Bekasi – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki peran dan fungsi mengukur kualitas isi siaran lembaga penyiaran. Dalam salah poin di UU (Undang-Undang) Penyiaran No.32 Tahun 2002 disebutkan, penyiaran merupakan kegiatan komunikasi massa yang berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Menindaklanjuti itu, KPI menggandeng 12 Perguruan Tinggi Negeri di tanah air guna mengukur kualitas siaran tersebut.

Sekertaris Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Umri mengungkapkan, keberlimpahan informasi yang ada saat ini menjadi kekhawatiran yang tidak bisa tuntas hanya dengan sebuah pengamatan saja. Dalam prespektif lain, KPI mencoba melakukan sesuatu dalam menjaga tangggung jawab moral pubik melalui alat ukur dengan substansi berbasis akamedik. 

Dengan mengajak para pakar dari 12 perguruan tinggi negeri diantaranya, Universitas Sumatera Utara, Univeristas Andalas (Padang), Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN) Jakarta, Universitas Padjadjaran (Bandung), Univeristas Dipenegoro (Semarang), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Universitas Negeri Surabaya, Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Hassanudin (Makassar) dan Universitas Pattirmura (Ambon), Umri berharap para pakar memberikan kontribusi dan pemikirannya dalam mengukur kualitas konten siaran TV di Indonesia. 

“Saya menginginkan adanya peran dari rekan-rekan akademisi yang tentu memiliki rasa yang sama untuk melihat dan menakar sejauh mana kualitas tontonan tayangan kita,“ kata Umri saat membuka kegiatan Workshop Indeks Kualitas Siaran Televisi di Bekasi, Kamis (17/3/2022)

Kegiatan yang dihadiri oleh 12 delegasi/pengendali lapangan dari masing-masing universitas bertujuan untuk menentukan skema, proses penilaian melalui aplikasi Sirinkas (Sistem Informasi Indeks Kualitas) hingga didapatkan nilai dan argumentasi yang akan dibawa sebagai bahan dalam Focus Group Disscusion (FGD) di Bali pada Mei mendatang. Sebagai informasi topik penilaian yakni 8 kategori program terdiri atas, berita, infotaimen, variety show, religi, anak, wisata budaya, talkshow dan sinetron.

Umri juga menekankan bahwa proses penentuan tayangan berkualitas atau tidak, melalui porses yang panjang. Menurut hematnya dari setiap penilaian kategori yang ada nantinya dapat menghasilkan sebuah buku sebagai bukti adanya literatur baru dari perkembangan hasil pengamatan informan ahli di tiap daerah sehingga hasil penelitian ini guna manfaat bukan hanya untuk KPI. 

“Hasil observasi teman-teman para informan ahli di tiap daerah itu kan beragam dan berdasar berbasis keilmuan. Saya ingin adanya sebuah karya atau buku yang bahanya diambil dari gagasan tiap kategori yang menjadi objek penilaian,” pintanya.

Pada kesempatan yang sama, salah satu konsultan ahli Indeks Kualitas Program Siaran Televisi KPI dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Univeristas Indonesia, Pinckey Triputra, mengatakan senada dengan Umri. Ia mengingatkan bahwa bentuk buku dari hasil penilaian ini berjenis antologi atau berisi berbagai essay terkait 8 kategori acara tersrbut. Perlu ditekankan, tambah Pinckey,  konten-konten siaran juga berkaitan dengan pemirsa, dinamikanya dan ada interpretasi terhadap data yang ada di dalam buku tersebut. 

Terkait teknis pelaksanaan FGD, Pinkey menuturkan, pentingnya merekam setiap argumentasi yang timbul dari hasil pengamatan setiap informan ahli. Dasar gagasan tersebut akan menjadi data verbatim, kemudian para pengendali lapangan harus selektif dalam memilih pendapat informan ahli yang berkolerasi dengan kategori yang telah dinilai. “Setiap individu yang ada di dalam diskusi argumennya wajib direkam. Rekaman ditranskrip menjadi data verbatim, dan data ini disebut sebagai open coding,” tukasnya. Maman/Editor: RG dan MR

 

]

 

 

Yogyakarta - Budaya lokal sebagai entitas budaya bangsa seharusnya diletakkan dalam konteks pembentukan kepribadian bangsa. Merujuk dari Ki Hajar Dewantara, kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak-puncak dari budaya daerah. Ini berarti, kebudayaan nasional hanya dapat terwujud dengan baik jika kebudayaan daerah bertumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini disampaikan oleh Darmanto, pengamat media asal Yogyakarta saat menjadi narasumber Bimbingan Teknis Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Yogyakarta, (18/3).

