Jakarta - Literasi digital merupakan wadah pengetahuan dan kecakapan bagi generasi sekarang dalam menggunakan media. Melalui literasi tersebut kalangan millineal akan dapat mengetahui kaidah yang bisa dalam bermedia sosial. 

Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid mengungkapkan generasi millennial yang juga dikenal sebagai generasi Y adalah kelompok demografi setelah generasi x. Pada umumnya, millenial merupakan anak-anak dari generasi Baby Boomers yang disebut sebagai Echo Boomers 

“Karakteristik millenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai dengan peningkatan penggunaan dan keakraban dengan berkomunikasi,” kata Meutya Hafid saat menjadi pemateri dalam diskusi berbasis daring yang di selenggarakan oleh BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) dengan tema “Urgensi Literasi Digital Bagi Generasi Milenial”, Jumat (9/10/2020) di Jakarta.

Lebih lanjut, Meutya menekankan bahwa generasi muda Indonesia wajib hukumnya menguasai teknologi yang berorientasi pada pencapaian. Menurutnya, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survey penetrasi pengguna internet Indonesia pada tahun 2018 dikuasai oleh generasi millennial

“Kuncinya generasi millennial itu harus bijak, cerdas dan patuh hukum dalam menggunakan sosial media, sehingga kita dapat bicara sosialisasi digital dengan mencakup kaidah secara keseluruhan. Ini penting untuk semua terutama generasi millenial, sebagai pengguna aktif teknologi digital,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan kemajuan teknologi yang semakin hari semakin cepat ini tentunya membuat banyak perubahan terhadap sebuah negara termasuk Indonesia. 

Semakin majunya teknologi menyebabkan perbedaan hoax dan fakta semakin sulit dideteksi. Generasi muda dipastikan memiliki kemampuan untuk mampu memilah-milah informasi di media daring dan juga harus bisa menjadi agen edukasi minimal bagi dirinya sendiri dan kemudian di lingkungan tempat dimana mereka berinteraksi.

“Situasi saat ini, perkembangan teknologi yang begitu pesat menuntut kita agar lebih peduli dengan informasi, jadilah seorang yang melafadzkan untuk sesuatu yang baik,” ucap pria yang akrab di sapa Andre ini.

Menurut Yuliandre, generasi millenial membutuhkan dan beraktivitas yang serba cepat dan ini menuntut mereka tidak lepas dari perkembangan teknologi. Bukan karena takut disebut kurang update, tetapi hal ini juga demi kebaikan diri sendiri. Literasi digital juga bertujuan meningkatkan kemampuan membaca, menganalisis dan menggunakan media sosial.

“Ketepatan penggunaan teknologi menjadi hal yang perlu dipahami oleh setiap anak muda. Revolusi 4.0 sudah terjadi dimana-mana, bahkan di Jepang sudah menerapkan Society 5.0 yang artinya sudah masuk ke arah perilaku pengguna media sosial,” kata Yuliandre.

Bedasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2019, jumlah stasiun radio resmi yang ada di Indonesia berjumlah 2.097 dan 1.106 stasiun untuk televisi. Namun, fakta hari ini berbicara lain, Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) 2017-2018 ini mengungkapkan banyaknya televisi yang masuk ke dalam ranah streaming atau digital. 

Kondisi pandemi saat ini membuat banyak pilihan metode menonton. Berdasarkan hasil riset dari katadata di tahun 2020, jumlah pengguna platform menonton tayangan berbasis digital, sebut saja netflix, mencapai 900.000 pelanggan.

“Disebut broadcast namun kontennya dimasukkan ke digital. Pergeseran ini menarik untuk dikaji lebih dalam,” katanya.

Dilihat dari sisi prespektif pegiat media sosial, Enda Nasution mengantakan, konsekuensi yang ada di media sosial sebenarnya lebih memiliki resiko. Kebanyakan, para pengguna media sosial belum menyadari bahwa dirinya kini telah memiliki audience. Sesuatu yang bisa mengukur pribadi seseorang saat ini adalah perilakunya ketika menggunakan sosial media.

