Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) menandatangani perpanjangan nota kesepahaman bersama atau memorandum of understanding (MoU) tentang pengawasan isi siaran, Kamis (8/10/2020). Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Ketua LSF, Romy Fibri, menandatangani langsung perjanjian kerjasama tersebut.  

Dalam sambutannya, Agung Suprio, mengatakan kerjasama ini akan menitikberatkan pada penyamaan pandangan dalam menyelesaikan persoalan siaran film dan iklan di lembaga penyiaran. Apalagi saat ini, LSF mencoba paradigma baru dalam melakukan sensor.

“KPI dan LSF berada dalam rel yang sama. Semua punya teks kami buat kesepakatan agar tidak saling tumpang tindih. Saya punya masukan, agar memasukkan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai teks bersama. Jika ada sinteron yang bias gender maka bisa tidak lulus di LSF,” kata Agung.

Agung berharap kerjasama kedua lembaga ini dapat berjalan secara progresif dan mendapat dukungan dari lembaga terkait seperti DPR. “PR kita sekarang bagaimana membuat tayangan seperti sinteron yang ditangani KPI dan LSF dapat sesuai dengan regulasi,” tuturnya.

Ketua LSF, Romi Fibri, mengatakan jika KPI dan lembaganya memiliki kemiripan dalam tujuan menciptakan tayangan yang baik, berkualitas dan mendidik. Hal ini dapat dilihat dari program kegiatan yang dilakukan kedua seperti KPI dengan bicara siaran baik serta gerakan literasi yang populer di masyarakat.

“LSF juga punya program sejenis seperti budaya sensor mandiri yang intinya sama yakni KPI dan LSF menginginkan tayangan di televisi maupun di bioskop isinya sehat dan masyarakat paham menonton film yang baik dan benar,” katanya.

Menurut Romi, penonton dalam hal ini masyarakat harus mengerti dan paham tentang siaran atan film apa yang akan mereka konsumsi. “Kalau filmnya dijagain, kalau menonton tidak mengerti maka akan jadi PR bersama. Mohon bantuan teman lembaga penyiaran, mari bersama mengkampanyekan ini, yakni memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia,” pintanya. 

Dalam kesempatan itu, Romi menyampaikan alasan kenapa MOU ini dilakukan karena kepedulian dan ingin selaras dalam kebijakan. “Konsep dan kepedulian sama, agar bisa seiring sejalan. Tentu akan saling menghargai rujukannya. UU Perfilman dan KPI UU Penyiaran. Lembaga penyiaran tidak perlu khawatir karena kami tahu rule of the game nya seperti apa,” tandasnya.

Usai penandatanganan MoU, acara dilanjutkan dengan diskusi yang dihadiri sejumlah narasumber antara lain Anggia Erma Rini sebagai Ketua Fatayat NU, Lena Mariyana (Anggota DPR 2014-2019), Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti dan Irsal Ambia. ***/Foto: AR

 

Jakarta -- Mengapa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak melakukan pencegahan atau kontrol di awal tayangan sebelum terjadinya pelanggaran siaran? Pertanyaan seperti ini banyak dilayangkan masyarakat ke kolom aduan atau secara langsung ke KPI. Lantas bagaimana KPI menjawab pertanyaan kritis tersebut.

Menanggapi hal itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menjelaskan bahwa secara regulasi KPI tidak memiliki kewenangan melakukan kontrol pada konten yang akan disiarkan, melainkan mengawasi konten pada saat telah disiarkan.

“Kalau kami melakukan kontrol sebelum disiarkan, maka prinsip yang berlaku adalah semua dilarang, kecuali yang diperbolehkan. Ini berarti prinsip yang represif. Sekarang ini merupakan era kebebasan untuk berekspresi, sekaligus kebebasan untuk memilih konten siaran,” kata Hardly di acara webinar Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) bertajuk “Masih Adakah Sensor Penyiaran?”, Rabu (7/10/2020).

KPI merupakan wujud peran serta masyarakat dalam penyiaran. Salah satu fungsi KPI adalah melakukan pengawasan konten atau materi siaran di lembaga penyiaran. “Pengawasan siaran ini dilakukan oleh kami pada saat konten tersebut sedang berlangsung atau telah disiarkan,” jelas Hardly.

