio. KPI sudah kerjasama dengan Kominfo serta Lembaga Penyiaran dan kita sudah uji coba. Pertama di kota Palu dan yang terakhir di Banda Aceh,” jelas Hasrul.
Kendati demikian, lanjut Hasrul, masyarakat harus mengetahui cara mengaktifkan teknologi EWS ini yakni dengan memasukkan kode pos tempat tinggal di TV digital maupun STB (set top box). Pasalnya, informasi mengenai bencana akan disampaikan kepada masyarakat yang terdampak sesuai kode pos tersebut.
“Jadi informasi bencana ini tidak disiarkan ke seluruh indonesia. Kemudian, ada tipe warnanya dan ketika TV kita sudah berwarna merah, kanal sudah tidak bisa dipindah-pindah. Artinya, masyarakat diminta untuk segera menyelematkan diri ke tempat yang aman. Ini penting disampaikan ke masyarakat,” tutur Koordinator bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran (PKSP) KPI Pusat.
Menyangkut digitalisasi siaran radio, Hasrul mengungkapkan, hal ini sudah ditampung dalam draft RUU Penyiaran. Rencananya, batas akhir perpindahan sistem siaran digital radio pada 2028. Namun begitu, dia berharap fitur peringatan ini dapat segera diterapkan. “Semoga kita bisa mensimulasikannya sesegera mungkin,” pintanya. ***/Foto: Agung R