Jakarta --  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mengupayakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran melalui kegiatan Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standat Program Siaran). Kegiatan ini menjadi wadah menimba wawasan tentang aturan penyiaran sekaligus mengasah kemampuan analisa dan sensitifitas masyarakat khususnya insan penyiaran terhadap bentuk tayangan.

Sejak kemarin (30/8/2023) hingga Kamis (31/8/2023), puluhan peserta Sekolah P3SPS Angkatan 47 mendapatkan materi berharga mengenai penyiaran para narasumber dari luar dan internal KPI Pusat. Pada hari ini, materi sekolah ditekankan pada elemen tayangan yang paling banyak mendapat soroton KPI  yakni tentang siaran berbau pornografi.

Terkait materi ini, Anggota KPI Pusat Aliyah, menekankan beberapa hal yang harus diperhatikan khususnya tim produksi di lembaga penyiaran. Hal-hal itu menyangkut aturan yang ada dalam P3SPS seperti larangan menampilkan ketelanjangan dan/atau alat kelamin. Dilarang menampilkan adegan  yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan. 

Selain itu, dilarang menayangkan kekerasan seksual, menampilkan suara yang menggambarkan berlangsungnya aktivitas seks dan/atau persenggamaan. Aturan ini juga dilarang menampilkan percakapan tentang rangkaian aktivitas seks dan/atau persenggamaan. Hal-hal lebih lengkap mengenai aturan ini terdapat dalam Pasal 18 di Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012.

Aliyah juga menjelaskan secara rinci aturan tentang siaran iklan termasuk penayangan siaran iklan rokok dan produk atau jasa untuk dewasa seperti alat kontrasepsi dan lainnya. Pasalnya. dari catatan sanksi KPI Pusat masih ada pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran terhadap aturan siaran tersebut. 

Menganai siaran pemberitaan serta iklan dan kampanye Pemilu 2024, Aliyah meminta peserta untuk memahami secara dalam aturan penyiaran pemilu yang ada dalam Pasal 71 SPS KPI. Dia menegaskan jika pengawasan KPI terhadap siaran pemilu sangat ketat. Hal ini untuk memastikan seluruh komponen, baik kontestan maupun masyarakat, mendapatkan keadilan dan porsi yang proporsional dalam siaran.

“Program siaran harus memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan  secara adil serta proporsional dalam pemberitaan kegiatan kampanye peserta pemilu. Program siaran jangan dimanfaatkan untuk pemberitaan kepentingan peserta pemilu tertentu,” katanya.

Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menerangkan aturan menyangkut siaran lokal, asing dan sistem stasiun jaringan (SSJ). Dia juga menekankan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, keagamaan, ras dan antar golongan. Selain juga perlindungan kepentingan publik, layanan publik, dan penghormatan terhadap hak privasi. 

“Siaran asing berdasarkan SPS KPI Pasal 67 dapat disiarkan dengan ketentuan tidak melebihi 30% dari waktu siaran per hari. Adapun aturan SPS Pasal 68 menyatakan program siaran lokal wajib diproduksi dengan durasi paling sedikit 10% untuk televisi dan paling sedikit 60% untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per-hari,” jelas Ubaidillah. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menambahkan materi tentang program siaran jurnalistik, program siaran terkait rokok, napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) dan minuman beralkohol serta siaran mistik, horror dan supranatural. Di sela-sela materi tersebut, dijelaskannya aturan Pasal 18 P3 bahwa lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program terkait muatan rokok. napza, dan minuman beralkohol. 

“Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program terkait muatan mistik, horror dan supranatural. Aturan ini ada di pasal 20 dalam pedoman perilaku penyiaran KPI,” tandasnya. ***/Foto: Maman

 

 

Jakarta - Wacana pengaturan konten layanan Over The Top (OTT) yang tengah dibahas DPR sangat dibutuhkan demi membangun level of playing field yang setara dengan penyiaran free to air (FTA) di tanah air. Kehadiran asosiasi seperti Asia Video Industry Association (AVIA) dan Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI) dapat menjadi pengaya substansi pengaturan OTT yang diwacanakan akan masuk dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran. Hal ini diungkap Amin Sabhana, Anggota Bidang Kelembagaan KPI Pusat, usai menghadiri diskusi panel pada State of Piracy yang diselenggarakan AVIA di Jakarta, (30/8). 

