Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sepakat memperbarui perjanjian kerjasama atau MoU (memorandum of understanding) yang pernah ditandatangani kedua lembaga pada 2015 lalu. Keinginan itu mengemuka pada saat pertemuan keduanya di Kantor BNPT, Selasa (4/8/2020).

Dalam pertemuan jelang sore itu, hadir Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza dan Nuning Rodiyah. Turut mendampingi Kabag Perencanaan, Hukum dan Humas, Umri. 

Terkait perpanjangan dan peningkatan kerjasama antara KPI dan BNPT, Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, menyatakan pihaknya siap. Jika perlu, dalam waktu satu bulan, rencananya itu sudah terwujud. “Paling lama satu bulan perpanjangan kerjasama sudah dilakukan,” katanya pada pertemuan itu.

Dalam kesempatan itu, Boy menyoroti minimnya pengawasan terhadap media sosial. Pasalnya, kata dia, penyebaran paham-paham radikalisme atau ekstrimisme banyak melalui online. 

“Bentuk barunya terorisme sekarang individual lonely wolf terrorism. Jaringan terorisnya online. Makanya kadang pelakunya individu. Tapi yang individu ini tetap dibantu jaringan. Yang pelaku murni tunggal juga ada,” ungkap Boy.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menyambut baik percepatan MoU pihaknya dengan BNPT. Namun, lanjut dia, perpanjangan MoU tersebut harus penyesuaian dengan kondisi sekarang, misalnya mencakup pengawasan TV satelit dan media baru. “Nanti kita juga bisa libatkan Kemen Kominfo,” katanya.

Agung mengatakan, kekhawatiran pihaknya saat ini pada lembaga penyiaran yang tidak memiliki izin resmi seperti radio AM. “Kalau radio FM bisa diawasi karena berizin. Sedangkan AM tidak masuk izin dan jangkauannya seluruh Indonesia,” katanya kepada Kepala BNPT. 

Menyangkut media sosial, Agung mengusulkan adanya payung regulasi seperti yang diterapkan Australia. Di negara kanguru itu, semua media sosial diatur. “Kita baru mengincar pajak lewat subscriber. Kita bisa seperti Australia. Meski Australia liberal tapi medsosnya diawasi,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menjelaskan salah satu peran KPI yakni mencegah tumbuhnya embrio-embrio ekstrimisme melalui konten-konten di media penyiaran yang berpotensi mengancam integritas dan integrasi Bangsa. Berbagai upaya dilakukan KPI agar isi siaran lembaga penyiaran tidak mengarah ke penyebaran paham-paham tersebut.

“Kami mengawasi ketat konten-konten yang diindikasi bisa menyebarkan tentang kebencian dan paham tersebut. Kami juga tidak segan-segan meminta lembaga penyiaran untuk menjadi bagian yang turut serta menangkap gerakan terprisme dan radikalisme. Berkaitan pemberitaan tentang aksi terorisme, kita jaga betul agar tidak menampilkan aksi kekerasannya karena mungkin jadi inspirasi bagi khalayak pemirsa,” tutur Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat. 

Nuning juga menyoroti kebijakan open sky policy yang menyebabkan terbukanya wilayah udara Indonesia dari siaran-siaran luar melalui satelit. Menurutnya, siaran melalui satelit ini ada kemungkinan konten yang masuk dan diterima masyarakat kita tidak sesuai dengan norma dan memungkinkan mengandung paham radikal. ***

 

Jakarta - Lembaga penyiaran harus dapat menjadi rujukan informasi yang terpercaya, di tengah membanjirnya informasi yang disodorkan kepada publik melalui berbagai kanal dan platform media baru. Sebagai media mainstream, lembaga penyiaran baik itu televisi dan radio, harus hadir sebagai tempat konfirmasi terakhir tentang kebenaran dan validitas informasi, khususnya terkait radikalisme dan terorisme. Untuk itu televisi dan radio harus memastikan konten informasi yang disampaikan sudah pasti kebenarannya, akurat informasinya dan memiliki manfaat bagi publik. Hal tersebut disampaikan Komisioner bidang kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nuning Rodiyah dalam acara Literasi Daring dengan tema “Menangkal Radikalisme melalui Dunia Penyiaran”,”(05/8).  

Lembaga penyiaran, menurut Nuning, berkewajiban memastikan tidak ada muatan yang mengandung perilaku intoleran dalam setiap program yang disiarkan. “Jika perilaku intoleran ini muncul di lembaga penyiaran, tentu saja memiliki efek tiru dan juga duplikasi pada publik mengingat karakteristik penyiaran melalui frekuensi ini serentak dan memiliki daya jangkau yang sangat besar,”ujarnya. 

