Bekasi -- Seminar Nasional Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2021 menyoroti ketergantungan lembaga penyiaran TV terhadap rating dan share yang dianggap sebagai biang keladi dari rendahnya mutu dan kualitas konten siaran di tanah air. Pengukuran ataupun pengelolaan model rating seperti ini dinilai tidak cocok karena mendikte TV manut pada selera pemirsa. 

Akademisi dari Universitas Indonesia (UI), Eriyanto mengatakan, permasalahan rating di Indonesia selalu sama dan berulang dari tahun ke tahun. Menurutnya, letak masalahnya ada pada pengelolaan rating yang sudah salah sejak awal. 

“Jika kita melihat praktek penyelenggaran rating di dunia ini ada beberapa sistem. Pertama, home service seperti yang dilakukan di Indonesia. Jadi ada lembaga rating, kemudian lembaga rating ini akan menawarkan hasilnya ke lembaga penyiaran dan biro iklan. Kelemahannya, ketergantungan lembaga penyiaran pada lembaga rating begitu tinggi,” kata Eri di depan peserta Rakornas KPI yang hadir secara daring maupun langsung. 

Lalu ada sistem penyelenggaraan MOC (media owner contract). Sistem rating ini banyak diterapkan negara-negara di Eropa. Eri menilai sistem penyelenggaran rating model ini cocok diterapkan Indonesia karena lembaga penyiaran memiliki kontrol penuh terhadap lembaga rating. 

“Kalo MOC itu sistemnya adalah industri penyiaran bersatu dan kemudian mereka akan mengontrak lembaga rating yang diinginkan. Sistem ini, membuat LP punya kontrol apa yang diinginkan. Termasuk misalnya melakukan tender kepada  lembaga rating yang paling baik. Jadi ketergantungan lembaga penyiaran itu tidak terjadi. Saya heran ini tidak kita terapkan sejak awal tahun 90-an ketika pertama kali rating masuk,” jelas Eri.

Kemudian sistem join industry comite yang dilakukan oleh Belgia yang mirip dengan sistem MOC. Sistem ini, membuat pengguna punya kontrol terhadap apa yang diinginkan. “Jadi misalnya, teman-teman dari lembga penyiaran membutuhkan satu rating yang itu menggukur lebih banyak seperti kota dan lainnya, mereka bisa nego dengan lembaganya dan tidak tergantung dengan lembaga rating tersebut,” kata Eri. 

Setelah itu, ada sistem rating yang diterapkan Italia. Sistem ini unik karena lembaga ratingnya dibuat oleh lembaga penyiaran. Jadi lembaga penyiaran bersatu untuk membuat lembaga rating.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Rikard Bangun mengkhawatirkan penyelenggaraan rating yang menggunakan sistem house rating poin. Menurutnya, sistem ini mendikte selera penonton yang dapat menyebabkan hilangnya program acara  berkualitas seperti teknologi dan kebudayaan karena tidak ada penonton. 

“Jika acuannya penonton maka seluruh program yang mendorong kita untuk maju itu akan hancur.  Berbahaya sekali jika mendorong cost rating poin. Dia akan membayar layanan publik berdasarkan cost,” katanya. 

Rikard mengatakan, negara semestinya membantu program mendidik seperti acara teknologi dan ilmu pengetahuan. Pasalnya, belum ada sebuah program acara di TV kita yang konsisten menayangkan acara tentang teknologi dan ilmu pengetahuan. 

Keadilan berusaha

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, berharap adanya keadilan berusaha antara media lama dengan media baru. Keadilan ini dengan dapat diwujudkan melalui sebuah regulasi atau paying hukum untuk semua. 

“Permohonan kami bagaimana persaingan itu bisa sama antara media mainstream dengan media baru yang belum ada aturan khusus kontennya. Persaingan yang baik itu yang cepat, terukur ada aturannya dan tidak ada kegaduhan,” kata Syafril dalam seminar tersebut. 

Sementara itu, Ketua ATSDI, Eris Munandar, mendorong adanya keberagaman konten dengan tetap menjaga sisi kualitas konten tersebut. Menurutnya, lembaga penyiaran tak hanya melulu mendahulukan penonton tapi juga idealisme. 

