Denpasar -- Jurnalistik (penyiaran) hadir tak hanya sekedar menangkap fenomena lantas menyiarkannya lalu cuek dengan apa yang terjadi setelahnya. Semestinya, apa yang disampaikan ke khalayak menjadi sebuah manfaat dan dapat dipahami bersama. Kenapa demikian, karena tugas jurnalis atau pers yang utama adalah mengedukasi publik.

Pandangan tersebut disampaikan Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia (RI) untuk Singapura, Suryopratomo, ketika menjadi pembicara kunci dalam acara Deklarasi Forum Penyiaran 2022 “Mewujudkan Peradaban Baru Penyiaran Lewat Informasi yang Berkualitas” yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (12/5/2022).

“Jurnalistik hadir bukan sekedar membuat ramai keadaan apalagi hanya sekadar untuk kepentingan publish and the end. Tayangkan, sesudah itu masa bodo dengan apa yang akan terjadi ke depan,” tukasnya. 

Profesi jurnalis dan prosedur kerja yang mesti dijalankannya tidaklah gampang dan bisa seenaknya. Mengutip perkataan Yacob Oetama di sebuah kesempatan, Suryopratomo mengatakan, Jurnalis itu bekerja dalam ketakutan dan kegelisahan. 

“Ketakutan dan kegelisahan dari apa? dari kesalahan ketika tayangan atau berita yang disampaikan mengadung informasi yang menyesatkan, membuat masyarakat bingung dan panik. Penghormatan terhadap professionalisme, kode etik jurnalistik (KEJ) harus melekat pada sikap seorang wartawan,” kata pria yang akrab disapa Tomi ini. 

Menurutnya, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers harus disertai dengan kesadaran. Lantas apakah hal ini bisa berkontribusi untuk perbaikan kehidupan masyarakat. Karena hanya dengan itulah jurnalistik bisa memberikan manfaat bagi kemajuan sebuah bangsa. 

Kritik dan pengawasan yang dilakukan Jurnalis bukan digunakan untuk menunjukkan superioritas tetapi dipakai untuk meningkatkan kelas bangsa ini. Kemampuan itu dipakai untuk membangun kesadaran negara ini bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan sumber daya alam. 

“Bukan malah untuk membuat bangsa ini terlena dan hidup santai-santai tetapi harus menghardik kesadaran untuk membangun etos kerja yang kuat agar bangsa ini bisa menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah tinggi agar bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah,” ujar Tomi. 

Aset besar pers juga harus mampu memainkan peran dan mengendalikan bangsa ini agar tidak larut dalam sikap saling menyalahkan. Tidak hanya sekedar mengeluh tetapi mau berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan bersama. 

Karenanya, Tomi berharap peran ini dapat dilakukan seluruh industri penyiaran di tanah air. Alasannya, karena manusia itu berpikir secara visual yang indentik dengan fungsi industri ini. “Apalagi kita mampu menyajikan informasi dan tayangan yang berkualitas, tayangan yang membangun harapan, disamping tantangan masyarakat akan tercerahkan untuk memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa,” katanya bersemangat. 

Dia juga berharap deklarasi ini mampu membangun kesadaran secara massal sehingga Perguruan Tinggi, Rektor, Dekan, dan Para Pengajar, memberikan masukan positif untuk industri penyiaran tentang konsep yang tepat untuk digunakan di masa depan. 

“Jika bisa membangun sinergi antara perguruan tinggi, ATVSI, Pemerintah, dan masyarakat, kita yakin akan mampu membangun sebuah peradaban baru untuk menyajikan informasi yang berkualitas. Semoga tuhan memberikati apa yang menjadi upaya kita bersama. Dan saya percaya dengan bersama kita bisa menghadapi tantangan itu,” tuturnya.

