- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 2914
Jakarta - Penyiaran merupakan salah satu media yang efektif untuk merawat nasionalisme, karena informasi yang terkandung dalam penyiaran merupakan instrumen penting dalam menjaga nasionalisme kita. Dengan digitalisasi penyiaran yang memberikan akses informasi lebih merata ke seluruh pelosok di Indonesia, diharapkan ketahanan informasi serta ketahanan budaya juga terbentuk dengan kuat. Hal tersebut disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela saat menerima Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bidang Media dan Propaganda, di kantor KPI Pusat, (1/3).
Dipimpin oleh Ketua Bidang Media dan Propaganda Ariansyah, turut hadir Sekretaris Umum Bidang Media dan Propaganda Fachri Hidayat, Wakil Ketua Bidang Agraria Sahdan, serta Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah Fanda Puspitasari. Dalam audiensi tersebut Hardly memaparkan tantangan dunia penyiaran ke depan saat siaran analog dihentikan dan siaran digital dimulai. “Jumlah stasiun televisi di masa mendatang akan berjumlah berkali lipat dari sekarang,” ujarnya. Hal ini tentu membutuhkan kemampuan pengelolaan konten siaran yang sesuai dengan regulasi penyiaran, dalam hal ini undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS).
Selain itu, tambah Hardly, masyarakat belum memahami betul bagaimana penyiaran digital ke depan akan direalisasi, apalagi sebagian besar masyarakat masih menggunakan perangkat televisi dengan modulasi analog. Hardly berharap, GMaNI dapat ambil bagian dalam sosialisasi penyiaran digital di tengah masyarakat. Tidak sekedar itu, menurut Hardly, GMNI juga harus ikut mengambil posisi mengingatkan kembali janji pemerintah tentang kualitas penyiaran digital yang lebih jernih dan bersih secara audio visual dan canggih secara teknologi. Tingginya kualitas siaran digital juga harus dapat dinikmati di seluruh pelosok daerah di Indonesia, bukan hanya di kota-kota besar saja, tukas Hardly.
Pembicaraan bersama mahasiswa ini kemudian berlanjut pada pengaturan konten di media baru. Fachri Hidayat mengatakan secara pribadi dirinya mendukung pengaturan media baru diserahkan pada KPI. Hardly sendiri menilai, sebagai sebuah saluran kebebasan berekspresi selayaknya pengawasan media baru diserahkan pada kelompok masyarakat sipil ketimbang pemerintah. “Tentunya dengan menggunakan pendekatan hukum administratif bukan pidana, untuk setiap pelanggaran,”ujarnya. Apalagi saat ini, pers diawasi oleh Dewan Pers, penyiaran diawasi oleh KPI, yang keduanya merupakan perwakilan dari kelompok masyarakat sipil.
Secara rinci Hardly memaparkan konten di lembaga penyiaran, televisi dan radio, diatur sedemikian ketat melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Sedangkan untuk di internet, setidaknya terdapat enam jenis konten yang diawasi oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, berita bohong, dan SARA. “Undang-undang penyiaran memang mengatur banyak isu, namun sanksi yang diberikan hanyalah administratif. Sedangkan UU ITE hanya mengatur enam hal, namun memiliki sanksi pidana,” ucapnya.
Dengan beragam tantangan penyiaran digital ke depan serta disrupsi informasi di media baru, Hardly berharap mahasiswa dapat mengambil peran tidak sekedar sebagai agent of change, tapi juga agent of transformation. Mahasiswa dapat ikut membantu masyarakat melewati transformasi digital ini dengan perilaku yang baik, sehingga komunitas yang terbangun adalah komunitas informatif yang bermanfaat bukan komunitas disinformatif.
Selain itu, mahasiswa diharap mampu membuat konten bermanfaat di media sosial. Saat ini internet dan media baru menjadi hutan belantara tanpa regulasi yang memadai. Beragam informasi dapat diakses termasuk informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Juga informasi yang bertentangan dengan ideologi bangsa kita,” ujarnya. GMNI harus mampu mengisi ruang percakapan di dunia maya dengan konten nasionalisme yang mampu menangkal nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. “Kita sedang berhadapan dengan globalisasi virtual. Karena itu kita harus hadapi dengan nasionalisme virtual,” pungkas Hardly.