Dalam kesempatan itu, Eris menyatakan lembaga penyiaran tetap membutuhkan adanya lembaga rating. Namun begitu, dia berharap ada dewan rating yang betugas mengawasi lem baga rating tersebut. ***/Editor:MR

 

Bekasi - Dinamika persaingan usaha di era digital menjadi fokus pembahasan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2021. Dengan tema “Keadilan Persaingan dan Keberagaman di Era Penyiaran Digital”, Rakornas diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang mendukung iklim  usaha penyiaran yang sehat.

Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyampaikan, kondisi saat ini terasa sulit bagi pelaku industri di televisi dan radio, karena harus bersaing dengan platform media baru yang belum memiliki payung regulasi atas konten yang disiarkan. Sedangkan televisi dan radio saat ini dapat eksis dengan regulasi konten yang cukup ketat dan detil.  Hal ini disampaikan Agung di sela-sela pembukaan Rakornas KPI 2021 yang digelar di Bekasi, (11/11).

KPI sendiri, ujar Agung, telah menerima banyak masukan dari berbagai pemangku kepentingan penyiaran, diantaranya asosiasi lembaga penyiaran, untuk memperhatikan landscape penyiaran saat ini. Selain itu, KPI diharapkan dapat mendorong Komisi I DPR RI untuk membuat regulasi penyiaran yang adil dalam rangka revisi undang-undang penyiaran. 

 

Hal lain yang juga dibahas dalam Rakornas adalah revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Agung menegaskan, KPI akan mengikutsertakan seluruh stakeholder penyiaran, termasuk asosiasi lembaga penyiaran karena mereka adalah obyek dari P3 & SPS. KPI juga akan berkonsultasi pada Komisi I DPR RI, untuk kemudian meminta masukan pada mereka agar P3 & SPS ini nantinya akan komprehensif dan dapat dilaksanakan oleh semua pihak, dalam hal ini televisi dan radio.

Sedangkan terkait migrasi penyiaran dari sistem analog ke digital yang semakin dekat, Agung berharap sosialisasi dapat dilakukan dengan lebih kuat dan lebih luas. “Agar masyarakat Indonesia mendapat manfaat yang maksimal dalam siaran digital,” ujarnya. Selain itu, tambah Agung, KPI berharap pemerintah memberikan subsidi set top box pada masyarakat tidak mampu, agar mereka dapat mengakses siaran digital. 

Rakornas KPI 2021 digelar secara modifikasi tatap muka dan daring dengan peserta dari anggota KPI Daerah seluruh Indonesia. Turut hadir dalam pembukaan Rakornas, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution, Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (Rikard Bangun), Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar, Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Bambang Santoso dan perwakilan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Candi Sinaga. Adapun Rakornas ini dibuka secara daring oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari.  

 

 

Jakarta -- Maraknya konten luar yang tidak sejalan dan bertentangan dengan etika dan nilai-nilai kebangsaan dikhawatirkan menghilangkan rasa nasionalisme dan kecintaan generasi muda (milenial) pada tanah air. Perlu strategi untuk meminimalisir dampak buruk tersebut diantaranya dengan memperbanyak konten dalam negeri yang berisikan pesan tentang cinta tanah air dan wawasan kebangsaan.

Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Aris Mustofa mengatakan, strategi bersama dengan seluruh stakeholder dapat membendung dampak negatif dari banjirnya informasi maupun konten dari luar. 

“Strategi ini dengan menyajikan konten berisikan pesan tentang kecintaan terhadap bangsa dan wawasan kebangsaan di seluruh aspek siaran. Kita harus mengimbangi masuknya konten yang melemahkan itu dengan konten wawasan dan kecintaan tanah air. Dalam bentuk apapun kontennya,” katanya saat menerima kunjungan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, 

Menurut Aris, harus ada upaya konkrit untuk membiasakan dan membudayakan hal-hal baik dan positif kepada masyarakat khususnya anak milenial dalam kehidupan keseharian.  

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia menyatakan, keberadaan media penyiaran di tengah maraknya informasi hoax dan fake yang berasal dari media baru, sangat dibutuhkan. Media penyiaran merupakan media verifikator karena memiliki mekanisme kerja dan organisasi yang benar serta  di awasi oleh payung hukum. “Kami sangat konsern dengan infromasi yang ada di media penyiaran,” katanya. 

