Jakarta – Sehubungan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran sebagai amandemen atas Undangan-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Lentera Anak Indonesia menyambangi Kantor KPI Pusat pada 7 Oktober 2013 guna  memberikan masukkan untuk menjamin perlindungan anak terkait iklan rokok dalam isi siaran.

Pertemuan tersebut diterima oleh  S. Rahmat Arifin, Ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, dan dihadiri Hery Chariansyah, Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Muhammad Joni, Kiki Soewarto, dan Romiyatul Islam.

Hery mengharapkan dengan adanya amandemen baru, Undang-Undang Penyiaran yang sekarang dapat memberlakukan pelarangan iklan rokok secara menyeluruh, tidak hanya dalam media penyiaran. “Bukan hanya pembatasan, karena pembatasan yang terjadi selama ini tidak efektif.” jelas Hery. “Iklan rokok sangat mengkontribusi meningkatnya perokok anak” tambahnya.

Pelarangan total terhadap iklan rokok tersebut tidak hanya sponsorhip atau iklan rokok saja, tetapi juga colour image, dan promosi dari iklan rokok tersebut. ”Kami berharap KPI dapat bersama-sama untuk memperjuangkan hal ini” tambah Kiki.

Menurut Hery, rokok merupakan zat adiktif yang sama dengan produk adiktif lainnya yang sama-sama mengancam, dan seharusnya pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi anak dari zat adiktif tersebut dengan konsep perlindungan khusus yang harus dilakukan segera mungkin.

Menanggapi hal tersebut, Rahmat mengatakan bahwa KPI akan menyampaikan seluruh masukkan-masukkan terkait hal rokok, dimana Undang-Undang Penyiaran masih dibahas di DPR, yang kemungkinan akan selesai pada Januari 2014. red


 


Jakarta – Jurnalis di media penyiaran diharapkan dapat mengaplikasikan etik dan aturan yang berlaku dalam penyiaran seperti P3 dan SPS KPI dalam setiap peliputan di lapangan. Selain mengikuti etik dan aturan yang ada, para jurnalis ditekankan lebih mengedepankan dasar-dasar jurnalistik dan hati nuraninya ketika menemui kejadian atau peristiwa yang mengerikan dalam peliputan.

Hal itu disampaikan Anggota KPI Pusat, Agatha Lily, ketika menjadi narasumber dalam workshop peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) lembaga penyiaran televisi di Provinsi Lampung, Kamis, 26 September 2013, yang diselenggarakan KPID Lampung bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pengurus daerah Lampung.

Menurut Lily, panggilan akrab Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat ini, jurnalis harus mampu membuat keputusan yang baik berdasarkan hati nuraninya ketika peliputan di lapangan menemukan bahwa fakta yang terjadi tidak baik bagi orang banyak karena mengandung muatan atau gambar yang tidak pantas seperti kekerasaan, korban akibat kekerasan, kecelakaan, dan kejadian lainnya.

Lily menekankan pentingnya setiap jurnalis dibekali pengetahuan mengenai etik dan aturan yang berlaku seperti P3 dan SPS KPI, KEJ (Kode Etik Jurnalistik), dan aturan lainnya. Dengan pengetahuan itu, para jurnalis mampu membedakan dan memilih cara yang baik dan tidak berbenturan dengan aturan yang berlaku seperti dalam pengambilan gambar korban kecelakaan atau kekerasaan. 

Workshop sehari digelar di Hotel Sheraton akan diikuti kurang lebih 50 jurnalis stasiun televisi nasional berjaringan yang bertugas di Lampung, pemimpin redaksi, video jurnalis (VJ), dan editor dari enam stasiun televisi lokal, juda dihadiri Ketua Umum IJTI Yadi Hendriyana.

Sementara itu, Ketua IJTI Pengurus Daerah (Pengda) Lampung Febriyanto Ponahan menjelaskan, workshop ini digelar untuk peningkatan kemampuan jurnalis televisi dalam menyonsong era konvergensi media.

"Jurnalis televisi selain kompetensi dan handal di lapangan tapi dituntut untuk menguasai teknologi. Artinya ke depan bukan zamannya lagi jurnalis membawa alat tulis tetapi harus akrab dengan gadget, live event. Hal ini sangat penting karena idealisme newsroom yang selalu mengutamakan kecepatan, kedalaman tapi tetap efisiensi," kata Febri.