Dia menambahkan jika konsep melakukan pengawasan setelah disiarkan, sebagaimana amanat UU Penyiaran, maka yang berlaku adalah prinsip “semua diperbolehkan, kecuali yang dilarang”. Hardly mengartikannya jika kebebasan itu tetap ada batasan. 

“Agar kebebasan ekspresi dan kebebasan memilih itu tidak menimbulkan dampak negatif, sebaliknya bisa membawa kemanfaatan bagi khalayak secara luas, maka perlu rambu – rambu sebagai koridor regulasi, yang disebut Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS),” jelas Hardly.

Pedoman ini beberapa isinya mengatur tentang klasifikasi program dan jam siaran bagi kelompok umur (anak, remaja, semua umur dan dewasa), norma kesopanan, perlindungan anak, privasi, kekerasan, pemberitaan yang benar dan yang lain. 

Namun begitu, Hardly menegaskan, P3SPS bukanlah instrumen sensor. Menurutnya, di era kebebasan membuat dan memilih konten, instrumen sensor ada pada lembaga penyiaran dan seharusnya ada pula pada pemirsa itu sendiri. “Jadi saya tegaskan bahwa KPI tidak pernah melakukan sensor terhadap program acara apapun. Kewenangan melakukan sensor ada pada Lembaga Sensor Film (LSF). Ini yang harus diketahui masyarakat,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Hardly menyampaikan pentingnya literasi bagi masyarakat agar semakin banyak yang peduli dan berperan serta dalam meningkatkan kualitas program siaran, melalui aktivitas yang disebut Bicara Siaran Baik. 

Menurut Hardly, ada tiga aktivitas yang dapat dilakukan oleh pemirsa yakni pertama dengan senantiasa memilih program siaran yang baik dan bermanfaat. Kedua, melaporkan dengan menggunakan bahasa yang baik, jika menemukan program siaran yang dinilai dapat menimbulkan dampak yang buruk. Ketiga, mengapresiasi program siaran yang baik, dengan terus membicarakannya, menjadikannya sebagai referensi menonton, bahkan menviralkannya agar semakin banyak yang menonton.

Logika produksi konten pada industri penyiaran itu sederhana yaitu bagaimana mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya. Karena penonton yang banyak akan berpotensi mendatangkan pemasukan iklan yang banyak pula, sehingga program siaran dapat terus diproduksi.

Sebaliknya, lanjut Hardly, sebaik apapun kualitas suatu program siaran, jika penontonnya sedikit, maka pemasang iklan tidak tertarik, sehingga kurang atau bahkan tidak ada sama sekali pemasang iklan. Akibatnya program siaran baik, menjadi kekurangan atau bahkan tidak ada biaya produksi, dan akhirnya harus berhenti diproduksi.

“Dengan demikian, terdapat korelasi antara penonton dan tontonan yaitu penonton yang cerdas akan mendorong hadirnya tontonan yang berkualitas dan sebaliknya tontonan yang berkualitas akan mendorong penonton menjadi semakin cerdas,” tandasnya. 

Sementara itu, terkait soal sensor, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, menegaskan hal yang senada dengan Hardly jika KPI tidak berwenang melakukan proses tersebut. “Ini yang harus diketahui dan dipahami oleh masyarakat,” katanya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diketahui soal ini bahwa ada proses pra tayang dan pasca atau setelah tayang. KPI, kata Reza, mulai melakukan tugas pengawasan siaran setelah program siaran itu tayang atau ditayangkan lembaga penyiaran.

Di ruang literasi yang sama, Anggota Lembaga Sensor Film (LSF), Fetrimen, menjelaskan mekanisme penyesoran di lembaganya. Menurutnya, sistem penyensoran LSF dilandasi dengan kebebasan berkreasi, berinovasi dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. 

“Jadi kami tidak melakukan pembatasan berkreasi. Silahkan berkreasi, asal tidak melanggar kepada perilaku yang ditentukan oleh undang-undang. Pertama, film atau iklan itu tidak boleh mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, pornografi dan provokasi atau SARA dan tidak melecehkan nilai-nilai agama dan juga merendahkan harkat martabat manusia serta lainnya,” jelasnya.

