Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Riau bersama Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepri menyambangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat (27/7/2018).  Kunjungan ini diterima Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat, Ubaidillah, bersama Kabag Perencanaan, Hukum dan Humas Sekretariat KPI Pusat, Umri. Kunjungan ini membahas penguatan kelembagaan KPID Kepri.

Di awal pertemuan, Wakil Ketua Komisi 3 DPRD Kepri, Surya Makmur menyatakan, peran KPID sangat penting bagi daerah maupun negara. Menurutnya, KPID merupakan salah satu instrument penting dalam membangun demokrasi di Indonesia. 

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat Ubaidillah. Menurutnya, penguatan KPID merupakan suatu keniscayaan dan KPI telah mengeluarkan kebijakan terkait itu yakni dengan dibuatnya surat edaran tentang pembiayaan operasional KPID disetiap daerah disesuaikan dengan anggaran yang dimiliki.

Dalam pertemuan ini, dibahas beberapa masalah yang tengah dihadapi KPID Kepri salah satunya mengenai kurangnya fasilitas pemantauan serta lokasi kantor KPID saat ini dinilai kurang startegis. 

“Saat ini, fasiltas pemantauan KPID Kepri sangat kurang dalam mengawasi konten siaran. Selain itu, mengingat demografi Kepri yang terdiri dari 96% laut serta 4% daratan menyebabkan beberapa kendala tersendiri seperti kurangnya sinyal maupun transportasi,” ujar Sahmadin selaku Anggota DPRD Kepri. 

Menurut Sahmadin, Pulau Batam merupakan lokasi yang cocok hal tersebut disebabkan 60% penduduk Kepri berada di daerah tersebut. Hal ini akan mempermudah akses transportasinya.

Menanggapai hal itu, Umri menyampaikan, aturan mengenai lokasi KPID telah diatur secara jelas dalam UU penyiaran yang mengatakan lokasi KPID berada di Ibukota Provinsi. 

Sedangkan permasalahan fasilitas pengawasan konten siaran, Ubaidillah mengatakan akan menyampaikan hal ini dalam rapat pleno yang akan datang. 

Sebagai penutup, Ubaidillah menyampaikan, KPID Kepri memiliki peran penting dalam menjaga penggunaan frekuensi siaran karena berada di daerah perbatasan. Oleh karena itu, diperlukan adanya penguatan KPID. “Guna mewujudkan hal tersebut diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak,” pungkas Ubaidilah. Vel

 

 

 

KH. Dr. Anwar Abbas, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, di acara Ekspose Survei Indeks Kualitas Program TV di Hotel Arya Duta, Rabu (25/7/2018). 

 

Jakarta - Diantara sebab-sebab diturunkannya syariat, maqoshid syariah, menurut Imam Al Ghazali adalah untuk menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta. Dengan demikian, mafhum mukhalafah dari hal tersebut yang menyangkut pada dunia penyiaran adalah konten siaran tidak boleh merusak jiwa, merusak akal, merusak keturunan, merusak harta dan juga merusak agama. Hal tersebut disampaikan KH. Dr. Anwar Abbas, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat menyampaikan pidato kunci dalam Ekspose Hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), 25/7.

Menurut Anwar, saat ini peranan televisi di tengah kehidupan masyarakat masih sangatlah besar. Hasil penelitian menunjukkan konsumsi televisi pada anak-anak di Indonesia yang berusia 6-12 tahun mencapai 3-4 jam per hari. Hal ini menunjukkan tingginya konsumsi tersebut. Bahkan dalam peribahasa Belanda, televisi disebut sebagai “istri kedua” ujarnya.

Untuk itulah Anwar mengingatkan tentang amanah kepemimpinan yang disebutkan oleh Rasulullah, Muhammad SAW. “Setiap kalian adalah pemimpinan dan kalian akan dimintai pertannggungjawaban atas kepemimpinan kalian”, kutip Anwar atas hadits Rasulullah tersebut.

Beranjak dari pesan agama tersebut, Anwar mengingatkan pada seluruh pemangku kepentingan penyiaran untuk menjadikan hasil dari survey yang dilakukan oleh KPI ini sebagai acuan. “Pertimbangkanlah idealisme dan etika dalam penempatan iklan, bukan sekedar pragmatism dan keuntungan materi semata”, pesannya. Dengan begitu pemasang iklan hanya akan menempatkan produknya di program-program siaran yang baik dan memberikan pencerahan bagi masyarakat. “Itu menjadi sebuah kontribusi dari dunia usaha dalam mendukung konten siaran televisi yang lebih beradab”, tambahnya.

