Mataram -- Peralihan sistem siaran TV analog ke siaran digital harus menjamin keberlangsung siaran seluruh penyelenggaranya termasuk lembaga penyiaran komunitas atau TV komunitas. Pasalnya, TV ini karakternya berbeda dengan TV swasta yang komersil dan TV publik yang dibiayai negara. Karenanya, perlu ada kebijakan meringankan atau dispensasi kepada TV komunitas terkait sewa kanal multifleksing (MUX).

Persoalan di atas mengemuka pada saat acara Asistensi “Pendampingan Proses Izin Lembaga Penyiaran Televisi dari TV Analog ke TV Digital untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di Mataram, Rabu (23/3/2022).

Terkait hal itu, Direktur Penyiaran Kemenkominfo, Geryantika Kurnia, menyatakan TV komunitas bisa mendapatkan potongan harga sewa hingga 70% dari penyelenggara MUX. Kenapa demikian, karena TV komunitas bukan lembaga penyiaran komersil. 

“Banyak temen-temen yang menanyakan tarif MUX. Penyelenggara MUX langsung kasih harga yang tertinggi. Temen temen bisa lobby saja karena rata-rata penyelengara MUX memberikan diskon antara 25-30% dan ada juga hingga 45%. Kalau TVRI memang spesial, diskonnya antara 25%, 35% sampai 50%. Adapun yang komunitas diskonnya hingga 70%. Karena komunitas tidak komersil,” kata Geryantika. 

Namun demikian, Geryantika mengingatkan lembaga penyiaran yang akan beralih ke siaran digital untuk melengkapi seluruh aspek legalitas ke digital. Pasalnya, mulai 30 April mendatang, pelaksanaan ASO tahap 1 sudah dimulai di sejumlah wilayah layanan siaran. 

“Mohon bantuan temen-temen ini sudah mendekati ASO tahap 1 untuk segera legalisasi izin penyesuaian analognya ke digital. Jangan sampai mendekati tahap ASO lupa izinnya belum diperbarui. Soalnya, syarat untuk masuk siaran digital yang IPP dan ISR-nya masih aktif,” pinta Geryantika.

Sementara itu, di tempat yang sama, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, mendukung adanya keringanan sewa MUX untuk lembaga penyiaran komunitas. Menurutnya, lembaga penyiaran non komersil ini berbeda dengan kategorinya dengan lembaga penyiaran swasta (LPS) atau publik. “Jangan disamakan sewa MUX nya dengan LPS,” katanya. 

Dalam sebuah forum di Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, Reza menerima laporan adanya lembaga penyiaran komunitas yang ditawari harga sewa MUX yang sama dengan LPS. Mestinya, tawaran tersebut mempertimbangkan kategori juga lingkup usaha penyiarannya. Lembaga penyiaran komunitas bersiaran lebih ditujukan pada lingkup yang kecil atau komunitas yang pembiayaannya berasal dari donasi.

“Laporan ini saya temukan waktu mengumpulkan lembaga penyiaran non jaringan dan komunitas di KPID JATENG. Jadi ada TV komunitas yang ditawari sewa sama dengan LPS. Sepantasnya tidak begitu, karena LPS itu komersial, TV komunitas itu non komersial,” jelas Reza.

Reza mengatakan keberadaan LPK pada saat digitalisasi penyiaran harus tetap berdaya shingga dapat mengembangkan komunitasnya sesuai arah dan tujuan penyiaran Nasional. “Jangan sampai malah tidak bisa beroperasi karena dibebani sewa yang sangat mahal,” tuturnya. ***

 

 

Jakarta – Komisi I DPR RI menilai kinerja Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Komisi Informasi Pusat dan Dewan Pers semakin baik. DPR meminta empat mitranya untuk terus meningkatkan kinerjanya ke depan. Demikian hasil kesimpulan Rapat Kerja antara Komisi I DPR dengan ke empat mitra kerjanya di Ruang Rapat Komisi I DPR RI Senayan, Selasa (22/3/2022).

