Bogor -- Peralihan dari siaran TV analog ke siaran TV digital diperkirakan akan menambah daftar jumlah stasiun TV di tanah air. Ini artinya jumlah konten yang disiarkan makin banyak dan beragam. 

Menyikapi perkembangan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menyiapkan langkah cepat  agar tidak tertinggal dengan situasi yang ada. Salah satu upaya yang dilakukan KPI yakni segera menambah komponen kontrol atau pengawasan isi siaran dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM).

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan nanti setelah siaran digital berjalan penuh akan bermuncul TV-TV baru seperti CNN, CNBC, Magna Channel, Mentari TV, Smile TV, Inspira, Nusantara, Gramedia TV dan lainnya. Makin banyak jumlahnya, kontennya juga akan makin beraneka ragam. 

“TV yang banyak akan menjadi PR buat KPI. Karena di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran tugas KPI mengawasi. UU Penyiaran mengikatnya ke KPI yang diberikan kewenangan mengawasi. Mau tidak mau kita punya tugas dan kewajiban untuk mengawasi TV yang jumlahnya semakin banyak,” katanya saat membuka kegiatan Training pf Trainer (TOT) Pengawasan Isi Siaran KPI, Minggu (29/5/2022) di Bogor, Jawa Barat. 

Menurutnya, pertambahan jumlah TV harus juga direspon dengan penguatan sistem pengawasan yang meliputi pengembangan infrastruktur, peningkatan SDM yang dikombinasi dengan teknologi terkini.

“Kita ingin isi siaran sesuai dengan arah dan tujuan bangsa yakni membentuk generasi bangsa yang baik, cerdas dan berkemampuan tinggi seperti lirik  yang ada dalam mars KPI, sesuai Pancasila mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan bahwa bertambahnya jumlah TV tidak hanya jadi tantangan di KPI Pusat tapi juga KPID. Karenanya, harus dibuatkan skema pemantauan atau pengawasan secara langsung yang canggih tetapi mudah dan efisien, baik di KPI Pusat maupun KPID. “Kita harus cari terobosan agar kita bisa memantau secara langsung,” tuturnya.

Selain pengawasan, lanjut Mulyo, perlu diciptkan standar operasional prosedur (SOP) soal bagaimana menangani pengaduan dari masyarakat. Langkah yang akan dilakukan adalah KPI akan membuat aplikasi penerima aduan isi siaran dari masyarakat. 

“Dalam aplikasi itu akan dipantau oleh teman KPID dan masyarakat langsung. Kami mencoba beberapa aduan yang masuk dicatat melalui email, WA lalu di follow up, termasuk aduan KPID,” paparnya.

Mulyo juga menyampaikan perihal berbagai dinamika yang ada dalam pengawasan siaran dan bagaimana menafsirkan konten berdasarkan pedoman yang berlaku. Menurutnya, pelatihan yang mengundang banyak narasumber ahli mesti dimanfaatkan untuk mengasah kemampuan pengawasan tim pemantau. “Poinnya, adalah untuk meningkatkan profesionalitas kita sebagai pemantau,” pintanya. 

Senada dengan Mulyo, Komisioner sekaligus Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, MImah Susanti, berharap peserta TOT dapat meningkatkan kemampuan sekaligus memperdalam wawasannya terkait penyiaran. 

“Harapannya teman-teman sudah siap menjadi trainer di seluruh wilayah Indonesia. Persiapan kader-kader yang akan terjun ke lapangan,” tambahnya.

Pada sesi paparan narasumber, Ulil Abshar Abdalla, menyampaikan pentinganya kejelian dalam pengawasan terutama pengawasan terhadap konten-konten yang mengidikasi ke radikalisme. 

“Kalau ada konten penyiaran yang mengarah pada kecenderungan itu, kita harus segera aware. Jadi antena KPI harus sensitif terhadap ekspresi radikal,” kata Ulil. ***/Editor: MR/Foto: MR  

 

Kupang – Berbagai upaya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) khususnya KPID membantu keberhasilan proses perpindahan dari sistem siaran TV analog ke siaran TV digital yakni dengan ikut mensosialisasikannya ke masyarakat. Berbagai teknik dan cara sosialiasasi ASO (analog switch off) telah dilakukan, salah satunya sosialisasi langsung dengan mendatangi rumah-rumah atau door to door. 