“Adanya ganjaran yang selalu menghantui kita sebagai pengguna aktif media sosial. Tanpa kita sadari, apa yang kita lakukan di media sosial memiliki konsekuensi untuk jati diri kita sebenarnya,” uncap Enda

Menurut Enda, banyak hal yang bisa dilakukan agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial, diantaranya untuk hati-hati dengan informasi pribadi yang dimiliki. Gunakan istilah “saring sebelum sharing” jangan berinteraksi di media sosial dimana keadaan seseorang dalam keadaan emosional.

“Media sosial adalah cerminan diri kita, jangan menjadi sesuatu yang merasa sok dan yang paling penting, yaitu kita dituntut untuk paham dan mengerti kondisi lawan berinteraksi kita di media sosial,” pungkas Enda. Man/*

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencermati adanya kecenderungan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) pada stasiun televisi dengan format siaran berita, yang menghadirkan konten mistik dan supranatural dalam beberapa program siarannya. Menurut Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo, adanya peningkatan tren dugaan pelanggaran ini cukup mengherankan sehingga membuat KPI harus melakukan evaluasi pada iNews TV. Hal ini disampaikan Mulyo dalam forum evaluasi terhadap program siaran iNews TV, di kantor KPI Pusat (8/10). 

Dalam catatan yang disampaikan tim pemantauan KPI Pusat terhadap tayangan iNews, beberapa  dugaan potensi pelanggaran P3 & SPS meliputi konten mistik, horror dan supranatural (MHS), kewajiban penyamaran, privasi dan gaya hidup hedonistik, yang tersebar dalam beberapa program siaran. 

Menurut Mulyo, bicara tentang konten  MHS, sebagai  televisi berita, iNews harusnya mampu memberikan pendekatan yang lebih ilmiah. Fenomena legenda, mitologi, ataupun peristiwa mistik tertentu memang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Akan lebih tepat jika digali pula kenapa masyarakat masih mempercayainya.  Sudah banyak kajian-kajian budaya secara ilmiah yang membahas hal seperti ini. Mulyo menilai seharusnya sebagai TV berita, dalam menyajikan konten mistik,  iNews dapat menggali fakta secara positivistik untuk disajikan pada publik.  

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Isi Siaran Mimah Susanti menyampaikan catatan tentang program religi yang membahas hubungan suami-istri dan tayang di luar jam dewasa. Beberapa tayangan iNews TV dinilai perlu memperhatikan keberadaan anak. Sedangkan Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyoroti tentang  pemberitaan pernikahan dini. Hardly menyetujui bahwa masalah pernikahan dini layak untuk dibahas secara serius, khususnya di masa pandemi. Namun, dirinya menilai penggarapan iNews terhadap masalah ini kurang tepat. Justifikasi atas larangan dan bahaya pernikahan dini harus dikedepankan sebagai langkah turut serta dalam pencegahan. Catatan lain yang disampaikan oleh  Hardly adalah pembahasan tentang perselingkuhan dalam program infotainment. Mengangkat topik selingkuh yang berakhir bahagia bisa bahaya ditangkap oleh publik. 

Dalam forum evaluasi ini, KPI kembali mengingatkan iNews untuk senantiasa menaati koridor P3 & SPS. Yuliandre Darwis, Komisioner Bidang Kelembagaan yang hadir dalam evaluasi ini menyoroti pula soal hedonism yang muncul dalam berita artis. “Dalam kondisi pandemi ini tolong tunjukkan empati, jangan tampakkan hedonisme pada publik,” ujar Andre. 

Selain dari segi konten, Mulyo menyampaikan bahwa dugaan pelanggaran ini muncul sebagian besar pada jam anak, yakni antara pukul 18.00-20.00. Tentunya, dalam aspek perlindungan pada anak, dikhawatirkan muatan siaran ini ditonton pula oleh anak-anak, ujar Mulyo. 

Sementara itu hadir pula dalam acara tersebut perwakilan dari iNews TV, Sulaeman Sakib.  Menanggapi masukan yang disampaikan KPI, Sulaeman memaparkan beberapa hal termasuk kebijakan redaksi yang memindahkan beberapa program siaran pada jam dewasa. Hadir pula dalam forum tersebut Komisioner KPI Pusat Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) Aswar Hasan, dan Direktur Pemberitaan iNews TV Ray Wijaya.

