- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 22305
Yogyakarta -- Ekosistem penyiaran nasional di era disrupsi mengalami perubahan yang signifikan. Asupan masyarakat akan informasi dan hiburan tidak hanya berasal dari media konvensional seperti TV dan radio. Artinya, dari sisi dampak dapat berasal dari media manapun dan salah satunya dari media yang sedang naik daun yakni media baru.
Perubahan landskap dan pola konsumsi media ini, menurut Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, harus disikapi dengan strategi adaptif dengan membuat kebijakan dan regulasi pengawasan yang baru yakni dari strong regulation (aturan ketat) ke soft regulation (aturan halus). Dengan lebih mengedepankan dialog dan kolaborasi multi stakeholder. Upaya ini, lanjutnya, memberi ruang lembaga penyiaran untuk terus mengembangkan diri melalui kreativitas positif dalam bentuk program siaran.
“Jika pendekatannya masih strong regulation, maka konten televisi dipaksa mengikuti regulasi, tanpa memahami bahwa konten yang dibuat sebenarnya mengikuti selera pasar. Jika hal ini dibiarkan, televisi akan makin cepat ditinggalkan dan khalayak lebih memilih mendapatkan informasi dan hiburan melalui internet. Sementara sampai sekarang belum ada lembaga yang secara khusus mengurusi media baru,” jelas Hardly di acara Seminar Series yang diselenggarakan KPI bersama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Jumat (10/12/2021).
Lebih dalam Hardly mengutarakan pendekatan soft regulation memberi ruang dialog yang konstruktif terhadap pengembangan konten program. Maksudnya, ketika ada program siaran yang belum berkualitas, maka perlu dilakukan pembinaan. Adapun rujukan pembinaannya dapat diambil dari hasil riset indeks kualitas program siaran yang dilakukan KPI bersama 12 Perguruan Tinggi.
“Ini yang disebut dengan soft regulation, penerapan regulasi melalui pendekatan persuasif dan dialogis. Sanksi baru benar-benar diberikan jika program siaran tersebut terbukti melanggar P3SPS. Dengan begini, harapannya kita dapat menangkap peluang disrupsi,” ujar Hardly.
Dalam kesempatan itu, Hardly mendorong peningkatan kapasitas literasi media di masyarakat yang diharapkan mengubah pola konsumsi mereka kepada program siaran yang baik dan berkualitas. Jika ini menjadi kebiasaan, produsen konten akan ikut selera tersebut.
“Jika program siaran televisi dan radio makin baik dan berkualitas harapannya ini dapat menjadi role model bagi konten kreator di media baru. Selain itu, literasi tidak sekedar mendorong masyarakat untuk melaporkan konten yang buruk, tapi juga memberi apresiasi agar informasi yang baik tersebar,” tutur Hardly.
Sebelumnya, dalam sambutan yang disampaikan melalui daring, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Phil Al Makin, mengatakan era disrupsi sekarang antara yang berlimu dengan tidak berilmu, berwenang dan tidak berwenang sulit dibedakan sehingga yang terlihat adalah pencitraan.
Selain itu, agama jangan hanya menjadi struktur sosial di masyarakat tapi harus menjadi core value di masyarakat. “Yang dibutuhkan masyarakat adalah etika, sosial dan moral. Dan agama harus menjadi pondasi,” kata Al Makin.
Terkait hal itu, Al Makin berharap UIN USKA bisa memainkan peran lebih maksimal dalam menyampaikan apa yang bisa dilakukan agamawan dan pihak-pihak lain untuk membawa media agar memberi pengaruh positif ke masyarakat. “Saya optimis kerjasama KPI dan UIN USKA bisa melontarkan banyak perspektif karena kita memiliki otoritas untuk membicarakan hal tersebut,” tandasnya. ***/Editor: MR