Jakarta - Dinamika perkembangan teknologi yang berimbas pada perubahan ekosistem penyiaran harus disikapi pelaku penyiaran dengan ikut melakukan konvergensi siaran agar dapat tetap  bertahan. Media penyiaran konvensional masih menggunakan analog terrestrial harus mulai melakukan replikasi ke berbagai platform media digital, sebagai usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah pendengar dan pemirsa. Hal tersebut disampaikan Hardly Stefano Pariela selaku Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang kelembagaan, dalam Webinar Nasional yang bertajuk Prospek Bisnis Penyiaran Era Digitalisasi di Daerah: Peluang dan Tantangan yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Daarud Da’wah Wal Irsyad (FEBI IAI DDI) Polewali Mandar, Sulawesi Barat secara virtual, (21/7).

Data yang dikeluarkan oleh Hootsuite menunjukkan pola konsumsi media di Indonesia paling banyak mengakses internet, menggunakan sosial media dan selanjutnya menonton televisi. Berangkat dari data ini, ujar Hardly, televisi dan radio harus bergerak menyesuaikan dengan perubahan ekosistem, yakni memanfaatkan seluruh platform media digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Artinya, ujar Hardly, televisi dan radio dapat tetap bersiaran seperti sekarang dan juga melakukan siaran di berbagai platform media lain.

Perubahan signifkan pada ekosistem penyiaran ini, sebenarnya menjadi peluang yang sangat besar bagi lembaga penyiaran di daerah untuk bergeliat maju. Hardly melihat banyak peluang yang harus ditangkap lembaga penyiaran di daerah di era konvergensi media ini. Beberapa opsi disampaikan Hardly serta konsekuensi yang muncul terkait model keleluasaan aturan dalam konten ataupun pendapatan.

Hardly menegaskan, kini sudah tiba masanya semua orang dapat membuat konten media, baik secara visual, audio ataupun audio visual, tanpa ada hambatan ataupun sekat ruang dan waktu. “Istilahnya adalah information on demand,” ujar Hardly. Jika sebelumnya televisi dapat ditonton berdasarkan jadwal dari pengelola siaran, maka hari ini kita dapat mengambil siaran kapan pun sesuai kebutuhan. Sekaranglah eranya internet of thing, semuanya sudah ada di cloud, tegasnya.

Secara prinsip penyiaran hari ini terbagi menjadi dua, yakni penyiaran analog yang bicara terkait wilayah layanan, ijin penyelenggaraan penyiaran (IPP), atau pun peluang usaha. Sedangkan yang satu lagi adalah penyiaran digital yang sudah meruntuhkan segala batas dan sekat, borderless. Siaran yang diproduksi di Mamuju sekarang sudah dapat diterima di daerah lain, lintas pulau bahkan manca negara. Konvergensi menjadikan media terrestrial  yang disupport internet dapat menjaga pemirsa sesuai dengan wilayah layanan siar, sementara di saat bersamaan dapat menjangkau wilayah baru di luar wilayah layanan siarnya. Peluangnya konten-konten lokal di daerah dapat dijangkau publik lebih luas, termasuk masyarakat diaspora yang tinggal di luar daerah asalnya.

Hardly menilai, ini juga menjadi sebuah kesempatan bagi penyiaran di daerah melawan dominasi informasi yang Jakarta centris seperti saat ini. Kekuatan penyiaran daerah adalah pada lokalitas, ujarnya.  Maka penyiaran daerah pada era digital harus mampu mengangkat isu lokal yang berdampak global dan mengangkat isu global yang memiliki dampak lokal.

Ditegaskan oleh Hardly, harus ada dukungan pengembangan bisnis penyiaran daerah dari ekosistemnya, yakni pemerintah daerah lewat regulasi dan kebijakan afirmatif, masyarakat daerah dan juga KPI Daerah yang memberikan dukungan besar agar penyiaran di daerah berkembang. Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah kehadiran concern group atau kelompok pemerhati penyiaran di daerah. Kelompok ini yang kemudian dapat bersinergi dengan KPI dalam menghadirkan konten-konten penyiaran yang selaras dengan kepentingan publik. Di satu sisi, menurut Hardly, KPID juga harus hadir membuat kebijakan yang menstimulasi perkembangan penyiaran di daerah. Dia juga menyampaikan pentingnya edukasi publik terhadap konten siaran berkualitas yang juga butuh support agar dapat berkesinambungan hadir di lembaga penyiaran. Hal ini sudah digagas KPI Pusat melalui Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa dan Bicara Siaran Baik. Sebagai perwakilan kepentingan publik, KPID juga diharapkan selalu tanggap terhadap dinamika penyiaran yang terjadi, agar setiap kepentingan publik dapat terakomodir dan medium penyiaran memberikan manfaat yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat di daerah.

