Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis.

Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan pada era globalisasi serta berkembangnya teknologi baru seperti saat ini, semangat nasionalisme dan patriotisme tetap harus didengungkan kepada generasi milenial. Tujuannya tak lain agar generasi penerus ini paham akan perjuangan para pendiri bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ini menjadi tantangan kita semua, bagaimana kita membuat satu formula untuk menanamkan jiwa semangat juang dan patriotisme kepada generasi muda agar terus menegakkan nasionalisme dan memupuk rasa cinta tanah air di masa akan datang,” ujar Yuliandre saat menjadi pembicara dalam acara diskusi secara daring dengan tema “New Normal: Bagaimana Kesiapan Pemuda Indonesia?” di Jakarta, Senin (18/5/2020).

Andre, sapaan akrabnya, melihat situasi pandemi Covid-19 menuntut perubahan perilaku di masyarakat dan ini akan menjadi kunci optimisme untuk keluar dari krisis ini dengan tetap menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah atau yang dikenal sebagai “New normal”.

“Tatanan kehidupan baru adalah keniscayaan, tidak bisa ditolak, karena itu, kita harus menyesuaikan diri dengan menciptakan gaya hidup baru yang sadar protokol kesehatan untuk menunjang produktivitas ekonomi," tambahnya.

Andre yang pernah menjadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat termuda se-Indonesia pada periode 2016-2019, menuturkan generasi muda lebih cenderung mendefinisikan nasionalisme lebih pada hal-hal nyata, serta hal-hal kecil yang biasa dilakukan di lingkungan masing-masing. 

Dalam suasana pandemi ini, kaum muda memiliki kapasitas dan kesempatan untuk menciptakan lingkungan dan menyesuaikan diri dalam situasi apa pun, termasuk dalam menerapkan pola kehidupan yang baru untuk menghindari dampak buruk pandemi Covid-19 secara berkelanjutan.

"Generasi muda memiliki kecepatan, ketangguhan, kecerdasan, serta jejaring untuk berinovasi berbasis teknologi sehingga memudahkan masyarakat untuk menyosialiasikan pola kehidupan baru dengan istilah new normal," kata Andre

Saat ini, kata Andre, penggunaan media sosial di kalangan milenial dianggap lebih efektif lantasan dapat menjangkau khalayak banyak dalam waktu singkat, sehingga penyampaian informasi yang bersifat baru bisa sampai lebih cepat ke masing individu yang membutuhkan informasi. 

Presiden OIC Islamic Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) periode 2017-2018 mengungkapkan, peran anak muda dalam masa pandemi sangatlah dibutuhkan untuk melakukan edukasi, termasuk menerapkan istilah New Normal pada masyarakat tentang Covid-19. 

Andre menegaskan, sosialisasi dan edukasi tentang disiplin menerapkan protokol kesehatan harus terlihat lebih menarik dan jelas agar masyarakat yang awan dapat mengenal dan memahami virus ini. “Baiknya para anak muda ikut berperan berkontribusi pada masyarakat dengan cara menyebarkan informasi positif dan mengedukasi melalui media sosial mereka dengan juga menambah semangat masyarakat yang saat harus ada di rumah,” tuturnya.

Sementara itu, Kasubdit Audio Visual dan Media Sosial Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Dimas Aditya mengatakan kemampuan adaptasi seseorang dapat membuat mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baru dan memandang kehidupan dengan cara yang lebih realistis. 

Dia mengatakan beberapa perubahan yang mulai dilakukan oleh mereka yang telah mencapai tahap ini adalah mulai terbentuk gaya hidup di rumah saja dan lebih banyak melakukan aktivitas di rumah serta munculnya kembali bahan-bahan tradisional untuk menjaga kesehatan. 

“Masyarakat perlu dipahamkan dan diajak beradaptasi dengan perubahan menuju new normal ini. Dalam perspektif new normal, yang dahulu dianggap normal mungkin ke depan tidak menjadi kebiasaan. Mulai aktif mengoptimalisasi virtual kerja dari rumah, kelahiran generasi Zoom,” ucap Dimas. *

 

Jakarta – Ketidakjelasan dan simpang siurnya berita tentang Covid-19 yang beredar di media sosial, acap kali membuat masyarakat bingung dan kadang salah paham. Media dalam hal ini TV dan Radio, dinilai tepat meluruskan sekaligus menjelaskan informasi serta kebijakan terkait Covid-19 secara gamblang, lugas dan juga benar ke khalayak. Maka tak salah jika media arus utama dikatakan sebagai tempatnya kembali.

