Menimbang Belajar Dari Rumah Bersama Netflix

Oleh: Hardly Stefano Pariela, M.KP

(Komisioner KPI Pusat)

 

Netflix adalah salah satu penyedia layanan konten audio-visual, berpusat California, Amerika Serikat. Didirikan pada tahun 1997, dengan bisnis utama berupa penjualan dan penyewaan DVD dan Blu-ray. Tahun 2007 mulai merambah media streaming digital, yang terus berkembang hingga saat ini. Sebagai penyedia jasa layanan video on demand (VOD), Netflix memiliki beragam koleksi, baik yang dibeli dari produsen film maupun diproduksi sendiri. Pada bulan Maret 2020, pelanggan Netflix secara global mencapai 182,9 juta subscriber. Belum ada publikasi resmi jumlah pelanggan netflix di Indonesia, namun databoks mengutip nakono.com menyebutkan estimasi 907 ribu pelanggan netflix di Indonesia pada tahun 2020. Pihak Netflix sendiri sebagaimana dikutip dari kompas.com (19/01/2020), menyatakan bahwa Indonesia merupakan pasar yang besar bagi bisnis VOD.

 

Hingga saat ini, dapat dikatakan Netflix belum leluasa bereskpansi di Indonesia. Telkom Group masih melakukan pemblokiran, sehingga masyarakat pengguna Indohome, Telkomsel maupun Wifi.id masih belum dapat menikmati layanan Netflix.  Telkom menyebutkan bahwa Netflix belum memenuhi ketentuan penanganan konten yang dinilai bermasalah (kompas.com, 17/01/2020). Di tengah kondisi tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjalin kemitraan dengan Netflix yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan perfilman Indonesia sampai pada tingkat global. Jika menilik tujuan kemitraan ini, diharapkan akan dapat memberi dampak positif bagi industri film di Indonesia. Namun yang patut menjadi pertanyaan, kenapa kemitraan Kemedikbud untuk memajukan perfilman Indonesia hanya dilakukan dengan Netflix? Perlu dipahami, bahwa Netflix bukanlah satu-satunya penyedia jasa VOD secara streaming digital, yang memungkinkan akses global. Industri hiburan Indonesia saat ini juga sudah membangun layanan VOD melalui internet. Jika tidak ingin dipandang sebagai endorser Netflix, ada baiknya Kemendikbud juga menjalin kemitraan dengan provider layanan VOD lainnya.

Kemendikbud juga perlu memikirkan upaya mencegah dampak negatif dari konten hiburan melalui provider VOD global. Berbeda dengan penyebaran film melalui jaringan bioskop dan televisi terestrial yang harus mendapatkan Surat Tanda Lolos Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF), penetrasi film melalui layanan VOD secara streaming dapat dilakukan secara bebas dengan standar yang audio – visual berdasarkan standar dimana film itu dibuat atau standar dari provider VOD, yang bisa saja berbeda dengan standar yang berlaku di Indonesia. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian terkait standar tersebut adalah sensitifitas terkait isu Suku, Agama, Ras, Antar golongan (SARA), muatan kekerasan, dan batasan tampilan seksualitas. Terdapat beberapa film yang pernah dilarang beredar di Indonesia, antara lain: Teeth (2007) karena mengandung muatan kekerasan secara berlebihan; Noah (2014) dinilai kontroversial dari sudut pandang agama; dan  Film Fifty Shades of Grey (2015) karena isu seksualitas. Selain STLS, film yang telah tayang di bisokop juga harus memenuhi Standar Program Siaran (SPS) ketika akan ditayangkan melalui stasiun televisi. STLS yang dikeluarkan oleh LSF maupun pemenuhan SPS yang diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada khalayak dari muatan negatif yang terdapat di film. Oleh sebab itu Kemendikbud perlu duduk bersama dengan LSF dan KPI untuk merumuskan pengaturan dan pengawasan film yang dapat diakses melalui VOD streaming. 

Selain masalah konten, layanan VOD streaming juga memiliki permasalahan terkait penerimaan negara. Dengan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai pasar, provider VOD yang belum berbadan hukum di Indonesia, termasuk Netflix, melakukan kegiatan bisnis dan mendapatkan keuntungan dari Indonesia, selama ini belum pernah membayar pajak. Terkait permasalahan pajak ini, tanggal 5 Mei 2020 yang lalu Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan no.48 tahun 2020 yang mengatur tentang pengenaan pajak pertambahan nilai bagi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Pelaku usaha PMSE baik yang berdomisili di Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia berkewajiban memberikan laporan tentang jumlah pembeli barang dan/atau penerima jasa di Indonesia, jumlah pembayaran, serta jumlah PPN yang dipungut maupun disetor. Peraturan ini diharapkan mulai berlaku mulai 1 Juli 2020, namun implementasi dan efektifitas penegakan peraturan ini masih memerlukan pembuktian, termasuk pengenaan sanksi apabila melanggar.