Secara khusus Anwar menyampaikan pula catatan tentang program siaran mistik yang saat ini marak di televisi. Menurutnya, program siaran mistis berpotensi menggiring masyarakat pada kemusyrikan. “Sedangkan semua ulama sepakat bahwa musyrik adalah dosa besar di mata Allah,” tegas Anwar.  DIrinya meminta pengelola program mengikutsertakan tokoh-tokoh agama untuk mengarahkan acara ini menjadi lebih baik.

Anwar juga mengingatkan agar lembaga penyiaran memahami betul dampak buruk yang ditimbulkan di tengah masyarakat akan tayangan tersebut. Hal serupa juga pada acara-acara yang mengandung unsur kekerasan di televisi serta diumbarnya masalah-masalah privat di ruang publik.

Dirinya dapat memahami adanya tuntutan rating yang membuat lembaga penyiaran abai terhadap tanggungjawabnya memberikan pendidikan dan teladan yang baik ke tengah masyarakat. Untuk itu, diriny berharap dalam regulasi penyiaran yang baru, KPI diberikan mandat untuk mengaudit lembaga-lembaga rating atau pemeringkatan, sehingga ke depan dapat berkontribusi dalam menghadirkan konten siaran yang sehat.

Akademisi sekaligus pemerhati program infotainmen, Mulharnetti Syas.

 

Jakarta – Indeks kualitas Program Siaran Infotainmen selama 3 (tiga) periode Survei Indeks Kualitas Program Televisi yang dilakukan KPI nilainya masih terpuruk di bawah standar kualitas yang ditetapkan yaitu di bawah skor 3.00. Bahkan pada survei indeks periode pertama 2018 ini nilainya hanya 2.35, terendah diantara periode survei sebelumnya.

Akademisi sekaligus pemerhati program infotainmen, Mulharnetti Syas, menyatakan sangat kecewa dan marah dengan perolehan skor rendah tersebut. Menurutnya, program ini tidak perlu dimasukan lagi sebagai salah satu kategori yang diperlombakan dalam Anugerah KPI.

“Saya miris dan sangat sedih karena infotainmen selalu yang terbawah. Ini ada apa. Pada penelitian saya  di 2010, saya sudah menyarankan televisi untuk memperhatikan beberapa poin yang terkait dengan konten dan isi dari etika jurnalistik dan P3SPS,” kata Dosen ilmu Komunikasi IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Jakarta saat memberi pemaparan dalam Ekspose Hasil Survei Indeks KPI di Hotel Arya Duta, Rabu (25/7/2018).

Netti memberi catatan, pelanggaran yang sering dilakukan infotainmen adalah privasi, hak pribadi dari narasumber. Perselingkuhan, perceraian dan konflik dalam keluarga masih menghiasi konten program infotainmen sampai sekarang.

“Saya menyarankan agar KPI sering mengundang televisi yang mempunyai program infotaimen. Maaf Jangan diundang pemrednya. Tapi undang produser dan eksekutif produser ke bawah, yang terlibat langsung mulai dari liputan, mengedit hingga tayang. Mereka yang tahu di lapangan ajak bicara dari hati ke hati. Jika tidak mampu menaikan indeks, KPI bisa memberi sanksi dan itu kewenangan KPI,” kata Netti .

Selain itu, KPI perlu juga mangajak bicara inhouse produksi serta rumah produksi agar tahu apa maunya. Kalau memang karena itu menyebabkan rating tinggi dan share juga tinggi  apalagi yang membuat supaya dapat ditonton tetapi berkualitas. 

“KPI juga punya sekolah P3SPS dan sejauhmana ini apakah diikuti pekerja infotaimen. Hal ini perlu supaya mereka tunduk dan patuh dengan P3 dan SPS KPI,” kata Netti.

Netti menegaskan, jika industri televisi tidak ada niat untuk meningkat indeks kualitas program ini, KPI harus melakukan evaluasi izin bagi lembaga penyiaran televisi pada saat perpanjangan izin. 

Menurut catatan dari Hasil Survei Indeks Kualitas KPI 2018 tahap pertama, berdasarkan indikator kualitas program acara infotainmen, mulai dari Januari hingga Maret 2018, indikator “menghormati kehidupan pribadi” dinilai sangat tidak berkualitas dengan indeks hanya 2.01. ***    

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.