Pendapat itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, ketika menjadi narasumber “Obrolan dari Rumah” dengan topik bahasan “Media di Tengah Covid-19” yang disiarkan langsung secara streaming oleh Inspira TV, Minggu (17/5/2020) malam.

“Media harus kritis dan menjadi jembatan bagi masyarakat yang membutuhkan informasi secara komprehensif. Semisal ada kebijakan pemerintah yang disampaikan agak parsial dan belum jelas yang menjadikan masyarakat butuh "guidance" maka media-lah yang diharapkan masyarakat untuk membantu,” jelas Nuning.

Dalam situasi krisis yang penting dilakukan semua media termasuk penyiaran untuk mengangkat semangat hidup dan optimisme di masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan akibat pademi dengan “jurnalisme harapan”. Jurnalisme tidak hanya menampilkan data-data pasien covid tetapi juga harus mampu menutup ruang bagi munculnya rasa pesimis dan traumatik.

“Lebih dari itu adalah apa upaya yang harus dilakukan, what next. Saya pikir ketika kita bicara jurnalisme harapan, maka media yang bisa menghidupkan kembali harapan-harapan masyarakat dan media adalah tempat kembali dan tempat membantu bagi problem masyarakat secara luas,” usul Nuning.  

Sejauh ini, penerapan jurnalisme harapan di lembaga penyiaran sudah berjalan baik. Program jurnalistik sudah tidak lagi menayangkan secara detail korban dan cukup tertutup ketika bicara covid. “Alhamdulillah hingga saat ini layar kaca dan radio dan ruang redaksi sudah cukup aware mengenai hal ini. Kita lihat sudah sangat baik dilakukan oleh teman teman redaksi,” puji Nuning.

Nuning juga menyampaikan upaya KPI ikut menangani Covid-19 dengan meminta dan mengimbau lembaga penyiaran agar tidak spekulatif dan menimbulkan kepanikan dalam pemberitaan. KPI pun menekankan penggunaan sumber informasi harus benar dan tidak sembarang. 

Masih soal jurnalisme harapan, Nuning mengatakan hal ini tidak semata mata hanya untuk ruang redaksi. Komitmen dari lembaga penyiaran menyikapi krisis ini patut diacungi jempol dengan berbagai aksi sosial dilakukan. “Seperti donasi untuk bantu pekerja even organiser. Lalu, menayangkan ILM yang hampir dilakukan setiap commercial break. Ini kan komitmen yang kalau dinilai dengan uang atau belanja spot iklan sudah cukup banyak dikorbankan industri. Tapi hal ini tidak diperhitungkan oleh mereka dan merupakan bagian dari tanggung jawab media,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Digital Indonesia (ATSDI), Tulus Tampubolon, melihat kejadian pademi ini sebagai batu loncatan untuk segera mempercepat digitalisasi penyiaran di Indonesia. Menurutnya, pada saat ini seluruh aspek kehidupan sangat bergantung dengan teknologi digital.

“Ini menjadi momen bagi kita semakin terinsiprasi dan terdorong untuk mempercepat digitalisasi penyiaran. Karena pada akhirnya digital menjadi solusi kekinian dalam menghadapi covid. Dari semua aspek baik itu keluarga, sekuritas, medis, market dan lainnya. Ini membuka mata kita bahwa teknologi digital akan membantu kebutuhan manusia untuk menyelesaikan persoalanya,” jelas Tulus.

Dia menambahkan, penundaan analog switch off ke digital pada akhirnya membuat penggunaan teknologi digital di tanah air, tanpa payung hukum. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan melayangkan surat teguran pertama untuk program siaran “Anak Langit” SCTV. Sanksi ini diberikan lantaran di dalam tayangan ditemukan adegan yang dinilai melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tentang penggolongan usia penonton. 

