Warning: Illegal string offset 'f9bb6198a8b6281e3c3db46ba18a88df' in /home3/kpigoid/public_html/libraries/joomla/document/html.php on line 404
Umum


 

Jakarta -- Lemahnya pengawasan konten siaran lokal akibat minimnya infrastruktur pengawasan menjadi masalah di banyak Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Ditambah lagi terbatasnya anggaran yang bergantung hibah pemerintah daerah, hal ini makin menambah masalah pengawasan tersebut juga operasional KPID. 

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia mengatakan, konten lokal jarang diawasi karena tidak memadainya infrastruktur pengawasan siaran di KPID. Menurutnya, hal ini akibat dari minimnya dukungan dana bagi KPID. 

“Untuk itu, dengan adanya Perda Penyiaran diharapkan bisa mendorong pengawasan konten lokal sehingga tayangan lokal makin berkualitas. Selain itu, karena pelaksana dari Perda adalah KPID hal ini dapat menguatkan struktur KPID untuk menjalankan Perda sesuai fungsinya dengan lebih jelas dan kuat,” kata Irsal saat menerima rombongan Anggota DPRD dan KPID Provinsi Riau di Kantor KPI Pusat, Selasa (28/6/2022).

Irsal menjelaskan, keberadaan Perda Penyiaran akan mendorong pertumbuhan penyiaran di daerah. Pertumbuhan ini menyangkut banyak sektor termasuk penguatan konten lokal. 

“Kekhususan daerah itu ada di penguatan konten lokalnya hingga pengawasannya. Untuk urusan perizinan tidak perlu dimasukkan karena sekarang perizinan sudah terintegrasi di pusat melalui sistem OSS yang dikelola BPKM,” ujar Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Terkait wilayah siaran Provinsi Riau yang berbatasan dengan negara lain, Irsal mengusulkan agar kebijakan penyiaran perbatasan masuk dari rancangan Perda. “Sebaiknya, fokus penyiaran di perbatasan dengan bantuan pemerintah daerah masuk dalam Perda dan ini lebih bisa diterima,” usulnya.

Dalam kesempatan itu, Irsal menceritakan kondisi lembaga penyiaran di daerah terutama radio yang kurang berkembang karena daya dukung yang rendah. Menurutnya, hal ini butuh perhatian pemerintah daerah melalui insentif yang dianggarkan oleh pemerintah daerah.

“Di berbagai daerah terutama tingkat Kabupaten juga menyediakan anggaran untuk sosialisasi program-program pemerintah yang diberikan ke lembaga penyiaran lokal sehingga penyiaran lokal tersebut juga bisa hidup dan berkembang,” tutur Irsal.

Pernyataan senada turut disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo. Menurut dia, bantuan pemerintah daerah bagi lembaga penyiaran lokal sangat penting. Dukungan ini dinilai dapat mewujudkan pemerataan informasi di seluruh wilayah Riau. 

“Pemerintah berusaha mengurangi wilayah yang blankspot terutama yang ada di daerah perbatasan, hal ini termasuk juga di Riau. Selain itu, kami juga berharap akan mewujudkan digitalisasi yang sedang digalakkan pemerintah,” tandas Mulyo Hadi. ***

 

 

 

Solo - Ide pembatasan jumlah episode untuk sebuah sinetron mengemuka dalam Diskusi Publik yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tajuk Mewujudkan Tayangan Berkualitas dan Bermartabat, di kota Solo (26/6). Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo menjelaskan, ide pembatasan itu merupakan sebuah upaya untuk menjaga kualitas sinetron yang saat ini masih berada dalam posisi yang di bawah indeks standar yang ditetapkan KPI dalam Riset Indeks Kualitas Televisi tahun 2022.

Mulyo menggambarkan hari ini ada sinetron yang menguasai mata dan telinga masyarakat, namun sudah ada kejenuhan dan belum diketahui ujung ceritanya. Kecenderungan produksi sinetron yang seperti ini, menurut Mulyo, harus diubah. Pertimbangannya antara lain aspek kemanusiaan yang mengharuskan syuting setiap hari, serta kreativitas yang juga harus dijaga dalam menghadirkan konten-konten yang baik. 

