Bandung -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberi perhatian besar terhadap tumbuh kembang lembaga penyiaran radio di tanah air. Menurut KPI, peran radio makin penting dalam menangkal segala bentuk informasi yang tidak benar dan tak dapat dipertanggungjawabkan, terlebih di era disrupsi media saat ini.

Pandang tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat Ubaidillah ketika membuka kegiatan Radio Academy dan Radio Boothcamp di Bandung, Jawa Barat, awal pekan ini.

Oleh karenanya, ujar Ubaidillah, insan radio tidak boleh berhenti berkarya apalagi sampai patah arang untuk mengisi peran baik tersebut. Ini tidak lain karena radio memiliki peran vital dalam membentuk kognisi masyarakat di Indonesia, dengan pemberitaan yang baik, berimbang dan terverifikasi kebenarannya.

“Apalagi 27 November mendatang kita akan melaksanakan pilkada serentak dan Jawa Barat dengan populasi terbesar di Indonesia juga akan turut melaksanakannya. Insan radio harus memberitakan momentum akbar ini dengan berpegang teguh terhadap regulasi, dan tentunya jaga masyarakat Jawa Barat, agar tidak termakan berita hoaks, berita rasisme, berita yang berupaya memecah belah persatuan bangsa, karena bagi kami radio adalah, penjernih bagi seluruh informasi yang berkembang di masyarakat,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Ketua KPI Pusat mengapresiasi kerja dan kinerja insan-insan radio di Indonesia, termasuk Jawa Barat. Hal ini dikarenakan pelanggaran yang terjadi di media dengar ini sedikit sekali jika dibanding dengan lembaga penyiaran lain.

“Secara umum kinerja radio sudah sangat baik, dalam memberikan informasi, edukasi maupun hiburan meski begitu jangan berpuas diri dan terus tingkatkan hal hal tersebut, selain itu peningkatkan segmented-nya juga perlu di tingkatkan,” kata Ubaidillah di depan 150 insan radio dari 6 klaster se-Jawa Barat yang hadir dalam acara tersebut.

“Begitupun dalam ketaatan dan kepatuhannya dalam menjalankan regulasi, selama saya menjabat sejak 2023 sampai sekarang, baru satu radio yang ditemukan melanggar, itupun karena kesalahan penempatan iklan, yang seharusnya disiarkan di jam dewasa (malam) tersiarkan di jam lain,” tambahnya.

Dia juga berharap agar pelaksanaan Radio Academy dapat dilakukan di daerah lain. Kegiatan ini sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas penyiaran, baik dari aspek siaran dan SDM di lembaga penyiaran radio. “Kami tidak bisa melakukannya sendiri, Kami perlu dukungan semua stakeholder seperti KPID dan PRSSNI,” tuturnya. 

Sementara itu, Ketua KPID Jabar Adiyana mengatakan, kegiatan ini merupakan upaya bersama untuk meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki insan radio, termasuk bukti nyata hadirnya negara di tengah-tengah mereka.

“Ini menjadi salah satu spirit kita semua, bahwa radio tetap ada, radio tetap dibutuhkan, kedekatan radio dengan pendengarnya bisa kita buktikan dari harsiarda, sampai kemarin kita mengadakan pra event bagi-bagi radio ternyata antusiasnya sangat tinggi,” katanya.

Adiyana memaparkan, ada tantangan besar yang dihadapi insan radio sebagai institusi penting dalam menjernihkan informasi bagi masyarakat. Tantangan-tantangan tersebut seperti kualitas SDM hingga perkembangan teknlogi.

"Negara harus melindungi industri dan berbagai persoalan di lembaga penyiaran. Tentunya pesan kami dengan agenda ini, yakni SDM harus meningkat dan negara pun harus adil memperlakukan industri penyiaran atau media, di tengah distrupsi informasi dan tekhnologi ini,” jelasnya.