Dalam kesempatan itu, Irsal menyampaikan rencana pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2021. Agenda yang melibatkan 33 KPID ini akan membahas dinamika penyiaran menghadapi era digitalisasi pada 2021 mendatang. Selain itu, rapat ini akan membahas perkembangan revisi UU Penyiaran yang hingga sekarang masih dalam pembahasan di DPR. 

“Karena ada isu penting dalam rakornas ini yakni mendorong UU penyiaran untuk direvisi segera. Karena dunia penyiaran ini berubah sangat cepat terutama teknologi internet. Sekarang kita lihat kompetisinya tidak adil. Ada yang bayar pajak tetapi yang satunya tidak. Padahal kerja di media baru ini hampir sama dengan media penyiaran atau konvensional. Ini tidak seimbang ketika penggunaan basis internet begitu massif. Kita mendorong revisi UU Penyiaran dapat mencakup penggunaan internet. Supaya berita dan informasi yang menyesatkan di media baru tidak makin liar,” tandasnya. ***/Foto: AR/Editor:MR

 

 

Bekasi -- Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2021 dimulai dengan penyampaian pandangan oleh 33 KPI Daerah Provinsi yang hadir secara off line dan on line, Rabu (10/11/2021). Sebelumnya, pembukaan rapat koordinasi  diawali dengan sambutan oleh PIC Rakornas KPI 2021 sekaligus Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia.

Dalam sambutannya, Irsal mengingatkan kembali hasil rekomendasi Rakornas tahun lalu yang diantaranya mengawal proses revisi UU Penyiaran, melakukan revisi aturan kelembagaan, membumikan gerakan literasi sejuta pemirsa, hingga sosialisasi digital penyiaran. “Kita akan coba mereview kembali rekomendasi Rakornas tahun lalu untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih baik pada Rakornas kali ini. Kita berharap jalannya Rakornas berjalan dengan baik karena disinilah kinerja KPI terlihat,” katanya.

Adapun maksud tema Rakornas 2021 “Keadilan Persaingan dan Keberagaman di Era Penyiaran Digital”, Irsal menjelaskan hal ini dalam upaya mendorong adanya keadilan berusaha setiap pelaku usaha penyiaran, baik media lama maupun baru. Keadilan ini dapat diwujudkan dengan hadirnya regulasi yang akan menjamin persaingan jadi lebih sehat.

“Ini maksudnya agar kita bisa mendorong lembaga penyiaran karena saat ini terlihat tidak imbang karena ada yang baru. Lalu kita mendorong pelaksanaan persaingan sehat karena digitalisasi akan merubah lanskap penyiaran. Dan paling penting adalah menjaga keadilan dan menumbuhkan lembaga penyiaran,” ujar Irsal.

Saat penyampaian pandangan oleh KPID, dimulai dari KPID Maluku, disampaikan pentingnya penguatan konten lokal dengan tetap menguatkan kelembagaan KPID. Selain itu, persoalan cakupan siaran masih jadi masalah di wilayah Maluku karena faktor geografisnya.

“Saya hanya menyampaikan di Maluku siaran terestrial hanya bisa dinikmati di kota Ambon. Bukan karena kemampuan tapi karena Geografi. Kami titipkan masih ada satu tahun jangan sampai kami tinggal nama saja,” kata Ketua KPID Maluku, Mutiara Dara Utama. 

Dilanjutkan pandangan dari perwakilan KPI Aceh yang berharap digitalisasi penyiaran segera dilakukan karena persoalan sulitnya mendapatkan siaran yang selama ini dihadapi masyarakat Aceh segera tertangani. 

“Digitalisasi penyiaran adalah suatu keniscayaan. Kami berharap ini dirasakan di Aceh karena Aceh sangat sulit karena banyak bukit. Siaran analog saja masih sulit dinikmati,” katanya seraya meminta dukungan dan arahan untuk dapat menyukseskan rancangan “Qanun Penyiaran” sehingga dapat mendukung penyiaran di Aceh. 

Sementara itu, KPID Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak agar revisi UU Penyiaran 32 tahun 2002 agar segera dituntaskan. KPID menilai lemahnya kondisi lembaga ini karena UU Penyiaran belum juga di revisi. “Masalah saya kira banyak sekali. Jadi Rakornas ini harapan kami perlu kita pikirkan langkah politisnya,” kata wakil dari KPID Sultra.