Di saat belum ada pengaturan yang memadai tentang pengaturan konten serta pengenaan pajak bagi transaksi yang dilakukan oleh provider VOD streaming, publik dikejutkan dengan kebijakan Kemendikbud untuk menggandeng Netflix dalam penyediaan konten bagi program siaran Belajar Dari Rumah (BDR) yang disiarkan oleh TVRI. Kritik disampaikan oleh berbagai pihak, karena Kemendikbud dinilai memberikan perlakuan khusus kepada Netflix dan mengabaikan fakta bahwa masih terdapat persoalan dalam hal pengaturan VOD yang dilakukan oleh pelaku yang tidak berbadan hukum Indonesia. Pelibatan Netflix dalam penyediaan konten BDR menimbulkan pertanyaan, karena sebagian besar konten Netflix adalah untuk hiburan, bukan secara khusus sebagai penyedia konten pendidikan. Meskipun dalam konten hiburan juga sangat mungkin mengandung muatan pendidikan, tetapi hal ini dapat dipandang sebagai strategi untuk memperluas pasar di Indonesia melalui penetrasi kepada siswa yang menonton program siaran BDR. Ketika menonton dan menyimak BDR, para siswa akan terpapar publikasi serta promosi Netflix, dan berpotensi menjadi pelanggan. Apalagi ketika para siswa atau bahkan orang tua yang menemani siswa dalam mononton BDR, berasosiasi bahwa keseluruhan konten Netflix adalah sebagaimana yang dilihat di TVRI. 

Penjelasan Kemendikbud bahwa konten siaran yang disiapkan Netflix untuk BDR adalah program dokumenter juga cukup mengherankan, karena Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Televisi maupun TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) telah memiliki pengalaman memproduksi program siaran dokumenter. Bahkan sampai dengan saat ini beberapa program siaran dokumenter maupun wisata budaya yang menceritakan tentang sejarah, eksplorasi wilayah dan beragam budaya di Indonesia masih ditayangkan oleh LPS maupun LPP.  Selain Kemendikbud juga perlu menjelaskan penempatan waktu tayang pada jam 21.30 WIB, pada saat yang sama di wilayah Indonesia tengah telah memasuki jam 22.30 WITA dan Indonesia timur jam 23.30 WIT. Penempatan waktu tayang yang tidak tepat akan menimbulkan persoalan tersendiri, karena akan menjadi pembenar bagi siswa untuk tidur larut malam. Selain itu, jam 22.00 WIB adalah waktu tayang bagi program siaran dengan klasifikasi dewasa. Ini berarti, di saat siswa menonton atau setelah usai menonton BDR terdapat peluang untuk mengakses siaran selain TVRI yang sudah mulai menayangkan program siaran dengan klasifikasi dewasa.  

Terlepas dari kritik pada kebijakan menggandeng Netflix, program Belajar Dari Rumah yang disiarkan TVRI merupakan terobosan Kemendikbud yang patut diapresiasi. Selain dapat menjadi alternatif media pembelajaran bagi siswa, kebijakan ini juga dapat mengoptimalkan salah satu fungsi dari lembaga penyiaran, yaitu sebagai media pendidikan. Konten BDR juga bisa menjadi inspirasi bagi guru agar dapat lebih kreatif dalam menyajikan materi pembelajaran di kelas. Melalui program siaran BDR, tentu materi ajar dapat disampaikan dengan cara yang lebih menyenangkan, serta diharapkan pencapaian tujuan belajar baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik  dapat dioptimalkan. Diharapkan program BDR ini tidak hanya dilakukan di saat pandemi, namun dapat terus berlanjut ketika proses belajar mengajar sudah dapat kembali dilakukan di sekolah.  BDR dapat terus menjadi metode pendamping dalam proses pembelajaran. 