Denpasar - Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2020 telah digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di dua belas kota di Indonesia yang bekerja sama dnegan dua belas perguruan tinggi negeri, dengan menggunakan metode diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (FGD). Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Yuliandre Darwis mengatakan, FGD ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam menghadirkan isi siaran yang berkualitas. KPI sendiri, ingin mendapatkan pemetaan perilaku informasi di masyarakat dalam menghadirkan keberagaman isi, sebagaimana yang menjadi syarat terwujudnya demokratisasi penyiaran. Demikian disampaikan Yuliandre saat membuka FGD Informan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2020 di Denpasar. 

Hasil riset yang telah dilakukan KPI selama lima tahun, sudah mendapatkan perhatian serius di kalangan stakeholder penyiaran. Para pengiklan misalnya, ujar Yuliandre, mulai berpikir ulang untuk memasangiklan pada program-program siaran yang mendapat nilai rendah dari Riset ini. Untuk itu pula dirinya berharap dalam FGD riset ini, para informan memberikan penilaian yang obyektif sesuai dengan kapasitas dan keilmuannya masing-masing. Secara khusus, Yuliandre berharap Universitas Udayana yang menjadi pelaksana Riset di Denpasar, dapat menjadi role model guna menyuarakan diversity of content. 

Dalam pelaksanaan FGD, masing-masing informan menyampaikan penilaian beserta argumentasi atas nilai yang diberikan tersebut. DIskusi menarik muncul saat membahas penilaian atas program berita dari masing-masing televisi. Catatan atas program berita adalah sebagian besar masih “Jawa centries” atau “Jakarta centries”. Banyak berita berasal dari Jakarta yang dinilai kurang penting, namun disiarkan. Sedangkan berbagai kejadian penting di daerah, yang terkait dnegan kepentingan publik justru luput disampaikan. Catatan lain yang menjadi sorotan informan adalah kemunculan iklan dalam program siaran jurnalistik dinilai cukup mengganggu. Iklan diakui memang memiliki peran penting dalam kelangsungan program siaran, namun diharapkan kemunculannya dapat disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam regulasi. 

Pada hari yang sama, FGD Riset juga dilaksanakan bersama dengan Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Komisioner bidang kelembagaan KPI Pusat, Nuning Rodiyah mendapatkan kesempatan untuk memberi sambutan dan membuka FGD. Dalam FGD tersebut, informan menyampaikan masukan untuk program wisata budaya.  Ada baiknya pada program tersebut mengikutsertakan bahasa daerah dengan terjemahan bahasa Indonesia. Selain itu  disuarakan pula pentingnya kehadiran bahasa isyarat dalam program wisata budaya. 

 

Jakarta – Berada di atas tiga pertemuan lempeng tektonik yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik, Indonesia menjadi salah satu negara paling rawan terkena bencana (gempabumi) di dunia. Posisi ini membuat kita harus selalu siap dan waspada. Salah satunya dengan memaksimalkan sistem mitigasi bencana melalui penyiaran.

Terkait hal itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan The British Broadcasting Corporation (BBC) perwakilan Indonesia berencana menjalin kerjasama dalam upaya mengedukasi masyarakat bagaimana mengantisipasi dan menangani bencana melalui lembaga penyiaran. BBC Media Action menilai lembaga penyiaran seperti radio banyak membantu masyarakat dunia untuk keluar dari bencana kemanusiaan yang diakibatkan bencana maupun faktor internal lainnya.

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, saat menerima kunjungan BBC Media Action, mengatakan pihaknya membutuhkan dukungan dalam upaya meliterasi publik terkait mitigasi bencana melalui media penyiaran. Menurutnya, BBC Media Action dapat menjadi mitra KPI dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya edukasi mengenai kebencanaan. Apalagi BBC Media Action telah berpengalaman menangani pesoalan ini di sejumlah negara.