Hingga berita ini diturunkan, masih berlangsung pandangan dari KPID yang sebagian besar menyampaikan sejumlah masalah dan juga masukan terkait digitalisasi, penguatan kelembagaan KPID, revisi UU Penyiaran dan P3SPS KPI tahun 2012. ***/Editor:MR

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi teguran tertulis untuk program siaran jurnalistik “Breaking News” di TVOne dan program siaran jurnalistik “Metro Malam” di Metro TV. Kedua program siaran ini kedapatan menayangkan tayangan yang melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.

Adapun pelanggaran dalam program siaran “Breaking News” tvOne ditemukan pada tanggal 18 Oktober 2021 pukul 20.14 WIB yakni menampilkan pemberitaan terkait “Polisi Gerebek Kantor Pinjol Ilegal” yang memuat visual gambar ketelanjangan yang diperlihatkan dalam layar monitor komputer. Sedangkan pelanggaran pada siaran “Metro Malam” Metro TV ditemukan pada tanggal 18 Oktober 2021 pukul 23.35 WIB yang juga menampilkan pemberitaan “Lagi, Perusahaan Pinjol Ilegal Digerebek”dengan memuat visual gambar ketelanjangan yang sama dalam layar monitor komputer di kantor pinjol tersebut.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan keputusan memberi sanksi teguran tertulis untuk dua program jurnalistik di dua stasiun TV ini telah melalui proses klarifikasi dan rapat pleno penjatuhan sanksi. Menurutnya, visual tidak etis yang ada dalam program siaran tersebut telah mencederai nilai-nilai yang berlaku di masyarakat serta aturan penyiaran. 

“Kami sangat menyayangkan tayangan tersebut dapat lolos. Meskipun hal tersebut adalah fakta lapangan, semestinya hal itu bisa dicegah oleh sistem sensor internal yang ada di kedua TV, misalnya dengan bluring atau ditutupi. Kami memahami gambar itu tidak disengaja, tapi penekanan kami adalah kehati-hatian dalam menayangkan dengan terlebih dahulu melakukan cek dan ricek terhadap isi berita menjadi hal yang paling utama. Sebagai sebuah berita, fakta ini penting diketahui masyarakat agar tidak gegabah menggunakan jasa pinjol yang mulai meresahkan masyarakat. Bentuk-bentuk tindakan penagihan dengan cara-cara yang tidak benar bisa disampaikan melalui deskripsi reporter atau news anchor. Hal ini untuk meminimalisir hal-hal yang tidak terduga muncul seperti tayangan tersebut,” jelas Mulyo. 

Mulyo mengatakan, tayangan ketelanjangan tersebut telah melanggar pasal-pasal terkait penghormatan terhadap nilai dan norma kesopanan serta kesusilaan yang ada di masyarakat dan agama dalam P3SPS. Selain itu, melanggar pasal yang mewajibkan setiap lembaga penyiaran memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik dengan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

“Meskipun ini tayangan jurnalistik atau berita, bukan berarti ada pengecualian atau dispensasi terhadap gambar atau isi yang sampaikan. Semuanya harus sesuai dengan aturan yang berlaku karena aturan jurnalistik di P3SPS KPI mengadopsi prinsip-prinsip jurnalistik yang berlaku diantaranya tidak boleh ada gambar cabul,” kata Mulyo. 

Sebelumnya, KPI telah meminta kedua stasiun TV untuk memberikan klarifikasi atas tampilan ketelanjangan dalam program siaran jurnalistik di masing-masing TV. Dari jawaban yang diperoleh, terdapat unsur ketidaksengajaan. Atas tampilan tayangan tidak etis tersebut, kedua stasiun TV telah menyampaikan permintaan maaf. 

“Keduanya telah kami minta klarifikasi. Atas pertimbangan klarifikasi tersebut kami memberikan sanksi teguran kepada keduanya. Kami berharap kejadian ini tidak terulang kembali. Karenanya, kami meminta kepada seluruh perangkat redaksi dan juga produksi di lembaga penyiaran untuk senantiasa memperhatikan ketentuan atau pedoman penyiaran yang berlaku. Ini salah satunya untuk menghindari dampak buruk akibat tayangan. Kami berharapnya isi siaran kita aman, nyaman, baik, sehat dan penuh manfaat bagi masyarakat,” tandasnya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.