Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono dan Hardly Stefano, serta Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Setyo Wasisto, saat acara diskusi tentang siaran langsung persidangan kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).

 

Jakarta -- Siaran langsung (live) persidangan kasus terorisme dengan terdakwa Aman Abdurahhman di Pengadilan dengan durasi panjang harus disikapi hati-hati oleh lembaga penyiaran. Niat baik untuk mengabarkan setiap informasi persidangan secara detail ke publik melalui siaran tanpa proses edit itu dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif lain. 

Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Irjen Pol. Setyo Wasisto, mengatakan waktu publikasi yang lama terhadap tersangka kasus terorisme dikhawatirkan dapat memunculkan rasa simpati dari sebagian orang bahkan menjadikannya panutan. “Ini bisa saja akan menimbulkan inspirasi bagi orang yang justru awalnya tidak yakin dan tidak kepingin, jadi kepingin,” katanya di sela-sela diskusi terkait tayangan langsung sidang kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).

Hal lain yang dikhawatirkan Setyo dari siaran langsung yang berkepanjangan adalah ancaman terhadap keamanan perangkat pengadilan. Wajah dari hakim yang menangani kasus tersebut dapat dikenal meskipun identitasnya tidak sebutkan. “Hakim ini dapat menjadi target,” jelasnya.

Menurut Setyo, para tersangka atau pelaku kasus terorisme sebaiknya jangan diberikan panggung apalagi saat menjalani persidangan. Terkait penangganan kasus terorisme, Inggris dan Thailand menerapkan kebijakan ketat untuk tidak memberikan ruang publik bagi teroris di media.   

Polri pernah mendapatkan protes keras dari seluruh dunia hanya karena gambar maupun tayangan pelaku bom Bali melambaikan tangan dan tersenyum. “Kok bisa mereka mendapatkan panggung seperti itu kata mereka dan Australia yang paling keras mengkritisi hal ini. Saya harapkan peliputan sidang ke depan melihat beberapa filter,” kata Jenderal bintang dua tersebut. 

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono. Menurutnya, liputan sidang berjam-jam setelah aksi teror di berbagai daerah, seperti penjajahan terhadap televisi. Padahal, ada dampak yang mengintai dari massifnya siaran yang dilakukan jika tanpa pertimbangan. “Harus ada batasan yang pas untuk melakukan peliputan seperti ini. Harus ada kesepakatan untuk tidak meliput hal ini secara keseluruhan,” kata Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat ini.

Komisioner KPI Pusat, Obsatar Sinaga mengatakan, siaran langsung berjam-jam persidangan dapat menimbulkan opini di masyarakat dan ini dikhawatirkan mempengaruhi keputusan hakim. “Vonis yang dijatuhkan publik itu lebih mengerikan ketimbang yang dijatuhkan majelis hakim. Kita minta masukan apakah ini dibuka atau tidak. Ini demi kepentingan bangsa,” katanya.

Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi mengatakan, peliputan siaran langsung persidangan harus melihat substansinya. Produk jurnalistik menerapkan beberapa proses seperti adanya verifikasi, uji informasi dan pemilihan informasi mana yang boleh disiarkan atau tidak. Menurutnya, produk jurnalistik yang terverifikasi akan terlihat perbedaannya.

“Jika ada cara yang melewatkan verifikasi, hal itu merupakan pikiran yang sesat dan itu menghilangkan jati dirinya sebagai pers,” kata Dia di tempat yang sama.    

Menurut Imam, produk jurnalistik harus memperhatikan dampak dan kepentingannya terhadap publik. “Masyarakat tidak hanya cukup tahu soal informasi itu tapi juga soal kepetingan hidup aman untuk mereka. Tugas pers menjamin masyarakat untuk hidup baik, aman dan damai,” jelasnya.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana, setuju jika kepentingan publik dinomorsatukan dalam kaitan dampak yang akan timbul dari siaran pemberitaan seperti peliputan sidang kasus terorisme. Menurut Yadi, perangkat pengadilan sebaiknya menerapkan kebijakan ruang sidang dibuka dan terbuka tapi tidak untuk disiarkan secara langsung oleh lembaga penyiaran.

Perwakilan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI), Asep Mulyana menjelaskan, ketika hakim mengatakan boleh dibuka dan terbuka untuk umum, ini harus dicermati apakah boleh disiarkan live dan detail. Menurutnya, siaran secara live menimbulkan rasa tak nyaman khususnya untuk perangkat pengadilan karena indentitasnya terbuka. 

“Saya pikir dan sadar ini bagian dari kepentingan pers. Tapi harus kita sadari juga kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih utama,” katanya. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengusulkan, perlu ada kosensus antar stakeholder terkait kasus seperti ini. Hal ini penting agar satu sama lain saling memahami, bertindak selaras dan penuh pertimbangan ketika terjadi kasus yang sama. 