Senada dengan pernyataan Ketua KPI Pusat, Adiyana memastikan radio di Jabar merupakan institusi yang sangat luar biasa dan konsisten dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk sebagai insan penyiaran yang taat terhadap regulasi.

“Kita harus memposisikan radio ini tidak hanya sekadar objek pengawasan namun juga harus kita dudukan sebagai institusi yang harus kita selamatkan. Ketika kami berkeliling ke 27 kabupaten kota, seperempat radio ada di Jawa Barat, dan mereka sangat clear, untuk permasalahan taat regulasi dan program-program yang dimunculkan untuk pembangunan sumberdaya manusia di Jawa Barat,” papar Adiyana.

Dia berharap, insan radio di Jawa Barat terus berkreasi berkarya, termasuk memberikan edukasi yang baik untuk menyelamatkan kognisi masyarakat khususnya di Jawa Barat, guna menyongsong Indonesia Emas 2045.

“Akademi radio dan radio bootcamp ini menjadi spirit bagi seluruh insan radio, tetaplah berjalan tegap walaupun kepungan sana sini bahwa yakinlah radio ini harus survive untuk menyelamatkan kognisi-kognisi masyarakat dan Indonesia,” harapnya.

Apresiasi dari PRSSNI 

Di tempat yang sama, Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Muhammad Rafiq mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi langkah KPI dalam upaya pengembangan radio di Indonesia melalui kegiatan Radio Academy. Menurutnya, salah satu upaya radio menghadapi persaingan dengan media baru adalah dengan mengembangkan kreativitas dan kualitas di semua aspek penyiaran termasuk SDM-nya.

Dia menilai, disrupsi media atau digital mengubah semua yang ada di industri media mainstream. Seperti merubah cara-cara orang mengkonsumsi media, merubah peta persaingan antar media, mengumpulkan dan mengelola data, hingga merubah cara orang memasang iklan. 

“Karena yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengembangkan SDM. Dari dulu Jawa Barat secara umum selalu menjadi rujukan industri kreatif untuk masyarakat berkaitan fashion, kuliner, event, pariwisata termasuk radio. Jawa Barat dan Bandung itu adalah parameter yang dijadikan rujukan oleh radio di seluruh Indonesia,” kata M. Rafiq. 

Selain itu, lanjutnya, perlu ada perubahan signifikan terhadap organisasi dan managemen dalam radio agar lebih modern. Sehingga kehadiran radio tetap eksis di tengah dengan persaingan media lainnya. “Saya sangat mengapresiasi KPI yang menasionalkan program Radio Academy. Karena KPI itu bukan hanya sebagai polisi lalu lintas namun juga terkait dengan kesejahteraan di industrinya,” tutup M. Rafiq.

Dalam kegiatan ini, turut hadir PIC kegiatan Radio Academy sekaligus Anggota KPI Pusat, I Made Sunarsa, Anggota KPI Pusat, Mimah Susanti dan Tulus Santoso. Hadir pula Anggota KPID Jabar dan para narasumber yang mengisi kegiatan tersebut. ***/Foto: Teddy

 

 

 

Depok – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi salah satu dari 18 tim CSIRT dari Kementerian/Lembaga/Kabupaten dan kota di Indonesia yang berpartisipasi dalam peluncuran Computer Security Incident Response Team (CSIRT) atau Tim Tanggap Insiden Siber (TTIS) yang digelar oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Acara peluncuran yang berlangsung di Aula BSSN, Depok, Kamis (22/8/2024) ini ditandai dengan penekanan tombol secara serentak dan penyerahan Surat Tanda Registrasi (STR) oleh Kepala BSSN, Hinsa Siburian. Dalam peluncuran ini, KPI diwakili langsung Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri.

Usai peluncuran tim tersebut, Umri berharap tim ini akan lebih efektif dalam mendeteksi dan merespons insiden keamanan siber, sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap operasional dan data penting. 

