Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) siap mendukung  dan menyukseskan proses migrasi siaran analog ke digital (Analog Switch Off atau ASO) tahap pertama di enam wilayah di Indonesia yang rencananya akan dimulai pada tanggal 17 Agustus 2021 mendatang. Ke enam wilayah tersebut antara lain Aceh, Kepulauan Riau (Kepri), Banten 1, Kalimantan Timur 1 (Kaltim 1), Kalimantan Utara 1 (Kaltara 1), dan Kalimantan Utara 3 (Kaltara 3).

Hal itu disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, pada saat rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) di Kantor Deputi VII Bidang Kominfotur, Kemenkopolhukam, Kamis (3/6/2021).

Menurut Agung, salah satu upaya yang akan dilakukan KPI untuk mendukung program prioritas pemerintah yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja tersebut adalah dengan program sosialisasi dan edukasi ke masyarakat. “Kita punya 33 KPID. Ini bisa jadi back up bagi pemerintah untuk sosialisasi migrasi analog ke digital,” ujarnya.

Proses perpindahan teknologi siaran dari analog ke digital yang dilakukan secara bertahap ini akan berlangsung hingga 2022 mendatang tepatnya di 2 November 2022. Pada tanggal tersebut, Kemenkominfo berencana akan mematikan secara menyeluruh siaran analog di seluruh wilayah di tanah air. Untuk menerima siaran digital, jika perangkat teknologi televisi yang digunakan telah memadai atau sudah digital maka secara otomatis siaran digital dapat diakses. Namun untuk televisi yang belum tersedia komponen digitalnya, harus menggunakan set top box (STB) atau alat penerima siaran digital.

Agung mengatakan pengadaan dan distribusi STB ke masyarakat menjadi prioritas utama yang harus dikedepankan selain sosialisasi dan edukasi. Pasalnya, sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah dan terpencil, masih memiliki perangkat TV analog. “Ini yang harus kita pikirkan dan menjadi prioritas,” sahutnya.

Meskipun begitu, Agung optimis adaptasi migrasi siaran ini oleh masyarakat di kota-kota besar bisa lebih mudah. “Sekarang ini banyak TV yang sudah terformat dengan teknologi digital dan hal ini memudahkan kita untuk melakukan perpindahan,” katanya.

Dijelaskan Agung jika perpindahan sistem ini mesti dilakukan secara bertahap. Menurutnya, di beberapa negara yang sudah melaksanakan proses ASO, proses migrasi teknologi siarannya dilakukan secara bertahap. “Di Amerika Serikat, proses migrasi siaran analog ke digital dilakukan secara bertahap selama empat tahun. Adapun kita mencoba mencontoh cara Italia yang memulai proses migrasinya dari wilayah-wilayah seperti desa, daerah terluar atau terpencil,” jelasnya.

Dalam pertemuan tersebut, turut hadir Direktur Penyiaran Kemenkominfo, Geryantika Kurnia, Staf Khusus Menteri Kominfo, Niken Widiastuti, dan perwakilan dari Deputi VII Bidang Kominfotur Kemenkopolhukam. Rencananya, dalam waktu dekat, ketiga instansi akan melakukan sosialisasi siaran digital di sejumlah daerah. ***

 

Jakarta - Merebaknya protes masyarakat atas muatan sinetron “Zahra”, harus jadi momentum untuk meningkatkan sensitivitas publik terhadap isu perlindungan anak dan keadilan gender. Kehadiran anak yang berperan sebagai orang dewasa dengan konflik rumah tangga di sinetron tersebut, menunjukkan adanya ketidakpahaman atas regulasi. Baik itu yang termuat dalam undang-undang penyiaran, undang-undang perkawinan serta undang-undang perlindungan anak. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan segera berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) guna melakukan edukasi kepada lembaga penyiaran dan juga pengelola rumah produksi tentang perspektif perlindungan anak dan keadilan gender di media. 

Hal tersebut menjadi pembahasan dalam pertemuan antara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dengan KPI Pusat yang diwakili oleh Komisioner Bidang Kelembagaan, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano Pariela, di kantor KPPPA (3/11). 