Berdasarkan keterangan dalam surat teguran KPI ke SCTV tertanggal 29 April lalu, terdapat adegan perkelahian antar beberapa orang yang berisi aksi saling pukul dan tendang. Perkelahian itu ditemukan pada tayangan “Anak Langit” tanggal 14 Maret 2020 pukul 20.04 WIB. Selain itu pada 15 April 2020 pukul 19.01 WIB,  tim pemantauan KPI mendapati adegan beberapa orang pria yang merusak rumah yakni memecah kaca, menendang kursi, mendobrak pintu, serta menghancurkan semua barang yang ada di dalam rumah tersebut.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan adegan tersebut mengandung unsur kekerasan nonverbal dan tidak pantas ditampilkan dalam program acara dengan klasifikasi R atau remaja. Mestinya, tayangan dengan klasifikasi R harus tunduk pada ketentuan penggolongan siaran berdasarkan usia dan tingkat kedewasan khalayak.

“Karena sinetron ini disiarkan pada waktu anak dan remaja banyak menyaksikan siaran televisi, kita tidak ingin adegan itu dianggap oleh mereka sebagai sesuatu hal yang lumrah. Khawatirnya adegan-adegan seperti ini ditiru oleh mereka karena penonton pada golongan usia tersebut belum memiliki kedewasaan untuk mengartikan dan memahami isi dan konteks konten. Jangan sampai mengajarkan kekerasan sebagai jalan penyelesaian masalah,” jelas Mulyo, Jumat (15/5/2020).

Menurut Komisioner bidang Isi Siaran ini, tontonan dengan klasifikasi R mestinya berisi hal-hal yang edukatif, positif dan dapat membangun kesadaran sosial. 

“Nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar, seharusnya menjadi substansi dari cerita, apapun itu sinetronnya. Saya pikir jika hal ini dilakukan justru akan memberi nilai lebih dan apresiasi pada sinetron atau program siaran lainnya,” papar Mulyo.

Dalam kesempatan itu, Mulyo meminta SCTV untuk lebih cermat dan berhati-hati ketika akan menayangkan sebuah program apalagi dengan klasifikasi R atau ke bawah. “Saya harap kepada SCTV dan juga lembaga penyiaran lain untuk lebih mengutamakan keselamatan dan perlindungan anak serta remaja dalam seluruh program siaran,” tandasnya. ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano.

Jakarta – Penyiaran merupakan salah satu jendela informasi yang dapat diakses oleh masyarakat desa, khususnya pemuda untuk mendapatkan inspirasi dalam membangun desa. Pemuda desa harus mampu mengoptimalkan kemampuan diri dan kreativitas sehingga bisa mengangkat potensi yang ada di desanya ke dalam bentuk publikasi atau konten menarik.

“Pemuda desa harus mampu melakukan eksplorasi terhadap potensi desanya, lalu menjadikan potensi itu sebagai komoditas agar dapat memiliki nilai tambah. Kemudian mempublikasikan agar dikenal secara luas. Namun jangan sampai membuat desa menjadi sekedar subordinat kota. Oleh sebab itu pembangunan desa harus didasarkan pada rasa percaya diri masyarakat, khususnya pemuda, serta tidak meninggalkan norma lokal dan tetap mempertahankan kapasitas subsistence desa,” tutur Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam acara Rembug Pemuda Indonesia dengan tema “Membangun Pondasi Dasar Karakter Pemuda Desa Indonesia” yang berlangsung secara virtual, Sabtu (16/5/2020) sore.

Inspirasi untuk membangun desa dapat diperoleh dari berbagai media informasi, baik televisi dan radio, maupun dari berbagai platform media baru yang dapat diakses melalui internet. Inspirasi ini penting agar dapat mengemas potensi dan komoditas desa dalam bentuk publikasi yang menarik. 

“Menurut data Nielsen, televisi masih menjadi sumber informasi yang paling banyak diakses masyarakat, yaitu sebanyak 97%. Berikutnya adalah internet dengan 77%. Bahkan, survei dari katadata menempatkan milenial masih banyak yang memperoleh informasi dari TV. Artinya TV masih memegang tempat tertinggi sebagai sumber informasi,” kata Hardly. Berbagai program siaran di televisi bisa menjadi sumber inspirasi bagi pemuda desa, diantaranya berita dan wisata budaya.