Dalam mengembangkan BDR, pelibatan penyedia konten dari luar negeri dapat dipandang sebagai jalan pintas dan kurangnya apresiasi pada produksi konten dalam negeri. Dalam jangka panjang akan mematikan kreatifitas anak bangsa dalam produksi program siaran yang mengandung muatan pendidikan. Kemendikbud dapat mengembangkan BDR melalui kerjasama dengan seluruh lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio. Bagi Lembaga Penyiaran Publik, Kemendikbud menyediakan konten siaran yang terkait langsung dengan kurikulum, sehingga bersifat wajib untuk ditonton oleh siswa.  Selain itu Kemendikbud dapat bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melakukan seleksi dan evaluasi pada program yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran Publik maupun Lembaga Penyiaran Swasta. Program siaran yang tidak terkait langsung dengan kurikulum, namun kontennya dapat menjadi bahan pengayaan dalam proses belajar mengajar, dapat direferensikan oleh Kemendikbud sebagai bagian dari BDR.  Apresiasi dan referensi akan berpotensi meningkatkan jumlah pemirsa, sehingga program siaran yang mengandung muatan pendidikan dapat terus diproduksi dan kreatifitas anak bangsa dapat semakin terasah. 

 

(Ketua KPI Pusat Agung Suprio saat memaparkan rencana program kerja KPI 2021 dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI. 22 Juni 2020. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI))

Jakarta - Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR RI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia beserta satuan kerja yang ada di bawahnya menyimpulkan dapat menerima penjelasan mengenai pagu indikatif Rencana Program Kerja Anggaran Pemerintah Kemkominfo Tahun Anggaran 2021 sebanyak RP 5.746.445.951,00 termasuk di dalamnya anggara untuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebesar Rp 59.172.616.000,00 . Hal tersebut disimpulkan dalam RDP yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Bambang Kristiono, (22/6).

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPI Pusat Agung Suprio berkesempatan memaparkan program KPI di tahun 2021. “”Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi masih menjadi program prioritas KPI di tahun 2020,”ujarnya. Selain beberapa program lain seperti kajian dinamika penyiaran dan evaluasi tahunan bagi stasiun televisi dengan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).

KPI juga merencanakan peningkatan fasilitas aplikasi pemantauan konten televisi, mengingat terjadi penambahan stasiun televisi yang harus diawasi, terang Agung. Selama ini sebanyak 15 stasiun televisi dengan SSJ telah dipantau secara khusus oleh KPI. Di tahun 2021, KPI berharap dapat melakukan pemantauan langsung pula kepada My TV dan O’ Channel yang sudah menjadi televisi berjaringan.  Agung juga menyampaikan program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa yang digelar KPI baik secara tatap muka langsung ataupun secara daring, menyesuaikan dengan kondisi pembatasan sosial saat ini dalam rangka pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19.

Beberapa masukan disampaikan anggota Komisi I DPR RI dalam RDP tersebut baik kepada Kemenkominfo ataupun secara khusus kepada KPI. Diantaranya masukan perwakilan Partai Gerindra, Yan Permenas, yang berpendapat bahwa kegiatan belajar online tidak efektif untuk masyarakat di wilayah 3 T (terdepan, terluar dan tertinggal) mengingat infrastruktur internet belum dapat terjangkau. Sedangkan untuk KPI, meminta agar hasil dari kajian dinamika penyiaran yang signifikan yang menjadi salah satu program strategis dapat disampaikan pada Komisi I DPR RI.

Anggota Komisi I lainnya, Muhammad Farhan dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mengapresiasi insiatif KPI dalam melakukan sosialisasi kepada publik. Farhan berpendapat, perlu dicari lagi bentuk kreatif lainnya untuk sosialisasi kepada masyarakat. “Meskipun acara penghargaan KPI yang disiarkan di televisi memiliki rating yang rendah, tapi masyarakat tetap butuh diedukasi tentang program-program siaran dengan indeks kualitas yang baik,”ujarnya.