Mulyo juga mengungkap bahwa KPI juga memiliki instrumen penilaian terhadap keseluruhan program siaran yang ditayangkan. “Tim pemantauan langsung KPI harus memberi penilaian pada setiap tayangan tersebut terhadap empat aspek, yakni kenyamanan, kelayakan, kemanfaatan dan kemenarikan,” ujarnya. Dari hasil penilaian itu, lembaga penyiaran dapat mengetahui posisi masing-masing program siaran baik secara akumulasi harian, bulanan atau tahunan. “Tampaknya hasil penilaian ini pun berkolerasi dengan hasil riset indeks program siaran televisi yang dirilis KPI Pusat,” ujarnya. 

 

 

Dialog ini menghadirkan sineas senior Indonesia, Deddy Mizwar sebagai narasumber. Dalam kesempatan itu Deddy mengakui telah terjadi pendangkalan selera masyarakat terhadap konten siaran televisi. Menurutnya, dengan sistem produksi yang stripping seperti sekarang, sangat mustahil untuk menciptakan karya-karya berkualitas. “Penayangan secara stripping boleh saja,” ujar Deddy. Namun jika produksinya pun dilakukan stripping, bagaimana hasilnya bisa berkualitas?

Deddy pun membandingkan dengan negara maju yang memang menayangkan serial secara stripping. “Tapi dalam beberapa waktu berhenti, gak pernah setiap hari bertahun-tahun disiarkan,” Ujarnya. Sistem seperti ini, ujarnya, akan mempercepat sakaratul maut televisi. Apalagi data terakhir menunjukkan kepemirsaan televisi turun hingga 80%. “Jadi sebelum sakaratul maut, mari ambil iklan sebesar-besarnya. Mari ciptakan produk sampah yang dimakan oleh masyarakat,” ujarnya satir.

Kalau bicara konten televisi yang sehat, tentu harus memperbaiki sistem produksinya. “Kalau memang produksi stripping dapat menghasilkan konten berkualitas, Amerika pasti sudah duluan sebagai negara industri film,” tegas Deddy. Kalau begini, berarti kita lebih hebat dari Amerika. Untuk itu Deddy sangat mendukung adanya pengaturan yang tegas terhadap sistem produksi ini. Harus ada pembatasan dalam sebuah seri, menurutnya. Saat terjadi kekosongan, harus diisi dengan seri yang lain. 

Deddy kemudian menjelaskan bagaimana sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) dibuat. Dalam setahun PPT tidak lebih dari 30 episode, ujarnya. Kalau direncanakan tayang bulan April, maka di bulan September sudah dimulai persiapan produksi. “Sehingga ada waktu yang cukup untuk membenahi cerita, konten, termasuk teknis dan kaidah sinematografi,” ungkapnya. Hal inilah yang menurut Deddy akan membentuk selera dan cita rasa penonton untuk mencari program siaran yang bagus. 

Deddy pun menegaskan prinsipnya dalam membuat tayangan sinetron ataupun film. “Saya hanya membuat tayangan yang pasti untung!” ujarnya. Jika sudah dapat menginspirasi orang menjadi lebih baik, itu sudah pasti untung, karena akan mengalir amal ibadah untuk saya. Memproduksi tayangan yang tidak bagus dan hanya sekedar mengejar segi keuntungan semata, belum tentu juga berhasil. “Yang pasti dapat dosanya,”tukas Deddy. Kadang-kadang saya suka tanya ke pemilik televisi, “Ente gak takut ditanyain di kuburan? Dibangunin melulu, nanti ditabokin?” selorohnya. Akibat dapat pencekokan yang dilakukan bertahun-tahun ke masyarakat hingga membangun persepsi yang kurang baik. 

Dialog publik ini juga dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Nursodik Gunarjo, GM Kompas TV Aleksander Wibisono sebagai narasumber. Sementara Ketua KPID Jawa Tengah Muhammad Aulia Assyahiddin menjadi  moderator acara. (Editor dan Foto: MR)

 

 

Banjarmasin – Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Irsal Ambia, mengatakan fenomena tayangan sinetron di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Sebagai regulator penyiaran, KPI kerap menjadi sasaran keluh kesah masyarakat ketika tidak menemukan unsur positif di dalam tayangan tersebut. 

Keresahan publik akan tayangan yang berkualitas juga menjadi perhatian KPI. Melalui ragam komentar dan respon masyarakat tentang sinetron, KPI fokus melahirkan sebuah kebijakan melalui hasil indeks kualitas program siaran televisi. Perlu diketahui, riset ini bekerja sama dengan 12 perguruan tinggi se-Indonesia, salah satunya Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimatan Selatan.