Bintang menegaskan, dalam rangka pemenuhan hak anak dan juga perlindungan anak di media, seharusnya anak-anak diberikan peran sesuai dengan usianya. Kalau usia 15 tahun berperan sebagai orang dewasa sebagaimana yang muncul dari sinetron Zahra, bertentangan dengan usaha pemerintah menggencarkan pencegahan perkawinan anak dengan sosialisasi undang-undang nomor 16 tahun 2019 yang menyamakan batas usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan yakni 19 tahun. “Kita dihajar oleh sinetron yang dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah yang dapat dengan mudah menerima bahwa apa yang tampil di sinetron adalah benar,” ujar Bintang. Karena tidak adanya pemilihan dan pemilahan terhadap konten siaran yang dikonsumsi masyarakat. 

Sementara itu menurut Nuning Rodiyah, pelajaran penting dari sinetron Zahra ini, masyarakat memberikan perhatian yang besar terhadap isu perlindungan anak dan perempuan. Sensitivitas publik atas isu ini harus dijaga lewat program literasi ke masyarakat. “Sehingga, kalau muncul lagi muatan siaran yang tidak sensitive gender atau tidak memperhatikan perlindungan anak, masyarakat dapat segera bersuara dan memberikan koreksi,” ujarnya. 

KPI sendiri memiliki program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) dalam rangka penguatan kapasitas literasi masyarakat. Lewat literasi ini, selain memberikan pemahaman tentang bagaimana menonton siaran baik dan meninggalkan siaran yang buruk, diharapkan dapat mengubah selera menonton di masyarakat yang akhirnya memaksa pihak televisi untuk hanya menyiarkan program yang berkualitas. Nuning berharap kerja sama dengan KPPPA juga dapat direalisasikan melalui literasi media guna memberikan sosialisasi terhadap urgensi perlindungan anak dan keadilan gender di tengah masyarakat. “Pelajaran penting dari sinetron Zahra, masyarakat punya perhatian yang besar terhadap isu-isu perlindungan anak dan juga perempuan,” ujarnya.  

Hal mendesak yang juga harus segera direalisasi adalah peningkatan kapasitas para pekerja rumah produksi dan lembaga penyiaran. Dalam pengamatan Nuning, kedua unsur penting dalam dunia penyiaran ini masih minim informasi tentang keadilan gender dan perlindungan anak. “Sehingga perlu ruang-ruang belajar bersama berkaitan dengan dua isu tersebut,” ujarnya. 

Hardly Stefano berpendapat, harus diakui adanya fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di masyarakat yang menginspirasi rumah-rumah produksi untuk diangkat dalam sebuah cerita di sinetron. Namun, menurutnya, harus ada lesson learned yang tegas muncul untuk tidak melegitimasi fenomena KDRT tersebut. Jika mengangkat fenomena tersebut, sinetron juga harus memberikan edukasi tentang solusi yang sudah disediakan negara atas KDRT. Menteri Bintang sangat mendukung jika materi edukasi dapat diselipkan dalam cerita di sinetron. Selama ini KDRT dianggap sebagai aib sehingga pihak yang menjadi korban enggan bicara. “Perempuan harus diedukasi untuk bicara dan melapor, jika mengalami KDRT,” ujarnya. Sehingga sinetron juga membantu memberikan solusi pada masyarakat tentang KDRT, bukan sekedar mengangkat fenomena belaka sehingga kerap kali dianggap publik sebagai pembenaran. 

Senada dengan Menteri Bintang, Nuning memaparkan bahwa program hiburan seperti sinetron dan film memiliki magnitude yang sangat tinggi. Sebanyak 60% pemirsa televisi menonton program hiburan. “Sudah seharusnya pesan-pesan positif dapat diselipkan dengan kemasan kreatif dalam program tersebut, ujarnya. 