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) menandatangani perpanjangan nota kesepahaman bersama atau memorandum of understanding (MoU) tentang pengawasan isi siaran, Kamis (8/10/2020). Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Ketua LSF, Romy Fibri, menandatangani langsung perjanjian kerjasama tersebut.  

Dalam sambutannya, Agung Suprio, mengatakan kerjasama ini akan menitikberatkan pada penyamaan pandangan dalam menyelesaikan persoalan siaran film dan iklan di lembaga penyiaran. Apalagi saat ini, LSF mencoba paradigma baru dalam melakukan sensor.

“KPI dan LSF berada dalam rel yang sama. Semua punya teks kami buat kesepakatan agar tidak saling tumpang tindih. Saya punya masukan, agar memasukkan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai teks bersama. Jika ada sinteron yang bias gender maka bisa tidak lulus di LSF,” kata Agung.

Agung berharap kerjasama kedua lembaga ini dapat berjalan secara progresif dan mendapat dukungan dari lembaga terkait seperti DPR. “PR kita sekarang bagaimana membuat tayangan seperti sinteron yang ditangani KPI dan LSF dapat sesuai dengan regulasi,” tuturnya.

Ketua LSF, Romi Fibri, mengatakan jika KPI dan lembaganya memiliki kemiripan dalam tujuan menciptakan tayangan yang baik, berkualitas dan mendidik. Hal ini dapat dilihat dari program kegiatan yang dilakukan kedua seperti KPI dengan bicara siaran baik serta gerakan literasi yang populer di masyarakat.

“LSF juga punya program sejenis seperti budaya sensor mandiri yang intinya sama yakni KPI dan LSF menginginkan tayangan di televisi maupun di bioskop isinya sehat dan masyarakat paham menonton film yang baik dan benar,” katanya.

Menurut Romi, penonton dalam hal ini masyarakat harus mengerti dan paham tentang siaran atan film apa yang akan mereka konsumsi. “Kalau filmnya dijagain, kalau menonton tidak mengerti maka akan jadi PR bersama. Mohon bantuan teman lembaga penyiaran, mari bersama mengkampanyekan ini, yakni memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia,” pintanya. 

Dalam kesempatan itu, Romi menyampaikan alasan kenapa MOU ini dilakukan karena kepedulian dan ingin selaras dalam kebijakan. “Konsep dan kepedulian sama, agar bisa seiring sejalan. Tentu akan saling menghargai rujukannya. UU Perfilman dan KPI UU Penyiaran. Lembaga penyiaran tidak perlu khawatir karena kami tahu rule of the game nya seperti apa,” tandasnya.

Usai penandatanganan MoU, acara dilanjutkan dengan diskusi yang dihadiri sejumlah narasumber antara lain Anggia Erma Rini sebagai Ketua Fatayat NU, Lena Mariyana (Anggota DPR 2014-2019), Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti dan Irsal Ambia. ***/Foto: AR

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran pertama untuk program siaran “Samudra Cinta” SCTV. Program acara sinetron ini telah melanggar aturan tentang norma kesopanan dan kesusilaan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.

Demikian ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran tertulis untuk program tersebut yang dilayangkan pada 30 September 2020 lalu. Adapun adegan yang melanggar terdapat pada tayangan “Samudra Cinta” tanggal 24 September 2020 pukul 19.43 WIB berupa tampilan seorang pria dan wanita di atas ranjang dalam posisi bertindihan dan berguling saling berganti posisi.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan adegan seperti itu dinilai tidak pantas ditampilkan pada jam yang semestinya ramah anak karena bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan yang ada dalam aturan KPI dan juga masyarakat. Meskipun dalam tayangan tersebut digambarkan sebagai pasangan suami istri dan keduanya dalam busana lengkap, adegan keromantisan seperti itu rawan ditiru oleh anak. 

