- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 9871
Bandung -- Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah soft power dalam banyak diskusi, perbincangan keseharian bahkan pemberitaan. Jika diartikan secara harfiah, soft power adalah kemampuan untuk mengubah atau memengaruhi kelompok lainnya bahkan orang di seluruh penjuru melalui aset-aset yang sifatnya tak benda melalui berbagai saluran yang isinya dikemas dalam pesan bermaksud.
Lantas, apa hubungan soft power dengan penyiaran. Ternyata keduanya sangat berkaitan karena konten atau isi siaran termasuk salah satu model dari soft power tersebut. Buktinya adalah dampak atau pengaruh yang disebabkannya. Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, dalam talkshow Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) Ke-38 bertajuk “Penyiaran Nasional dan Soft Power” yang diselenggarakan di Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/3/2022).
Menurut Mimah, konten siaran memiliki pengaruh terhadap masyarakat dan juga berpengaruh terhadap medianya. Istilahnya sekarang adalah konten is the king (konten adalah raja. “Jadi ada kaitan antara soft power dengan ruang lingkup penyiaran. Karena soft power ada di konten. Bahkan, soft power di penyiaran bisa dipesan,” katanya dalam talkshow tersebut.
Namun, soft power yang ada di media penyiaran secara isi tidak sama dengan media sosial. Pasalnya, media penyiaran diatur dan diawasi berdasarkan Undang-Undang (UU) Penyiaran. Karenanya, isi siaran media penyiaran terkontrol, dapat dipertanggungjawabkan dan tidak seenaknya seperti di media sosial.
“Media itu sukanya extraordinary atau suka dengan hal-hal yang luar biasa. Karena kalau tidak luar biasa orang jadi malas membacanya. Cara-cara ini tidak bisa dilakukan di media penyiaran,” tutur Mimah Susanti.
Hal senada disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat memberi sambutan di awal acara. Menurutnya, strategi soft power dalam penyiaran bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang baik seperti mengenalkan kebudayaan. “Jadi radio dan TV bisa dipakai untuk ini. Hegemoni ada pada tataran pikiran dan soft power itu seperti ini,” katanya.
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Jabar, Bedi Budiman, ikut menguatkan pernyataan bahwa penyiaran menjadi salah satu unsur soft power. Karenanya, penyiaran memiliki peran yang krusial dalam membentuk karakter masyarakat secara nasional maupun internasional.
“Keberhasilan Korea lewat K Pop bisa menjadi contoh kita terkait soft power. Namun begitu, negara ikut terlibat di dalamnya. Negara juga harus hadir dalam persoalan ini. Karenanya, media harus diatur semuanya. Harus melakukan proteksi dan melindungi masyarakat. Keamanan ideologi dan keadilan ekonomi harus jadi priotas,” katanya di acara tersebut.
Sementara itu, dalam sambutannya, Rektor Unpas, Eddy Jusuf, menyampaikan persoalan ASO di Indonesia yang terlambat jika dibandingkan negara ASEAN lain.
“Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Filipina, Malaysia, dan Thailand sudah lebih dulu menerapkan ASO. Saya rasa, upaya transformasi digital harus dilakukan secepatnya untuk mengakselerasi teknologi dan memberikan stimulan terhadap potensi yang mungkin muncul di masyarakat,” paparnya.
Menurut Eddy, industri televisi Indonesia mesti lebih akseleratif dan bisa mengimbangi era digitalisasi, sehingga dunia televisi tidak akan tertinggal teknologi internet. Transformasi digital, lanjutnya, memberi banyak manfaat dan keuntungan. Di samping siaran yang diterima masyarakat semakin baik dan canggih, konten juga kian beragam dengan konsep dan model isi siaran yang lebih khusus.
“Tidak hanya peningkatan kualitas siaran, transformasi penyiaran di era digital juga mampu menumbuhkan ekonomi kreatif dan mengembangkan ekosistem penyiaran baru yang didukung internet berkecepatan tinggi,” tandasnya. ***