Dukungan peningkatan anggaran bagi satker di Kemenkominfo disampaikan pula oleh anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini. Dia berharap Menkominfo dapat memberikan keleluasaan anggaran bagi KPI, Komisi Informasi dan juga Dewan Pers, guna menjalankan tugasnya baik dalam menjaga tatanan informasi yang adil dan berimbang serta menjaga kualitas demokrasi di negeri ini. Dukungan lain juga disampaikan TB Hasanuddin, dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Secara tegas dia mendukung adanya peningkatan anggaran untuk KPI dalam pengadaan alat pemantauan langsung televisi. Dengan demikian, pengawasan KPI terhadap seluruh televisi dapat berjalan optimal.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano, menerima kunjungan kerja Komisi I DPRR Provinsi Bengkulu di Kantor KPI Pusat, Jumat (19/6/2020). Foto: Agung Rahmadiansyah

Jakarta -- Anggaran KPID yang saat ini bergantung dari dana hibah pemerintah daerah (pemda) acap kali menjadi persoalan di sejumlah daerah. Dana hibah yang kadang terlambat turun, menyebabkan operasional dan kegiatan KPID termasuk gaji Komisioner jadi ikutan mandek. Bahkan, ada KPID yang listrik kantornya dicabut PLN lantaran menunggak. 

Berbagai opsi telah dicoba KPI agar problematika klasik ini dapat teratasi. Namun lagi-lagi, karena ini hibah yang bergantung kemurahan hati pemerintah daerah, masalah ini belum sepenuhnya terselesaikan. Solusi yang mungkin menyelesaikan sengkarut ini yakni dengan mencantolkan pembiayaan KPID di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dan, ini sangat bergantung hasil revisi dari Undang-undang Penyiaran yang mulai dibahas Komisi I DPR RI.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menilai jalan terbaik yang dapat menyudahi persoalan angaran KPID melalui penganggaran terpusat alias APBN. Namun semua itu bisa terwujud jika perubahan UU Penyiaran mengakomodasi harapan tersebut.

“Kami akan menyampaikan masalah ini ke Komisi I DPR dalam usulan RUU Penyiaran. Karena kami juga menginginkan seperti itu. Dengan pembiayaan melalui APBN maka KPID akan mendapatkan kepastian dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun, Undang-undang sekarang belum bisa sehingga harus menunggu revisi Undang-undang Penyiaran. Kami akan menyampaikan ke DPR agar Undang-undang ini segera disahkan dan anggaran bisa dari pusat,” kata Nuning saat menerima kunjungan Anggota DPRD Provinsi Bengkulu yang menjadi penerimaan kunjungan pertama di masa Covid-19 dengan protokol kesehatan, Jumat (19/6/2020).

Meskipun mengalami kesulitan anggaran, Nuning mengapresiasi kerja KPID Bengkulu yang tetap menjalankan tugas dan fungsinya melakukan literasi terkait covid dan sosialisasi pengawasan kampanye di lembaga penyiaran saat Pilkada 2020. “Memang gaungnya kurang massif didengar di Bengkulu, mungkin disebabkan juga karena belum ada dukungan anggaran,” tuturnya. 

Terkait gelaran Pilkada yang akan bergulir di penghujung tahun ini, Nuning mengingatkan peran sentral KPID mengawasi siaran politik di lembaga penyiaran, TV maupun radio. Menurutnya, pengawasan penyiaran Pilkada oleh KPID di setiap daerah sebuah keniscayaan. “Ini juga dapat mencegah adanya kampanye liar di lembaga penyiaran,” tambahnya.

Pentingnya keberadaan KPID turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. Menurutnya, KPID tidak hanya untuk mengawasi konten televisi dan radio lokal agar selaras aturan, tapi juga mengawasi keseimbangan pemberitaan atau iklan kampanye di lembaga penyiaran selama masa Pilkada. 

“Kampanye di masa covid akan banyak di media penyiaran. Disitulah peran KPID untuk menjaga hal itu seimbang,” katanya. 

Dalam kesempatan itu, Hardly menyampaikan tentang pentingnya kegiatan literasi agar masyarakat menjadi cerdas dan kritis terhadap media termasuk media baru. Menurutnya, masyarakat butuh referensi siaran yang baik dan berkualitas di lembaga penyiaran. Selain itu, lanjutnya, media penyiaran dapat menjadi media penjernih disinformasi yang terjadi di media online.

“DPRD dapat menjadi bagian dari literasi media, sehingga pesan dari kegiatan tersebut dapat tersampaikan dengan lebih baik kepada masyarakat. Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih atas dukungan dan juga bantuan DPRD untuk KPID Bengkulu,” tutur Hardly.