Wakil Ketua KPID Provinsi Lampung Dedi Triadi mengatakan, kerja sama dengan organisasi profesi IJTI ini sengaja dilakukan mengingat tugas dan fungsi KPI sebagai pengawasan isi siaran dan perizinan lembaga penyiaran televisi dan radio, termasuk peningkatan profesionalisme praktisi penyiaran.

"Jurnalis televisi menjadi ujung tombak karena harus selalu berpegang teguh dengan rambu-rambu kode etik jurnalis (KEJ) juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar program Siaran(P3SPS). Karena itu, worskshop ini sangat penting karena materi-materi yang disampaikan berupa P3SPS dan peningkatan profesional jurnalis televisi yang menjadi bagian dari materi Uji Kompetensi Jurnalis Televisi IJTI," ujar mantan jurnalis cetak itu. Red

 

Jakarta – KPI Pusat mengundang SCTV untuk berdikusi mengenai sejumlah tayangan yang perlu diperbaiki serta menyamakan pandang soal implementasi kekerasan dalam mengaplikasikan P3 dan SPS KPI tahun 2012, Jumat, 4 Oktober 2013. Diskusi dihadiri langsung Ketua bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, S. Rahmat Arifin, dan Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran, Agatha Lily, serta perwakilan SCTV, Barnardi dan Huki. Turut hadir Koordinator Pemantauan Langsung KPI Pusat, Irvan Senjaya, serta bagian pengaduan KPI Pusat.

Diawal diskusi, KPI Pusat menayangkan empat cuplikan tayangan dalam program SCTV sekaligus memberikan komentar atas tayangan itu.  Diakhir pertemuan, KPI Pusat menyampaikan berkas aduan dari masyarakat terhadap tayangan di SCTV. Berkas diserahkan langsung Komisioner KPI Pusat, Agatha Lily. Red

Bandung - Keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang professional di bidang penyiaran adalah salah satu tugas dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seperti yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Untuk itu, KPI harus mampu membuat sebuah disain sistem pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran dengan mewujudkannya dalam bentuk regulasi. Hal tersebut mengemuka dalam seminar bidang kelembagaan pada Rapat Pimpinan (Rapim) KPI, di Bandung (1/3), yang bertajuk standarisasi kompetensi profesi penyiaran dan kode etik KPI.

Hadir sebagai pembicara dalam seminar ini, Bekti Nugroho (Koordinator bidang kelembagaan KPI Pusat), Mochamad RIyanto (Mantan Ketua KPI Pusat), Imam Wahyudi (Dewan Pertimbangan Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia/ Dewan Pers). Menurut Riyanto, rencana KPI Pusat menyusun standarisasi kompetensi profesi penyiaran merupakan langkah maju, Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang sedang menyusun Standar Kompetensi Kinerja Nasional Indonesia (SKKNI). Untuk itu, RIyanto menilai, KPI sebaiknya bekerjasama dengan asosiasi-asosiasi profesi untuk menyusun standarisasi tersebut.

Menurut Bekti Nugroho, kehadiran standar kompetensi profesi penyiaran adalah sebuah usaha KPI untuk meningkatkan kualitas penyiaran di Indonesia. Dalam pandangannya, standar kompetensi dan kode etik ini akan menjadikan marwah KPI kembali berwibawa. Sehingga lembaga penyiaran tidak lagi mengakali sanksi-sanksi KPI seperti yang terjadi pada beberapa program yang selama ini. SElain itu, ujar Bekti, standarisasi ini juga untuk menjaga agar frekuensi ini digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. “Dan itu hanya bisa terjadi dengan keberadaan KPI yang punya wibawa, martabat, kredibilitas dan integritas”, tegasnya. udah

Sementara itu, dalam pemaparannya di hadapan peserta Rapim, Imam Wahyudi menyampaikan bahwa sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, KPI memang membutuhkan sebuah aturan yang mengikat semua komisioner pusat dan daerah. Sebagaimana lembaga-lembaga lain seperti Komisi Informasi, Komisi Pemilihan umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah memiliki kode etik.