Menurut Darmanto, ketika kebudayaan lokal tidak memiliki eksistensi, berarti tidak ada kebudayaan nasional. Harus disadari, pengakuan dari UNESCO atas kebudayaan kita, semuanya berbasis dari kebudayaan daerah. “Kita harus meletakkan budaya lokal dalam konteks ke-Indonesiaan. Yakni Indonesia yang beragam, multikultur, multietnik dan terdiri atas berbagai peradaban dan budaya daerah,” tegasnya. 

Lembaga penyiaran, ujar Darmanto, diharapkan dapat berkontribusi atas tumbuh kembang kebudayaan nasional yang optimal. Salah satunya dengan menjalankan fungsi penyiaran sebagai perekayasa kultural. Dengan karakteristik penyiaran yang mampu menembus sekat-sekat ruang, bersifat serempak, cepat sampai ke sasaran, penyiaran ia memiliki kekuatan besar dalam membentuk cita rasa bersama dan integrasi budaya. “Kalau generasi muda saat ini tidak lagi mempunyai cita rasa makan-makanan lokal dan lebih tertarik pada produk makanan pabrikan, itu semua adalah salah satu dampak dari tidak bermaknanya konten lokal yang selama ini ditayangkan oleh lembaga penyiaran Indo¬nesia, khusus¬¬nya media televisi karena kuantitas maupun kualitasnya cenderung minim,” ujarnya. 

Darmanto yang juga pegiat Rumah Perubahan mengatakan, seharusnya regulasi kita tidak sekedar mendorong persentase konten lokal saja. Tapi juga mendorong bagaimana konten lokal di televisi eksis, bukan hanya sekedar mengatur jumlah minimal semata. Aspirasi mengenai konten lokal juga disampaikan oleh Wakil Ketua KPI Daerah Istimewa Yogyakarta, Agnes Dwirusjiati. Menurutnya, rancangan undang-undang penyiaran yang tengah dirumuskan oleh Komisi I DPR RI harus dapat memberi penguatan pada eksistensi konten lokal. “Televisi berjaringan dapat ikut serta menjaga nilai-nilai moral dan tradisi bangsa ini yang mempersatukan,” ujarnya. Namun selayaknya siaran tersebut tidak hanya hadir pada jam-jam lewat tengah malam, saat masyarakat tertidur, tapi juga pada waktu produktif saat masyarakat terjaga.  

Pada acara serupa di hari sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan bahwa Komisi I sudah menangkap aspirasi tentang pengaturan konten lokal. Diantaranya keinginan publik untuk kehadiran konten lokal dengan waktu yang lebih banyak. “Kesimpulannya minimun 30% konten lokal dan diatur waktu tayangnya bukan di jam zombie,” ujar Sukamta.  Jika konten lokal muncul di jam 2 sampai jam 4 pagi, itu hanya untuk memenuhi kuota undang-undang semata. Lebih jauh, Sukamta berharap, aturan konten lokal ini dapat dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran sehingga muncul pencipta konten lokal dan juga produser lokal yang diharapkan pula dapat berkontribusi dalam mengembangkan perekonomian lokal.

  

 

Yogyakarta - Penyiaran sudah menjadi sebuah medium bagi proses pendidikan untuk anak bangsa yang sangat strategis. Berkaca dari kondisi sekarang, saat semua orang dapat tampil lewat medium penyiaran, hal tersebut akan membentuk dan membina watak serta jati diri publik secara umum. Dalam undang-undang penyiaran, ditegaskan bahwa watak dan jati diri bangsa yang harus dicapai adalah yang menuju iman dan taqwa. Tentunya dengan definisi yang disesuaikan dengan agama dan keyakinan masing-masing. Hal ini disampaikan anggota Komisi I DPR RI Sukamta, saat memberikan kuliah umum dalam acara Bimbingan Teknis Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), yang dilaksanakan untuk masyarakat dan praktisi penyiaran di wilayah Yogyakarta, (17/18 Maret). 