“Ada permasalahan kompleks yang berkembang dalam layanan OTT, seperti perizinan, materi siaran, pembajakan dan juga klasifikasi siaran,” ujar Amin. Mengingat sebagian besar penyedia layanan OTT ini berbasis di luar negeri, tentu tidak mudah dihadapi jika dibebankan pengaturan dan pengawasan tersebut kepada KPI saja. 

KPI sendiri memiliki perhatian yang besar terhadap hak cipta yang harus dihormati dalam setiap program siaran di televisi, baik di FTA atau pun televisi berbayar (Pay TV). Apalagi dengan makin terbukanya kesempatan memproduksi konten dan menyiarkannya lewat saluran televisi digital yang mengakibatkan jumlah televisi berlipat-lipat dari sebelumnya.  

Meskipun hingga saat ini KPI belum mendapat kewenangan dalam layanan OTT, termasuk terkait pembajakan, Amin mengingatkan tentang pengalaman industri perfilman yang sempat mati suri akibat aksi pembajakan. Untuk itu, pembajakan yang terjadi dalam layanan OTT harus dicermati dengan cepat sesuai regulasi yang ada. “Bila tidak ada law enforcement yang tegas, praktik pembajakan tentang akan merugikan industri media dan mengakibatkan bisnis ini tidak berjalan dengan sehat. 

Pada pertemuan itu juga dilaksanakan penandatanganan kerja sama antara AVIA dan AVISI dalam rangka menanggulangi pembajakan yang menjadi isu global dalam industri pembuat konten. Dalam diskusi panel tersebut diungkap hasil survey konsumen terbaru dari Coalition Against Piracy (CAP) yang mengungkat 54% konsumen Indonesia mengakses layanan pembajakan pada tahun 2023. 

Namun demikian, survey CAP ini mengungkap adanya peningkatan kesadaran hingga 94% bahwa pembajakan ini memiliki konsekuensi negatif terhadap industri kreatif. Menurut CEO AVIA, Louis Boswell, pembajakan merupakan satu-satunya masalah terbesar yang dihadapi industri video dan untuk menyelesaikan masalah ini harus melakukan pendekatan pada multistakeholder. 

Ini juga yang menjadi alasan bagi AVIA untuk bekerja sama dengan AVISI dalam memberantas pembajakan, serta melindungi dan mempromosikan konten-konten di Indonesia. Kedua organisasi ini selain sepakat untuk memperkuat pertahanan dan mendorong akses hukum terhadap konten, juga akan memperjuangkan hak-hak pembuat konten untuk menumbuhsuburkan ekosistem konten kreatif. (Foto KPI Pusat/ Intantri K)

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Malaysian Communications and Multimedia Commissions (MCMC) menggelar pertemuan perdana melalui daring, Senin (28/8/2023). Pertemuan ini untuk mempererat kerjasama kedua lembaga sekaligus mempersiapkan pembentukan forum regulator penyiaran di negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). 

Dalam pertemuan ini, hadir Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, Anggota KPI Pusat, Amin Shabana, Evri Rizqi Monarshi, Mimah Susanti dan I Made Sunarsa serta Kepala Sekretariat KPI Pusat Umri. Adapun MCMC diwakili Shaharliza, Faisal Hamdi, Suraya, dan Mawar Latif.

Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, pertemuan ini dalam rangka membentuk sinergi kedua belah pihak. Selain itu, banyak hal yang menjadi bahasan khususnya terkait perkembangan penyiaran dan multimedia di kedua negara. 

“Kami perlu mengetahui bagaimana proses pengawasan siaran, penerapan ASO, bisnis penyiarannya, serta model literasi di Malaysia,” ujarnya. 

Anggota KPI Pusat Amin Shabana menambahkan, pertemuan ini bagian dari upaya KPI mempertemukan seluruh regulator penyiaran di ASEAN dalam sebuah forum penyiaran. Menurutnya, pembentukan forum penyiaran ASEAN diperlukan. Tidak hanya untuk pengembangan penyiaran di kawasan, tapi juga menyangkut tukar menukar informasi mengenai dinamika regulasi penyiaran di masing-masing negara. 

“Kami sebelumnya sudah melakukan pertemuan dengan Duta Besar Malaysia di Jakarta. Kami menyampaikan kepada beliau bahwa kami berinisiatif mempererat kerjasama dengan lembaga sejenis. Kami juga sudah bertemu dengan Dubes lainnya,” kata Amin yang secara khusus menyampaikan maksud pertemuannya dengan MCMC untuk belajar cara bagaimana Malaysia mengatur penyiaran multimedia. 