“CSIRT diharapkan juga mampu meningkatkan kesiapan dan kesadaran keamanan di seluruh organisasi, memastikan pemulihan cepat dari insiden, serta menjaga kepatuhan terhadap regulasi keamanan siber,” kata Umri kepada kpi.goi.d. 

Selain itu, KPI berharap CSIRT dapat memperkuat koordinasi dan kolaborasi dengan pihak eksternal untuk berbagi informasi dan mengadopsi praktik terbaik dalam keamanan siber, sehingga menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan terproteksi.

Computer Security Incident Response Team atau CSIRT) dibentuk untuk merespons meningkatnya ancaman keamanan siber yang semakin kompleks. Tim ini bertugas mendeteksi, merespons, dan memitigasi insiden keamanan, serta memastikan integritas dan ketersediaan sistem informasi organisasi. CSIRT juga berfungsi untuk memenuhi regulasi, mempercepat pemulihan, dan meningkatkan kesiapan serta kesadaran organisasi terhadap risiko siber. ***

 

 

Jakarta -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 secara serentak akan berlangsung di 33 Provinsi dan 416 Kabupaten/Kota di Indonesia. Sayangnya, dari ke 416 Kabupaten/Kota tersebut, masih terdapat 113 Kabupaten/Kota yang belum sepenuhnya menerima siaran free to air teresterial alias blankspot. Kondisi ini tentunya akan menyulitkan pihak penyelenggara dan juga kontestan untuk sosialisasi dan mengkomunikasikan pesan politiknya ke masyarakat.

Menyikapi hal ini, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Mohamad Reza menyampaikan, pihaknya merekomendasikan pihak penyelenggara maupun para kontestan untuk menggunakan jasa lembaga penyiaran lain yakni lembaga penyiaran berlangganan (LPB) berizin yang ada di daerah tersebut. Pasalnya, keberadaan LPB di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau siaran free to air terbilang banyak.

“Penyelenggara bisa memanfaatkannya, baik itu LPB jenis kabel maupun LPB jenis satelit di daerah tersebut. Tapi ingat, harus LPB yang sudah memiliki izin penyelenggara penyiaran (IPP). Di luar itu, tidak boleh,” kata Mohamad Reza, Kamis (15/8/2024) di Jakarta.

Dia beralasan, pemanfaatan lembaga penyiaran dalam hal ini LPB setempat akan sangat baik untuk kebutuhan kampanye dan debat. Selain karena efektif, informasi yang berasal dari lembaga penyiaran setempat sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut.

Kendati demikian, lanjut Mohamad Reza, pemanfaatan LPB ini harus memperhatikan Peraturan KPI (PKPI) No.1 tahun 2015 terkait persyaratan program siaran di lembaga penyiaran berlangganan. 

Berdasarkan aturan tersebut, KPI menggarisbawahi tiga hal yang harus dipatuhi LPB yakni pertama, sumber materi acara LPB dapat berasal dari kerjasama produksi antara LPB yang bersangkutan dengan rumah produksi yang memiliki badan usaha yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kedua, sumber materi acara LPB dapat berasal dari rumah produksi yang memiliki badan hukum sendiri yang berafiliasi dengan LPB yang bersangkutan. Ketiga, LPB wajib menjamin penyedia program siaran yang programnya disalurkan memiliki badan usaha sesuai peraturan perundang-undangan.  

“Legalitas sebuah lembaga penyiaran itu mutlak bagi kami, namun kepatuhan terhadap aturan yang berlaku juga harus ditegakkan,” tegasnya.   

Pada kesempatan ini, merespon keluhan lembaga penyiaran perihal persyaratan iklan terkait penambahan sertifikasi dari lembaga lain selain IPP, Reza mengatakan hal itu tidak perlu. Menurutnya, lembaga penyiaran yang sudah memiliki IPP adalah lembaga penyiaran yang berizin sah dari negara. 