Dari cara jemput bola ini, KPID NTT banyak menemukan fakta menarik seperti masyarakat di Kota Kupang khususnya Kecamatan Maulafa yang masih nyaman menikmati siaran televisi secara analog. Bahkan, Sebagian besar terlihat sangat menikmati tayangan-tayangan yang ada serta belum mau membeli perangkat bantu penerim siaran digital atau Set Top Box (STB).

Demikian disampaikan Ketua KPID NTT, Fredrikus Royanto Bau, kepada kpi.go.id usai melakukan sosialisasi ASO secara langsung kepada warga di Kelurahan Maulafa, Rabu (25/5/2022) lalu. 

Menurut Fredrikus, sosialisasi dilakukan dengan cara acak kepada sejumlah warga di pinggir jalan yang rumahnya masih terpasang antene UHF. Pihaknya ingin memastikan bagaimana kesiapan masyarakat menghadapi ASO tahap 1. Dari sejumlah rumah yang didatangi, ternyata sebagian besar mengaku masih nyaman menikmat tayangan siaran analog.

Ketika ditanya lebih dalam, sejumlah warga ini mengaku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli TV digital dan antene digital. Bahkan harus membeli paket data internet. Hal ini karena ada informasi salah  yang diterima mereka bahwa lebih baik membeli televisi dan antene digital.

“Saya tanya mereka mengapa masih analog. Mereka bilang tidak ada uang untuk beli TV dan antene digital jadi terpaksa nonton pakai TV yang lama. Mereka tidak mau beli Set Top Box karena dapat informasi bahwa lebih baik beli TV dan antene digital saja. Menurut saya, warga telah termakan informasi hoaks. Padahal tinggal membeli Set Top Box dan sudah bisa nikmati siaran secara digital,” kata Fredrikus.

Selain itu, ada informasi dari warga Kabupaten Belu yang selama ini memakai antene parabola kemudian mendapatkan STB dan kemudian memasangnya. Akan tetapi mereka justru membongkar kembali set top box tersebut karena yang mereka  terima hanya siaran TVRI, sedangkan siaran TV lain tidak ada.

“Menurut saya, ini adalah informasi-informasi yang mengindikasikan adanya kendala-kendala dari migrasi siaran digital. Karena itu, dibutuhkan sosialisasi yang secara terus menerus agar ada pemahaman yang komprehensif dari masyarakat dan para pejabat terkait ASO ini,” ujar Fredrikus.

Dikatakannya, banyak informasi benar yang belum sampai kepada masyarakat terkait ASO. Karena itu, perlu diketahui bahwa siaran televisi digital itu gratis tanpa internet. 

Menurut Frederikus, ada empat poin yang perlu diketahui sebagai target ASO yang pertama, lokasi atau wilayah yang selama ini ada siaran televisi analog. Kedua, untuk lokasi yang selama ini belum dapat siaran televisi atau blankspot, setelah ASO akan dibangun infrastruktur televisi oleh TVRI. Ketiga, masyarakat yang selama ini menggunakan parabola atau televisi berlanggganan tidak akan terdampak atau terpengaruh dengan ASO. Artinya tetap bisa menggunakan  parabola. Keempat, ada sekitar 6,7 juta masyarakat miskin yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial  akan mendapatkan STB gratis. 

“Jadi sebenarnya, bantuan STB itu harus  benar-benar untuk masyarakat yang sudah punya TV dan selama ini pakai antene UHF. Kalau yang sudah pakai parabola tidak perlu lagi STB. Dan juga program ASO ini tidak akan ada bantuan TV dan antene seperti yang diminta warga di sejumlah daerah,” tuturnya.

Mengenai keluhan warga di Belu, TTU dan Malaka yang hanya menikmati siaran dari TVRI, Dia mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dihindari karena memang lembaga penyiaran televisi yang menyewa multipleksing TVRI belum ada.