“Ke depan perlu ada kerjasama antara KPI dan BBC untuk mewujudkannya. KPI memerlukan acuan dari BBC mengenai mitigasi kebencanaan di media karena saat ini kami sedang upayakan buat regulasi tentang siaran tanggap bencana,” kata Irsal kepada perwakilan BBC di Kantor KPI Pusat, Jumat (17/7/2020).

Direktur BBC Media Action untuk Indonesia, Ankur Garg, menyatakan pihaknya berupaya membantu masyarakat keluar dari krisis kemanusiaan akibat bencana dengan memberikan informasi serta edukasi. “Komunikasi ini dapat menolong warga negara keluar dari krisis dan betapa informasi sangat penting dalam kondisi bencana agar mereka dapat bertahan,” katanya di awal pertemuan tersebut.

Dia menceritakan pengalaman BBC Media Action membantu masyarakat Nepal pada saat bencana gempabumi, beberapa tahun lalu. Di sana mereka bekerjasama dengan hampir 200 radio untuk menginformasikan tentang penanganan dan pemulihan di masyarakat yang hancur akibat bencana. 

Menurutnya, banyak keuntungan bekerjasama dengan media penyiaran dalam penanganan kebencanaan karena jangkauannya luas, bisa interaktif dan mudah di akses. ***/Foto by Agung Rachmadiansyah

Jakarta -- Meskipun Revisi Undang-undang Penyiaran tahun 2002 batal diproses pada tahun ini dan akan dibahas ulang pada 2021 mendatang, proses perpindahan atau migrasi dari penyiaran analog ke digital sepertinya harus dilakukan cepat. Pasalnya, hal ini sangat terkait dengan kepentingan nasional seperti keamanan dan nasionalisme. 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menegaskan migrasi dari analog ke penyiaran digital sudah seharusnya diwujudkan. Hingga saat ini, di lingkup regional hanya Indonesia yang belum melaksanakan proses perpindahan tersebut. Padahal jika di banding dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, Indonesia sudah lebih dulu menyatakan untuk melakukan migrasi.

“Kita sebenarnya termasuk pioneer diantara negara tetangga. Namun dalam perjalanan, justru mereka yang lebih dahulu melakukan migrasi,” kata Agung Suprio di sela-sela acara Crosscheck yang diselenggarakan Medcom.id bertema “Era Pandemi, Saatnya Migrasi Digital RI” secara virtual, pekan lalu. 

Terkait digitalisasi, Agung mengungkapkan banyak masalah yang Indonesia hadapi dengan negara tetangga seperti soal siaran mereka yang meluber ke wilayah perbatasan kita. “Ada peristiwa ironis ketika ada pertandingan sepakbola antara Indonesia dan Malaysia yang justru masyarakat di daerah perbatasan lebih mendukung kesebelasan negara tetangga. Hal ini karena tower mereka di daerah perbatasan sangat banyak dan siaran mereka jadi menguasai. Ini mempengaruhi perilaku masyarakat di sana,” jelasnya.

Contoh di atas, kata Agung, menjadi rekomendasi betapa migrasi ini tidak bisa lagi ditunda. Menurutnya, jika Indonesia tidak segera digitalisasi akan mengganggu daerah-daerah tersebut. “Digitalisasi akan membuat masyarakat di daerah perbatasan menikmati siaran indonesia secara jernih. Sehingga proses ideologisasi dan internalisasi nilai kebangsaan akan lebih cepat melalui digitalisasi. Ini fakta yang kita lihat,” ujarnya.

Selain perbatasan, wilayah yang belum dapat siaran atau blankspot akan mudah terjangkau melalui teknologi ini. KPI mengkhawatirkan, minimnya akses siaran dari dalam membuat masyarakat menerima ideologi yang tidak ada counternya. Apalagi saat ini akses internet semakin cepat. 

Dalam kesempatan itu, Agung meminta seluruh industri televisi nasional agar menyatukan pandangan untuk mendukung digitalisasi penyiaran di Indonesia. "Beberapa stasiun televisi melihat angle lain. Sehingga tidak ada pandangan yang sama," katanya. 

