Jakarta – Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, fenomena media baru membutuhkan regulasi atau aturan yang komprehensif. Ruang tanpa batas di media ini menjadi salah satu celah kebebasan yang tak terukur. Dengan adanya regulasi terkait perkembangan media baru diharapkan dapat memastikan keamanan dan asas penggunaan media yang lebih sehat serta seimbang.

“Kepastian hukum dari fenomena media baru ini sifatnya sudah mendesak. Kebebasan yang terjadi di ruang digital harus mendapatkan payung hukum yang jelas,” tutur Yuliandre Darwis saat menjadi pemateri dalam diskusi berbasis digital yang diselenggarakan Pranata Humas DPR RI dengan tema “Perkembangan Dunia Broadcast di Indonesia” di Jakarta, Jumat (25/9/2020).

Pada hakikatnya, KPI adalah bagian dari masyarakat yang menginginkan adanya sisi edukatif dari wajah penyiaran bangsa. Dalam hal ini, Yuliandre yang juga Dewan Pakar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat menilai Undang - Undang Penyiaran yang dibentuk pada 2002 pada saat teknologi komunikasi belum semasif sekarang dan belum menangkap dinamika perkembangan internet khususnya terkait media sosial. 

“Hingga saat ini memang belum ada aturan komprehensif tentang penyelenggaraan penyiaran over  the top (OTT) yang menggunakan internet,” kata pria yang akrab disapa Andre ini.

Dalam kesemparan itu, Andre mendorong produksi konten yang layak, sehat dan berkualitas di kalangan anak muda. Menurutnya, membuat konten tidak hanya sekedar ala kadar tapi juga harus melihat implikasi dari dampak yang diakibatkan oleh konten tersebut. 

“Yang harus dipahami ketika membuat konten adalah kita harus membayangkan konten itu layak atau tidak untuk saudara, anak kita, keluarga dan orang lain. Jika tidak layak tidak usah dibuat. Sederhana saja. Ada norma dan adab yang ada di Indonesia. Ini hal hal yang perlu diperhatikan,” tegas Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini. 

Mengukur tayangan  yang sehat dan baik itu tidak mudah karena setiap orang punya penilaian berbeda. Tapi, kata Andre, kita tahu mana konten yang bagus dan sehat, mana yang ada edukasi dan berpengetahuan yang mengubah tontonan itu jadi value dan karakter positif. “Setiap orang pasti tahu tentang ini karena kita punya background tentang ini. kita harus berpikir positif untuk membuat hal yang baik. Jangan berpikir negatif. Jauhkan dari hal itu,” tandasnya. **

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) memastikan dalam waktu dekat  akan menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembaruan terkait kerjasama pengawasan isi siaran di televisi. Kepastian ini disampaikan pada saat rapat lanjutan pembahasan perpanjangan kerjasama dan pembaruan MoU yang dilakukan secara daring pada Kamis (24/9/2020).

Di awal rapat, Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, mengatakan kedua lembaga akan melakukan percepatan pembahasan isi kerjasama agar dalam waktu cepat dapat ditandatangani. “Diskusi ini lanjutan untuk memperbarui MoU antara KPI dan LSF. Targetnya akan dalam waktu cepat ditandatangani,” katanya.

Secara umum, lanjut Irsal, rapat persiapan ini akan membahas beberapa hal terkait inti kerjasama dan sinkronisasi tugas masing-masing lembaga. Dalam MoU juga dibahas klausul tentang literasi media dan isu media baru. 

“Rapat ini untuk membuat persamaan pandangan terkait beberapa hal yang berbeda di dua lembaga untuk diatur secara bersama. Penyamaan pandangan itu misalnya terkait pada isu kategori usia, sulih suara dan beberapa hal lain. Jadi, alangkah baiknya MoU ini dapat disegerakan untuk mengatur hal utam itu,” jelas Irsal. 

Keinginan agar kerjasama antara KPI dan LSF segera dilanjutkan dengan perbaruan turut disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo. “Mudah-mudah tahun ini sudah bisa dituntaskan dan segera ditandatangani,” tambahnya. 

Sementara itu, Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail, berharap rapat kelanjutan ini dapat menuntaskan substansi dari kerjasama yakni terkait beda sudut pandang antara kedua lembaga. “Saya berharap rapat lanjutan ini dapat mengkoreksi dan dapat menyambungkan pemahamannya,” tandasnya. ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan metode kampanye di ruang penyiaran dan on line (internet) guna meminimalisir pertemuan tatap muka yang berpotensi menjadi klaster penyebaran Covid-19. Permintaan ini memperhatian asumsi opini yang tengah berkembang terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang rencananya tetap berlangsung pada 9 Desember 2020 mendatang.