Penilaian ini diberikan setelah mendengarkan laporan dari masing-masing pimpinan lembaga termasuk Ketua KPI Pusat, Agung Suprio. Dalam laporannya, Agung menyampaikan secara rinci program kegiatan yang telah dilakukan di tiga bidang KPI Pusat antara lain bidang kelembagaan, pengawasan isi siaran dan pengelolaan struktur dan sistem penyiaran (PS2P).

Sebelumnya, Menteri Kominfo Johnny G Plate, memaparkan berbagai persiapan yang telah dilakukan pihaknya menghadapi forum internasional negara-negara yang tergabung dalam G20 yang akan berlangsung November mendatang. Adapun fokus Kominfo yakni membangun tenaga atau talenta andal bidang digital serta program literasi digital bagi masyarakat. Dia menargetkan akan memberi pelatihan kepada 133 ribu talenta andal dan memberikan literasi kepada 12 juta warga. 

Menurutnya, ada tiga isu utama yang dibahas dalam G20 mendatang antara lain pemulihan pasca covid, peningkatan talenta digital dan data. “Ini pembahasan G20 yang akan dibahas nanti. Untuk pemulihan dunia dari covid dengan pemanfaatan teknologi digital,” kata Johnny.

Menteri juga menyampaikan telah terbentuknya Tim Seleksi (Timsel) Calon Anggota KPI Pusat Periode 2022-2025. "Pansel kini tengah menyiapkan rencana kerja dan akan rapat persiapan sekaligus penetapan time line kerja,” kata Johnny dalam RDP tersebut.

Pendaftaran akan dimulai pada akhir Maret hingga pertengahan April mendatang. Setelah itu, akan diadakan seleksi berupa penilaian administratif dan penulisan makalah dari masing-masing pendaftar.

Adapun Anggota Timsel antara lain, Ahmad Ramli, Rosarita Niken Widiastuti, Alisa Qotrunnada Munawaroh Wahid, Dadang Rahmat Hidayat, Raden Muhammad Samsudin Dajat Hardjakusumah, dan Justisiari Kusumah.

Dalam kesempatan itu, Kemenkominfo mengaku masih kekurangan jumlah set top box (STB) TV digital yang akan dibagikan secara gratis pada rumah tangga miskin (RTM) di wilayah yang terdampak analog switch off (ASO) untuk tahap II dan III. Menteri Johnny mengatakan pembagian STB gratis telah mulai dilakukan untuk wilayah ASO tahap I sejak 15 Maret 2022 sampai dengan 30 April 2022 atau tepat saat suntik mati TV analog jilid pertama dilakukan yang mencakup 116 kabupaten/kota yang meliputi 56 wilayah siaran. 

"Namun untuk tahap kedua masih kekurangan 152.565 unit set top box dan tahap ketiga masih kurang 1.369.611 set top box yang kita terus carikan jalan keluarnya untuk kebutuhan karena belum tersedia di dalam anggaran pemerintah," ujar Johnny.

Saat sesi tanya jawab, Anggota Komisi I DPR RI, Farah Puteri Nahlia, mempertanyakan tolak ukur untuk menilai indeks kualitas program siaran televisi yang dilakukan KPI. Pasalnya, dia menyebut saat ini masyarakat memerlukan edukasi terkait program siaran televisi yang berkualitas dan mengedukasi.

“Berdasarkan pemaparan KPI, ada beberapa indeks tentang kualitas program siaran televisi bagaimana kategori skillnya itu ada 3 poin, nah dari KPI ini kira kira tolak ukur melihat indeks kualitas siaran televisi itu apa saja,” kata Farah.

Farah menuturkan bila dibandingkan dengan data penjatuhan sanksi berdasarkan program siaran televisi dalam 3 tahun ini teguran dari KPI mengalami penurunan. Meski begitu, dia menyebut pada kenyataanya ada beberapa masukan dari masyarakat khususnya teman teman millenial yang menyoroti siaran televisi.

“Faktanya, saya mendapat masukan dari teman teman milenial masih banyak siaran televisi kita yang kurang mengedukasi atau tidak memberikan siaran positif,” tuturnya.