Terkait penyiaran sebagai medium pendidikan untuk publik, menurut Sukamta, konten siaran harus kongruen dengan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan baik di sekolah ataupun di masyarakat. Jangan sampai, dari televisi dan radio masyarakat menganggap lumrah segala sesuatu yang tabu, lantaran ekspos yang terlalu banyak. Dia mencontohkan berita kawin cerai di kalangan selebritas yang dinarasikan sebagai sebuah pilihan hidup yang biasa. “Jangan sampai isi siaran ini menggerogoti kesejahteraan rohani bangsa Indonesia,” tegasnya. 

Sukamta menyinggung pula tentang kewajiban menjaga netralitas dalam setiap konten siaran dan tidak mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Kepada KPI, Sukamta meminta parameter yang jelas dalam pemberian sanksi. Hal ini bertujuan agar pasal tersebut ditegakkan secara adil, bahkan harus jelas data statistik yang mendukung. 

Dalam kesempatan itu Sukamta mengingatkan pula tentang tujuan diselenggarakan penyiaran, yakni memperkukuh integrasi nasional. Dia pun meminta peserta untuk mewaspadai konten-konten siaran yang berpotensi menggerogoti kesatuan bangsa.  

Sekolah P3SPS sendiri merupakan medium pembelajaran bersama antara lembaga penyiaran khususnya tim produksi, dengan KPI sebagai regulator, agar didapat kesepahaman dalam memaknai regulasi penyiaran yang ada. Harapannya, semua pihak yang terlibat dalam proses produksi konten siaran memahami secara utuh tentang regulasi penyiaran serta maksud dan tujuan pengaturan atau pembatasan konten-konten tertentu. 

Narasumber lain yang turut hadir memberikan materi dalam Sekolah P3SPS adalah Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Mimah Susanti, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela dan Nuning Rodiyah, Ketua KPI DIY Dewi Nurhasanah, serta Pengamat Media dari Rumah Perubahan Darmanto. 

Kegiatan ini berlangsung selama dua hari penuh yang diakhiri dengan ujian akhir sebagai evaluasi tentang pemahaman peserta atas materi yang sudah disampaikan. Dalam sambutannya di pembukaan sekolah, Ketua KPI Pusat Agung Suprio berharap, seusai kegiatan ini selain memahami regulasi penyiaran yang tercatat dalam P3SPS, peserta juga dapat memahami cara kerja KPI Pusat dalam mengawasi dan menjatuhkan sanksi atas konten penyiaran. Termasuk juga mengetahui, bahwa kerja KPI bukanlah melakukan penyensoran atau pengebluran atas materi siaran.

 

Mataram -- Posisi rating bagi lembaga penyiaran (TV maupun radio) begitu penting karena ikut menentukan seperti apa bentuk program acara atau konten di masing-masing stasiun TV dan radio tersebut. Hingga saat ini, Indonesia hanya punya satu lembaga rating yakni Nielsen. Kondisi ini menjadikan hasil survei Nielsen sebagai satu-satunya acuan utama lembaga penyiaran dalam membuat program acaranya.

GM Legal dan Network Development KompasTV, Deddy Risnanto, mengatakan ketergantungan lembaga penyiaran pada rating kepemirsaan sangat besar. Pasalnya, alat ukur kepemirsaan ini menjadi cara TV mendapatkan pemasukan dari pengiklan melalui program siarannya. Bentuk programnya ditentukan dari kesukaan publik yang terdeteksi alat ukur (people meter) yang dimiliki Nielsen.