KPI memiliki kepentingan menjaga penyiaran dari konten yang berpotensi memicu radikalisme dan terorisme. Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran di pasal 36 ayat (5) menyebutkan  isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/ atau bohong. Dilarang pula menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkoba dan obat terlarang. 

Yang jadi highlight juga adalah larangan mempertentangkan agama, ras dan antar golongan. Serta isi siaran pun dilarang memperolok, merendahkan, melecehkan, dan/ atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Dapat dipahami pula, jika hal ini tidak dijaga dapat memicu munculnya disharmoni dalam masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, menurut Nuning, hal ini dapat menjadi ancaman terhadap integrasi nasional kita.

Dalam catatan KPI setidaknya muatan-muatan tersebut berpeluang muncul dalam berbagai program siaran, diantaranya berita, religi, hingga sinetron dan juga film. Pada tahun 2013 misalnya, KPI pernah mengeluarkan teguran pada TVRI saat menyiarkan peringatan hari lahir organisasi masyarakat tertentu yang terindikasi bertentangan dengan demokrasi. Selain itu, KPI juga menjatuhkan teguran terhadap pemberitaan yang tidak akurat tentang aksi teror bom di beberapa tempat. Sedangkan di program film, KPI menemukan adanya stigma perilaku teror kepada  agama tertentu pada sebuah film luar negeri. Dalam peliputan peristiwa terorisme, aturan yang ada untuk lembaga penyiaran diantaranya menghormati hak masyarakat untuk mendapatkan informasi secara lengkap dan benar. Berdasarkan hal ini, ujar Nuning, lembaga penyiaran tentunya dilarang menyampaikan informasi yang mengandung ketidakbenaran atau hoax.  Misalnya ketika peristiwa teror bom beberapa waktu lalu, beberapa lembaga penyiaran sempat menyampaikan prediksi ancaman bom di beberapa lokasi lain, yang ternyata tidak terbukti. Informasi yang tidak valid ini tentu memunculkan kepanikan dan keresahan di masyarakat, ujar Nuning. 

Senada dengan Nuning, Komisioner bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPI Azwar Hasan menyampaikan bahwa aksi terorisme akan dianggap berhasil jika sudah menjadi sebuah berita besar. Dengan kemunculan berita-berita yang tidak valid dan juga menyesatkan, tentu membuat aksi terorisme itu mencapai tujuannya, yakni menebar teror dan ketakutan di tengah publik. Azwar menilai, verifikasi informasi menjadi sebuah kemestian yang dilakukan oleh lembaga penyiaran. Selain itu, lembaga penyiaran diharap tidak berlebihan dalam memberitakan tindak kejahatan terorisme guna menghindari aksi teror susulan. Yang tak kalah penting tentunya perlu kepekaan bagi lembaga penyiaran dan mengedepankan etika peliputan sebagaimana yang telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). 

Dalam kesempatan tersebut, anggota Komisi I DPR RI Kreshna Dewanata Prosakh turut hadir sebagai narasumber. Kreshna juga menyoroti pentingnya pengaturan dan pengawasan pada media sosial untuk menangkal penyebaran radikalisme dan terorisme ini. Menurutnya paham radikalisme dan terorisme ini tidak akan tersebar melalui media-media mainstream, melainkan lewat saluran-saluran privat termasuk juga media sosial. Harapan Kreshna, KPI melalui regulasi penyiaran yang baru nanti, dapat ikut serta melakukan kontrol atas konten terorisme di media sosial.

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung penuh langkah Presiden RI, Joko Widodo, yang menginginkan percepatan transformasi digital di tanah air termasuk sektor penyiaran. Percepatan ini akan mempercepat migrasi dari TV analog ke TV digital yang lama tertunda karena menunggu revisi UU Penyiaran tahun 2002.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo mengatakan, perintah Presiden agar segera mempercepat transformasi digital di semua sektor strategis termasuk penyiaran dapat menjadi solusi dari mandeknya peralihan teknologi penyiaran dari analog ke digital (switch off) di Indonesia. Pasalnya, di antara negara-negara ASEAN, hanya Indonesia dan Timor Leste yang belum melakukan peralihan tersebut.

“Hal itu membuat kita makin tertinggal di banding negara tetangga lainnya termasuk dalam urusan penyiaran. Mestinya, masyarakat sudah bisa memanfaatkan keuntungan dari alih teknologi tersebut. Termasuk akses untuk mendapatkan informasi khususnya untuk masyarakat di wilayah-wilayah terpencil dan terluar serta tertinggal,” kata Mulyo, Selasa (4/8/2020).

