Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur sepakat untuk mendorong semua lembaga penyiaran khususnya televisi swasta agar menanamkan nilai dan karakter bangsa dalam isi siarannya. Masalah karakter dan wawasan kebangsaan menjadi masalah saat ini, ironisnya siaran televisi yang menanamkan nilai tersebut sangatlah minim.

“Hanya TVRI yang melakukan hal itu. Televisi swasta jarang sekali. Wawasan kebangsaan dan karakter kebangsaan harus dikumandangkan oleh semua lembaga penyiaran,” kata salah satu Anggota Komisi A DPRD Jatim dalam kunjungan kerja ke KPI Pusat, Rabu, 17 April 2013.

Mochamad Riyanto, Ketua KPI Pusat, yang menerima langsung rombongan DPRD Jatim, menyatakan menyelesaikan persoalan kebangsaan merupakan salah satu tanggunjawab lembaganya. Menurutnya, paradigma KPI adalah mengawal bangsa ini dalam kontek penyiaran yakni memberikan kenyamanan, keamanan, kualitas dan juga nilai-nilai yang baik untuk bangsa melalui siaran.

Kerusakan sosial dari akibat isi siaran yang buruk begitu menakutkan dan ikut berpengaruh terhadap karakter kebangsaan. Lalu apa yang terjadi jika KPI tidak ada. Tentunya, siaran-siaran yang berdampak negatif terebut akan lolos begitu saja. “Media penyiaran punya pengaruh yang luar biasa. KPI punya tanggungjawab yakni memberi kesadaran pada lembaga penyiaran,” kata Riyanto.

Riyanto juga mengusulkan Komisi A DPRD Jatim untuk ikut dalam program yang sudah dijalankan KPI yakni melakukan talkshow bersama televisi lokal dengan melibatkan masyarakat. Program ini dinilai efektif menyerap aspirasi dari publil terkait penyiaran di daerahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Komisi A DPRD menyampaikan rencana rekrutmen Calon Anggota KPID Jatim masa jabatan 2013 – 2016. Terhadap hal itu, Riyanto menyerahkan semua kewenangan kepada DPRD meskipun KPI sudah memiliki peraturan mengenai rekrutmen. Berkaitan dengan rekrutmen, Komisi A menyampaikan jika mereka akan memperpanjang masa jabatan KPID Jatim saat ini selama tiga bulan. Red

Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakhiri polemik sanksi pembredelan media yang melanggar iklan kampanye dengan menghapus keseluruhan Pasal 46 dalam Peraturan KPU No 1 Tahun 2013.

Penegasan ini disampaikan komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah usai pertemuan dengan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Idy Muzayyad di Kantor KPU, Jalan Imam Bojol 29, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2013).

"Bahwa pasal 46 huruf f khususnya kita hapus, tentu mekanismenya nanti akan melalui pleno untuk diapus, dan dikuatkan mengenai sanksi di Pasal 45," kata Ferry dalam klarifikasinya kepada wartawan di Media Center KPU.

Ia menegaskan, sejak awal KPU sama sekali tidak memiliki niat untuk memberikan sanksi kepada media berupa pencabutan izin siar maupun penerbitan bagi media massa cetak. Ferry menduga, Pasal 46 copy paste dari undang-undang pemilu sebelumnya.

"Semangat PKPU 1 khususnya di pasal 45 dan 46 tetap melaksanakan tugas sesuai fungsinya masing-masing. KPU dengan peserta pemilu, KPI mengenai penyiaran, Dewan Pers soal pers dan kode etik jadi sesuai kewenangan," terangnya seperti ditulis tribun.

Dalam pasal 45 ayat (2) PKPU No 1 Tahun 2013 dijelaskan, penjatuhan sanksi dilakukan jika terdapat bukti pelanggaran kampanye lewat media penyiaran, yang akan dilakukan KPI atau Dewan Pers, sesuai Undang-undang Penyiaran.

Sanksi itu kembali dipertegas dalam pasal 46 ayat (1), yang salah satunya pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Lalu, pada ayat (2), tata cara dan pemberian sanksi ditetapkan KPI atau Dewan Pers.