“Karenanya lembaga penyiarran ini sudah berhak melakukan usaha sesuai jenis lembaga penyiarannya dan mereka juga sudah resmi dilakukan pengawasan oleh KPI,” tuturnya. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi teguran tertulis untuk Program Siaran “Bang Tobat” yang ditayangkan stasiun BTV. Program siaran jurnalistik ini kedapatan menayangkan cuplikan wawancara yang dinilai melanggar aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. 

Dalam siaran “Bang Tobat” tanggal 30 Juli 2024 pukul 11.08 WIB ditampilkan wawancara seorang Polisi tentang “Gadis SMP Diperkosa Ayah dan Paman Tiri” yang terjadi di Lampung Tengah. Wawancara tersebut memuat pernyataan yang tidak pantas dari host yaitu “..kan bisa jajan, ngapain harus perkosa anaknya, aduh..”.

Demikian dijelaskan KPI Pusat dalam surat teguran tertulis pertama untuk Program Siaran “Bang Tobat” yang telah dilayangkan KPI Pusat ke BTV, beberapa waktu lalu.

Menanggapi teguran ini, Anggota KPI Pusat, Aliyah menyatakan, pernyataan host tersebut mengesankan tidak menghargai martabat perempuan. Hal ini jelas tidak bisa ditolerir dan melanggar ketentuan terkait prinsip-prinsip jurnalistik.

“Semestinya pernyataan seperti ini tidak boleh ada dalam siaran. Isi siaran harusnya menyampaikan hal-hal atau informasi yang mendidik dan mengarahkan pada perbuatan  yang baik,” ujar Anggota KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran ini.

Aliyah juga mengatakan pernyataan tersebut melanggar Pasal 22 ayat (3) di P3 yang menyatakan lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta P3SPS. Selain itu, pernyataan ini juga melanggar Pasal 40 huruf a. 

“Program siaran jurnalistik wajib memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik: akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan,” kata Aliyah.

Dalam kesempatan ini, Aliyah meminta BTV dan lembaga penyiaran lainnya untuk lebih berhati-hati dan  memperhatikan aturan penyiaran yang berlaku. “Ini menjadi pelajaran bagi semuanya untuk lebih jeli dan berhati-hati ketika menyampaikan sesuatu terkait hal-hal yang tidak boleh dalam siaran. Kami harap ini tidak terulang kembali,” tutupnya. ***

 

 

Jakarta -- Tahun ini, tepatnya di tanggal 17 Agustus 2024, usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mencapai 79 tahun. Sayangnya, di usia kemerdekaan yang terbilang tak muda ini, masih ada sebagian dari masyarakat kita, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) yang belum menikmati kemerdekaan atas informasi dari negerinya alias blankspot. Padahal, hadirnya sistim siaran TV digital pengganti siaran TV analog digadang-gadang akan menyelesaikan sengkarut tersebut.

Menanggapi situasi ini, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza mengatakan, pihaknya mengusulkan adanya komunikasi dan sinergi antar pihak khususnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menginventarisasi ulang masalah dan penyelesaiannya. “Karena itu perlu pelibatan daerah,” katanya di sela-sela diskusi bertajuk “Pemerataan Informasi Hingga Daerah 3 T”, yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan Biro Humas dan Pemberitaan Parlemen DPR RI, Selasa (13/8/2024) di bilangan Senayan, Jakarta. 

Sebelum itu, saat mengawali paparannya, Reza mengingatkan tentang Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi bahwa bumi, air dan segala kekayaaan yang terkadung di dalamnya harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Menurutnya, frekuensi sebagai kekayaan alam adalah sesuatu yang harus dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. 

“Ada kompensasi dari pemanfaatan frekuensi. Kompensasi pemanfaatan frekuensi itu harus diselesaikan dengan menyediakan akses gratis siaran teresterial free to air untuk masyarakat,” tambah Wakil Ketua KPI Pusat ini.  

Dalam satu kesempatan berkunjung ke Provinsi NTB tepatnya di daerah Obel-obel, Reza menemukan fakta tersebut. Dia mendapati bahwa baru satu tahun belakangan ini masyarakat di sana telah menerima siaran TV free to air secara gratis. 