Kegiatan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang sudah berjalan 7 diharapkan menjadi acyuan pengamatan siaran di Indonesia. Riset ini berbeda dengan riset lembaga lain yang hanya mengukur jumlah penonton yang bertujuan mengukur aspek ekosistem bisnis di industri penyiaran di Indonesia.

“KPI terus berupaya meningkatkan kualitas tayangan. Dengan kegiatan ini biasa jadi inisiatif KPI dalam membuat ukuran dengan konteks kualitas. Berbeda dengan lembaga riset lain yang hanya mengukur siaran melalui rating untuk kepentingan bisnis. Lembaga lain yang melihat dari sisi semakin banyak orang yang menonton tayangan maka dampaknya semakin banyak iklan masuk dalam sebuah tayangan,” jelas Irsal pada acara Diseminasi Hasil Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Tahun 2022 di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Univeristas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (25/6/2022).

Berdasarkan hasil indeks kualitas program siaran televisi tahun 2021, nilai kategori tayangan sinetron berada di angka 2,75, sedangkan standar yang ditetapkan oleh KPI 3,0. Artinya, kualitas tayangan sinetron masih jauh dari kata pantas. “Bisa jadi tema sinetron kurang sepadan hingga jam tayang yang tidak tepat,” kata Irsal.  

Dia menegaskan setiap program siaran wajib mengandung unsur edukasi dan hiburan sesuai dengan fungsi media. Disamping itu, ada kaidah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai rambu yang dapat diperhatikan para pelaku industri dalam memproduksi sebuah konten siaran. 

Irsal berharap melalui forum diseminasi ini pihaknya mendapatkan sebuah masukan bagaimana menyikapi fenomena sinetron dengan memenuhi unsur adab dan etika perilaku. “Pernah terjadi di sinetron Indonesia yang mencapai ribuan episode dan tayang setiap hari. Tema sinetron tidak sepadan dengan masyarakat Indonesia di plot pada jam tayang yang tidak tepat. Rambu siaran yang ada sudah di atur dalam P3SPS seharusnya menjadi rujukan dalam memproduksi sebuah program,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Prof. Budi Suryadi mengatakan, komitmen antara KPI dan Universitas Lambung Mangkurat telah terjalin dengan baik bersama-sama meningkatkan kualitas media di Indonesia. Dengan melibatkan akademisi, langkah KPI sebagai regulator akan semakin menguatkan identitas siaran melalui dasar akademis hingga tinjauan padangan dari pakar bidang penyiaran. 

Sebagai akademisi, Prof. Budi mengatakan, menciptakan suasana nyaman bagi industri kreatif tidaklah mudah, apalagi beririsan dengan kemajuan teknologi yang sudah digital. Dia menambahkan tayangan berkualitas adalah tayangan yang mampu memberikan edukasi dan informasi yang akurat yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Jika tayangan TV tidak mampu memenuhi kebutuhan informasi yang positif, maka dipastikan fungsinya sebagai media sudah melenceng.

“Fungsi media adalah wahana masyarakat mendapatkan informasi yang akurat bersanding dengan industri kreatif dan itu sulit karena bicara tentang selera setiap orang yang tidak sama. Tapi di media mainstream seperti televisi dan radio tentu telah melewati berbagai tahapan proses produksi. Beda dengan konten digital saat ini,” tandas Budi. Maman/Editor: RG

 

 

 

Semarang - Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, Yuliandre Darwis, menyampaikan bagaimana potret program acara infotainmen di Indonesia. Dari tahun ke tahun, berdasarkan hasil Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonsia (KPI), kategori program siaran ini tidak pernah mendapatkan nilai indeks yang baik atau minimal mencapai 3.00 sesuai dengan standar. 

Menurutnya, perubahan nilai yang diperoleh kategori infotainmen selalu dinamis, naik dan turun. Pada tahun ini (2022), nilai indeks program infotainmen mengalami peningkatan dengan nilai 2.80, hampir berkualitas.

Hal itu disampaikan Yuliandre dalam acara diseminasi Indeks Kualitas Program Siaran Televisi KPI di Kampus Universitas Diponegoro (Undip), Selasa (28/6/2022). Saat menyampaikan pendapatnya, Andre didampingi Komisioner KPID Jateng, Asih Budiastuti dan Agus Naryoso, Pengendali Lapangan Riset Indeks untuk wilayah Semarang. 

Riset yang melibatkan para akademisi yang menjadi informan ahli menilai indeks kualitas untuk program siaran infotainmen cenderung banyak yang tidak menghargai hak privasi dari seseorang. Padahal, aturan tentang penghormatan privasi diatur secara tegas dalam P3SPS KPI tahun 2012. 