“Untuk saat ini memang hanya TVRI yang melayani wilayah perbatasan. Belum ada televisi lain yang sewa multipleksing untuk tiga wilayah ini. Kalau Kota Kupang dan sebagian Kabupaten Kupang, akan ada banyak saluran karena sebagian besar lembaga penyiaran yang ada saat ini wilayah layanannya berada di Kota Kupang,” tandas Frederkus. ***

 

 

Yogyakarta – Komitmen lembaga penyiaran dalam menjaga nilai-nilai Pancasila di televisi dan radio merupakan sebuah kepastian. Selama ini, lembaga penyiaran sudah menjalankan kewajiban dan berbagai fungsinya sebagaimana amanat undang-undang penyiaran. Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta indonesia (ATVSI) Neil R Tobing menjelaskan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam Seminar Utama yang bertajuk Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Melalui Media Komunikasi dan Penyiaran Indonesia Menuju Peradaban Baru, di Yogyakarta (24/5). 

Industri penyiaran ini, ujar Neil, sudah berjalan dengan kawalan regulasi yang demikian ketat, heavy regulated. “Sebelum tayang ada sensor dan setelah tayang pun ada yang mengawasi,”ujarnya. Kalau merujuk pasal lima di Undang-Undang Penyiaran, lembaga penyiaran juga menjadi agen untuk memelihara nilai Pancasila, termasuk juga sebagai media yang memersatukan bangsa. Apalagi dengan realita kita sebagai negara dengan 700 etnis, tentu menjadi tugas kita bersama untuk menjaga keutuhan NKRI.. “Kami juga melakukan improvement agar semua konten yang hadir di tengah masyarakat selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan keutuhan NKRI tetap terjaga,” ujar Neil. 

Terkait perkembangan dunia penyiaran sekarang, Neil mengungkap, penetrasi televisi semakin menurun dan berbanding terbalik dengan penetrasi internet yang mencapai delapan puluh lima persen selama lima tahun. “Ranah digital yang borderless ini belum diatur. Kami berharap Komisi I dapat memasukkan definisi media baru di dalam rezim hukum undang-undang penyiara, agar terjadi equal level of playing field dalam hal pengawasan konten dan sebagainya,” ucap Neil yang juga Direktur dari Viva Group. 

Menghadapi transformasi digital ini, lembaga penyiaran tentu harus melakukan banyak inovasi dengan terus mengembrace teknologi yang berkembang di industri penyiaran. “Baik itu memberi layanan Over The Top  (OTT), Video On Demand, ataupun IP TV,  yang boleh dilakukan oleh lembagai penyiaran,” ungkapnya. Lembaga penyiaran ini siarannya berjadwal dan hanya dapat ditonton sesuai waktu yang dijadwalkan. Sementara generasi milenial dan centinial punya kebiasaan yang berbeda. Jadi kehadiran layanan OTT, VoD ataupun IPTV merupakan inovasi lembaga penyiaran agar tetap survive dan konten siaran tetap dapat dinikmati dengan berbagai platfom.

Kehadiran konten siaran dengan multi-platform tentunya harus disikapi sesuai koridor regulasi. Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Yuliandre Darwis mengatakan, KPI sebagai regulator penyiaran tetap bekerja sebagaimana amanat konstitusi.  Hingga saat ini, layanan video on demand memang tidak ada regulasi yang rinci. Dalam proses produksi pun tidak ada evaluasi untuk pra dan post produksi, sehingga dengan mudah langsung tayang. Tak heran jika di televisi teresterial ada konten yang harus menerima blur, namun dalam video on demand gambar tidak ada blur. Perilaku ini tentunya bukan yang Pancasilais, ujar Yuliandre. 

Lelaki yang akrab disapa Andre ini mengingatkan tentang kemungkinan momentum yang membuat perilaku menonton kembali seperti dulu. Misalnya saja dulu orang menonton Netflix agar dapat menonton film berulang-ulang. Tapi hari ini, perilaku Netflix kembali seperti televisi, dengan menyiarkan konten terjadwal. “That’s the point of broadcasting!,” ujar Andre. Nilai-nilai broadcasting yang tidak akan hilang adalah kebaruan. Tak heran jika valuasi untuk konten di Amerika Serikat yang paling tinggi adalah berita dan olah raga, karena tidak bisa diulang-ulang. 