Diberitakan sebelumnya, KPU sudah mengeluarkan PKPU No 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pada Bab VII tentang Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye, KPU menggandeng KPI atau Dewan Pers dalam melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye. Termasuk, mengatur soal sanksi jika terjadi pelanggaran. Red

Jakarta - Anggota Komisi Pemilihan Umum Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan hari ini Komisi Penyiaran Indonesia akan mendatangi kantornya untuk membahas aturan yang dianggap menghalangi kebebasan pers. "Betul, KPI akan datang," kata dia saat dihubungi tempo, Rabu, 17 April 2013.

Dalam kesempatan itu, wakil KPI yang datang Komisioner KPI Pusat, Idy Muzayyad.

Sebelumnya, KPU menerbitkan aturan tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD. Salah satu pasal dalam aturan ini melarang media menjual jam siaran untuk kampanye pemilu. Sanksi bagi media cukup keras, yaitu pencabutan izin siaran atau penerbitan. Ini dianggap aturan pembreidelan media.

Aturan itu tertuang di Pasal 46 ayat (1) huruf f PKPU 1/2013 tentang kampanye, yang mengatur pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan sebagai sanksi kepada media massa cetak yang menyiarkan materi kampanye selama masa tenang. Pasal tersebut juga berisi sanksi dalam bentuk teguran tertulis, penghentian sementara, hingga pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau penerbitan media massa cetak.

Sejumlah kalangan, antara lain Dewan Pers mempersoalkan aturan tersebut. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi pernah mencabut ketentuan serupa dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2008 karena tak memberikan kepastian hukum.

Anggota KPU Hadar Navis Gumay mengatakan lembaganya akan meminta KPI memberi masukan untuk peraturan tersebut. "Kalau ada yang harus diubah akan kami ubah," kata Hadar ketika ditemui di gedung KPU, Selasa, 16 April 2013. Red

Jakarta - Organisasi Masyarakat Televisi Sehat Indonesia mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur stasiun televisi yang menayangkan sinetron merendahkan simbol agama tertentu karena telah meresahkan masyarakat Indonesia.

"Tayangan sinetron tersebut telah memunculkan persepsi buruk tentang tokoh panutan dalam agama Islam," kata Ketua Masyarakat Televisi Sehat Indonesia Fahira Idris di Jakarta, Selasa 16 April 2013 kepada antara.

Guna membahas persoalan tersebut, Fahira bersama Koordinator dan Sekretaris Masyarakat Televisi Sehat Indonesia Ardy Purnawan Sani dan Bayu Priyoko telah menemui para Komisioner KPI Azimah Subagio, Ezki Suyanto, serta Irwandi Syahputra, Senin , 15 April 2013 di kantor KPI Pusat.

Ia menyebutkan beberapa sinetron yang yang diduga merendahkan simbol agama tersebut, yakni "Haji Medit" (SCTV), "Islam KTP" (RCTI), "Tukang Bubur Naik Haji" (RCTI) dan "Ustad Foto Kopi" (SCTV).

Fahira menjelaskan sinetron tersebut telah merendahkan simbol salah satu agama dengan menempatkan Islam sebagai "tersangka" kejelekan.

Tayangan sinetron itu juga mencantumkan judul dengan terminologi Islam, namun isi dan jalan ceritanya tidak mencerminkan perilaku Islami, ujarnya.

Ia mencontohkan film tersebut mempertontonkan karakter ustad dan haji yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, namun digambarkan seseorang yang dengki dan iri terhadap orang lain.

Fahira berharap pelaku perfilman menampilkan tayangan sinetron yang mendidik dan berkualitas, serta mengajak aktor maupun aktris lebih selektif memilih peran dalam sebuah film di Indonesia.

Sekretaris Masyarakat Televisi Sehat Indonesia Bayu Priyoko menambahkan sinetron yang menayangkan simbol Islam lebih mengedepankan karakter yang negatif, seperti ustad jahil, kikir dan sifat tercela lainnya.