Agung mengatakan bahwa pemerintah harus berkompromi dengan industri penyiaran untuk menetapkan jadwal Analog Switch Off (ASO). Industri penyiaran telah berkontribusi dalam pemberitaan dan informasi di tanah air.  

Agung menilai pemanfaatan teknologi bisa menjadi modal industri penyiaran untuk mendorong masyarakat menonton siaran digital. Sehingga proses migrasi siaran tersebut mampu memberikan keuntungan bagi pelaku industri penyiaran.

"Pengalaman saya di Jerman ternyata televisi terestrial bisa dinikmati dengan ponsel tanpa sim card, tanpa data. Pilihan-pilihan teknologi itu menguntungkan industri televisi dari analog ke digital," ucap Agung.

Agung juga mengusulkan agar pemerintah dan seluruh stakeholder penyiaran melakukan sosialisasi mengenai sistem siaran digitalisasi kepada seluruh masyarakat sembari menunggu proses migrasi. “Proses sosialisasi ini harus dilakukan secara massif agar masyarakat paham dan tahu pentingnya digitalisasi penyiaran,” pintanya.

Menkominfo minta industri dukung transformasi  digital

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate berharap seluruh komponen industri penyiaran bergerak untuk mendukung upaya transformasi digital. Meski langkah ini sudah terlambat, namun percepatan ekosistem digitalisasi penyiaran terus dilaksanakan.

"Diskusi seperti ini adalah awal, meski sudah terlambat. Baiknya kita lakukan secara masif (program ini). Saya berharap digitalisasi televisi ini sebagai quick win dan semoga cepat terlaksana," ujar Johnny di ruang diskusi yang sama.

Sistem digitalisasi Indonesia jauh tertinggal dari negara tetangga. Sejak World Radio Conference (WRC) 2007, seluruh negara di dunia menyepakati untuk menuntaskan analog switch off (ASO) pada 2015.

Program digitalisasi televisi nasional ini perlu dipercepat guna menghasilkan kualitas penyiaran yang lebih efisien dan optimal untuk kepentingan masyarakat. Digitalisasi juga akan meningkatkan efisiensi kinerja industri penyiaran Tanah Air.  

Pandemi virus corona (covid-19) tak melulu soal sisi negatif. Ada pula sisi positif seperti terwujudnya transformasi digital. “(Pandemi) covid-19 justru mendorong transformasi digital dan mendorong masyarakat global masuk ke digital society (masyarakat digital),” kata Menkominfo

Dia menyebut transformasi digital perlu dipercepat. Namun, percepatan itu membutuhkan infrastruktur yang lebih moncer, seperti tulang punggung atau backbone jaringan dan dilanjutkan pengaluran atau backhaul jaringan.

Percepatan tersebut, kata Johnny, masih menghadapi beberapa tantangan. Misalnya, belum semua daerah di Indonesia terjangkau jaringan 4G. “Digitalisasi setidaknya (membutuhkan jaringan) 4G. Tapi ternyata belum semua daerah tersedia (jaringan) 4G,” ujarnya.

Johnny mengatakan tantangan selanjutnya adalah tersedianya payung hukum. DPR masih merevisi beberapa undang-undang (UU), termasuk UU Penyiaran. “Juga beberapa UU baru digitalisasi termasuk perlindungan aset digital,” tutur dia.

Namun, DPR telah menarik Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dari program legislasi nasional (prolegnas) 2020. Johnny menghormati keputusan tersebut lantaran bakal dilanjutkan dalam prolegnas 2021.

Menurut Johnny, tantangan berikutnya adalah membutuhkan sumber daya manusia (SDM) di bidang digital. Butuh 16 ribu SDM yang berkompeten untuk memaksimalkan transformasi digital. “Mencetak 16 ribu talent per tahun tidak gampang,” tutur Johnny. ***

 

Jakarta – Setelah Padang dan Bandung, KPI Pusat melanjutkan kembali diskusi kelompok terpumpun atau FGD Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV tahun 2020 untuk Kota Jakarta, Medan dan Banjarmasin. Kelompok diskusi yang pesertanya terdiri atas informan ahli dari kalangan akademisi akan menilai sampel program siaran TV periode waktu siaran antara Januari hingga Maret 2020. 