Vice Presiden PR Trans7, Anita Wulandari, salah satu narasumber literasi, menerangkan proses siaran produksi di lembaga penyiaran yang mengikuti permintaan pemirsa (rating dan share) dan juga iklan. Minat ini, menurutnya, berubah-ubah mengikuti zaman. “Teknik amati, tiru dan modifikasi terjadi untuk persaingan dengan kompetitor dan memproduksi program yang lebih baik,” jelasnya.

Dia juga menyampaikan pentingnya mengendalikan remote kontrol jika pemirsa merasa tidak cocok dengan tayangan. “Jika anda tidak suka pada tayangan itu, maka sebaiknya ganti saja salurannya,” katanya. ***

 

 

Jakarta -- Diskusi bertajuk Media Gathering dengan Pemimpin Redaksi lembaga penyiaran, televisi dan radio, yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat secara daring, Senin (5/10/2020), menghasilkan sejumlah konklusi. Salah satunya meminta dan mendorong lembaga penyiaran melakukan fungsi kontrol sosial dengan juga mengedepankan kohesi sosial. Dalam diskusi ini hadir Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Widodo Muktiyo.

“Di tengah dinamika dan tantangan kehidupan berbangsa saat ini, upaya ini sangat tepat untuk menjaga ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Salah satu opsi untuk menjaganya dengan cara menyiarkan program siaran yang mengedepankan jurnalisme harapan,” kata Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, usai acara tersebut.

Kemudian, kata Hardly, lembaga penyiaran diharapkan dapat mendukung upaya menjaga kondusifitas nasional pada saat pandemi terkait kebijakan pemerintah, pemilihan kepala daerah dalam bentuk sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. “Sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat sangat efektif melalui saluran informasi media penyiaran. Jangkauannya pun sangat luas dan mudah diterima masyarakat,” ujarnya.

Menyikapi adanya beberapa agenda nasional  terkait penetapan sejumlah kebijakan yang akan berlangsung dalam waktu dekat, lembaga penyiaran diharapkan menyampaikan informasi secara berimbang dan mengedepankan kepentingan bangsa dalam setiap pemberitaannya. 

Lembaga penyiaran juga diminta untuk senantiasa menjalankan protokol kesehatan dalam proses produksi maupun peliputan berita. Persoalan ini menjadi perhatian karena berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan para pekerja di lembaga penyiaran, baik internal maupun eksternalnya. 

Di awal diskusi, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemkominfo, Widodo Muktiyo, mengatakan ada tiga poin penting yang harus diperhatian terkait Pilkada yaitu informasi harus memberi rasa aman atau damai, cerdas dalam pilih pemimpin dan masyarakat sehat. 

“Ini tidak gampang. Ini jadi pemikiran kita semuanya. Kalau kita bisa menguatkan kebersamaan dan kegotong royong kita mudah-mudahan segala sesuatu menyangkut jati diri bangsa bisa kita pejuangkan bersama-sama. Mari kita cari solusinya bersama,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Dirjen IKP sepakat jika komunikasi dengan media dilakukan dengan mengedepankan share of mininig terkait covid. Dia pun sepakat dengan warna pemerbitaan atau  konten yang diwarnai dengan narasi gembira atau positif. “Kami sangat senang jika catatan pemberitaannya menimbulkan optimisme kebangsaan,” pinta Guru Besar dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. 

Sebelumnya, Wakil Pemimpin Redaksi TV One, Totok Suryanto, mengungkapkan harapannya agar media dan pemerintah bersatu dengan saling menjaga satu dan lainnya dalam situasi pandemi. “Dengan konteks tetap sehat, pemerintah harus jaga media. Media juga jaga pemerintah. Masyarakat juga jaga negara dan sebaliknya,” katanya.

Menurut Totok, menyikapi kondisi saat ini yang paling utama adalah bagaimana menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan rasa optisme di masyarakat. Pasalnya, sekarang ini banyak yang menonton siaran TV. “Kita harus berubah dari paham angel media, angle berita. Kenapa kita sekarang tidak mengubah ke jalur kesembuhan. Tebar optimis jangan pesimis,” tegasnya.

Pemimpin Redaksi INews TV, Yadi Hendriana, mengatakan semua pemberitaan lembaganya telah melalui berbagai pertimbangan agar dampaknya tidak negatif di masyarakat. “Semua berita kami di televisi melihat impact-nya apa sehingga yang dilakukan harus itu mengedukasi publik,” katanya.