Menyinggung digitalisasi penyiaran ke depan, Andre berharap kualitas konten siaran pun terus tumbuh sebagaimana kanal televisi yang juga semakin meningkat. Strategi penyiaran dalam menyebarkan nilai-nilai Pancasila harus segera dirumuskan, sebagaimana Korea Selatan yang memunculkan BTS dengan valuasi ekonomi mencapai 70 triliun. “Tak heran jika Presiden Korea Selatan menjadikan BTS sebagai sebuah icon di PBB yang berkesempatan memberikan pidato. Itu merupakan suatu tradisi broadcast yang dimunculkan ketokohannya,” ujarnya. Sedangkan di Indonesia, ungkap Andre, tradisinya adalah kalau ratingnya bagus hajar sinetronnya sampai ribuan episode. Ini yang menjadi PR besar dalam menanamkan nilai Pancasila di penyiaran. Seharusnya, dari 700 etnis di Indonesia, dapat menghasilkan konten siaran yang demikian dahsyat dan mendunia, sebagaimana Amerika Serikat dengan Hollywood dan India dengan Bollywood. 

Sementara itu, Neil selaku perwakilan industri penyiaran mengakui, televisi memang dianggap sebagai industri yang kapitalis dengan perutaran belanja iklan yang sangat luar biasa. Namun sebenarnya tahun 2019 adalah puncak kejayaan televisi. Bahkan di tahun 2024 yang diyakini sebagai puncak dari berbagai media termasuk media baru, media televisi tidak akan pernah lagi mencapai puncak dari sisi belanja iklan sebagaimana di tahun 2019. 

Neil memaparkan, nilai dari ekonomi digital Indonesia pada tahun lalu mencapai 70 miliar US dollar. Perkiraannya di tahun 2024 akan mencapai 176 miliar dollar. Sedangkan kontribusi media adalah sebesar delapan persen dari 70 miliar dollar. “Berapa sih yang dinikmati televisi,” tanya Neil. Televisi hanya menikmati tidak sampai 1 miliar dollar, sisanya pergi ke duopoli raksasa platform digital yakni Facebook dan Google. Artinya, kalau kita bicara ekonomi digital, media memiliki kontribusi hingga delapan persen. Sedangkan, atas nama demokrasi facebook dan google dapat seenaknyaa beredar di Indonesia tanpa perlu tunduk pada hukum di negeri ini. Dua raksasa platform media ini, ungkap Neil, bukan saja mengambil kekayaaan Indonesia, tapi juga menambang uang dari data mining dan data konsumen yang semuanya dibawa ke luar negeri. 

Sangatlah layak jika kami, dari industri televisi meminta adanya kesetaraan regulasi. “TV yang diatur secara ketat, sementara di sisi lain plaform digital raksasa ini dengan seenaknya melakukan restrukturisasi kepemilikan yang berlapis-lapis sehingga hanya dapat dikenakan pajak yang minimal. Harapan kami, tentu saja kesetaraan regulasi. Berkaca dari Australia dan Turki, pengaturan media baru menjadi kewenangan dari regulator penyiaran, seperti ACMA yang merupakan regulator media di Australia.  

Neil sepakat tentang pembumian nilai-nilai Pancasila sekaligus melestarikannya. Nilai-nilai ini dilestarikan secara tidak langsung, yang juga dapat dinikmati di layar kaca. Di era peradaban baru, transformasi digital, penyiaran bukan saja berevolusi, tapi juga bertransformasi agar penyiaran ini juga tetap relevan di tengah masyarakat Indonesia milenial dan centinial. Nilai-nilai Pancasila dilestarikan secara tidak langsung juga dapat dinikmati di layar kaca, pungkasnya. 