Dari diskusi dan kajian informan ahli di tiga kota itu dihasilkan beberapa catatan kritis pada sejumlah kategori program acara. Riset tahun ini, KPI memberikan 477 sampel tayangan yang dibagi menjadi 9 kategori program yakni Program Berita, Talkshow Berita, Talkshow Non Berita, Sinetron, Anak, Religi, Wisata Budaya, Infotainmen, dan Variety Show, untuk dinilai informan ahli.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan FGD ini merupakan proses penilaian terhadap program acara TV yang masuk dalam kajian riset KPI tahun 2020. Menurutnya, proses ini sangat strategis dan menentukan seperti apa kualitas siaran TV. “Kita berharap kualitas siaran di tahun ini meningkat dan terus meningkat untuk tahun berikutnya,” katanya saat membuka FGD Riset Indeks Kualitas Program TV untuk Kota Jakarta yang bekerjasama dengan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Senin (13/7/2020) lalu. 

Selain peningkatan kualitas, hasil dari riset ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengiklan agar mau beriklan pada program siaran yang tepat, berkualitas dan sesuai referensi dari hasil riset KPI. “Yang jadi kritik kami adalah tayangan yang tidak berkualitas justru dapat rating tinggi dan iklan. Kita berusaha untuk merubah hal ini. Ini bagian dari gerakan moral. Dan ke depan, diharapkan antara kualitatif dan kuantitatif dapat berimbang,” jelas Agung Suprio.

Agung juga meminta tim penilai riset atau informan ahli untuk memberikan penilaian secara obyektif dan sebaik mungkin. “Kami berharap riset ini memotret konten dengan utuh dan membuat score dengan baik,” tandasnya.

Dalam FGD riset kota Banjarmasin, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, menekankan pentingnya keseriusan menilai sampel tayangan agar data yang dihasilkan mencerminkan kualitas TV yang obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. 

“Sekarang yang sedang diteliti adalah 15 induk jaringan televisi. Kita tahu penyiaran di Indonesia mungkin terbanyak di dunia dan kemungkinan akan bertambah dua atau tiga kali lipat yang akan kita ukur. Kali ini dilakukan secara kualitatif mungkin ke depan menjadi kuantitatif,” jelasnya pada informan riset yang sebagian besar akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Kamis (16/7/2020) kemarin.

Reza juga menyatakan hal yang sama soal riset ini bahwa hasilnya akan menjadi patokan serta wawasan dalam melihat TV. Menurutnya, lembaga penyiaran harus mampu mewujudkan moral bangsa agar menjadi lebih baik dengan menyuguhkan publik tontonan yang layak dan berkualitas. 

Dalam kesempatan itu, Rektor Unlam, Sutarto Hadi, mengatakan peran lembaga penyiaran sebagai media pembentuk karakter bangsa. Karenanya, tanggungjawab besar ini harus dibayar media dengan menghadirkan konten siaran yang berkulalitas.  “Ke depan siaran TV harus menjadi bagus. Memang kita akui TV kita harus bersaing dengan TV dari negara lain dan jika kualitas TV nasional jauh dari mancanegara tentunya akan ditinggalkan masyarakat. Ini akan berakibat fatal pada nilai-nilai nasionalisme. Suatu saat akan luntur. Tapi kita harus optimis dengan TV  kita,” tambahnya.

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, yang bertanggunjawab mengawal FGD riset di Kota Medan, ikut andil mendiskusikan program acara berbau mistik, horor dan supranatural (MHS). Menurutnya, tayangan MHS menjadi perhatian utama KPI karena sekarang begitu dieksploitasi. “Apalagi sekarang sudah ada yang masuk ke tayangan infotaimen,” katanya di FGD riset Kota Medan, Senin (13/7/2020).

Dia juga memberi catatan untuk program acara anak di TV yang didominasi konten luar negeri. Persoalan biaya produksi kartun yang mahal menjadi masalah bagi lembaga penyiaran sehingga mereka memilih impor. Padahal, tidak semua tayangan kartun luar sesuai dengan koridor dan budaya kita. Selain itu, masih ada tayangan anak yang menjurus pada tayangan kekerasan. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.