Pada kesempatan itu, Tomi mengapresiasi upaya KPI yang terus konsisten mencoba membangun sebuah komitmen menciptakan kualitas penyiaran yang mampu memberikan manfaat bagi kehidupan bngsa dan negara. “Luar biasa teman-teman KPI,” tandas Dubes yang kaya pengalaman di biang jurnalistik ini. ***/Foto: AR    

 

Nusa Dua - DPR RI berkomitmen mendorong terwujudnya penyiaran Indonesia yang sehat termasuk juga ekosistem penyiaran baik. Pasca reformasi, penyiaran menjadi pilar keempat demokrasi. Jika dulu tantangan yang kita hadapi adalah langkanya informasi, sekarang justru tantangannya adalah banjir informasi. Skema yang cermat dan teliti harus dilakukan untuk menjaga agar penyiaran dan arus informasi tidak merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz saat memberi sambutan dalam acara Deklarasi Forum Penyiaran 2022 yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di Nusa Dua Bali, (12/5). 

Meutya memaparkan, saat ini era digitalisasi telah mendorong adanya beragm kepemilikan. “Sekarang sudah tidak ada lagi televisi yang ingin melakukan penguasaan penuh,” ujar Meutya. Hal ini dikarenakan semua sudah sangat terbuka dengan keberagaman kepemilikan yang berimplikasi pada keberagaman konten. Pada ujungnya bermuara pada keberagaman pendapat atau diversity of voice. 

Dalam kesempatan itu Meutya mengapresiasi KPI yang secara lembaga telah tumbuh dan berkembang secara luar biasa. Termasuk juga kemitraan strategis yang dilakukan KPI baik dengan industri penyiaran atau pun masyarakat. Namun demikian, tambah Meutya, meski peran KPI sangat strategis dan besar, KPI tidak dapat berjalan sendiri untuk menjalankan fungsi yang telah diamanatkan oleh undang-undang penyiaran. Yang paling utama memiliki peran dalam pengawasan konten siaran adalah masyarakat, sebagai end user, ujarnya. 

Meski demikian, tentu saja ada kelompok-kelompok masyarakat yang diharapkan dapat memberi peran yang lebih, yakni para akadermisi. Hal ini dikarenakan mereka dapat melihat tidak saja dengan perasaan dan hati, tapi juga dapat melakukan hal-hal yang lebih terukur dalam menilai tayangan televisi. Tentu saja sinergi yang dilakukan KPI dengan 12 perguruan tinggi negeri ini layak diapresiasi, ujar Meutya. Dia pun berharap ada lebih banyak lagi perguruan tinggi yang ikut terlibat bekerja sama dengan KPI, dalam mengawal dan menjaga penyiaran yang baik dan berkualitas.

DPR sendisi, ungkap Meutya, akan terus menjaga komitmennya dalam memberikan regulasi penyiaran yang lebih baik. Dengan undang-undang penyiaran yang tengah dibahas, tugas KPI menjadi lebih besar apalagi terkait dengan keterbukaan informasi yang juga semakin luas. “Kita harapkan adanya penguatan yang besar kepada KPI daripada undang-undang penyiaran yang ada saat ini. Mudah-mudahan memberi semangat baru bagi KPI untuk melakukan pengawasan dengan adanya aturan yang menguatkan terhadap fungsi pengawasan tersebut,” pungkas Meutya. 

 

 

Denpasar -- Peralihan atau migrasi siaran dari TV analog ke TV digital harus diketahui dengan jelas oleh masyarakat. Hal ini untuk memastikan sistem siaran baru ini diterima dan dijalankan dengan mudah tanpa kendala.

Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, mengatakan beberapa hal yang penting diketahui publik dari migrasi ke siaran digital adalah soal cakupan siaran apakah dapat ditangkap masyarakat. Selain itu, masyarakat mesti mengetahui penerimaan siaran digital mesti dibantu perangkat Set Top Box atau STB.