Selain untuk mendapatkan informasi, pemuda desa juga harus mampu menggunakan media untuk melakukan publikasi tentang berbagai dinamika yang terjadi di desa. Kemampuan lain yang tak kalah penting sekaligus bisa mendukung upaya pembangunan desa adalah dengan mengembangkan jurnalisme warga desa. Menurut Hardly, keberadaan pemuda sebagai jurnalis desa dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi akan menjadi alat kontrol sosial sekaligus sebagai sumber cerita yang dapat menginspirasi (inspiring story

“Saya dorong teman-teman dan juga aktivis untuk mewujudkan hal ini dengan memanfaatkan berbagai platform yang ada di media baru. Beberapa isu yang muncul bisa dibuat semacam liputan dan talkshow. Agar bisa viral, sebaiknya dibuat dalam bentuk audio visual. Upaya ini juga bagian dari promosi atas pembangunan dan keberhasilan yang sudah dilakukan desa,” pinta Hardly kepada peserta yang sebagian besar merupakan pemuda desa dari sejumlah daerah di tanah air.

Hardly juga mendorong pemuda desa membentuk media lewat kanal online seperti youtube untuk menyalurkan informasi dan jadi ruang publikasi tentang desa. “Kami mengusulkan ada sebuah pelatihan jurnalistik bagi teman-teman di desa. Bagaimana membuat disain dan konsep materi berita, maupun  berbagai konten yang menarik. Para praktisi media dapat diminta untuk menjadi narasumber dalam pelatihan konten kreatif. Sehingga pemuda desa memiliki kemampuan untuk mempublikasi berbagai isu dan permasalahan terkait pembangunan desa, serta mempromosikan berbagai komoditas desa melalui konten yang menarik,” usul Komisioner bidang Kelembagaan ini. 

Usulan Hardly membentuk media dan pemuda menjadi jurnalis desa didukung oleh narasumber lainnya, Ika Ningtyas. Menurutnya, keberadaan media dan jurnalis desa menjadi satu cara untuk mengumpulkan narasi soal desa. Selain bisa merubah stigma soal desa. “Saat ini, narasi-narasi kebencian dan intoleran muncul lagi. Jadi saatnya sekarang mengumpulkan narasi positif yang bisa meng-counter itu semua supaya kita tidak kehilangan idetitas kita tentang keberagaman,” ujar jurnalis muda ini.

Di akhir diskusi, Hardly mengajak pemuda desa untuk membangun peradaban digital yang baik di tengah perkembangan multi platform media melalui internet dengan menjadi pembuat, penerima dan penyebar informasi yang bertanggung jawab.

“Kuncinya adalah saring sebelum sharing. Dalam konteks penyiaran, saya mengajak seluruh peserta diskusi untuk menjadi bagian dari gerakan literasi sejuta pemirsa dan kampanye bicara siaran baik. Jika menemukan  program siaran yang buruk dan dinilai melanggar norma, dapat segera dilaporkan pada KPI. Selain melaporkan yang buruk, saya mengajak teman-teman semua untuk menviralkan tayangan yang baik, berkualitas dan memberi inspirasi positif. Sehingga dapat membentuk habitat penyiaran yang memungkinkan semakin berkembangnya konten berkualitas,” pungkas Hardly. *** 

 

 

Jakarta - Pandemi Covid-19 yang dihadapi dunia saat ini membutuhkan kehadiran jurnalis dalam menghadirkan kebenaran informasi di tengah masyarakat. Mengutip pernyataan Badan Kesehatan Dunia, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Johny G Plate menjelaskan bahwa dunia saat ini sedang menghadapi dua pandemi, salah satunya disinfodemik. Disinfodemik adalah misinformasi tentang pandemi covid-19 yang saat ini jumlahnya melimpah ruah. “Posisi jurnalis pada saat ini adalah untuk menyajikan fakta dan informasi yang benar tentang pandemi,” ujarnya.

Johny juga menegaskan bahwa kerja jurnalis adalah kerja peradaban, mengingat profesi ini berhubungan erat dengan fakta, informasi dan kebenaran yang menjadi esensi semua aktivitas manusia. “Karenanya pada siapa lagi informasi tentang kebenaran ditumpukan masyarakat, kalau bukan pada jurnalis”, tanya Johny.