Sementara itu, Suraya dari MCMC menjelaskan tentang tugas dan fungsi lembaganya. MCMC berdiri pada 1 November 1998 merupakan regulator yang mengatur sektor penyiaran dan telekomunikasi di Malaysia. Lembaga ini berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Digital Kerajaan Malaysia.  

Dia mengatakan regulasi penyiaran di Malaysia tidak banyak. Hal ini dikarenakan jumlah pendudukannya yang tidak sebesar Indonesia. “Sekarang ini kami sedang mengkaji 5G broadcasting, ini untuk penyiaran yang lebih efektif. Baik itu dari segi biaya dan lainnya,” tutur Suraya. 

MCMC juga melakukan survei dan analisis untuk mendapatkan data jumlah dan kepuasaan penonton pada FTA (free to air) TV. Sekarang, MCMC tengah membuat blue print tentang industri penyiaran  di Malaysia. Hal ini untuk memastikan model bisnis yang tepat bagi industri penyiaran di negaranya. ***

 

 

Jakarta - Televisi dan radio diharapkan dapat ikut mendorong keterlibatan masyarakat membantu mengatasi stereotype negatif atau prasangka terhadap budaya dan kelompok tertentu, dengan menyebarkan informasi yang akurat dan berimbang. Hal ini didasarkan dengan keberagaman masyarakat Indonesia yang membutuhkan sosialisasi serius dengan data yang akurat, agar dapat meningkatkan tolerasi sebagai sesama anak bangsa. 

Hal ini disampaikan anggota Komisi I DPR RI Krisantus Kurniawan saat menjadi pemateri dalam Kuliah Umum di Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) angkatan 47 yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Jakarta, (30/8).  

Dalam materi yang mengambil topik “Tanggungjawab Sosial Lembaga Penyiaran dalam Menjaga Karakter Bangsa, Krisantus juga menjelaskan secara rinci tentang pentingnya karakter bangsa dalam keberlanjutan dan identitas suatu negara. “Bukan hanya tentang membangun pondasi moral dan etika masyarkaat, tetapi juga tentang membentuk dasar untuk memahami dan menghargai identitas nasional,” ujarnya. 

Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Barat II yang meliputi kabupaten yang bersebelahan dengan negara tetangga, Krisantus menilai, media baik melalui lembaga penyiaran atau pun media sosial, memiliki fungsi yang strategis dalam menjaga karakter bangsa. “Media memiliki potensi besar untuk menyebarkan nilai-nilai positif, budaya, dan sejarah bangsa secara luas dan efektif,  termasuk diantaranya soal kekhasan dari setiap suku bangsa di  negeri ini,” tambahnya. 

Secara khusus Krisantus berharap, media juga dapat dioptimalkan untuk menyosialisasikan informasi tentang tradisi-tradisi budaya yang menjadi kekayaan negeri ini, seperti festival, upacara atau pun ritual tertentu. “Dengan adanya sosialisasi melalui media, tentu akan membantu masyarakat memahami dan menghargai warisan budaya negerinya sendiri,” tegas Krisantus.

Sekolah P3SPS sendiri merupakan kegiatan KPI Pusat dengan target peserta pelaku di industri penyiaran. Kegiatan ini digelar untuk memberi kesempatan pada pekerja di sektor penyiaran memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus Santoso, dalam acara ini menyampaikan kerangka dasar regulasi penyiaran yang saat ini menjadi sandaran bagi para pembuat konten siaran baik itu televisi dan radio. 

Melihat dari kronologi undang-undang penyiaran, Tulus mengungkap, secara perlahan sudah dilakukan pengurangan kewenangan KPI dari yang sesungguhnya diharapkan pembuat regulasi ini. Misalnya saja, kewenangan membuat peraturan pemerintah bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika yang kemudian dihilangkan setelah adanya pengajuan judicial review dari beberapa lembaga dan pemangku kepentingan penyiaran. Yang terakhir, tambah Tulus, adalah pencabutan kewenangan KPI dalam proses perizinan lembaga penyiaran lewat undang-undang cipta kerja. “Sehingga saat ini, kewenangan KPI hanya sebatas pada pengawasan konten siaran dan penjatuhan sanksi administrasi saja,” ujarnya. 