Dalam pertemuan ini, hadir pula Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu. Menteri Bintang berharap kerja sama kementeriannya dengan KPI dapat segera direalisasikan dalam waktu dekat. Baik dalam bentuk pembekalan untuk pelaku industri penyiaran, masyarakat umum, atau pun tim pengawasan isi siaran dari KPI agar lebih sensitive terhadap perlindungan anak dan juga keadilan gender. Foto: AR

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menerima klarifikasi dari stasiun televisi Indosiar tentang program siaran sinetron Suara Hati Istri yang mendapat banyak protes dari masyarakat lantaran menampilkan artis berusia 15 tahun berperan sebagai istri ketiga. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, Nuning  Rodiyah menjelaskan, pihak Indosiar telah menerima semua masukan publik atas sinetron tersebut. Tindak lanjut dari Indosiar ke depan adalah mengganti pemeran dalam tiga episode mendatang. 

Selain itu, tambah Nuning, dalam klarifikasi yang disampaikan Direktur Program Indosiar Harsiwi Ahmad, Indosiar akan selalu mengingatkan pihak rumah produksi untuk menggunakan artis dengan usia di atas 18 tahun untuk membawakan peran tokoh yang sudah menikah. Indosiar juga berjanji akan memperhatikan muatan cerita dalam setiap produksi program siaran. 

Nuning menegaskan, evaluasi terhadap sinetron Suara Hati Istri ini harus dilakukan secara menyeluruh, baik dari sisi pemeran ataupun tema cerita. Pada prinsipnya, KPI berkepentingan untuk memastikan layar kaca mengedepankan prinsip perlindungan untuk anak. “Jangan sampai ada hak anak yang terlanggar karena televisi abai dengan prinsip tersebut,” ujar Nuning. 

Nuning juga mengingatkan, sinetron hingga saat ini masih menjadi program siaran dengan magnet paling besar untuk mendapatkan perhatian publik. “Kita tentu berharap, sinetron tidak menyebarluaskan praktek hidup yang dapat merugikan kepentingan anak Indonesia,” tegasnya. Lebih jauh, KPI akan segera memanggil pihak rumah produksi dan juga Indosiar, untuk memastikan perbaikan yang dilakukan telah berjalan baik. Nuning berharap, kasus ini juga dapat menjadi koreksi pada semua lembaga penyiaran untuk lebih ketat lagi dalam melakukan kontrol atas kualitas program yang dihadirkan ke tengah masyarakat.

 

 

Jakarta -- Tim Seleksi (Timsel) Pemilihan Calon Komisioner atau Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Banten melakukan kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Kamis (3/6/2021). Kunjungan ini dalam rangka rekrutmen Calon Anggota KPID Banten yang rencananya pendaftaran akan dibuka mulai awal Juni hingga Juli 2021 mendatang. 

“Maksud dan tujuan kami ke sini untuk konsultasi tentang tahapan dan proses seleksi yang kalau pada dasarnya dimuat dalam PKPI kelembagaan. Ada beberapa hal yang kami dalami lebih lanjut. Rencananya, proses pendaftaran mulai Juni ini hingga Juli,” kata Wakil Ketua Timsel Pemilihan Calon Anggota KPID Banten, Kusma Supriatna.

Setelah pemaparan mengenai mekanisme dan proses rekrutmen Calon Anggota KPID berdasarkan PKPI Kelembagaan oleh Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri, disampaikan berbagai arahan dan masukan oleh Komisioner KPI Pusat yang hadir dalam pertemuan. 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, berharao Timsel dapat memilih calon-calon yang kompeten, memiliki kemampuan mumpuni di bidang penyiaran khususnya terkait siaran lokal serta digitalisasi. Menurutnya, kemampuan ini sangat mendukung pekerjaan sebagai Anggota KPID yang ke depan akan lebih menantang dengan adanya penyiaran digital.

“Kaitannya dengan seleksi, kalau bisa hal ini ditanyakan kepada calon-calon terkait soal pengawasan digital dan konten lokal. Banten itu meskipun jaraknya dekat dengan Jakarta tapi punya cirikas. Budayanya sangat beda dengan Jakarta. Kalau yang dipilih orang tepat dan melakukan yang baik, maka kita dapat pahala juga,” kata Agung.