“Kami menilai adegan tersebut memberikan pengalaman visual yang tidak baik. Adegan demikian juga tidak memperhatikan kepentingan anak. Anak masih rentan peniruan. Dalam klasifikasi R atau remaja, tayangan mestinya sensitif terhadap kepentingan tumbuh kembang anak. Memperhatikan kemungkinan anak juga ikut menonton. Karena itu, kami menyatakan sinetron Samudra Cinta telah melanggar aturan dan patut mendapatkan sanksi,” tegas Mulyo, Rabu (7/10/2020).

Menurut Komisioner bidang Isi Siaran ini, hal penting yang patut diperhatikan lembaga penyiaran pada setiap tayangan berklasifikasi R atau remaja adalah jeli dan berhati-hati terhadap isi tayanganya. Jangan sampai isinya mengandung unsur-unsur yang justru tidak sesuai dengan perkembangan psikologis remaja atau bahkan anak-anak.

“Mestinya tayangan sinetron berklasifikasi R ini mengandung cerita-cerita yang ada nilai edukasinya, budi pekerti, nilai sosial dan budaya, serta membangun remaja ke arah yang positif dan bukan sebaliknya. Hal ini tidak hanya saya mintakan kepada SCTV tapi juga seluruh pembuat konten cerita sinetron di tanah air. Mari kita membangun masa depan generasi kita dengan tontonan dan cerita yang berkualitas, edukatif serta solutif,” katanya.

Mulyo juga menyampaikan, KPI menerima banyak pengaduan dari masyarakat atas adegan dalam sinetron “Samudra Cinta” SCTV. Terkait aduan itu, KPI menyampaikan apresiasi dan terimakasih atas pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap siaran. Hal ini menunjukan masyarakat telah memiliki kesadaran tinggi dan kepedulian terhadap isi siaran yang baik dan berkualitas.

“Saya sangat menghargai hal ini dan berharap masyarakat dapat terus memberikan pengamatan kritisnya terhadap isi siaran ke KPI. Mesti menjadi perhatian juga kepada lembaga penyiaran bahwa masyarakat kita punya kepedulian dan kekritisan dalam menerima siaran. Maka, harus dipastikan isi siarannya aman dan bermanfaat,” tandasnya. ***

 

Jakarta -- Mengapa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak melakukan pencegahan atau kontrol di awal tayangan sebelum terjadinya pelanggaran siaran? Pertanyaan seperti ini banyak dilayangkan masyarakat ke kolom aduan atau secara langsung ke KPI. Lantas bagaimana KPI menjawab pertanyaan kritis tersebut.

Menanggapi hal itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menjelaskan bahwa secara regulasi KPI tidak memiliki kewenangan melakukan kontrol pada konten yang akan disiarkan, melainkan mengawasi konten pada saat telah disiarkan.

“Kalau kami melakukan kontrol sebelum disiarkan, maka prinsip yang berlaku adalah semua dilarang, kecuali yang diperbolehkan. Ini berarti prinsip yang represif. Sekarang ini merupakan era kebebasan untuk berekspresi, sekaligus kebebasan untuk memilih konten siaran,” kata Hardly di acara webinar Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) bertajuk “Masih Adakah Sensor Penyiaran?”, Rabu (7/10/2020).

KPI merupakan wujud peran serta masyarakat dalam penyiaran. Salah satu fungsi KPI adalah melakukan pengawasan konten atau materi siaran di lembaga penyiaran. “Pengawasan siaran ini dilakukan oleh kami pada saat konten tersebut sedang berlangsung atau telah disiarkan,” jelas Hardly.

Dia menambahkan jika konsep melakukan pengawasan setelah disiarkan, sebagaimana amanat UU Penyiaran, maka yang berlaku adalah prinsip “semua diperbolehkan, kecuali yang dilarang”. Hardly mengartikannya jika kebebasan itu tetap ada batasan. 

“Agar kebebasan ekspresi dan kebebasan memilih itu tidak menimbulkan dampak negatif, sebaliknya bisa membawa kemanfaatan bagi khalayak secara luas, maka perlu rambu – rambu sebagai koridor regulasi, yang disebut Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS),” jelas Hardly.

Pedoman ini beberapa isinya mengatur tentang klasifikasi program dan jam siaran bagi kelompok umur (anak, remaja, semua umur dan dewasa), norma kesopanan, perlindungan anak, privasi, kekerasan, pemberitaan yang benar dan yang lain. 