Pemaparan Johny menjadi pembuka diskusi daring yang digelar Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan tema “Optimisme Jurnalis di Era Covid-19”, (14/5).  Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio, turut hadir sebagai pembicara bersama dengan Imam Wahyudi (Ketua Dewan Peertimbangan IJTI), dan Prof Dedy Mulyana (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran) .

Agung sendiri menilai lembaga penyiaran dimana jurnalis terdapat di dalamnya, memiliki peran yang maha penting dalam penyebarluasan protokol Covid-19. Termasuk dalam memberitakan peristiwa di lapangan serta menghadirkan narasi optimis bahwa wabah ini dapat teratasi jika kedisiplinan ditegakkan.

“Kita berharap dengan masifnya sosialisasi dan pemberitaan di lembaga penyiaran, dapat menjadikan kepatuhan dan kedisiplinan masyarakat ini sebagai sebuah kebiasaan baru,” ujarnya.  Agung juga mengatakan, pemerintah selayaknya memberikan insentif kepada Lembaga Penyiaran dan Jurnalis yang tetap melaksanakan tugas jurnalistiknya, mengabarkan kebenaran pada publik.

Agung juga menjelaskan, adanya peningkatan jumlah penonton televisi saat Work From Home ini, tidak serta merta diikuti dengan tingginya pemasangan iklan. Hal ini, menurut Agung, disebabkan industri tengah mengalami stagnasi yang luar biasa, sehingga terjadi pemangkasan anggaran belanja iklan. Dia mengkhawatirkan, jika kondisi ini terus berlangsung maka lembaga penyiaran akan membuat pilihan paling mudah dan paling rasional, yakni pengurangan karyawan yang sebagian diantaranya adalah jurnalis.

Insentif dari pemerintah kepada media, sebenarnya juga dilakukan oleh negara-negara lain, seperti Kanada, Denmark, Finlandia, Portugal, Jerman, dan India. Insentif ini dinilai akan sangat membantu keberlangsungan lembaga penyiaran. “Kalaupun tidak ada insentif, maka beban listrik dan pajak dapat ditinjau ulang, ataupun iuran BPJS tidak dibebankan pada jurnalis, dalam kondisi pandemi saat ini,” ujar Agung.

Bicara soal insentif pada jurnalis dan juga lembaga penyiaran, disinggung pula oleh Imam Wahyudi. Menurutnya, pemerintah punya tanggung jawab untuk menjaga profesi jurnalis. “Kalau jurnalis collaps, mana komitmen pemerintah yang menilai kerja jurnalis sebagai kerja peradaban,” ujarnya.

Lebih jauh lagi Imam menyampaikan bahwa harus dipikirkan strategi jangka pendek dan jangka panjang dalam menjaga jurnalisme di Indonesia. Untuk jangka pendek, gagasan insentif ini menjadi realistis, mengingat bisnis media sudah mau collaps. Karenanya pemerintah harus memberlakukan diri sebagai pemegang uang negara memberikan insentif kepada pers bukan atas nama kepentingan pemerintah, tapi atas nama publik dalam rangka menyelamatkan kepentingan publik, tegas Imam.

Sedangkan untuk jangka panjang, Imam berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan. “Sebelum ada Covid ini kita menunggu kebijakan pemerintah bagaimana akhirnya memberlakukan pajak terhadap platform media asing,” ujarnya. Tapi kan itu baru belakangan, padahal mereka bermain pada lapangan yang sama tapi seperti goliath dan gak bayar pajak. Untuk itu, pemerintah harus memperjuangkan supaya bagi hasil antara content provider dan platform itu lebih tinggi lagi. Bukan hanya pada saat pandemi covid seperti sekarang, agar industri medianya terselamatkan, tapi setelah covid juga. Itulah fungsi pemerintah sebagai fasilitator, ungkapnya.  

Agung juga mendukung gagasan penarikan pajak yang maksimal untuk media baru, seperti Facebook dan Youtube. “Selama ini mereka mendapat konten dari jurnalis dan lembaga penyiaran, dan mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit,”ujarnya. Pajak-pajak tersebut, diharapkan dapat diperuntukkan bagi peningkatan kualitas dari jurnalis dan lembaga penyiaran.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.