“Pemanfaatan lembaga penyiaran dan jaringan internet untuk berkampanye di masa pandemi sekarang menjadi salah satu opsi paling aman ketimbang harus mengizinkan kampanye secara tatap muka atau bertemu. Kita harus mengutamakan keselamatan dan kesehatan masyarakat di atas segala-galanya apabila Pilkada harus tetap dilaksanakan akhir tahun nanti,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, di Kantor KPI Pusat, Selasa (22/9/2020).

Selain aman, lanjut Reza, kampanye melalui dua jaringan media ini dinilai efektif, efisien serta menghindari kerumunan masal. Namun begitu, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan KPU jika kampanye Pilkada sepenuhnya melalui lembaga penyiaran dan internet. 

Menurut Reza, KPU harus memperhatikan keterjangkauan wilayah layanan siaran Free To Air (FTA), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Publik/Lokal (LPPL) di daerah atau saluran siaran  di Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), di daerah yang melaksanakan Pilkada. Selain itu, KPU mesti melihat peta jangkauan atau ketersediaan jaringan internet di daerah tersebut.

“Untuk Informasi tentang data ini, KPU bisa melakukan koordinasi dengan KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika,” ungkap Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPI Pusat ini.

Dalam kesempatan itu, Reza mengungkapkan fakta di beberapa daerah yang ada Lembaga Penyiaran masih terdapat daerah blankspot yang tidak terjangkau oleh siaran dan internet. Kondisi ini, kata dia, membutuhkan strategi lebih lanjut agar informasi pemilihan kepala daerah tersebut dapat sampai ke masyarakat. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai porsi untuk masyarakat di wilayah 3 T (tertinggal, terdepan dan terpencil) mendapatkan informasi harus sama besarnya dengan yang diperoleh masyarakat di luar daerah tersebut. Hal ini salah bentuk keadilan bagi setiap warga negara untuk memperoleh informasi. 

Pendapat tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, ketika menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Publik dan Webinar yang diselenggarakan Radio Republik Indonesia (RRI) dalam rangka memperingati 75 Tahun RRI. Webinar ini membawa tema “Mampukah RRI Menjadi Media Publik Bagi Masyarakat Indonesia”?

Menurut Agung, lembaga penyiaran berperan memberikan kebutuhan informasi bagi masyarakat termasuk di wilayah 3T. Sayangnya, tidak banyak lembaga penyiaran yang beroperasi di daerah itu. Keterbatasan infrastruktur hingga daerah yang sulit terjangkau (persoalan geografi) menjadi kendala yang dihadapi banyak lembaga penyiaran swasta. 

Terkait masalah ini, Agung menilai RRI memiliki kemampuan untuk masuk ke wilayah 3 T. Peran RRI bahkan sangat signifikan khususnya siaran bagi masyarakat di daerah perbatasan. “Jika secara geografi, lembaga penyiaran swasta jarang mau menyiatkan program siaran di daerah 3 T. Padahal masyarakat di wilayah tersebut juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh informasi. Walau ini jadi tantangan, saya rasa peran RRI sangat dibutuhkan di daerah 3 T ini,” ujarnya.

Tantangan lain yang lebih besar dan akan mungkin sudah dihadapi RRI yakni kompetisi dengan media baru. Agung menyampaikan, piramida penduduk Indonesia menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun lagi, populasi usia millennial akan mencapai 60%. Para millennial ini cenderung menonton media baru. “Oleh karena itu RRI ditantang untuk tetap bisa bersaing dengan kemunculan media baru,” katanya.

Menyangkut media baru, Agung menyinggung pentingnya persamaan atau perlakuan yang adil bagi semua media termasuk media baru. Pasalnya, media penyiaran memiliki aturan yang tegas dan jelas untuk dapat bersiaran di wilayah Indonesia. Adapun media baru, belum ada yang memayungi sehingga dibiarkan tanpa pengawasan.

“Jika isi siaran dari lembaga penyiaran diatur secara ketat melalui P3SPS, maka media baru juga harus demikian. Dalam pengaturan iklan misalnya, lembaga tidak boleh menampilkan iklan rokok. Sedangkan di media baru, iklan rokok masih bisa tayang. Oleh karena itu, kita ingin perlakuan dan pengawasan yang fair antara lembaga penyiaran dan media baru,” tegasnya. 

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Junico BP Siahaan, biasa disapa Nico Siahaan, menyampaikan pentingnya mensiarankan program acara yang berkualitas dan baik. Pasalnya, masih banyak tayangan yang tidak berkualitas ditonton masyarakat. “Jangan hanya berorientasi pada viewer tapi juga kualitasnya,” katanya di ruang diskusi tersebut.

