- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 28585
Surabaya -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus memastikan pemahaman terhadap aturan penyiaran khususnya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tahun 2012 dapat diterima dan dipahami secara utuh dan jelas oleh lembaga penyiaran dan seluruh komponen produksi di dalamnya. Dengan begitu, pengertian maupun pemahaman terhadap aturan ini tidak hanya secara tekstual saja tapi juga secara kontekstual.
“P3SPS harus dipahami secara tekstual dan kontekstual oleh seluruh insan penyiaran dan ini sangat penting. Oleh sebab itu, forum dialog seperti ini harus dilakukan secara berkala,” ujar Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat mengisi kegiatan Akademi P3SPS Angkatan VIII yang diselenggarakan KPID Provinsi Jawa Timur di Surabaya, Kamis (23/9/2021).
Dia mengatakan, P3SPS yang merupakan turunan dari UU Penyiaran tahun 2002 ini merupakan panduan, koridor dan rambu-rambu yang harus dipahami dan dipatuhi seluruh insan penyiaran. Pasalnya, pedoman ini dibuat atas dasar konsensus bersama seluruh stakeholder penyiaran di tanah air.
Namun begitu, lanjut Hardly, permintaan untuk mematuhi aturan ini jangan diartikan sebagai bentuk pemasungan terhadap kebebasan berkreasi. Menurutnya, pedoman yang sedang dalam tahap revisi ini dimaksudkan untuk menciptakan program siaran yang kreatif juga berisi nilai edukatif dan informatif.
“Implementasi P3SPS dalam proses produksi program siaran kami harapkan dapat menghasilkan konten yang baik dan berkualitas, serta menjadi parameter dalam produksi konten di berbagai platform informasi dan hiburan,” katanya kepada para peserta akademi yang berasal dari perwakilan lembaga penyiaran dan mahasiswa.
Hardly juga menjelaskan pemberian sanksi untuk lembaga penyiaran merupakan bentuk pembinaan lembaganya agar ada perbaikan terhadap tayangan. “Sanksi juga sebagai pencegahan adanya pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran lain. Misalnya, kita kasih sanksi untuk tayangan sinetron di salah satu TV yang kemudian dicermati oleh TV lain agar tidak mengulangi kesalahan atau pelangggaran yang sama. Jadi pembelajaran bagi lembaga penyiaran yang belum melakukan pelangggaran,” tegasnya.
Meskipun keputusan sanksi dapat membuat efek jera pada lembaga penyiaran, tetap saja ditemukan pelanggaran isi siaran di sejumlah TV. Menyangkut hal ini, Hardly menyebutkan beberapa penyebab, diantaranya karena kualitas konten kreator yang rendah. Kemudian, terjadinya proses produksi kejar tayang sehingga unsur kualitas konten tidak jadi prioritas.
“Selain itu, kami menilai tim produksi kurang memahami regulasi yang ada yakni P3SPS. Mungkin juga ada kelalaian dari lembaga penyiaran. Dan yang terakhir disebabkan karena rating dan share. Jangan-jangan ini disukai masyarakat yang kemudian menjadi stimulasi bagi lembaga penyiaran,” ungkap Hardly.
Menurutnya, harus ada upaya dan strategi intervensi untuk meminimalisir dan mungkin mengubah cara atau kebiasan masyarakat tersebut. Salah satunya dengan memasifkan peran literasi media untuk publik.
“Literasi ini penting agar masyarakat dapat memilah dan memilih program acara yang baik dan bermanfaat bagi mereka. Jika hal ini sudah menjadi budaya, tentunya pola pembuatan atau produksi program acara akan mengikuti kebiasaan tersebut. Selain itu, edukasi ini untuk menghilangkan persepsi salah oleh masyarakat terhadap sensor dan blur yang selama ini dianggap sebagai kewenangan KPI. Padahal KPI tidak berwenang melakukan hal itu,” kata Hardly.
Dalam kesempatan itu, Hardly mengajak seluruh lembaga penyiaran, rumah produksi dan konten kreator menjadi teladan pendistribusi informasi yang selektif. “Informasi untuk masyarakat ini juga harus disampaikan dengan baik dan juga berkualitas,” tandasnya. ***/Editor:MR