 

 

Yogyakarta – Hadirnya regulasi yang setara dalam dunia penyiaran dan media baru dipandang sebagai sebuah keharusan dalam upaya menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Rancangan undang-undang penyiaran yang mulai digodok di Komisi I, memang memberi ruang yang lebih  besar kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal penguatan kelembagaan dan kewenangan. Namun yang tak kalah penting adalah tentang kesetaraan regulasi antar-platform media. Saat ini, lembaga penyiaran baik itu publik atau pun swasta dipantau secara ketat oleh KPI. Sementara media digital lain justru memiliki ruang kebebasan secara mutak tanpa ada yang mengendalikan, lantaran ketiadaan regulasi. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta, Ph.D, menyampaikan hal tersebut pada Seminar Utama yang digelar dalam rangka Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 di Yogyakarta, (24/5).

Menurut Sukamta, jika konten di ruang publik baik itu melalui penyiaran atau pun jaringan internet tidak dikontrol, akan membahayakan nilai-nilai Pancasila. “Kalau tidak dikonstruksi bersama hingga semua bebas mengadopsi nilai apapun dan disiarkan tanpa ada filter nilai Pancasila, kebebasan mutlak di media ini akan menjadi ancaman bagi ketahanan nasional,” ujarnya. Anak-anak yang hari ini berusia dua puluh tahun ke bawah tidak memahami nilai-nilai Pancasila yang diletakkan oleh para founding father negeri ini, sehingga tiga puluh hingga empat puluh tahun lagi kita tidak tahu nilai-nilai apa saja yang akan mereka pakai.  

Penyiaran sendiri, diyakini Sukamta, mampu membentuk peradaban bangsa. Saat ini kita diributkan oleh konten hoaks serta intoleran dengan segala pertikaiannya di media sosial. Kalau hal ini tidak ada filter, ujar Sukamta, akan menjadi seperti apa media dan kultur yang dipraktekkan masyarakat di masa mendatang. Hal inilah, yang dikhawatirkan Sukamta akan membahayakan eksistensi dari NKRI. “Sehingga mungkin NKRI tidak hancur dari serangan musuh luar, tapi justru terancam dari budaya sendiri, akibat warna, isi dan konten penyiaran sekarang,” tegasnya. 

Bicara soal ancaman terhadap kebhinekaan di Indonesia, Siti Ruhaini Dzuhayatin dari Kantor Staf Presiden memiliki pendapat sendiri. Menurut Siti, sebagai sebuah komitmen bersama, NKRI dan Pancasila akan abadi karena dua entitas ini diyakini sebagai sebuah perjanjian atau kesaksian yang suci. Sebagai bangsa yang terdiri atas 700 etnis, selayaknya kita patut berbagga karena mampu menciptakan NKRI. Apalagi jika berkaca pada negara-negara lain yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa, namun belum mampu berdiri sebagai satu negara. Artinya, ujar Siti, kita modal yang sangat besar sekali yang sudah ditanamkan oleh founding parents yakni Bhineka Tunggal Ika. “Dan kita berharap sampai akhir zaman tetap ada, tegasnya. 

Dalam era keterbukaan seperti sekarang, Siti menilai, harus ada strategi dalam menjaga kebhinekaan. “Founding Parents sudah memberikan resep yang bagus, moderasi atau wasathiyah dalam beragama, etnisitas, ekonomi ataupun sosiopolitik dan kultural”, tambah Siti. Kebhinekaan dalam bingkai Tunggal Ika, bukanlah entitas terberi, melainkan sesuatu yang harus dicapai dan harus terus dirawat, karena menjadi pondasi utama kebangsaan kita. 

Dalam pemaparannya, Siti mengatakan, teknologi digital mencipta ruang tanpa batas dengan cita-cita persaudaraan global dan konvergensi nilai-nilai utama internasional. “Global Village diasumsikan bahwa semua orang setara, egaliter, bersaudara, adil, aman dan nyaman,” ujarnya.  Sementara di sisi lain, cita-cita global village masih tersandera oleh ketimpangan, persaingan, penindasan dan ketidakadilan yang mengakibatkan krisis identitas dan memunculkan kembali romatika ethno-religious communality. Selain itu, teknologi juga memberi kemudahan transmisi sentimen secara trans-national, trans-budaya dan trans-kebangsaan. 