Peserta Rapim menanggapi wacana baru soal standarisasi dan kode etik ini dengan antusias. Menurut Sumeizita, komisioner KPID Sulawesi Selatan, KPI Pusat harus memikirkan kompensasi yang didapat dari standarisasi kompetensi ini bagi para praktisi penyiaran. “Yang pasti, dengan adanya standarisasi ini akan menaikkan nilai tawar mereka”, ujarnya. Untuk itu, kerjasama antara KPI dengan asosiasi lembaga penyiaran juga dilakukan dengan baik dalam pembuatan standarisasi ini. Usul lain yang juga mengemuka adalah dimasukannya masalah kompetensi profesi dan korporasi sebagai salah satu syarat memperoleh izin penyiaran. Sehingga, hanya lembaga penyiaran yang memiliki SDM-SDM penyiaran berkualitas saja, yang dapat menyelenggarakan kegiatan penyiaran. Pendapat ini ternyata disetujui pula oleh Imam Wahyudi. Menurutnya,  selama ini media cetak dapat didirikan dengan mudah tapi tidak demikian dengan media elektronik seperti televisi dan radio yang membutuhkan waktu panjang untuk mendapat izin siar. Imam menilai, seharusnya KPI dapat memasukkan parameter kompetensi ini dalam proses perizinan. Sehingga, masalah-masalah yang muncul di layar penyiaran, dapat direduksi seminimal dan seawal mungkin.  

 

J

akarta – Komisi I DPR RI memutuskan untuk mendorong pemerintah untuk melakukan penambahan anggaran bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik melalui anggatan belanja tambahan (ABT) 2013 ataupun melalui anggaran pada tahun 2014. Hal yang sama juga diberikan pada Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) guna memberikan prioritas terhadap pemberitaan pemilu 2014 secara adil dan berimbang untuk menyediakan informasi bagi publik. Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR RI menyampaikan hal tersebut sebagai salah satu butir rekomendasi Rapat Dengar Pendapat antara Komisi I DPR RI dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lembaga Penyiaran Publik (LPP)Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI), Komisi Informasi Pusat (KIP) Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan Dewan Pers (3/10).

Dalam kesempatan tersebut Ketua KPI, Judhariksawan, menyampaikan bahwa KPI akan menyusun pedoman peraturan penyiaran pemilu untuk menjamin spektrum frekuensi radio sebagai ranah publik yang melindungi kepentingan masyarakat.  Apa yang disampaikan Judha tersebut merupakan salah satu rekomendasi dari Rapat Pimpinan (Rapim) KPI yang baru saja selesai dilangsungkandi Bandung (30 September – 3 Oktober 2013).

Judha menambahkan, dalam beberapa waktu terakhir, KPI bersama KPU, Bawaslu dan Dewan Pers telah mengadakan pertemuan rutin yang membahas pengaturan penyiaran pemilu hingga dapat menghasilkan regulasi penyiaran yang adil dalam menyongsong pemilu 2014.”Yang paling penting, hak masyarakat mendapatkan informasi yang netral, adil dan berimbang tentang pemilu yang merupakan kompetisi politik ini, terpenuhi”, ujarnya.

Selain itu, Judha juga menyampaikan langkah-langkah yang dilakukan KPI untuk mengawasi pemanfaatan iklan-iklan politik di lembaga penyiaran, agar tidak melanggar undang-undang. “Kami ingin memastikan semua iklan politik yang muncul di televisi mengedepankan asas keadilan bagi seluruh peserta pemilu”, ucapnya.

Apa yang disampaikan Judha ini senada dengan aspirasi dari anggota Komisi I DPR RI, Chandra Tirta Wijaya. DIkaitkan dengan aturan yang dikeluarkan oleh KPU, tentang pembatasan pemasangan baliho partai dan calon legislatif, Chandra berharap iklan-iklan politik di televisi-televisi yang dimiliki pimpinan partai politik segera dibatasi, baik oleh KPU ataupun KPI. “Saya menghargai adanya pembatasan pemasangan baliho, tapi iklan-iklan politik yang muncul di televisi dan menerabas masuk hingga ke rumah dan ruang-ruang pribadi masyarakat, harus dibatasi”, ujar Chandra.

Pada RDP ini, banyak membahas soal nota kesepahaman antara KPU dan Lemsaneg. Komisi I ingin memastikan kerjasama antar dua lembaga itu bebas dari tekanan dan intervensi pihak manapun, demi berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil. Pada bagian penutup, Judha menegaskan kembali komitmen KPI sebagai sebuah institusi negara untuk ikut berperan dalam menyukseskan Pemilu 2014 guna menghadirkan pemimpin baru yang terbaik untuk negara ini.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.