Namun demikian, apa pun kewenangan yang tersisa untuk KPI yang diamanatkan regulasi, tetang digunakan untuk menjaga kepentingan publik. Undang-undang kita secara tegas menyatakan penyiaran diselenggarakan dengan tujuan memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang  beriman dan bertakwa, termasuk juga menumbuhkan industri penyiaran Indonesia, pungkas Tulus. (Foto: KPI Pusat/ Agung Rachmadiansyah).

 

 

Jakarta – Berkembangannya teknologi dipastikan ikut mengubah berbagai aspek kehidupan termasuk landskap penyiaran. Sekarang, setiap orang tidak melulu mengakses informasi dan hiburan hanya dari media konvensional (radio dan TV), tapi juga bisa lewat media baru atau  media sosial (youtube, netflik dan lainnya). Kondisi ini pada akhirnya membuat kompetisi antar media (lama dan baru) makin ketat.

Sayangnya, kompetisi ini dinilai tidak berjalan sehat lantaran tidak semua media tersebut di payungi regulasi. Keberadaan radio dan TV diatur dalam Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan media baru belum ada payung hukumnya. Sudah tentu ini menimbulkan iklim bisnis yang tidak baik. Media penyiaran harus bertarung tapi dengan pengawasan, adapun kompetitor barunya melenggang tanpa pantauan.

Meskipun begitu, media seperti TV dan radio tidak boleh lempar handuk alias menyerah. Apalagi dengan hadirnya sistem siaran baru yakni siaran digital yang digadang-gadang akan memberi ruang yang lebih baik sekaligus luas bagi keduanya. Tidak hanya untuk media penyiaran, masyarakat pun akan merasakan keuntungan dari sistem baru ini. Tapi satu yang mesti diwujudkan, pemenuhan finansial industri dan kebutuhan publik soal kualitas siaran harus berjalan serempak.

Dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertajuk “Postur Penyiaran yang Kompetitif di Era Digital” yang diselenggarakan Kementerian Sekretariat Negara Sekretariat Wakil Presiden RI, beberapa waktu lalu, hal-hal tersebut menjadi topik bahasan. Tidak hanya mengubah hal general, perubahan sistem tersebut ikut menciptakan situasi baru lainnya seperti soal pengawasan, sumber daya manusia hingga isi konten. 

Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, dalam paparannya mengatakan, pihaknya sangat antusias menyambut perubahan sistem baru tersebut. Pasalnya, hal ini masuk dalam tujuan dari penyiaran nasional. Namun, KPI tetap akan memastikan tujuan penyiaran yang sesuai UU berjalan seimbang. 

“Ada dua tujuan dari penyiaran yakni soal moral atau nilai dan ekonominya. KPI memastikan hal-hal itu dapat tercapai. Jadi pertumbuhan penyiaran kita pararel dan sesuai dengan tujuan penyiaran nasional,” katanya dalam diskusi tersebut. 

Perubahan sistem siaran ini juga akan memunculkan tantangan baru bagi KPI utamanya dalam pengawasan siaran. Menurut Ubaidillah, hal ini disebabkan jumlah stasiun TV baru makin bertambah. “Tapi, kami harapkan dari pertambahan jumlah TV ini harus diikuti dengan makin ragamnya siaran. Jangan makin banyak TV, siarannya itu-itu saja,” tuturnya.

Terkait keragaman siaran ini, KPI berharap sistem digital ini dapat menampung aspirasi informasi masyarakat khususnya di daerah tidak terjangkau siaran. Karenanya, keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK) diperlukan di wilayah tersebut. 

“Harapannya ketika digital berjalan, kepentingan penyiaran di wilayah sulit bisa diwakili lembaga penyiaran komunitas. Seperti di Jawa Barat, ada kepentingan untuk memberikan edukasi dan informasi. Bahkan untuk kepetingan bencana alam,” kata Ubaidillah. 

Terkait pengawasan media baru, Ubaidillah menyatakan, kewenangan lembaganya tidak keluar dari UU Penyiaran. Namun tidak dipungkiri banyak aduan ke KPI yang mengeluhkan konten di media baru. “Kami tidak bisa menjangkau sampai sana. Pengawasan TV di daerah saja belum maksimal. Tapi jika kewenangan tesebut diberikan KPI, hal ini akan menjadi tantangan dan kami siap berkoordinasi,” ungkapnya. 