Menanggapi pertanyaan itu, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menjelaskan program indeks kualitas TV merupakan program kerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi di 12 Kota di tanah air. Dari 12 PT itu KPI mendapat 12 informan atau ahli yang mempunyai kemampuan lebih untuk menilai kualitas tayangan. KPI memberikan tayangan kepada informan tersebut dan menilainya.

“Jadi kami berikan tayangan program acara berdasarkan kategori yang sudah ada seperti infotainment, variety show hingga sinetron,” kata Agung.

Dari penilaian para ahli, terdapat beberapa kategori program yang nilainya di bawah 3.0 yakni infotainment, variety show dan sinetron. “Apa yang kami lakukan terhadap program ini. Jika melihat data sanksi KPI rata-rata ke tiga program tersebut, umpamanya infotainmen mendapatkan 3 sanksi pada 2020, pada 2021 juga 3 sanksi. Sinetron pada 2020 mendapat 19 sanksi, pada 2021 mendapat 8 dan hingga Maret 2022 sudah mendapatkan 2. Jadi memang ada korelasinya,” jelas Agung. 

Dia menegaskan, sanksi yang diberikan pihaknya agar lembaga penyiaran kapok membuat tayangan yang melanggar pedoman penyiaran. 

Kemudian, KPI membuat Sekolah P3SPS untuk lembaga penyiaran agar paham terhadap aturan penyiaran. KPI juga menjalin kerjasama dengan pihak pengiklan supaya meletakkan iklan-iklannya pada tayangan yang berkualitas. 

“Nah yang ketiga ini yang paling sulit karena televisi itu membuat program siaran berdasarkan rating. Jadi umpamanya kalau programnya melanggar atau skor rendah dan tidak berkualitas tapi ratingnya tinggi maka akan terus menayangkan program tersebut. Sementara, sampai sekarang rating belum diatur,” tandas Agung Suprio. ***/Editor: MR/Foto: AR       

 

 

Yogyakarta - Budaya lokal sebagai entitas budaya bangsa seharusnya diletakkan dalam konteks pembentukan kepribadian bangsa. Merujuk dari Ki Hajar Dewantara, kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak-puncak dari budaya daerah. Ini berarti, kebudayaan nasional hanya dapat terwujud dengan baik jika kebudayaan daerah bertumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini disampaikan oleh Darmanto, pengamat media asal Yogyakarta saat menjadi narasumber Bimbingan Teknis Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Yogyakarta, (18/3).

Menurut Darmanto, ketika kebudayaan lokal tidak memiliki eksistensi, berarti tidak ada kebudayaan nasional. Harus disadari, pengakuan dari UNESCO atas kebudayaan kita, semuanya berbasis dari kebudayaan daerah. “Kita harus meletakkan budaya lokal dalam konteks ke-Indonesiaan. Yakni Indonesia yang beragam, multikultur, multietnik dan terdiri atas berbagai peradaban dan budaya daerah,” tegasnya. 

Lembaga penyiaran, ujar Darmanto, diharapkan dapat berkontribusi atas tumbuh kembang kebudayaan nasional yang optimal. Salah satunya dengan menjalankan fungsi penyiaran sebagai perekayasa kultural. Dengan karakteristik penyiaran yang mampu menembus sekat-sekat ruang, bersifat serempak, cepat sampai ke sasaran, penyiaran ia memiliki kekuatan besar dalam membentuk cita rasa bersama dan integrasi budaya. “Kalau generasi muda saat ini tidak lagi mempunyai cita rasa makan-makanan lokal dan lebih tertarik pada produk makanan pabrikan, itu semua adalah salah satu dampak dari tidak bermaknanya konten lokal yang selama ini ditayangkan oleh lembaga penyiaran Indo¬nesia, khusus¬¬nya media televisi karena kuantitas maupun kualitasnya cenderung minim,” ujarnya. 