Dalam diskusi ini turut hadir, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Wakil Ketua KPI Pusat, S. Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, Agung Suprio, Ubaidillah dan Nuning Rodiyah. Selain itu, hadir perwakilan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Majelis Ulama Indonesia (MUI), ATVNI, dan ATVSI. ***

 

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berfoto bersana dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah  (DPD)  Republik Indonesia asal Bali, Dr Shri I Gusti Ngurah  Arya Wedhakarna Suyasa III dengan pihak SCTV usai media di Kantor KPI Pusat.

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan mediasi  antara anggota Dewan Perwakilan Daerah  (DPD)  Republik Indonesia asal Bali, Dr Shri I Gusti Ngurah  Arya Wedhakarna Suyasa III dengan pihak SCTV. Dalam mediasi yang dipimpin oleh Koordinator bidang pengawasan isi siaran KPI Pusat, Hardly Stefano ini, Arya menyampaikan adanya protes dan keberatan dari masyarakat Hindu Bali atas munculnya simbol-simbol agama Hindu yang tidak sesuai ketentuan, pada  program siaran Grand Master Asia di SCTV.

Arya menjelaskan bahwasanya tari kecak masuk dalam kategori tarian sakral, mengingat filosofi tarian tersebut diambil dari kitab suci Ramayana. Konsekuensi dari hal tersebut, maka untuk menampilkan tari kecak, ada pakem-pakem yang harus ditaati, termasuk dilakukannya ritual-ritual tertentu sesuai dengan ajaran agama Hindu. Visualisasi tari kecak pada program Grand Master Asia yang tayang pada 22 April 2018 ini, menurut Arya, menyalahi ketentuan tersebut.  Pelanggaran ini, menurutnya, mengundang protes tidak saja dari masyarakat Hindu di Bali, namun juga oleh organisasi agama Hindu dunia. “Kami melihat adanya lack of knowledge dalam pemilihan tema tarian ini”, ujar Arya. 

Hal lain yang juga menjadi catatan pada program tersebut adalah penggunaan Topeng Rangda yang juga dianggap tidak sesuai ketentuan. Menurutnya, dengan adanya kasus seperti ini, pihaknya akan menerbitkan pedoman penggunaan simbol-simbol budaya Bali dan agama Hindu.

Menanggapi keberatan dari Arya yang merupakan anggota Komite III DPD RI ini, pihak SCTV menyampaikan permohonan maaf atas tayangan yang dianggap melanggar keyakinan masyarakat Hindu di Bali. David Suharto, Deputi Direktur Program SCTV menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak ada unsur kesengajaan untuk melecehkan simbol agama dan budaya Hindu. David menyampaikan bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya program Grand Master Asia ini adalah untuk mengangkat kultur lokal. Namun demikian, David menyambut baik hadirnya pedoman penggunaan symbol budaya dan agama seperti yang disampaikan Arya Wedhakarna tersebut. “Tentunya hal ini akan lebih memudahkan pihak kami, dalam menjaga tayangan-tayangan yang terkait budaya Bali, tetap sesuai dengan ketentuan”, ujarnya. 

Arya sendiri mengapresiasi penayangan konten lokal berupa Puja Trisandhya yang hadir di televisi berjaringan di Bali. Selain itu, Arya juga menghargai kepatuhan lembaga penyiaran dalam menghentikan siarannya selama pelaksanaan Nyepi di Bali. “Semoga ke depan, pihak SCTV tetap bersedia memproduksi tayangan-tayangan yang mempromosikan budaya Bali”, pungkas Arya.

Tarakan - Koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran (PS2P) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Agung Suprio menyampaikan kepada pemohon izin penyelenggaraan penyiaran bahwa Rekomendasi Kelayakan (RK) adalah amanah. Hal ini disampaikan Agung saat memimpin kegiatan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) bagi dua lembaga penyiaran radio dan satu lembaga penyiaran berlangganan di Tarakan, Kalimantan Utara (24/5).

"Kami berharap, jika para pemohon mendapatkan RK, dapat memenuhi hak masyarakat dalam mendapatkan informasi", tuturnya dihadapan para pemohon izin penyelenggaraan penyiaran tersebut.Pemenuhan hak informasi tersebut menjadi sangat penting, mengingat Kalimantan Utara adalah salah satu provinsi perbatasan antar negara yang menjadi serambi dari negeri ini.

Pemerintah sendiri memiliki kebijakan khusus dalam pemberian izin penyelenggaraan penyiaran untuk wilayah perbatasan. Kebijakan ini diberikan agar jangan sampai masyarakat di perbatasan, khususnya di Kaltara, lebih mudah mendapatkan siaran dari radio atau televisi negeri tetangga dibandingkan siaran dari dalam negeri.

Adapun pemohon izin penyelenggaraan penyiaran itu adalah PT. Media Radio Kaltara, PT. Radio Suara Nada Tanjung Kaltara, dan PT Malinau Multimedia Utama.

Turut hadir narasumber dalam EDP,  Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah dan Dewi Setyarini, Sekretaris KPI Pusat, Maruli Matondang, serta narasumber lain seperti Ketua MUI Kalimantan Utara, KH. Zainuddin Dalila,  Akademisi Universitas Borneo, Aryono Putra dan Loka Monitor Frekuensi Radio Tanjung Selor, Idris Batubara.