Yuliandre menjelaskan, di Korea Selatan, hal-hal yang mengganggu privasi, baik privasi publik figur maupun masyarakat, begitu ditentang. Hal ini pernah terjadi di Indonesia, saat itu acara Insert diduga sebarkan foto ilegal V BTS yang sedang merokok di backstage Grammy Award. ARMY (fans BTS) bertindak turunkan rating hingga lapor ke Big Hit (manajemen dari BTS).

"Banyak ARMY yang menyebut berita tersebut tidak menghargai privasi salah satu personel BTS. Bahkan ada yang menyebutkan Insert sudah melanggar kode etik jurnalistik (KEJ). Pada 2018 lalu, netizen membuat sebuah petisi kepada pemerintah untuk menghapus media Korea Dispatch. Lebih dari 200 ribu orang menandatangani petisi tersebut," terang Yuliandre.

Asih selaku Komisioner KPID Jateng mengatakan pihaknya pun tidak mentolerir segala bentuk siaran yang mengekspose persoalan atau masalah pribadi orang dalam semua mata acara. Sayangnya, lanjut dia, sebagian masyarakat sering kali menganggap hal itu lah yang justru menarik untuk ditonton.

"Pengelola informasi terlalu mengekspos privasi artis sehingga ranah privasi tidak lagi penting bagi masyarakat," tuturnya.

Saat menutup pernyataannya, Yuliandre berharap lembaga penyiaran dapat berbenah memperbaiki kualitas program siaran infotainmen agar tidak hanya menjual privasi seseorang untuk menarik pentonon, namun harus turut menjadi program siaran yang sehat dan berkualitas.

Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV KPI memasuki tahun ke-7. Riset ini bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri di 12 Kota di Indonesia. MR

 

Jakarta -- Lembaga penyiaran, TV dan radio, merupakan satu dari tujuh kelompok strategis yang berpengaruh dalam moderasi beragama. Karena posisinya yang dianggap krusial ini, lembaga penyiaran dituntut untuk menguatkan komitmennya yakni dengan pengembangan mata acara keagamaan atau program siaran religi.

Pandang tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, ketika menjadi narasumber acara Seminar Internasional UIKA (Universitas Ibnu Khaldun) Bogor dengan tema “Islamic Broadcast Content As A Medium Of Da’wah In The 4.0” yang berlangsung di UIKA Bogor, Selasa (21/6/2022) lalu. 

Adapun ke tujuh kelompok itu antara lain, Birokrasi, Pendidikan, TNI/Polri, Media, Masyarakat Sipil, Partai Politik dan Dunia Bisnis.

Menurut Nuning, komitmen moderasi beragama di lembaga penyiaran dapat dilihat dari isi tayangan. Siaran yang tidak ada unsur atau kandungan muatan yang mendiskriditkan kelompok atau agama tertentu dalam seluruh program siaran terkhusus di acara bertajuk keagamaan atau religi merupakan salah satunya. 

Hal lain dari bentuk moderasi beragama di lembaga penyiaran melalui pemuktakhiran program acara religi. Selama ini, acara religi sering dianggap sebagai program acara yang dikhususkan untuk berdakwah. Padahal, program ini dapat dibuat dalam bentuk program acara seperti sinetron, variety show dan program lainnya.

“Moderasi beragama bisa melalui pengembangan mata acara religi yakni tidak hanya dikonsepkan dalam bentuk dakwah, tapi juga masuk dalam kategori-kategori program acara lainnya,” tutur Nuning.

Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara.

Dalam kesempatan itu, Nuning menyampaikan pelbagai tantangan yang dihadapi pihaknya seperti komodifikasi agama dalam isi siaran. Kemudian, maraknya politik identitas menjelang kontestasi politik. Peningkatan kapasitas dan kualitas dari pengisi program siaran jadi tidak semata-mata hanya bertumpu pada engagement sosial media, tetapi kualitas harus menjadi prioritas. 

“Bagi kami, yang pasti adalah memastikan program siaran religi tidak mengarah pada muatan-muatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan komitmen kebangsaan Indonesia dengan menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Memastikan lembaga penyiaran berkontribusi dan turut serta memasifkan budaya literasi dan memberikan referensi beragama dalam bingkai NKRI. Lalu, penguatan kapasitas literasi media dan moderasi beragama bagi masyarakat masyarakat melalui program siaran religi dan kegiatan lainnya,” tandas Nuning. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.