Darmanto yang juga pegiat Rumah Perubahan mengatakan, seharusnya regulasi kita tidak sekedar mendorong persentase konten lokal saja. Tapi juga mendorong bagaimana konten lokal di televisi eksis, bukan hanya sekedar mengatur jumlah minimal semata. Aspirasi mengenai konten lokal juga disampaikan oleh Wakil Ketua KPI Daerah Istimewa Yogyakarta, Agnes Dwirusjiati. Menurutnya, rancangan undang-undang penyiaran yang tengah dirumuskan oleh Komisi I DPR RI harus dapat memberi penguatan pada eksistensi konten lokal. “Televisi berjaringan dapat ikut serta menjaga nilai-nilai moral dan tradisi bangsa ini yang mempersatukan,” ujarnya. Namun selayaknya siaran tersebut tidak hanya hadir pada jam-jam lewat tengah malam, saat masyarakat tertidur, tapi juga pada waktu produktif saat masyarakat terjaga.  

Pada acara serupa di hari sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan bahwa Komisi I sudah menangkap aspirasi tentang pengaturan konten lokal. Diantaranya keinginan publik untuk kehadiran konten lokal dengan waktu yang lebih banyak. “Kesimpulannya minimun 30% konten lokal dan diatur waktu tayangnya bukan di jam zombie,” ujar Sukamta.  Jika konten lokal muncul di jam 2 sampai jam 4 pagi, itu hanya untuk memenuhi kuota undang-undang semata. Lebih jauh, Sukamta berharap, aturan konten lokal ini dapat dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran sehingga muncul pencipta konten lokal dan juga produser lokal yang diharapkan pula dapat berkontribusi dalam mengembangkan perekonomian lokal.

  

 

 

Bekasi – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki peran dan fungsi mengukur kualitas isi siaran lembaga penyiaran. Dalam salah poin di UU (Undang-Undang) Penyiaran No.32 Tahun 2002 disebutkan, penyiaran merupakan kegiatan komunikasi massa yang berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Menindaklanjuti itu, KPI menggandeng 12 Perguruan Tinggi Negeri di tanah air guna mengukur kualitas siaran tersebut.

Sekertaris Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Umri mengungkapkan, keberlimpahan informasi yang ada saat ini menjadi kekhawatiran yang tidak bisa tuntas hanya dengan sebuah pengamatan saja. Dalam prespektif lain, KPI mencoba melakukan sesuatu dalam menjaga tangggung jawab moral pubik melalui alat ukur dengan substansi berbasis akamedik. 

Dengan mengajak para pakar dari 12 perguruan tinggi negeri diantaranya, Universitas Sumatera Utara, Univeristas Andalas (Padang), Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN) Jakarta, Universitas Padjadjaran (Bandung), Univeristas Dipenegoro (Semarang), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Universitas Negeri Surabaya, Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Hassanudin (Makassar) dan Universitas Pattirmura (Ambon), Umri berharap para pakar memberikan kontribusi dan pemikirannya dalam mengukur kualitas konten siaran TV di Indonesia. 

“Saya menginginkan adanya peran dari rekan-rekan akademisi yang tentu memiliki rasa yang sama untuk melihat dan menakar sejauh mana kualitas tontonan tayangan kita,“ kata Umri saat membuka kegiatan Workshop Indeks Kualitas Siaran Televisi di Bekasi, Kamis (17/3/2022)

Kegiatan yang dihadiri oleh 12 delegasi/pengendali lapangan dari masing-masing universitas bertujuan untuk menentukan skema, proses penilaian melalui aplikasi Sirinkas (Sistem Informasi Indeks Kualitas) hingga didapatkan nilai dan argumentasi yang akan dibawa sebagai bahan dalam Focus Group Disscusion (FGD) di Bali pada Mei mendatang. Sebagai informasi topik penilaian yakni 8 kategori program terdiri atas, berita, infotaimen, variety show, religi, anak, wisata budaya, talkshow dan sinetron.

Umri juga menekankan bahwa proses penentuan tayangan berkualitas atau tidak, melalui porses yang panjang. Menurut hematnya dari setiap penilaian kategori yang ada nantinya dapat menghasilkan sebuah buku sebagai bukti adanya literatur baru dari perkembangan hasil pengamatan informan ahli di tiap daerah sehingga hasil penelitian ini guna manfaat bukan hanya untuk KPI. 