Kegiatan EDP ini merupakan proses perizinan awal bagi setiap pemohon IPP. Pasal 33 (4a) Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa izin dan perpanjangan IPP diberikan oleh Negara setelah memperoleh masukan dari hasil EDP antara pemohon dengan KPI. Untuk provinsi yang sudah terbentuk KPI Daerah, maka penyelenggaraan EDP dilakukan oleh KPI Daerah setempat. Namun karena Kaltara adalah Provinsi baru, maka EDP masih diselenggarakan oleh KPI Pusat.

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) usai pertemuan dengan KPI Pusat di Kantor KPI Pusat, Jumat (25/5/2018).

 

Jakarta -- Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mengeluhkan waktu tayangan konten lokal di televisi swasta siaran berjaringan yang dinilai tidak pas. Waktu penayangan konten lokal kebanyakan ditaruh pada waktu dini hari, saat jam-jam tidur. Hal itu disampaikan salah satu Anggota Komisi I DPRD Sumsel, Budiarto, pada saat kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Jakarta Pusat, Senin (24/5/2018).

“Seharusnya tayangan konten lokal disiarkan pada jam-jam utama dimana keluarga sedang menonton televisi. Kalau disiarkan menjelang subuh, siapa yang menonton,” katanya.

Menurut Budiarto, program siaran bertemakan lokalitas khususnya tentang budaya dan pariwisata banyak diminati masyarakat. Hal itu sejalan dengan keinginan dewan yang berharap siaran dapat memberikan manfaat dan hiburan yang baik untuk masyarakat.

“Sesuatu yang baik jika disiarkan secara baik akan diterima dengan baik pula oleh masyarakat,” tambah Budi yang menjadi juru bicara dalam pertemuan yang dihadiri Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis dan Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono.

Selain itu, Anggota Dewan yang berasal dari Bumi Sriwijaya ini meminta lembaga penyiaran menyiarkan program penuh manfaat sebelum berbuka puasa dan pada saat sahur. 

Mayong Suryo Laksono mengatakan, waktu siaranan konten lokal masih menjadi masalah di sejumlah daerah. Terkait hal ini, KPI sudah melakukan upaya agar konten lokal dapat disiarkan pada waktu yang pas. 

“Kita ada evaluasi tahunan bagi lembaga penyiaran televisi berjaringan. Soal porsi 10% konten lokal kami pertanyakan termasuk waktu siarannya saat evaluasi. Catatan ini menjadi rapot buat televisi,” kata Mayong.

Yuliandre Darwis menambahkan, perubahan UU Penyiaran yang keputusan penetapannmya sedang ditunggu hingga saat ini, diharapkan dapat menghembuskan angin positif terhadap kelembagaan KPID. Selain itu, perubahan UU ini diharapkan dapat menjawab keinginan DPRD tentang perkembangan konten lokal.

Dalam kesempatan itu, Komisi I DPRD Sumsel menyampaikan akan terus mendukung kinerja KPID sesuai tugas dan fungsi. “KPID punya peran penting dalam pengawasan konten,” kata Busiarto. ***

 

Tarakan -  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan tiga pemohon penyelenggaraan penyiaran di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) (24/5). Tiga pemohon penyelenggaran penyiaran lokal ini adalah PT Radio Suara Nada Tanjung, PT Media Radio Kaltara, dan PT Malinau Multimedia Utama.

Kegiatan EDP ini dipimpin langsung oleh Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (P2SP) Agung Suprio,  Komisoner Bidang Kelembagaan Ubaidilah, dan Komisioner Bidang Isi Siaran Dewi Setyarini, serta turut dihadiri Sekretaris KPI Pusat, Maruli Matondang.

Dalam sambutan pembuka, Agung Suprio menegaskan kepada para pemohon penyelenggaraan penyiaran agar tidak melenceng dari amanah konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, serta harus menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Bangsa ini sedang diserang dari kiri dan kanan. Dari liberalisme yang mengutamakan arus kebebasan dan dari kanan, gerakan-gerakan radikal yang juga berusaha  untuk mengubah ideologi, maupun dasar negara, bangsa ini.  Kita harus konsisten. Bahwa lembaga penyiaran yang nantinya diberikan RK (rekomendasi kelayakan -red) harus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.

Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Utara KH. Zainuddin Dalila yang hadir sebagai narasumber perwakilan dari tokoh masyarakat/tokoh agama mengharapkan agar penyelenggara penyiaran tidak  menyiarkan hal-hal yang akan menimbulkan kontroversial.

“Saya takut bila siaran-siaran itu menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sehingga saya juga ingin di radio itu ada orang yang bisa  memberikan masukan apa yang baik untuk disiarkan,” jelasnya.

Kegiatan EDP di Tarakan yang diikuti oleh tiga pemohon izin penyelenggaraan penyiaran ini, berlangsung dengan lancar dan diakhiri dengan penandatangan berita acara EDP.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.