Selain Ketua KPI Pusat dan Junico BP Siahaan, turut hadir narasumber lain yakni Dr. Eni Maryani, M.Si (Akademisi UNPAD), dan Tantri Relatami, (Dewan Pengawas RRI). ***

 

 

Jakarta -- Sebagai satu-satunya televisi khusus anak di Indonesia. RTV telah banyak meraup penghargaan dan apresiasi dari KPI atas sajian program acara anaknya yang baik, edukatif juga berkualitas. Namun begitu, ada sejumlah catatan KPI untuk RTV pada saat proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) perpanjangan izin penyelenggaran penyiaran (IPP) yang berlangsung Sabtu (19/9/2020) lalu, yakni soal tingginya ketergantungan pada konten atau program animasi asing dalam siaran. 

Harapan agar RTV bisa menekan ketergantungan tersebut dengan meningkatkan produksi konten lokal atau dalam negeri mengemuka dalam EDP tersebut. Pasalnya, jika merujuk aturan penyiaran (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI tahun 2012, porsi program asing dibatasi 30% dan relay siaran asing 10 %, artinya jika digabung tidak boleh lebih 40% dari total waktu bersiaran sehari. 

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, mengingatkan proporsi tayangan asing harus diperhatikan karena ini berkaitan dengan aturan penyiaran. Menurutnya, memang tidak mudah membangun konten anak yang diproduksi dalam negeri, tapi konsekuensi ini harus dijalankan.

“Ini jadi catatan dalam proses perpanjangan izin penyiaran ini. Ke depan porsi animasi anak dalam negeri kami harap bisa meningkat. Saya juga banyak dapat catatan soal konten lokal RTV yang belum berjalan dengan baik. Ini jadi poin dan ini jadi catatan evaluasi tahunan yang belum ada peningkatan yang signifikan. Harusnya dari catatan ini, di tahun berikutnya, masalah ini sudah berkurang. Khususnya dalam sektor koten lokal,” kata Irsal.

Persoalan konten asing di RTV juga disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dalam EDP tersebut. Menurutnya, porsi konten asing tidak boleh lebih banyak dari konten dalam negeri. Hal ini terjadi karena biaya membuat konten atau animasi anak lokal sangat mahal. 

“Saya mendengar bahwa untuk produksi tayangan animasi lokal membutuhkan biaya yang cukup mahal karenanya mengapa kita lebih memilih untuk membeli tayangan asing karena harganya lebih murah. Tayangan asing lebih murah karena mereka memproduksi untuk juga dijual ke negara lain dan memang laku, selain karena kualitasnya juga bagus,” ujar Agung.

Agung mengusulkan dibuat format kerjasama dengan pemerintah untuk produksi konten dalam negeri. Seperti yang dilakukan Malayasia dan Korea Selatan. “Pemerintah Malaysia sangat mensupport Upin Ipin. Begitu halnya dengan KPOP. Pemerintah Korea Selatan ikut mendukung perkembangan musiknya agar lebih dikenal dunia internasional, selain juga hal ini bagian dari promosi wisata dan strategi ekonomi mereka. Dan ini yang tidak dilakukan di Indonesia,” katanya. 

Ketua KPID Provinsi DKI Jakarta, Kawiyan, mengakui mengelola stasiun televisi dengan segmentasi anak seperti RTV tidaklah mudah. Banyak hal-hal dan ketentuan yang harus diikuti RTV salah satunya pada pedoman P3SPS. Ini supaya RTV tetap menjadi televisi yang ramah anak.

“Sebenarnya lembaga penyiaran harus mampu menggeser tayangan anak produk asing lebih kepada tayangan anak Indoensia. Memang membutuhkan waktu dan proses yang panjang, namun ke depan lembaga penyiaran harus mampu mewujudkannya,” kata Kawiyan.

Pujian untuk RTV atas konsistensi menjadi TV anak dan baik disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo. Berdasarkan catatan KPI Pusat, temuan pelanggaran siaran di RTV sangat rencah. Menurut Mulyo, catatan baik ini harus dapat dipertahankan sekaligus konsisten menjadi televisi untuk anak Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Mulyo mengusulkan tayangan anak tidak semata soal bagaimana isi dan kemasannya saja, tetapi harus mempunyai dan memberikan nilai empowering (pemberdayaan) terhadap munculnya potensi dan bakat anak-anak. “Saya juga minta agar berhati-hati dengan pengemasan program lain agar jangan sampai ada adegan kekerasan,” pintanya.

Sementara itu, perwakilan RTV berupaya akan meningkatkan produksi konten  anak lokalnya. RTV menargetkan dalam waktu dekat komposisi konten lokalnya dapat mencapai angka 50% dari angka maksimal yang ditetapkan dalam aturan. 

“Harus kami akui untuk produksi konten animasi lokal sangat mahal, maka sementara yang kami lakukan adalah membeli tayangan animasi luar karena biayanya murah. Tapi akan kami usahakan ke depannya,” kata RTV. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.