Kemudahan akses itu hanya sebagian kecil dari keuntungan jika kita berdigitalisasi. Kelebihan lainnya, akan banyak tersedia slot kanal digital yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya khazanah konten siaran nasional. Tidak ada lagi permasalahan ketersediaan kanal karena dalam sistem digital, satu kanal siaran, dapat diisi lebih dari 12 slot,” katanya.

Namun begitu, percepatan digital di sektor penyiaran ini, akan menjadi tantangan bagi KPI dan KPID. Menurut Mulyo, beberapa hal itu yakni bagaimana memberikan keadilan dalam pengelolaan multiplaxer agar tidak terjadi perselisihan dan pihak yang dirugikan. Selain itu, soal pemerataan siaran di seluruh wilayah tanah air. Pasalnya, ada banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau siaran nasional. Masyarakat punya hak yang sama untuk mendapatkan informasi.

“Digitalisasi akan menambah keberagaman konten kita. Dan, ini akan berimplikasi terhadap pengawasan isi siaran. Model pengawasan atau pemantauan isi siaran jika sudah beralih digital dan kaya akan konten tidak akan sama dengan pengawasan model sekarang. Artinya, perlu  peningkatan kualitas dan kuantitas pengawasan. Teknologi digital seperti Artificial Intelegence harus dimanfaatkan dalam pengawasan,” jelas Mulyo.

Hal lain yang akan dilakukan KPI dalam upaya mendukung keputusan tersebut adalah melakukan sosialisasi secara masif tentang siaran digital ke masyarakat. “Masyarakat tentutnya butuh informasi mengenai teknologi baru ini dan itu harus melalui sosialisasi. KPI bekerja sama dengan Kominfo Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat mengambil peran memberi sosialisasi tersebut. Banyak masyarakat di daerah yang memahami siaran digital sebagai siaran berbayar. Kami juga perlu melakukan literasi masyarakat jika tranformasi ini sudah berjalan. Karena semakin banyak siaran akan semakin banyak potensi dampak. Masyarakat harus lebih kritis dan peduli,” tandas Mulyo. ***

Majene -- Di tengah situasi pandemi Covid-19, televisi menjadi alternatif  hiburan bagi keluarga di rumah. Bahkan, televisi dan juga radio dimanfaatkan sebagai sarana belajar disaat sekolah tutup untuk sementara karena pembatasan sosial. 

Data Nielsen selama pandemi menunjukkan, angka menonton televisi meningkat sebesar 5 jam 29 menit dari sebelumnya 4 jam 48 menit. Sumbangan terbesar diberikan oleh program Belajar dari Rumah (BDR) yang tayang TVRI. Sayangnya, banyak masukan yang menganggap program tersebut kurang menarik ditonton. Sementara program lain, yang kurang layak untuk anak, justru banyak tayang di jam anak.

Terkait hal itu, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, meminta lembaga penyiaran untuk memperhatikan kelayakan konten produksinya untuk anak-anak. “Kami masih menemukan tayangan yang mengangkat tema dewasa diputar pada jam anak. Persoalan perselingkuhan, konflik rumah tangga, dan sinetron yang sarat dengan percintaan dan kekerasan,” ungkapnya dalam Webinar bertajuk  Kepentingan Anak, Tantangan Pendidikan, dan Arah penyiaran Kita yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Peduli Media (FMPP) Sulawesi Barat, Selasa (4/8/2020)

Dia juga mengingatkan tantangan kreativitas media penyiaran semakin besar ke depan. Keberadaan media digital yang terus merebut minat masyarakat juga menjadi ancaman besar. Padahal, konten-konten digital tersebut tayang tanpa pengawasan. “Ini tidak seperti pada penyiaran konvensional,” tutur Mulyo.

Kehadiran media digital, menurut Mulyo, harus disiasati dengan kreativitas tinggi agar dapat merebut kembali hati masyarakat. “Memproduksi program yang menarik dan bermanfaat. Bukan justru ikut hanyut dalam paradigma menjual sensasi. Meskipun begitu, dalam menyuguhkan fakta, media penyiaran masih terdepan dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara media sosial belum ada yang mengawasi, tak jarang kontennya meresahkan masyarakat,” jelasnya.

Dalam konteks program pendidikan dan anak, Mulyo menilai harus ada keterlibatan pemerintah di dalamnya. Hal ini dapat melalui stimulus bagi production house atau content creator agar muncul program anak berkualitas dan memiliki nilai edukasi.  