Yadi juga menyampaikan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan media. “Dalam hal ini kami sangat terbuka dalam hal-hal kebaikan. Tapi, untuk soal media mengkritisi jangan dihalangi,” pinta Ketua Umum IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia).

Dalam kesimpulan pertemuan daring itu, lembaga penyiaran juga akan berkomitmen melakukan sinergi bersama pemerintah  dan seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga kondusifitas kehidupan bermasyarakat di masa pandemi. ***

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan melakukan tindakan tegas terhadap lembaga penyiaran yang tidak menjalani disiplin protokol kesehatan atau covid-19 dalam siarannya. Selain memberi rasa aman dalam bersiaran, kepatuhan untuk menjalankan protokol ini akan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. 

Demikian disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, sesuai acara media gathering dengan para Pemimpin Redaksi dari lembaga penyiaran yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, Senin (5/10/2020).

“Kami akan memberikan sanksi tegas untuk lembaga penyiaran yang tidak menjalankan protokol kesehatan covid. Hal ini sangat penting selain untuk memastikan kerabat kerja dan host seluruh program siaran tidak terpapar virus mematikan ini, juga jadi contoh masyarakat,” ujar Agung.  

Dia mengatakan, pihaknya juga mendapat surat dari Kementerian Kesehatan (kemenkes) yang meminta KPI untuk memberikan teguran kepada lembaga penyiaran khsusnya TV yang melanggar protokol kesehatan. “Kami juga bertemu dengan Ketua BNPB dan Satgas Covid, Donny Monardo dan beliau menyatakan dalam perang dengan virus ini sangat berkaitan dengan perubahan perilaku masyarakat,” kata Agung. 

Menurut Agung, perubahan perilaku ini memerlukan tindakan sosialiasi kepada masyarakat dan ini paling efektif lewat media penyiaran khususnya televisi. “TV dapat menjadi ujung tombak dari penumpasan pandemi hingga ditemukannya vaksin. Sebelum vaksin ini ditemukan, maka TV jadi ujung tombak untuk merubah perilaku masyarakat terkait pandemi,” jelasnya.

Dalam pernyataan dalam acara tersebut, Agung mengatakan KPI akan membuat Surat Keputusan KPI terkait siaran pandemi. Dia berharap keputusan KPI ini dipatuhi lembaga penyiaran. “Dan pertemuan ini adalah salah satunya untuk meminta masukan dari lembaga penyiaran sebelum keputusan itu dibuat,” katanya.

Pentingnya penegakan protokol covid dalam siaran turut disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo. Menurutnya, masih ada lembaga penyiaran yang tidak menjalankan protokok ini secara benar dalam siarannya. 

“Untuk televisi yang bersiaran jaringan mohon sikap tegas untuk tidak menayangkan acara yang cenderung abai terhadap protokol. Ini harus jadi perhatian karena jangkauan siaran jaringan sangat luas dan kami juga banyak menerima surat aduan mengenai tayangan yang abaik protokol,” tandas Mulyo di ujung acara tersebut. ***/Foto: Agung Rahmadiansyah

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai penolakan lembaga penyiaran untuk memenuhi undangan liputan kampanye terbuka atau secara tatap muka dari pasangan calon (Paslon) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di tengah suasana pandemi Covid-19 masih wajar atau realistis. Apalagi jika paslon tersebut tidak dapat memberi jaminan keselamatan terhadap awak media yang bertugas.  

Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, di sela-sela acara Media Gathering bertajuk “Dinamika Penyiaran di Era Pandemi” yang diselenggarakan secara daring dan dihadiri Pemimpin Redaksi dan perwakilan lembaga penyiaran, televisi dan radio, yang bersiaran jaringan, Senin (5/10/2020).

“Apabila tidak ada jaminan keamanan terhadap teman-teman jurnalis di daerah, penolakan undangan peliputan tersebut masih kami nilai memungkinkan dan sangat realitis,” tegas Nuning menanggapi pertanyaan terkait pelarangan penolakan permintaan liputan jurnalistik dari kegiatan salah satu/beberapa peserta Pilkada 2020.