Namun begitu, Hardly menegaskan, P3SPS bukanlah instrumen sensor. Menurutnya, di era kebebasan membuat dan memilih konten, instrumen sensor ada pada lembaga penyiaran dan seharusnya ada pula pada pemirsa itu sendiri. “Jadi saya tegaskan bahwa KPI tidak pernah melakukan sensor terhadap program acara apapun. Kewenangan melakukan sensor ada pada Lembaga Sensor Film (LSF). Ini yang harus diketahui masyarakat,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Hardly menyampaikan pentingnya literasi bagi masyarakat agar semakin banyak yang peduli dan berperan serta dalam meningkatkan kualitas program siaran, melalui aktivitas yang disebut Bicara Siaran Baik. 

Menurut Hardly, ada tiga aktivitas yang dapat dilakukan oleh pemirsa yakni pertama dengan senantiasa memilih program siaran yang baik dan bermanfaat. Kedua, melaporkan dengan menggunakan bahasa yang baik, jika menemukan program siaran yang dinilai dapat menimbulkan dampak yang buruk. Ketiga, mengapresiasi program siaran yang baik, dengan terus membicarakannya, menjadikannya sebagai referensi menonton, bahkan menviralkannya agar semakin banyak yang menonton.

Logika produksi konten pada industri penyiaran itu sederhana yaitu bagaimana mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya. Karena penonton yang banyak akan berpotensi mendatangkan pemasukan iklan yang banyak pula, sehingga program siaran dapat terus diproduksi.

Sebaliknya, lanjut Hardly, sebaik apapun kualitas suatu program siaran, jika penontonnya sedikit, maka pemasang iklan tidak tertarik, sehingga kurang atau bahkan tidak ada sama sekali pemasang iklan. Akibatnya program siaran baik, menjadi kekurangan atau bahkan tidak ada biaya produksi, dan akhirnya harus berhenti diproduksi.

“Dengan demikian, terdapat korelasi antara penonton dan tontonan yaitu penonton yang cerdas akan mendorong hadirnya tontonan yang berkualitas dan sebaliknya tontonan yang berkualitas akan mendorong penonton menjadi semakin cerdas,” tandasnya. 

Sementara itu, terkait soal sensor, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, menegaskan hal yang senada dengan Hardly jika KPI tidak berwenang melakukan proses tersebut. “Ini yang harus diketahui dan dipahami oleh masyarakat,” katanya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diketahui soal ini bahwa ada proses pra tayang dan pasca atau setelah tayang. KPI, kata Reza, mulai melakukan tugas pengawasan siaran setelah program siaran itu tayang atau ditayangkan lembaga penyiaran.

Di ruang literasi yang sama, Anggota Lembaga Sensor Film (LSF), Fetrimen, menjelaskan mekanisme penyesoran di lembaganya. Menurutnya, sistem penyensoran LSF dilandasi dengan kebebasan berkreasi, berinovasi dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. 

“Jadi kami tidak melakukan pembatasan berkreasi. Silahkan berkreasi, asal tidak melanggar kepada perilaku yang ditentukan oleh undang-undang. Pertama, film atau iklan itu tidak boleh mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, pornografi dan provokasi atau SARA dan tidak melecehkan nilai-nilai agama dan juga merendahkan harkat martabat manusia serta lainnya,” jelasnya.

Vice Presiden PR Trans7, Anita Wulandari, salah satu narasumber literasi, menerangkan proses siaran produksi di lembaga penyiaran yang mengikuti permintaan pemirsa (rating dan share) dan juga iklan. Minat ini, menurutnya, berubah-ubah mengikuti zaman. “Teknik amati, tiru dan modifikasi terjadi untuk persaingan dengan kompetitor dan memproduksi program yang lebih baik,” jelasnya.

Dia juga menyampaikan pentingnya mengendalikan remote kontrol jika pemirsa merasa tidak cocok dengan tayangan. “Jika anda tidak suka pada tayangan itu, maka sebaiknya ganti saja salurannya,” katanya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.