Bicara soal soal Global Village, menurut Sukamta, revolusi digital di bidang media komunikasi dan penyiaran akan melahirkan dua kemungkinan. Yang pertama, hadirnya kampung global yang mengoneksikan seluruh masyarakat dunia lewat media komunikasi digital hingga menjadi bersaudara dalam hubungan yang saling menguntungkan. Kemungkinan kedua, menurut Sukamta adalah Global Pillage atau penjarahan global. Yakni suatu kondisi masyarakat dunia yang saling terkoneksi, namun pada hakikatnya saling memangsa. Yang satu melakukan penjarahan baik ekonomi, sosial, budaya, pemikiran, ideologi maupun politik terhadap yang lain.  

Sukamta mengakui, tantangan luar biasa bagi industri penyiaran di Indonesia untuk merumuskan muatan yang layak tayang untuk Indonesia yang beragam. Penyiaran, selain menyangkut sisi peradaban, juga meyangkut sisi ragam budaya yang harus diakomodir. Ada pula etika dan agama, ujar Sukamta. Mengingat peradaban yang sukses itu yang selalu menjunjung tinggi etika. “Karena tidak ada peradaban yang bertahan ratusan tahun, tapi tidak punya etika yang dipegang bersama,” tegasnya.

Seminar yang mengusung tema Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Melalui Media Komunikasi dan Penyiaran Indonesia Menuju Peradaban Baru ini, dihadiri pula oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid  dan Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Adapun narasumber yang turut hadir dalam seminar ini adalah Komisioner KPI Pusat bidang Kelembangaan Yuliandre Darwis dan Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil R Tobing. 

 

 

Yogyakarta -- Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Yudian Wahyudi, berharap penguatan nilai-nilai Pancasila dapat disisipkan dalam konten-konten media digital termasuk media penyiaran. Inisiatif ini dinilai efektif mendidik anak-anak untuk belajar tentang Pancasila melalui media-media tersebut.

“BPIP punya program untuk penguatan nilai Pancasila ke dalam media khususnya ke dalam media digital. Ini dalam upaya agar anak-anak yang native digital agar belajar Pancasila melalui media,” katanya dalam sambutan acara Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 yang berlangsung di Yogyakarta, Selasa (24/5/2022). 

Kepala BPIP ini mengungkapkan, pengamalan tentang nilai-nilai Pancasila telah masuk dalam kurikulum pendidikan khusus berdasarkan keputusan Peraturan Pemerintah (PP) No.4 tahun 2022. Rencananya, PP ini akan diumumkan pada saat peringatan Hari Pancasila pada 1 Juni mendatang. 

“Pancasila akan menjadi mata pelajaran tersendiri. Pada 1 Juni nanti akan dilaunching dan pada 1 Juli akan mulai berlaku,” ujar Prof. Yudian. 

Ditekankan dirinya, nilai-nilai Pancasila harus dirawat dan dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dia juga mendorong perbanyak konten positif tentang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), Kebhinekaan dan Pancasila. 

“Pancasila sebagai pemersatu bangsa, Pancasila sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi kita bersama. Konten-konten ini harus ada di dalam media tersebut yang nanti akan dikonsumsi oleh warna negara Indonesia dimanapun dia berada,” jelas Prof. Yudian.

Menanggapi keinginan itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mendukung dan mengapresiasi agar penguatan nilai-nilai Pancasila dapat masuk ke dalam konten media digital termasuk media penyiaran. 

“KPI mengapresiasi upaya BPIP mengembalikan pelajaran Pancasila dalam kurikulum pendidikan mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi yang telah lama hilang,” kata Agung di usai sambutannya dan menilai langkah BPIP tersebut sejalan dengan upaya literasi yang telah dilakukan KPI. 

Dia berharap ketika masyarakat mendapatkan pendidikan Pancasila, hal ini dapat menjadi inspirasi di kalangan media dalam memproduksi konten. 

“Kita ketahui bersama di media digital setiap orang bisa menjadi jurnalis dan pembuat konten, yang sama sekali tidak dibatasi. Oleh karena itu, kami berharap agar generasi muda kita ketika mendapatkan masukan terkait Pancasila sebagai ideologi dan sebagai dasar negara, dia mampu mengejewantahkannya ke dalam prilaku sehari-hari. Termasuk juga dalam membuat konten di media digital,” tandas Agung. ***/Editor: MR/Foto: Agung R 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.