Selain itu, lanjut Nuning, pihaknya akan juga maklum jika ada penolakan peliputan dari lembaga penyiaran karena keterbatasan sumber daya manusia yang ada di sejumlah daerah. “Hal ini harus disesuaikan juga dengan kondisi lembaga penyiaran bersangkutan. Jangan sampai meminta liputan ternyata tidak ada kontributor di wilayah tersebut. Ini jadi pertimbangan juga. Teman-teman bisa menyampaikan kondisi dan keadaan dari lembaga penyiaran,” katanya.

Menurut Nuning, masalah penolakan ini dapat selesai jika tim paslon menyediakan saluran liputan on line (daring) bagi awak media sehingga tetap meliput kegiatan kampanye paslon bersangkutan. “Ini bisa dilakukan dengan memberikan id meeting atau juga rekaman yang proporsional kepada jurnalis sebagai bahan pemberitaan,” usulnya.  

Terkait hal ini, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, Titin Rosmasari menilai, penolakan tersebut didasari sejumlah kekhawatiran seperti kurang maksimalnya pelaksanaan protokol kesehatan saat Pilkada. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa pelanggaran yang terjadi saat kampanye Pilkada dimulai di masa pandemi ini. 

“Ada beberapa undangan yang kami tolak dan ada juga yang tidak karena tidak ada ruang bagi jurnalis terkhusus ruang konferensi pers setelah acara sehingga itu membahayakan bagi para jurnalis. Karena pilkada terus jalan, maka harus ada ruang yang aman bagi para jurnalis pada saat meliput,” katanya. 

Yogi dari Kompas TV juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, liputan pilkada sekarang sangat beresiko bagi jurnalis. Karena itu, partai politik berperan memastikan paslon yang diusung agar tidak melanggar protokol covid. 

“Mungkin KPI bisa menyampaikannya ke pimpinan partai politik secara resmi untuk memastikan semua paslonnya yang diusung agar tidak melakukan kegiatan yang membahayakan atau bertolak belakang dengan protokol covid. Media tidak akan meliput jika beresiko terhadap wartawannya,” ujarnya. 

Kesadaran pelaksanaan protokol covid ini sangat tergantung keteladanan pimpinan. Menurut, Yulia dari RTV, pemimpin menjadi panutan bagi masyarakat dengan memberikan contoh yang baik dan jelas mengenai protokol kesehatan ini. “Keteladanan di kalangan pemimpin dan tokoh masyarakat jadi panutan yang baik untuk berperilaku di tengah pandemi,” katanya.

Meskipun khawatir terjadi penularan virus terhadap jurnalis liputan, lembaga penyiaran berupaya komitmen memberikan ruang yang berimbang, adil dan proporsional bagi paslon manapun. Mereka sepakat siaran pemberitaan maupun iklan kampanye para paslon peserta harus sama porsinya. 

Media penyiaran lebih efektif

Dalam kesempatan itu, para Pemred dan perwakilan yang ditunjuk ikut diskusi juga meminta penyelenggara Pilkada 2020 memberi porsi besar siaran iklan dan sosialisasi Pilkada serta kampanye di lembaga penyiaran. Alasannya, media ini sudah dipayungi aturan sehingga setiap gerak-gerik siarannya diawasi negara dalam hal ini KPI.

Selain itu, informasi yang disampaikan lembaga penyiaran dinilai sangat efektif dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.                                                                    

Dede Apriadi dari Net TV bahkan meminta pemerintah untuk lebih fokus mensosialisasikan Pilkada 2020 di media mainsteram ketimbang menggunakan jasa media lain. “Saat ini, saya lihat pemerintah sudah mensosialisasikan di media mainsteram. Ini penting, kita punya tugas mensukseskan pilkada tapi pemerintah harus membantu kami agar tidak mati karena sektor swasta lagi berat-beratnya,” keluhnya.

Perwakilan Metro TV, Budiyanto, urun saran yang sama soal pemanfaatan media penyiaran sebagai media untuk melakukan proses sosialisasi dan kampanye Pilkada selama pandemi. Menurutnya, kampanye di media cukup aman dan dapat mengurangi resiko penularan virus covid di saat Pilkada. 

“Ini menjadi momentum perubahan perilaku. Bagaimana memanfaatkan media terutama media televisi. Terkait Pilkada ini mari gunakan media mainstream sebagai sarana untuk edukasi politik, kampanye dan personal branding,” tuturnya dalam diskusi yang dipandu Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.