Pada bagian lainnya, aktivis Masyarakat Televisi Sehat Indonesia menuntut pemerintah memberikan kewenangan KPI untuk mencabut izin siaran dan menindak tegas lainnya dengan merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, karena selama ini, KPI hanya sebatas berwenang memberikan peringatan keras. Red

(Jakarta: 15/4) - Maraknya sinetron televisi yang menggunakan atribut Islam dan mengaitkannya pada hal yang negatif, mengundang protes masyarakat ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.  Masyarakat Televisi Sehat Indonesia, mengadukan keresahan tersebut pada KPI Pusat, melalui perwakilannya Ardy Purnawansani dan Bayu Prioko, yang juga didampingi Fahira Idris dari Rumah Damai Indonesia. Ketiganya  ditemui oleh Wakil Ketua KPI Pusat Ezki Suyanto, Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan Azimah Subagijo dan Komisioner KPI Pusat bidang Perizinan Iswandi Syahputra (15/4).

Dalam surat yang disampaikan kepada KPI Pusat, Masyarakat TV Sehat Indonesia menilai, tayangan seperti Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Ustad Foto Copy (SCTV),  dan Islam KTP (SCTV), semuanya menggunakan judul dengan terminologi Islami, tapi isi dan jalan ceritanya jauh dari perilaku islami. Bahkan, ujar Ardy, tidak jarang dalam tayangan tersebut, karakter Ustad dan Haji yang seharusnya merupakan tokoh panutan ditengah-tengah masyarakat melakukan tindakan diluar kepatutan, suka mencela, iri, dengki, dan sama sekali tidak ada pesan islam didalamnya. Tayangan tersebut telah memunculkan persepsi buruk tentang tokoh panutan dalam agama Islam, dan jelas hal ini sangat meresahkan masyarakat.

Mengenai sinteron Tukang Bubur Naik Haji, menurut Bayu Prioko, awalnya sinetron ini cukup baik jalan ceritanya. Namun lama kelamaan justru sinetron ini malah lebih menyorot cerita Haji Muhidin yang digambarkan berperilaku buruk. “Kami menyoroti penggunaan titel Haji dalam cerita ini”, ujar Bayu. Bagaimanapun juga Haji adalah bagian dari Rukun Islam, dan menjadi terdegradasi maknanya lewat balutan cerita dalam sinetron seperti ini.

Aduan langsung yang dilakukan elemen masyarakat kepada KPI ini mendapatkan apresiasi dari Ezki Suyanto. Menurut komisioner KPI Pusat bidang pengawasan bidang Isi Siaran ini, sebenarnya mengadu lewat sms, email ataupun twitter pasti akan ditindaklanjuti oleh KPI. Namun dengan mendatangi langsung KPI untuk mengadu, akan memberikan ruang bagi KPI untuk berdialog lebih jauh tentang keberatan yang disampaikan masyarakat.

Tentang sinetron-sinetron yang diadukan ini, Ezki menyampaikan bahwa KPI sudah pernah memberikan teguran pada SCTV atas sinetron Islam KTP. “Bahkan sanksi yang diberikan KPI sampai penghentian sementara”, ujar Ezki.  Namun untuk sinetron-sinetron yang saat ini masih tayang,  KPI sedang melakukan kajian dan mempertemukan masyarakat yang mengadu ini dengan stasiun televisi.  Selain itu, Ezki juga menyarakan masyarakat  mengadu kepada Lembaga Sensor Film (LSF). Mengingat semua materi film, sinetron ataupun iklan yang tayang di televisi harus sudah mendapatkan surat tanda lulus sensor (STLS) dari LSF.

“Sebenarnya aduan dari masyarakat ini merupakan feedback yang baik untuk stasiun televisi agar mau meningkatkan kualitas siarannya”, ujar Azimah Subagijo.  Dirinya berharap, aduan sinetron yang dinilai SARA ini menjadi awal menjadikan pendapat masyarakat sebagai acuan atau rating alternatif, sehingga kualitas siaran televisi dapat semakin meningkat.

Terkait tuntutan dari Masyarakat Televisi Sehat Indonesia yang meminta KPI menjatuhkan sanksi pada stasiun televisi atas sinetron yang dinilai menyinggung SARA tersebut, KPI akan mempelajari semua aduan tersebut. Sekalipun nantinya akan ada forum yang mempertemukan antara pihak televisi dan pengadu, namun jika hasil kajian KPI tayangan sinetron tersebut memang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS), sanksi tetap akan dilayangkan KPI.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.