Menurutnya, masyarakat dengan daerah yang tidak terjangkau siaran atau blank spot dipastikan tidak dapat menerima siaran TV digital. STB ini akan berfungsi ketika ada layanan siaran TV analog sebelumnya di wilayah tersebut atau dapat menangkap siaran TV dengan menggunakan antena UHF. 

“Di tempat orang bisa menerima siaran dengan antena UHF, mereka akan dapat kena efek siaran digital. Kalau di daerahnya tidak dapat menerima siaran TV atau tidak terjangkau siaran meskipun punya parabola atau dengan TV kabel dipastikan tidak kena dampaknya,” katanya saat menjadi memberi kuliah umum di depan seratusan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana (Unud) di Denpasar, Bali, Rabu (11/5/2022).

Reza memastikan peralihan siaran ke digital ini akan memberikan banyak kebaikan untuk masyarakat khususnya dari segi teknis dan konten. “Biar tidak semutan, suaranya jadi jernih, makin canggih dan makin banyak konten. Di daerah saya yang sebelumnya hanya menerima 5 siaran, dengan siaran digital akan dapat menerima lebih dari 20 siaran TV. Jika di Bali mungkin bisa lebih dari 28 siaran TV yang sudah bersiaran sekarang,” ujarnya. 

Selain memastikan cakupan siaran dan keunggulan dari siaran ini, Reza menyampaikan ke mahasiswa bahwa siaran TV digital tidak ada hubungannya dengan internet. Menurutnya, kesamaan antara siaran digital dengan internet hanya pada pengiriman datanya. 

“Cara pengirimannya digital, sama dengan internet. Ini yang harus dipahami masyarakat. Yang dimaksud dengan digital di sini adalah metode pemancarannya yang menggunakan data. Lalu, siaran ini diterima secara gratis tanpa bayar seperti parabola maupun TV kabel, jelasnya. 

Terkait masih banyak daerah yang belum dapat menangkap siaran TV alias blankspot sehingga menyulitkan masyarakat menerima siaran TV digital, Reza mengusulkan agar dibangun pemancar penerima sinyal siaran. 

Reza juga mengajak seluruh mahasiswa ikut andil dalam mengawasi isi siaran. Pemahaman soal regulasi penyiaran juga penting agar tidak ada salah paham dengan tugas dan fungsi KPI dengan kewenangan di lembaga lain seperti soal sensor. “Ini bisa membantu tugas KPI untuk melihat mana tayangan yang tidak sesuai dengan pedoman,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Reza menggambarkan konsumsi media yang ada di kalangan anak muda saat ini yang telah berubah. Menurutnya, kebanyakan anak muda sekarang telah beralih menikmati siaran media baru seperti Youtube. 

“Ada pandangan dari kalangan anak muda sekarang jika ingin menonton siaran yang sembarangan nontonnya di Youtube. Padahal dari hasil diskusi kami ketika kunjungan ke Youtube, mereka begitu sedih media ini dimanfaatkan atau diisi dengan hal-hal yang tidak manfaat atau negatif. Karena niat awal membuat aplikasi ini adalah untuk kemanfaatan atau kebaikan,” ungkap Reza. ***/Foto: AR

 

 

Denpasar -- Gubernur Provinsi Bali, I Wayan Koster, meresmikan dan mendukung Deklarasi Forum Penyiaran 2022 guna mewujudkan peradaban baru penyiaran lewat informasi yang berkualitas di Nusa Dua, Bali, Kamis (12/5/2022). Kebutuhan masyarakat akan informasi berkualitas dinilai mendesak di tengah maraknya informasi dan pemberitaan yang datang dari berbagai media termasuk media baru.

“Saya mendukung deklarasi ini. Selain itu, kontennya harus juga dibarengi dengan konten yang komunikasinya berkualitas. Saya mendukung sekali. Bahkan kualitasnya tidak hanya menyangkut pada substansi tapi juga kualitas dalam fashionnya, tampilannya, termasuk di dalamnya kesantunannya sesuai dengan budaya kita di Indonesia,” kata Gubenur dalam sambutan sekaligus membuka kegiatan Deklarasi Forum Penyiaran 2022 tersebut.