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. Menurutnya, Timsel harus dapat menggali konsistensi dan keseriusan calon terhadap lokalitas dalam wawancara. Pertanyaan harus dibuat seobyektif mungkin sehingga nilai yang keluar sesuai. “Kalau mau obyektif mereka buat makalah,” pintanya. 

Dia juga meminta Timsel untuk memperhatikan komposisi perempuan dalam calon yang mendaftar. Keterwakilan perempuan dalam pengurusan KPID sangat penting terkait pengambil kebijakan nantinya. ”Perlu ada perwakilan perempuan. 30% Komisioner KPID adalah perempuan,” tuturnya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, berharap setiap Calon Anggota KPID memiliki kemampuan mengembangkan radio yang saat ini sedang terpuruk. Kemampuan ini, dimaksudkan agar dapat menghidupkan lembaga penyiaran radio terkait eksistensinya. “Kami sangat berharap siaran radio bisa menegakkan NKRI,” katanya.

Mulyo juga menyampaikan pentingnya kemampuan analitik dan visi wawasan ke KPID an. Dia juga berharap yang dipilih oleh Timsel adalah pribadi yang punya kemampuan emosional yang baik. 

Dalam pertemuan itu, turut hadir Anggota Timsel, Prof. Dr. A. Syihabuin, Uib Muhabuddin dan Ade Bujhaerimi. ***/Foto: AR

 

Jakarta - Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2012 memiliki semangat untuk mengedepankan prinsip perlindungan terhadap anak dan remaja. Karenanya KPI mengingatkan, agar semua rumah produksi yang menjadi penyedia konten siaran untuk lembaga penyiaran memahami betul aturan yang ada dalam P3 & SPS, khususnya terkait perlindungan terhadap anak. Pasal 15 ayat (1) SPS KPI 2012 menyebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak dan/ remaja. 

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah menjelaskan, perlindungan terhadap anak dan remaja ini mencakup anak sebagai pengisi/ pembawa program siaran, anak sebagai pemeran dalam seni peran seperti film, sinetron atau drama lainnya, dan anak sebagai materi atau muatan dalam program siaran. 

“Dalam P3SPS juga mengatur larangan untuk anak-anak menjadi pembawa acara atau pengisi program yang disiarkan secara langsung di atas pukul 21.30,” ujar Nuning. Hal ini tentu untuk menjaga agar hak-hak anak tidak terabaikan. Selain itu, P3 & SPS juga mengatur bahwa anak sebagai narasumber program siaran harus sesuai dengan kapasitasnya sebagai anak dan harus didampingi orang tua apabila di luar kapasistasnya. 

Yang juga penting dipahami oleh pengelola rumah produksi, jika menjadikan anak sebagai pemeran dalam seni peran, harus diberikan peran yang sesuai dengan umur mereka sebagai anak. “Jangan sampai diberi peran-peran yang akan berpengaruh secara negatif bagi tumbuh kembang dan psikologis anak,” tegasnya. Termasuk dengan tidak menampilkan materi yang menstimulasi pernikahan usia muda dalam program siaran. “Karena lembaga penyiaran justru arus mendukung upaya pemerintah menekan angka pernikahan di bawah usia dewasa yang masih tinggi di Indonesia,” paparnya. 

Data penelitian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPPA) menyebutkan ada sekitar 36,62 persen anak perempuan menikah untuk pertama kali pada usia 15 tahun atau kurang. Kemudian yang menikah di usia 16 tahun ada 39.92% dan 23,46 persen menikah di usia 17 tahun. Dari data ini menunjukkan tingginya tingkat pernikahan usia dini untuk perempuan di Indonesia. Padahal, tambah Nuning, diantara dampak buruk pernikahan usia muda bagi perempuan khususnya, adakah kehilangan kesempatan pendidikan.

Nuning meminta, lembaga penyiaran dan rumah-rumah produksi dapat menyesuaikan konten siaran yang dibuat agar mendukung anak-anak Indonesia tumbuh dan berkembang dengan baik, sebagai upaya menghadirkan generasi muda bangsa yang unggul dan berkualitas. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.