Sementara itu, Anggota KNRP (Komite Nasional Reformasi Penyiaran), Ignatius Haryanto, berharap perubahan sistem siaran nasional memberi nilai ekonomi yang sepadan bagi televisi lokal. Persaingan konten pun harus diatur secara adil yang nantinya akan menghadirkan pemerataan ekonomi. “TV lokal ini juga memberi kesempatan pemirsanya dari konten yang mereka hasilkan,” jelasnya.

Bentuk konten ideal yang mestinya dihadirkan di lembaga penyiaran juga disinggung Haryanto. Menurutnya, informasi berkualitas dan hiburan yang sehat dapat memberi pengertian masyarakat tentang keberagaman negeri ini. “Jadi TV harus berkolaborasi dan Kerjasama, antar TV lokal dengan TV lokal lain juga bekerjasama. Sehingga kita bisa memahami keberagaman ini, antar wilayah atau daerah di tempat lain. Kita jadi lebih terbuka dan bisa melihat luas,” paparnya. 

Tantangan ke depan

Era digital dan media baru menyebabkan terjadinya perubahan besar-besaran pada media lama. Bahkan, tidak sedikit dari media lama tersebut yang tenggelam. Namun, ada banyak media yang bertahan dan menyesuaikan. 

“Ada tantangan baru khusus untuk TV. Persaingan dengan Netflix misalnya. Mereka mengembangkan media OTT juga. Dari kisah dua media ini, saya menyimpulkan digitalisasi bukanlah membunuh media. Tapi dengan adanya digital akan memberi oportunity baru bagi media lama. Seperti radio, frekuensi yang digunakan bisa didengarkan dimanapun. Tidak terbatas pada satu wilayah saja. Ini luar biasa. Dalam situasi seperti ini, radio menjadi salah satu oportuinity yang paling besar. Siaran radio dengan digital semuanya bisa terjadi,” kata Gun Gun Heryanto, salah satu narasumber diskusi.  

Dijelaskan Gun Gun jika struktur pasar penyiaran sekarang sudah berubah usai tumbangnya rezim orde baru. Hal ini menandakan bahwa demokrasi punya banyak cara dalam beroperasi. Namun begitu, diperlukan aturan yang jelas untuk menopang hal yang boleh dilakukan dan tidak. Hal ini untuk memastikan tidak adanya agenda setting media ke arah yang tendesius. “Jangan sampai kerja jurnalis menjadi prpagandis. Hal ini mermerlukan banyak hal,” tegasnya.  

Terkait hal itu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini memandang perlu penguatan lembaga penyiaran dalam tiga hal. Pertama, human broadcasting low yang menjadi tanggung jawab legislatf dan eksekutif. Kedua, broadcasting management yang menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Lalu ketiga, penguatan konten siaran yang menjadi kebutuhan publik. 

Sementara itu, Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Geryantika Kurnia, memaparkan tentang upaya pemerintah dalam menyederhanakan proses perizinan penyiaran lewat paket UU Cipta Kerja. Menurutnya, penyederhanaan perizinan ini memangkas alurnya menjadi pendek. 

“Proses perizinan dulu berbelit belit, satu izin bisa 105 hari dan ini tidak jelas izinnya bisa keluar kapan. Dengan UU ini kita sederhanakan. Lalu, tidak ada izin seumur hidup. Semuanya hanya 10 tahun,” jelas Geryantika. 

Ia juga membahas perkembangan platform OTT (over the top). Menurutnya, persoalan OTT telah banyak diatur di banyak negara dunia termasuk Malaysia. Tapi, negara Jiran memisahkan aturanya. “Di Kanada, regulasi ini tidak berhasil. Ada plus minusnya. Apakah perlu KPI mengawasai media baru. Lembaba ini ada yang saling bersinggungan. Ada LSF, KIP dan Dewan Pers. Ada juga satgas UU ITE. Yang ini perlu dipertimbangankan untuk membuat lembaga yang benar-benar kuat,” kata Geryantika.  

Masih menyangkut media baru, Gery mengingatkan pentingnya kehati-hatian menetapkan regulasinya termasuk perizinan. Menurutnya, apa mesti semua media sosial memerlukan izin. Pasalnya, dengan ranah izin dapat menyebabkan kemandekan kreatifitas. “Jangan mengikat kreatifitas masyarakat. Jadi harus hati-hati. Karena belum ada yang berhasil menyelesaikan media baru digabung dalam satu undang-undang,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.