“Apakah pada saat kita tayang kita sudah dapat uang, tidak. Karena harus ada dulu yang namanya alat ukur kepemirsaan. Ini untuk apa, untuk kita menjual produk ke pemasang iklan. Kita dapat revenue dan kemudian ada program. Persoalannya, rata-rata TV minimal berproduksi atau bersiaran 12 jam. Tapi ada TV yang 24 jam bersiaran. Itu uang keluar dulu baru revenue dapat,” kata Deddy disela-sela kegiatan Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) di kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pekan lalu.  

Menurut Deddy, hal ini kemudian menjadi persoalan karena Nielsen hanya satu-satunya lembaga rating di Indonesia. “Ada yang lain, nggak ada. Nielsen ada di 11 kota di Indonesia. Apakah Indonesia cuman 11 kota itu, tentunya tidak,” ujarnya. 

Meskipun pengukuran ini diklaim menguntungkan program TV dan dianggap sesuai selera masyarakat, Deddy mengatakan publik ikut berperan menentukan hasil tersebut. Kenapa, karena yang disurvei adalah masyarakat. 

“Jadi kalau Ikatan Cinta memiliki share 48%, ini artinya apa. Pada saat Ikatan Cinta tayang, 48% masyarakat Indonesia nontonnya Ikatan Cinta. Artinya, di sini masyarakat punya peran mengawasi isi siaran dan juga membentuk program siaran itu. Yang jadi persoalan kita karena satu-satunya alat survei cuman Nielsen, yang dipakai biro iklan ya Nielsen, yang dipakai pemasang iklan juga Nielsen,” keluhnya. 

Lantas bagaimana mengubah ini, Deddy mengusulkan adanya sinergi bersama para pihak dalam membangun survei kepermirsaan melalui kerjasama antar lembaga dengan ikut melibatkan masyarakat berbasis teknologi. Pemerintah menjadi pendana program sekaligus menyediakan teknologi untuk dikelola Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Kita juga bisa dibantu Badan Penelitian Statistik yang sudah ahli. Hasilnya kemudian diberikan kepada KPI,” kata Deddy. 

Deddy mengatakan, kolaborasi ini sangat mungkin dilakukan dengan juga memanfaatkan momentum migrasi siaran TV digital. Set Top Box (STB) yang akan dibagikan ke masyarakat dapat dipakai sebagai people mater. Jumlahnya diperkirakan ada 3,2 juta STB. Jika 1 persen dari alat tersebut digunakan untuk mengukur tingkat kepemirsaan, artinya ada 200,000 orang/keluarga sebagai sampel survei.

Hari ini, ungkap Deddy, hampir 20% hingga 40% pemasukan iklan atau pendapatan lembaga penyiaran berasal dari APBN. Menurut dia, situasi ini dapat menjadi ujicoba dengan memberi syarat iklan yang berasal dari pemerintah wajib menggunakan survei yang dibentuk dari kolaborasi pemerintah dan masyarakat tersebut. 

“Saya yakin suatu saat TV akan bergeser. Pertama karena populasinya sudah banyak sekitar 200 ribu sampel berbanding 8600. Datanya jadi lebih detail dan datanya juga lebih banyak. Ada segmentasinya dari pemerintah, dunia pendidikan, dan juga dari masyarakat pada umumnya. Ini usul kami dari lembaga penyiaran. Karena kami juga mempertanyakan survei dari Nielsen tersebut. Apakah itu benar atau tidak. Tapi mau tidak mau, suka atau tidak suka, ya karena cuman satu itu kami pakai juga,” tukasnya. 

Dalam forum yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU Penyiaran, Bambang Kristiono, memberi perhatian besar terhadap perkembangan penyiaran di tanah air termasuk persoalan rating. Menurutnya, catatan dan masukan yang muncul dalam forum akan menjadi pelengkap dan referensi dari RUU (Revisi Undang-Undang) Penyiaran yang sedang disusun Komisi I DPR RI.

“Kami juga bentuk tim asistensi dan mendorong mereka untuk menyerap saran dan masukan yang kami anggap sangat perlu dan penting dalam revisi. Kami rasakan partisipasi masyarakat sangat tinggi dan ini menggembirakan kami. Kritik yang sangat membangun bikin kami sangat bergairah untuk menyelesaikan RUU ini. Kami akan terus mempertajam materi yang akan kami susun dalam RUU. Insya Allah tahun ini akan kami selesaikan,” tegasnya.