“Peningkatan kualitas program juga bisa diupayakan dengan kepedulian masyarakat. Tontonan yang tidak memiliki nilai kemanfaatan, berpotensi membawa dampak buruk dan tidak ramah anak harus ditinggalkan. Masyarakat juga harus peduli dengan membagi informasi ketika menemukan siaran yang berpotensi membawa keburukan atau bisa juga dengan mengadukan siaran tersebut ke KPI,” kata Mulyo.

Dalam ruang diskusi itu, Komisioner KPAI, Jasra Putra, mengatakan salah satu hak anak adalah dilindungi dari kekejaman hukum. Media tidak boleh memperlihatkan wajah, identitas anak, alamat korban dan alamat orang tuanya terkait kasus hukum anak-anak. “Kalau diekspose maka akan melanggar UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” katanya. Ia juga menambahkan, dalam pembuatan kebijakan atau regulasi, anak-anak harus didengarkan pendapatnya.

Pemerhati media dan anak, Rusdin Tompo, mengungkapkan masalah yang terjadi di Indonesia terkait anak. Saat ini, lanjutnya, telah terjadi krisis siaran anak. Menurutnya, media penyiaran kita terlalu banyak menyiarkan program re-run. 

Rusdin mengusulkan adanya kebijakan negara yang diturunkan dalam pembuatan program ramah anak. “Anak-anak juga bisa diajarkan untuk membuat konten sendiri disesuaikan dengan materi pembelajaran. Dengan demikian, anak menjadi lebih kreatif dan berani tampil,” katanya.

Masalah lain yang muncul saat pandemi ini yakni terjadinya disparitas infrastruktur. Menurut Rusdin, banyak anak mengalami kesulitan belajar melalui daring. Meskipun ada juga dampak positifnya, misalnya anak jadi lebih percaya diri karena harus menunjukkan hasil belajar melalui rekaman video yang menampilkan kreativitasnya. Terkait ini, dia meminta adanya dukungan Pemerintah dan keberadaan organisasi penggerak di masyarakat untuk turut membuat model pembelajaran anak pada saat sekarang.

Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2020 turut dihadiri Rektor Institut Agama Islam (IAI) Darul Da’wah Wal Irsyah (DDI) Polewali Mandar, Anwar Sewang, ikut membuka acara berserta Wakil Dekan FTIK IAI DDI Polewali Mandar sebagai pembicara. [Intan]

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi teguran  tertulis kedua untuk program siaran “Silet” di iNews TV. Program infotainmen ini dinilai telah melanggar aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 dengan menampilkan koleksi barang mewah milik an. Helena Lim seperti jam tangan, kalung, tas, baju, sepatu dan mobil dilengkapi dengan menyebutkan harganya. 

Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, adegan memamerkan koleksi barang mewah dengan menyebutkan harganya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, tayangan memamerkan kekayaan tidak memiliki value dan juga pembelajaran yang baik terutama bagi anak dan remaja. Seolah mengajarkan ukuran nilai diri dari materi.

“Program berklasifikasi R dilarang menampilkan materi yang mengganggu perkembangan kesehatan fisik dan psikis remaja seperti gaya hidup konsumtif, hedonistis.  Kami sangat menyesalkan munculnya konten yang mengajarkan pola hidup demikian dalam program siaran. Ini tidak memberi contoh yang baik terlebih dalam kondisi seperti sekarang di saat banyak orang sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat pademi,” jelas Mulyo, Senin (3/8/2020).

Berdasarkan keterangan dalam surat teguran kedua tersebut, temuan pelanggaran itu terjadi pada acara “Silet” tanggal 8 Juli 2020 pukul 08.53 WIB. Sebanyak 6 (enam) Pasal di P3SPS telah ditabrak akibat adegan tersebut. 

Dalam kesempatan itu, Mulyo mengingatkan iNews dan seluruh lembaga penyiaran untuk lebih memperhatikan dan menjadikan P3SPS KPI sebagai acuan sebelum menayangkan sebuah acara. Mestinya, program siaran dengan klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja. 

“Pasti ada cara dan kreasi bagaimana membuat isi konten infotainment itu menjadi lebih bermanfaat, penuh informasi mendidik dan tentunya dapat menggugah dan memicu publik untuk berbuat sesuatu yang baik. Kan bisa dilakukan dengan mengabarkan prestasi dan juga hal positif dari artis-artis tersebut,” usul Mul, panggilan akrabnya.

Komisioner bidang Isi Siaran ini juga meminta seluruh lembaga penyiaran untuk memperhatikan Surat Edaran KPI Nomor 591/K/KPI/31.2/12/2019 tertanggal 17 Desember 2019 tentang Program Siaran Infotainment di Lembaga Penyiaran Televisi. “Surat edaran di atas dapat menjadi acuan untuk membuat seperti apa penayangan siaran infotainment,” tandas Mulyo. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.