“Bayangkan, sudah berapa puluh tahun kita merdeka dan mereka baru menerima secara gratis. Jadi, ketika mereka kalau mau menonton presidennya bicara atau diskusi di DPR nya, itu mereka harus bayar melalui LPB (lembaga penyiaran berlangganan). Kita tidak bisa salahkan karena hanya itu instrumen yang tersedia,” lanjutnya.    

Bahkan, tak jauh dari Kota Jakarta, tepatnya di Jawa Barat (Jabar), masih banyak daerah seperti Bandung wilayah timur, Bandung wilayah Selatan, Bandung Barat wilayah selatan, Subang, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, Cianjur wilayah Selatan, dan Sukabumi, yang blankspot. “Itu masih di pulau Jawa. Belum lagi di daerah lain seperi Maluku, Sulbar dan daerah lainnya,” ujar Echa, biasa disapa.  

Karenanya, KPI menilai perlu pembicaraan secara serius agar akses informasi dapat menjangkau seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, tidak boleh ada masyarakat Indonesia yang tidak menerima informasi. “Masalah infrastruktur penyiaran ini menjadi konsen KPI. Ini akan kami sampaikan secara resmi agar kemudian pemerintah dan teman-teman di daerah bersama-sama menata kembali dan menginventarisir agar siaran free teresterial dapat diterima masyarakat Indonesia,” ungkap Reza.  

Ingatkan pemerintah

Sementara itu, Anggota DPR RI Yan Permenas Mandenas meminta Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam upaya pemerataan informasi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. "Sehingga antara pemda dengan Kominfo selaku perwakilan pemerintah pusat yang melaksanakan program ini bisa sinkron dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pusat yang harus didukung oleh pemerintah daerah," katanya secara daring dalam diskusi tersebut.

Selain itu, lanjut Yan Permenas, salah satu tantangan yang dihadapi dalam upaya pemerataan penyiaran di Indonesia adalah pola hidup masyarakat yang hidupnya berpindah-pindah di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya di daerah 3T. "Pola hidup mereka yang berkelompok, yaitu dengan tradisi mereka yang misalkan sebagai kelompok petani, mereka bisa memilih di balik gunung, di lembah, dan lain sebagainya, ini kadang-kadang jauh dari jangkauan, begitu pula juga yang di daerah pulau-pulau terluar," katanya.

Terkait kondisi tersebut, Dia memandang Kemenkominfo perlu melakukan analog switch-off secara bertahap, mengingat kondisi di daerah 3T infrastrukturnya belum sepenuhnya optimal untuk mendukung digitalisasi penyiaran nasional. Yan berharap agar pemerintah ke depannya melakukan pemetaan ulang penyebaran infrastruktur siaran digital di daerah-daerah Indonesia, khususnya di daerah 3T.

"Sehingga memang kebijakan yang dilakukan pemerintah setidaknya harus mengikuti kemampuan kita dalam melakukan mapping terhadap infrastruktur kita yang tersedia, begitu pula dengan alokasi anggaran kita dengan target waktu yang ada," ujarnya.

Apabila pemerintah berhasil mengatasi hal tersebut, lanjut Yan, maka secara perlahan-lahan masyarakat, dalam hal ini lembaga penyiaran swasta, akan berpartisipasi dalam mengaplikasikan program yang sudah didistribusikan oleh pemerintah melalui amanah digitalisasi penyiaran dalam Undang-Undang (UU) Penyiaran.

"Saya pikir inilah salah satu yang membuat kenapa (lembaga penyiaran) swasta ini semua kelihatannya belum patuh, ya belum patuh untuk melaksanakan hal ini. Nah, jadi harapan saya ke depan mungkin Kominfo harus menata ulang ini kebijakan kita dalam rangka percepatan digitalisasi penyiaran di semua wilayah di Indonesia, terutama untuk daerah-daerah 3T," tandas Yan Permenas Mandenas. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.