Sementara itu, ditempat yang sama, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, mengusulkan Negara untuk mengembangkan pemeringkatan/rating penyiaran. Menurutnya, dengan begitu dapat mengubah cara pandang lembaga penyiaran yang sebelumnya hanya terpaku pada satu lembaga rating. 

“Negara harus mengembangkan pemeringkatan atau rating lembaga penyiaran. Dengan begitu, Negara ikut berinvestasi mendapatkan siaran yang berkualitas,” kata Reza.

Selain itu, kata Reza, salah satu alasan kenapa Negara harus ikut melakukan pemeringkatan agar semua lembaga penyiaran hingga ke daerah dapat secara aktif mendapatkan akses, baik data maupun peluang ekonomi lainnya. Dengan terbukanya akses tersebut, industri penyiaran di dalam negeri akan berjalan sehat.

Dalam kesempatan itu, Reza mendukung penuh RUU Penyiaran dan berharap segera dituntas secepatnya. Dia menilai revisi ini menjadi pintu masuk untuk mengatur keberadaan rating di tanah air. “Karena itu, kami berharap dan akan mem-backup revisi undang-undang penyiaran ini agar betul-betul melindungi kepentingan publik dan mewujudkan penyelenggaraan penyiaran yang baik,” tandas Echa. ***

 

 

Jakarta -- KPID Sulawesi Barat (Sulbar) melakukan kunjungan kerja pertama ke KPI Pusat setelah dilantik pada 7 Maret 2021 lalu. Rombongan terdiri atas Ketua KPID dan koordinator tiap bidang yang ada diantaranya, Ahmad Safri Rasyid, Koordinator bidang kelembagaan, Nur Ali, Koordinator bidang Isi Siaran dan Firman Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PSS2P) diterima langsung oleh Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Yuliandre Darwis.

Di awal pertemuan, Yuliandre Dariws mengatakan, kedatangan Komisioner baru KPID Sulbar ke KPI Pusat sebagai langkah yang tepat. Pasalnya, kata dia, adaptasi dari setiap isu serta tantangan terkait penyiaran sangatlah luas, mulai dari penerapan regulasi hingga proses migrasi Analog Switch Off (ASO) yang sudah di depan mata. 

“Kolaborasi dengan teman-teman yang ada daerah menjadi hal yang penting bagi penguatan literatur hingga kelembagaan KPI dalam menyikapi dinamika yang terjadi di daerah,” kata Yuliandre Darwis, Kamis (17/3/2022).

Andre berpesan bahwa kedudukan sebagai Komisioner KPID harus disikapi sebagai bentuk pewakafan diri dengan situasi yang ada. Tidak ada keluhan, setia pada pekerjaan dan ikhlas menjalankannya, serta memahami secara sadar posisi sebagai Komisioner KPID adalah untuk menjadi perubahan tatanan penyiaran daerah ke arah lebih maju.  

Andre yang pernah menjabat sebagai Ketua KPI Pusat Periode 2016-2019, merasakan bahwa energi yang besar dalam kedudukannya sebagai Komisioner KPI harus dimainkan dengan semangat perubahan ke arah lebih baik. “Lintasan sejarah dan situasi saat ini yang besar wajib bicara dengan apa yang akan teman-teman KPID Sulbar lakukan ke depan," tuturnya. 

Sementara itu, Ketua KPID Sulbar, Mu'min menuturkan, pihaknya membutuhkan wawasan baru terkait pengetahuan dan substansi yang mumpuni dalam koordinasi dan konsolidasi antara KPI Pusat dan daerah. Ia memandang era sekarang ini adalah era kerja sama. Sekelumit persoalan yang ada harus menjadi pelajaran yang memberikan dampak positif. 

“Tentunya ini menjadi fokus untuk bersinergi dalam menyikapi segala kebijakan hingga ke daerah. Terkait ASO dan sebagainya, KPID Sulbar juga memiliki tujuan yang sama untuk bisa menjadi fasilitator dalam fungsi sosialisasi,” kata Mu’min. Maman/Editor: RG dan MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.