Terkait hal itu, Gubernur Koster menyatakan posisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi krusial dan dibutuhkan. Pasalnya, fungsi pengawasan makin penting terlebih semakin banyak hadir media penyiaran di era digital serta berkembangnya teknologi informasi komunikasi. 

Sekarang ini, berseliweran berita-berita di media yang menurut Gubernur isinya dulu tidak begitu. “Kenapa sekarang jadi begini. Karena itu, KPI sangat perlu kehadirannya untuk melakukan suatu pembinaan dan pengawasan supaya apa yang dikomunikasikan itu mengikuti tatanan kehidupan yang maju namun tetap juga mengikuti, menjaga kehidupan budayanya,” tuturnya.

Gubernur Koster juga menyampaikan harapannya kepada lembaga penyiaran agar menjadi pendorong berkembangnya tatanan kehidupan baru bagi bangsa khususnya di Bali. Menurutnya, Bali harus mampu dan secara berkelanjutan memperkuat budayanya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. 

“Kami ingin membangun tatanan kehidupan di berbagai aspek kehidupan dengan tetap menjaga adat budaya dan seni kehidupan lokal,” ujar dia.  

Lebih dalam Gubernur menjelaskan bahwa konsep pengembangan dan pemeliharaan budaya sebagai mainstream pembangunan di wilayahnya. “Kami Bali tidak punya kekayaan seperti gas atau minyak. Kekayaan  Bali cuman satu yakni budaya. Kalau ini tidak diperlihara maka wisata akan tertinggal,” katanya.  

Dia juga berharap pariwisata tidak mengorbankan budaya yang ada. Menurutnya, justru pariwisata yang harus membangun budaya. “Karena Bali tanpa budaya tidak mungkin bisa menjadi daerah wisata. Jika ini tidak diperlihara dengan baik, pariwisata akan punah dan tidak akan ada lagi orang yang datang ke Bali,” tuturnya. 

Dalam kesempatan itu, Gubernur mengapresiasi kinerja KPID Bali yang dinilainya sangat aktif melakukan tugasnya. “Saya ini pengamat, peneliti, dan saya tahu dari jarak jauh jadi bisa menilai secara obyektif. Yang baik saya katakan baik. Saya bangga dengan KPID Bali sehingga kami berharap jadi sinergi dalam rangka mencerdaskan masyarakat secara terus menerus,” katanya sumringah. 

Sementara itu, di awal acara, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menyampaikan perubahan sistem penyiaran dari TV analog ke TV digital yang harus disikapi secara terbuka karena banyak manfaat sekaligus banyak keuntungan. 

Dia juga menyinggung persoalan perkembangan media baru yang jadi kompetitor bagi media penyiaran. Menurutnya, ini menjadi tantangan bagi media penyiaran untuk berpikir lebih kreatif dan maju sehingga konten yang dibuat bisa bersaing dengan media baru. “Kalangan milineal durasi menontonnya makin bertambah dan ini menjadi tantangan bagi lembaga penyiaran untuk membuat konten yang berkualitas sehingga lebih kompetitif. Meskipun kita akui tidak ada regulasi yang mengatur media baru tersebut,” tandas Agung. 

Dalam acara deklarasi tersebut, turut hadir Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, Komisioner KPI Pusat, Duta Besar RI untuk Singapura, Suryopratomo, Ketua dan Komisioner KPID Bali, Ketua ATVSI, Ketua ATVLI, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Rektor Universitas Udayana, perwakilan 12 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia dan sejumlah Direktur Utama Stasiun TV.. ***/Foto: AR

 

 

 

 

Denpasar – Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, saat membuka acara seminar bertajuk “Perlindungan Hak Cipta Konten Penyiaran di Media Sosial” yang berlangsung di Ball Room Universitas Udayana, Denpasar, Rabu (11/5/2022).

