- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 14780
Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai lembaga penyiaran radio memiliki tingkat hoax paling rendah dibanding dengan media lain. Hal ini menjadi peluang dan potensi besar bagi radio untuk mengisi ruang-ruang publik dengan informasi yang baik, sehat dan dipercaya.
Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, dalam sebuah diskusi Panorama Pagi dalam rangkaian Ulang tahun RRI ke 75 yang diselenggarakan RRI Madiun, Jawa Timur, Kamis (10/9/2020).
Dari data yang diperoleh Nuning, media mainstream seperti radio, televisi dan media cetak dinilai sangat rendah terpapar informasi hoax. Adapun presentasenya yakni radio sebesar 1,2 persen, cetak 6,4 persen, dan televisi 8,7 persen. Sedangkan media yang paling besar distribusi hoax adalah media sosial sebesar 87,5 persen.
“Kecenderungan masyarakat menjadikan media mainstream sebagai rujukan informasi kembali meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini seiring dengan meningkatnya kesadaran akan potensi hoax yang sangat terbuka dan terjadi di media sosial. Masyarakat sekarang makin aware terhadap penyebaran hoax dan ini membuat mereka makin tidak percaya dengan informasi dari media sosial,” kata Nuning.
Dia menambahkan, kecilnya hoax pada media mainstream seperti radio tak lepas dari proses berlapis yang dilakukan dalam penyajian berita yang menyesuaikan dengan kaidah jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI.
“Aturan penyiaran dan etika jurnalistik ini menjadi acuan utama bagi lembaga penyiaran sebelum menyampaikan siarannya. Dengan berpatokan pada rambu-rambu tersebut, setidaknya akan meminimalisir terjadinya pelanggaran penyiaran termasuk penyampaian berita bohong atau hoax dalam berita,” jelas Nuning.
Maraknya hoax yang terjadi selama Covid-19, membuat konsentrasi publik terhadap media mainstream terus meningkat. Mereka berupaya mendapatkan referensi berita yang lebih terpercaya dan itu berasal dari media mainstream.
“Ini juga menjadi kesempatan bagi media konvensional untuk membuat terobosan agar tidak tertinggal dari media baru. Meskipun tingkat kependengaran atau kepemirsaan radio itu turun, tapi hal ini tidak serta merta disikapi dengan putus asa. Radio harus bangkit melalui konvergensi media, begitu pula lembaga penyiaran lainnya,” ujarnya bersemangat.
Dalam rangka peringatan Hari Radio ke-75 dan HUT RRI ke-75, Nuning meminta lembaga penyiaran radio termasuk RRI untuk terus mendekatkan diri dengan masyarakat dan konsisten menjangkau daerah sekaligus menyajikan kearifan lokalnya dengan paradigma Indonesia sentris, dan bukan hanya ibu kota sentris.
Radio sebagai institusi media yang sah dan terpercaya
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Bidang Kajian Media Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Rachmah Ida menegaskan tentang posisi dan peran lembaga penyiaran termasuk RRI sebagai institusi media yang sah dan terpercaya.
Menurutnya, lembaga penyiaran seperti radio tidak begitu saja dengan mudah mendistribusikan informasi kepada masyarakat. Ada proses ketat yang dilewati sebelum berita tersebut disampaikan ke publik. “Kalau individu dengan lebih mudah dia membuat informasi bohong, tetapi RRI atau radio sebagai sebuah intitusi media itu tentu saja bekerjanya lebih komplek dan rumit,” terang Rachmah.
Dia juga berharap, RRI dan media-media radio lainnya masih menggunakan newsroom-newsroomnya sebagai sebuah tempat untuk berdebat, berdiskusi dan mengambil keputusan informasi mana yang layak untuk broadcast dan informasi mana yang layak hanya untuk disimpan di meja saja dan tidak perlu untuk disampaikan kepada masyarakat.
Selain itu, lembaga penyiaran tidak hanya memiliki fungsi menyampaikan berita dan informasi namun juga memiliki tanggung jawab besar yaitu mendidik masyarakat agar makin cerdas melaui literasi yang baik.
Rachmah pun menyatakan bahwa radio tidak dapat dikatakan kuno. Karena pada kenyataannya radio justru telah beradaptasi dan mampu mengikuti modernitas teknologi komunikasi dan media saat ini. Terlebih, aspek kedekatan atau proximitas yang tidak dimiliki media lain. Hal ini, lanjut dia, membuat Radio tetap mendapat tempat di hati pendengarnya
“Meskipun konvergensi media, toh Radio bisa masuk ke ranah-ranah internet. Artinya, media ini bukan media yang kuno, tetapi bisa mengikuti perkembangan modernitas teknologi komunikasi yang semakin advanced,” ujar Rachmah.
Terkait proximitas atau kedekatan tersebut, hal ini juga menjadi salah satu instrumen yang membuat radio menjadi lebih terproteksi dari hoax karena bersifat komunikasi tutur atau langsung dan memiliki hubungan psikologis dengan pendengarnya. Menurut Rachmah, ini berbeda dengan media lain semisal berbasis tulis atau teks yang memiliki jarak dengan pembacanya, atau media televisi yang lebih mengutamakan gambar dan kurang imajinatif.
“Karena radio itu dekat. Jadi, radio itu bukan seperti teks tertulis yang memiliki jarak dengan pembacanya. Suara itu lebih dekat dan dipercaya serta secara psikologis antara penyiar dan audien karena ada kedekatan omongan itu dipercaya. Kalaupun terjadi kesalahan bisa langsung dibetulkan,” katanya.
Redaktur Senior sekaligus Kepala Pusat Pemberitaan Radio Republik Indonesia (RRI) Widhie Kurniawan, menegaskan bahwa mainstreem media tidak boleh mengambil rujukan dari sosial media. Bahkan, meski pun ini hanya sebatas referensi permulaan atau informasi awal saja.
Menurut Widhie, hal itu akan menjadi judgement atau pembenaran terhadap informasi media sosial yang secara kaidah jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik.
“Karena kalau kita mengambil dari sosial media maka ada judgment bahwa sosial media itu benar. Padahal kita harus menganggap bahwa sosial media itu belum benar. Karena mereka tidak menggunakan prinsip-prinsip jurnalistik. Maka tugas media mainstream juga harus meyakinkan dirinya jika apa yang mereka informasikan sudah benar karena telah mengikuti prinsip-prinsip jurnalistik,” ujar Widhie. **/Foto: Agung Rahmadiansyah