“Hasil observasi teman-teman para informan ahli di tiap daerah itu kan beragam dan berdasar berbasis keilmuan. Saya ingin adanya sebuah karya atau buku yang bahanya diambil dari gagasan tiap kategori yang menjadi objek penilaian,” pintanya.

Pada kesempatan yang sama, salah satu konsultan ahli Indeks Kualitas Program Siaran Televisi KPI dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Univeristas Indonesia, Pinckey Triputra, mengatakan senada dengan Umri. Ia mengingatkan bahwa bentuk buku dari hasil penilaian ini berjenis antologi atau berisi berbagai essay terkait 8 kategori acara tersrbut. Perlu ditekankan, tambah Pinckey,  konten-konten siaran juga berkaitan dengan pemirsa, dinamikanya dan ada interpretasi terhadap data yang ada di dalam buku tersebut. 

Terkait teknis pelaksanaan FGD, Pinkey menuturkan, pentingnya merekam setiap argumentasi yang timbul dari hasil pengamatan setiap informan ahli. Dasar gagasan tersebut akan menjadi data verbatim, kemudian para pengendali lapangan harus selektif dalam memilih pendapat informan ahli yang berkolerasi dengan kategori yang telah dinilai. “Setiap individu yang ada di dalam diskusi argumennya wajib direkam. Rekaman ditranskrip menjadi data verbatim, dan data ini disebut sebagai open coding,” tukasnya. Maman/Editor: RG dan MR

 

]

 

Mataram -- Posisi rating bagi lembaga penyiaran (TV maupun radio) begitu penting karena ikut menentukan seperti apa bentuk program acara atau konten di masing-masing stasiun TV dan radio tersebut. Hingga saat ini, Indonesia hanya punya satu lembaga rating yakni Nielsen. Kondisi ini menjadikan hasil survei Nielsen sebagai satu-satunya acuan utama lembaga penyiaran dalam membuat program acaranya.

GM Legal dan Network Development KompasTV, Deddy Risnanto, mengatakan ketergantungan lembaga penyiaran pada rating kepemirsaan sangat besar. Pasalnya, alat ukur kepemirsaan ini menjadi cara TV mendapatkan pemasukan dari pengiklan melalui program siarannya. Bentuk programnya ditentukan dari kesukaan publik yang terdeteksi alat ukur (people meter) yang dimiliki Nielsen.

“Apakah pada saat kita tayang kita sudah dapat uang, tidak. Karena harus ada dulu yang namanya alat ukur kepemirsaan. Ini untuk apa, untuk kita menjual produk ke pemasang iklan. Kita dapat revenue dan kemudian ada program. Persoalannya, rata-rata TV minimal berproduksi atau bersiaran 12 jam. Tapi ada TV yang 24 jam bersiaran. Itu uang keluar dulu baru revenue dapat,” kata Deddy disela-sela kegiatan Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) di kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pekan lalu.  

Menurut Deddy, hal ini kemudian menjadi persoalan karena Nielsen hanya satu-satunya lembaga rating di Indonesia. “Ada yang lain, nggak ada. Nielsen ada di 11 kota di Indonesia. Apakah Indonesia cuman 11 kota itu, tentunya tidak,” ujarnya. 

Meskipun pengukuran ini diklaim menguntungkan program TV dan dianggap sesuai selera masyarakat, Deddy mengatakan publik ikut berperan menentukan hasil tersebut. Kenapa, karena yang disurvei adalah masyarakat. 

“Jadi kalau Ikatan Cinta memiliki share 48%, ini artinya apa. Pada saat Ikatan Cinta tayang, 48% masyarakat Indonesia nontonnya Ikatan Cinta. Artinya, di sini masyarakat punya peran mengawasi isi siaran dan juga membentuk program siaran itu. Yang jadi persoalan kita karena satu-satunya alat survei cuman Nielsen, yang dipakai biro iklan ya Nielsen, yang dipakai pemasang iklan juga Nielsen,” keluhnya. 