Terkait hal itu, lanjut Yuliandre, dalam kaitan hak cipta tersebut dia meminta seluruh pihak untuk selalu merujuk ke Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Rujukan ini memastikan tidak adanya pelanggaran ataupun tindakan yang tidak pantas terhadap persoalan hak cipta. Sayangnya, sebuah ide tidak dapat dilindungi dengan hak cipta karena ide merupakan hasil karya yang belum diwujudkan secara nyata.

“Kasus pelanggaran hak cipta pada umumnya terjadi dengan mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak tanpa mengubah bentuk maupun isi untuk kemudian diumumkan, dan memperbanyak ciptaan tersebut dengan sengaja tanpa izin dan dipergunakan untuk kepentingan komersial,” ungkap Andre.

Tidak hanya itu, Yuliandre menegaskan terdapat dua jenis yang masuk dalam kategori hak cipta diantaranya hak moral dan hak ekonomi. Artinya, hak moral merupakan kedaulatan yang selalu melekat pada pencipta dan berlaku pada tanpa batas waktu. Adapun hak ekonomi adalah hak yang dapat dialihkan dan masa berlakunya berbeda tergantung jenis ciptaan. Misalkan sebuah teknologi diciptakan dan diberikan hak ciptanya dengan masa batas waktu tertentu. 

Di ranah penyiaran, hak cipta juga sangat penting diperhatikan. Yuliandre menilai persoalan identitas sebuah konten menjadi hal penting guna menghindari percobaan plagiat. Dengan proses yang begitu panjang, dia memahami proses memproduksi sebuah karya yang akan ditampilkan itu tidak mudah, banyak persiapan dan tahapan yang harus dilalui oleh konten kreator.

“keabsahan, keaslian sebuah konten menjadi hal yang paling utama di industri penyiaran. Terkadang kita lupa bahwa konten yang tercipta menimbulkan rasa ingin mengikuti dari apa yang telah kita lakukan,” tutur Yuliandre.

Lebih jauh, Ketua KPI Pusat Periode 2016-2019 ini mengungkapkan, hukum hadir dalam masyarakat ialah guna menyatukan dan menyelaraskan berbagai kepentingan agar tidak bertabrakan satu dengan lainnya. Penyelarasan berbagai kepentingan tersebut dilaksanakan melalui pembatasan dan perlindungan beragam kepentingan. 

“Konten siaran merupakan objek perlindungan hak cipta oleh karena itu banyak pihak-pihak yang terlibat dalam produksi dilindungi dan hak-haknya dijamin dalam Undang-Undang Hak Cipta,” tegas Yuliandre.

Dalam kesempatan itu, Rektor Universitas Udayana, I Nyoman Gede Antara, bersyukur atas terpilihnya Universitas Udayana sebagai tuan rumah dalam pelaksaan seminar hak cipta dari hasil kolaborasi KPI dan pihaknya. 

Dia mengungkapkan di era industri telekomunikasi yang makin maju, identitas dalam sebuah karya yang akan dipublikasikan harus mendapatkan status kepemilikan. Sampai saat ini, kata Nyoman, sebagian masyarakat masih belum sadar jika mayoritas video yang terdapat dalam Youtube mempunyai hak cipta, termasuk video siaran ulang televisi yang oleh pengguna Youtube kerap kali disalahgunakan, apalagi untuk tujuan komersial tanpa seizin stasiun televisi yang bersangkutan

 “Sebuah keniscayaan bahwa konten siaran yang ada baik di media televisi maupun media baru sudah tak terhitung jumlahnya,” tandas Nyoman. Dalam acara tersebut, hadir narasumber Justiarin P Kusuma dan Ahmad Ramli. Maman/Editor: RG dan MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.