Di awal kunjungan, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, Sri Rejeki, menyampaikan proses seleksi calon Anggota KPID. Dia juga mengungkapkan perhatian eksekutif yang setengah hati untuk KPID karena dianggap kurang penting sehingga program prioritas lembaga tersebut terkendala. “Kami ingin KPID itu tetap eksis dan alangkah baiknya jika KPI Pusat mengusulkan anggaran KPID dari pusat supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan,” ujarnya. ***

 

(Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dr Abdul Kharis Almasyhari saat menjadi nara sumber Literasi Media (18/6). (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI))

Solo - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus memastikan hadirnya informasi yang berimbang tentang wabah Covid-19 di lembaga penyiaran, baik televisi dan radio. Hadirnya Informasi yang benar, berimbang dan bertanggung jawab adalah bentuk perlindungan kepada publik dari hoax ataupun informasi yang overdosis. Selain itu dibutuhkan pula literasi bagi publik yang akan mengantarkan pada budaya check and balance terhadap semua konten siaran.  Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menyampaikan hal tersebut saat menjadi berbicara dalam Webinar Literasi Media yang digelar KPI tentang “Dinamika Penyiaran Di Era Kenormalan Baru”, (18/6).

Pandemi Covid-19 mengubah banyak tatanan kehidupan masyarakat sehari-hari, termasuk juga dalam dunia penyiaran. Namun pelaksanaan penyiaran tetaplah harus mengacu pada Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, termasuk juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang menjadi panduan bagi televisi dan radio. Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah 5 mengingatkan bahwa lembaga penyiaran harus memastikan siaran yang disampaikan valid dan mencerdaskan. “Sehingga dapat mempengaruhi publik dalam meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional, sebagaimana amanat Undang-Undang Penyiaran,”ujarnya.

Terkait pandemi Covid-1 ini, dia berharap jangan sampai ada konten siaran yang mengakibatkan ketakutan berlebihan atau menyepelekan secara serampangan di masyarakat. “Jangan sampai overdosis hingga masyarakat bukannya aware malah stress, atau sebaliknya jangan menganggap enteng sehingga masyarakat abai,” tegas politisi yang pernah menjadi Ketua Komisi I DPR RI ini.

KPI harus memantau betul informasi soal Covid, tambahnya. Informasi Covid berlebihan dapat menjadi penyakit yang lebih ganas dibanding virus itu sendiri. Begitu juga sebaliknya, jangan sampai karena sudah jenuh dengan pembatasan dan di rumah saja hingga dua bulan, dimunculkan berita sudah tidak ada apa-apa, sehingga masyarakat kembali tumpah ruah di jalan.  

Secara khusus,  dirinya mengingatkan media untuk tetap mengambil pertimbangan dari dunia medis. Kita harus menenggang para tenaga medis yang berkorban dan berjuang menyelamatkan masyarakat dari bahaya Covid-19. “KPI harus mendorong agar muncul pemahaman yang benar di masyarakat, sehingga pejuang kesehatan yang sedang berjuang tidak sia-sia, masyarakat,”ujarnya.

Abdul Kharis menilai, beberapa masalah yang muncul di masyarakat seperti pengusiran tenaga medis, penolakan dan pengambilan paksa jenazah, adalah akibat informasi tidak valid yang berakibat fatal dan menimbulkan disharmoni. Lembaga penyiaran adalah benteng penyaring informasi publik dari hoax atau informasi palsu. “ “Bayangkan mereka yang berjuang mati-matian mengobati orang-orang yang sakit, tiba-tiba tidak boleh pulang ke rumah! Ini dampak masyarakat mendapatkan informasi yang tidak benar,”tegasnya. Tenaga medis adalah orang yang paling paham menangani diri dalam mencegah penyebaran penyakit covid 19.

Abdul Kharis juga mengajak masyarakat untuk bijak mengolah informasi dan ikut mengawasi konten yang muncul di lembaga penyiaran. Peran aktif masyarakat ini, menurutnya sangat diperlukan untuk menciptakan penyiaran yang sehat dan berimbang. Dengan demikian lembaga penyiaran juga berkontribusi optimal dalam memutus penyebaran Covid-19. “Di tengah kenormalan baru ini saya berharap dengan literasi ini masyarakat dapat melakukan control dan feedback bagi lembaga penyiaran. Inilah bentuk kerja sama dan bahu membahu kita agar Covid ini berlalu, berhenti dan dapat ditanggulangi,” pungkasnya.

 

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Foto: Agung Rahmadiansyah

Jakarta -- Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia dan tanah air, tidak menyurutkan langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk terus mencerdaskan masyarakat melalui Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) secara daring. Gerakan yang menjadi program prioritas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan telah berjalan sejak awal 2020 di Surabaya dan Yogyakarta, diharapkan mampu mengubah cara pandang dan pilihan masyarakat agar berpaling mengkonsumsi siaran berkualitas dan baik.