Lantas bagaimana mengubah ini, Deddy mengusulkan adanya sinergi bersama para pihak dalam membangun survei kepermirsaan melalui kerjasama antar lembaga dengan ikut melibatkan masyarakat berbasis teknologi. Pemerintah menjadi pendana program sekaligus menyediakan teknologi untuk dikelola Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Kita juga bisa dibantu Badan Penelitian Statistik yang sudah ahli. Hasilnya kemudian diberikan kepada KPI,” kata Deddy. 

Deddy mengatakan, kolaborasi ini sangat mungkin dilakukan dengan juga memanfaatkan momentum migrasi siaran TV digital. Set Top Box (STB) yang akan dibagikan ke masyarakat dapat dipakai sebagai people mater. Jumlahnya diperkirakan ada 3,2 juta STB. Jika 1 persen dari alat tersebut digunakan untuk mengukur tingkat kepemirsaan, artinya ada 200,000 orang/keluarga sebagai sampel survei.

Hari ini, ungkap Deddy, hampir 20% hingga 40% pemasukan iklan atau pendapatan lembaga penyiaran berasal dari APBN. Menurut dia, situasi ini dapat menjadi ujicoba dengan memberi syarat iklan yang berasal dari pemerintah wajib menggunakan survei yang dibentuk dari kolaborasi pemerintah dan masyarakat tersebut. 

“Saya yakin suatu saat TV akan bergeser. Pertama karena populasinya sudah banyak sekitar 200 ribu sampel berbanding 8600. Datanya jadi lebih detail dan datanya juga lebih banyak. Ada segmentasinya dari pemerintah, dunia pendidikan, dan juga dari masyarakat pada umumnya. Ini usul kami dari lembaga penyiaran. Karena kami juga mempertanyakan survei dari Nielsen tersebut. Apakah itu benar atau tidak. Tapi mau tidak mau, suka atau tidak suka, ya karena cuman satu itu kami pakai juga,” tukasnya. 

Dalam forum yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU Penyiaran, Bambang Kristiono, memberi perhatian besar terhadap perkembangan penyiaran di tanah air termasuk persoalan rating. Menurutnya, catatan dan masukan yang muncul dalam forum akan menjadi pelengkap dan referensi dari RUU (Revisi Undang-Undang) Penyiaran yang sedang disusun Komisi I DPR RI.

“Kami juga bentuk tim asistensi dan mendorong mereka untuk menyerap saran dan masukan yang kami anggap sangat perlu dan penting dalam revisi. Kami rasakan partisipasi masyarakat sangat tinggi dan ini menggembirakan kami. Kritik yang sangat membangun bikin kami sangat bergairah untuk menyelesaikan RUU ini. Kami akan terus mempertajam materi yang akan kami susun dalam RUU. Insya Allah tahun ini akan kami selesaikan,” tegasnya.

Sementara itu, ditempat yang sama, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, mengusulkan Negara untuk mengembangkan pemeringkatan/rating penyiaran. Menurutnya, dengan begitu dapat mengubah cara pandang lembaga penyiaran yang sebelumnya hanya terpaku pada satu lembaga rating. 

“Negara harus mengembangkan pemeringkatan atau rating lembaga penyiaran. Dengan begitu, Negara ikut berinvestasi mendapatkan siaran yang berkualitas,” kata Reza.

Selain itu, kata Reza, salah satu alasan kenapa Negara harus ikut melakukan pemeringkatan agar semua lembaga penyiaran hingga ke daerah dapat secara aktif mendapatkan akses, baik data maupun peluang ekonomi lainnya. Dengan terbukanya akses tersebut, industri penyiaran di dalam negeri akan berjalan sehat.

Dalam kesempatan itu, Reza mendukung penuh RUU Penyiaran dan berharap segera dituntas secepatnya. Dia menilai revisi ini menjadi pintu masuk untuk mengatur keberadaan rating di tanah air. “Karena itu, kami berharap dan akan mem-backup revisi undang-undang penyiaran ini agar betul-betul melindungi kepentingan publik dan mewujudkan penyelenggaraan penyiaran yang baik,” tandas Echa. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.