Bertempat di ruang rapat Kantor KPI Pusat, Selasa (18/6/2020) pagi, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, dengan penuh semangat menyampaikan materi presentasi literasi kepada sekitar 300 peserta webinar Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa untuk mahasiswa dan masyarakat Solo dan sekitarnya. Mulai dari persoalan rating, kebiasaan menonton masyarakat, hingga perlunya pembaharuan regulasi penyiaran disampaikan oleh PIC GLSP 2020 ini.

“Dalam era kenormalan baru ini. Harus ada perubahan terkait regulasi penyiaran kita. Selain juga penguatan program literasi dengan tujuan menstimulasi masyarakat ke arah yang lebih baik dalam mengkonsumsi media atau tayangan,” katanya di sela-sela presentasi.

Menurut Nuning, cara pandang masyarakat terhadap media ataupun tayangan harus diasah sedemikian rupa agar mereka lebih kritis sehinga tidak mudah terpengaruh. Selain itu mereka harus dapat membedakan dan memilah siaran yang pantas, baik dan berkualitas untuk dinikmati. “Jika tingkat kepemirsaan siaran menjadi baik, hal ini akan mempengaruhi lembaga penyiaran untuk membuat siaran yang baik dan berkualitas,” jelasnya.

Memasuki era kenormalaan baru ini, banyak informasi palsu membanjiri ruang-ruang informasi di media sosial. Terkadang info ini ditelan lalu disebar kembali begitu saja oleh masyarakat. Hal inilah yang dikhawatirkan KPI dan banyak pihak. Karenanya, peran literasi sangat signifikan dan tak salah jika Nuning menganggap hal ini sebuah keniscayaan.  

Di ruang diskusi yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis, menyatakan fungsi media sebagai komunikasi massa harus menerapkan kebijakan yang ketat ketika akan menyampaikan informasi. Menurut dia, informasi itu harus benar-benar terverifikasi, benar, seimbang dan bertanggungjawab. Pasalnya, media memiliki pengaruh besar pada masyarakat. Pasalnya, informasi yang tidak valid akan berakibat fatal. "Hal-hal itu harus benar-benar diperhatikan lembaga penyiaran," katanya.

Dukungan terhadap gerakan literasi juga diutarakan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Sofyan Anif. Literasi, menurut Sofyan, dapat membentuk sikap masyarakat untuk selektif terhadap informasi yang akan dikonsumsi. Jika hal ini terbentuk, akses berita palsu atau hoax dapat ditangkal.

“Membangun budaya literasi sangat baik. Pasalnya banyak siaran dari luar dan itu harus ada seleksi agar tidak terjebak pada hoax informasi yang tidak punya arti sama sekali. Karena itu, saya mendorong gerakan literasi ini tidak hanya untuk sejuta pemirsa saja tapi berjuta-juta. Semua masyarakat Indonesia harus menjadi target literasi ini,” kata Sofyan.

Selain itu, agenda literasi yang berkelanjutan akan meningkatkan indeks literasi Indonesia yang masih tertinggal di bawah negara ASEAN. Sofyan mengungkapkan, indeks kita masih 1 banding 1000 penduduk. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya budaya membaca di masyarakat.  

“Kita harus membimbing mereka agar mereka bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Dalam kondisi seperti sekarang ini, tugas KPI menjadi sangat strategis karena masyarakat jadi lebih banyak di rumah,” ujar Sofyan.

Sementara itu, Host sejumlah program acara TV, Irfan Hakim, salah satu narasumber GLSP Solo, menceritakan bagaimana pola kerja mereka di tengah kondisi pembatasan untuk penanggulangan dan pencegahan Covid-19. Penerapan kebijakan social distancing awalnya membuat canggung para host acara karena harus saling menjaga jarak.”Seperti agak rancu dan suasana studi menjadi lenggang karena tidak ada penontonnya. Sesuatu yang saya rindukan ketika penonton ada. Kami pun jadwal kerjanya jadi dibagi-bagi,” katanya.

Namun begitu, Irfan menilai hal itu sangat wajar karena yang terpenting adalah bagaimana menghindari dan mencegah penyebaran dari virus tersebut. “Kami pun ikut menyampaikan pentingnya untuk menjaga kesehatan dan berada di rumah. Pesan ini kami sampaikan terus menerus. Kita jangan lengah dan tetap waspada,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.