Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah.

Jakarta - Pandemi Covid 19 yang mewabah di dunia telah mengakibatkan munculnya berbagai perubahan sosial di masyarakat. Kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah, juga memaksa masyarakat mengubah perilaku sosial sehari-hari, termasuk dalam urusan agama dan peribadatan. Hal tersebut terungkap dalam Seminar Nasional “WEBINAR” Perubahan Masyararakat Menjelang Idul Fitri yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perubahan Sosial dan Media Baru Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya (UNESA), melalui medium virtual, (12/5).

Hadir sebagai pembicara pada Seminar Nasional tersebut, Komisioner bidang kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Nuning Rodiyah, Dr Erond Damanik selaku antropolog dari Universitas Negeri Medan, Rachmat K Dwi Susilo, Ph.D., selaku sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang, Evie Aridne Sinta Dwi M.Si, dari Universitas Padjajaran, serta Moh. Mudzakkir, MA., selaku kandidat doktor Universitas Sains Malaysia. Sebagai pembuka diskusi, disampaikan wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Hukum UNESA, Prof Ari Wahyudi.

Covid-19 ini, menurut Erond adalah sebuah revolusi kepatuhan di masyarakat, terhadap aturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam penanggulangannya. Namun harus diakui ada masalah dalam penegakan aturan, yang menyebabkan tidak semua wilayah di Indonesia menyikapi pandemi Covid-19 dengan cara yang sama. Misalnya saja, dicontohkan oleh Erond, untuk lower class di daerah satelit Medan, masih terlihat pengabaian terhadap protokol Covid. Erond mengaitkan pula dengan pendapat Koentjaraningrat tentang karakteristik masyarakat Indonesia yang plural dan gemar selebrasi dan seremoni.   

Sementara itu Nuning Rodiyah berpendapat bahwa Covid-19 ini mengakibatkan adanya percepatan budaya digital. Harus diakui, ujar Nuning, lantaran wabah ini masyarakat Indonesia dipaksa untuk terbiasa dengan budaya digital. Kegiatan belajar dari rumah dan bekerja dari rumah misalnya, memaksa masyarakat untuk menggunakan berbagai macam platform digital. Hal ini tentu saja harus diikuti dengan regulasi yang sesuai sebagai baseline budaya digital, ujar Nuning. 

Adaptasi terhadap perubahan sosial juga dilakukan oleh industry penyiaran. Sebagai regulator penyiaran, KPI sudah mengarahkan televisi dan radio untuk senantiasa mematuhi protokol Covid-19 dalam setiap kegiatannya. Misalnya dalam peliputan berita, salah satu bentuk perubahan yang dilakukan adalah dengan membuat TV Pool, sehingga ada pembagian tugas liputan dari masing-masing lembaga penyiaran. Tujuannya, agar jurnalis televisi dapat menerapkan physical distancing saat bertugas. KPI juga mengeluarkan edaran tentang siaran live di televisi yang juga wajib menjaga jarak. Hal ini selain menjaga keselamatan kru televisi, juga menjadi sebuah edukasi bagi publik tentang pentingnya physical distancing. 

Program Belajar Dari Rumah (BDR) yang disiarkan TVRI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan langkah taktis pemerintah dalam menjaga hak-hak anak sekolah untuk tetap mendapatkan pendidikan. Program BDR ini pun menyumbang pengaruh signifikan terhadap perubahan pola kepemirsaan televisi selama Covid-19. Nuning menjabarkan, selama pandemi ini jumlah penonton anak mengalami peningkatan besar. Kemudian, berita dan film menjadi program televisi yang paling banyak ditonton masyarakat selama pandemi. Ini juga menunjukkan bahwa masyarakat masih mengandalkan televisi sebagai rujukan dalam mendapatkan informasi yang valid tentang Covid-19. 

Terhadap percepatan budaya digital ini, Nuning sangat mengharapkan adanya akselerasi dari pihak terkait agar perubahan ini menjadi lebih efektif. Untuk siaran BDR misalnya, harus diakui masih ada wilayah blankspot yang tidak dapat menjangkau siaran TVRI. Karenanya KPI mendorong lembaga penyiaran lokal untuk ikut merelay program BDR yang disiarkan TVRI tersebut. Selain itu, perlu dukungan pemerintah daerah untuk menghadirkan kegiatan belajar jarak jauh yang bersinergi dengan lembaga penyiaran lokal, terutama terkait muatan dan kearifan lokal tiap daerah. 

Nuning menegaskan, edukasi tidak dapat dibebankan tanggung jawabnya hanya kepada media semata. Selama ini tv swasta dan juga radio telah berinisiatif menghadirkan iklan layanan masyarakat (ILM)  atau menyisipkan pesan-pesan Covid-19 di program siarannya. Nuning berharap semua pemangku kepentingan ikut ambil bagian dalam menghadapi berbagai perubahan sosial dan perilaku yang muncul akibat pandemi. “Mau tak mau kita akan menghadapi kondisi normal yang baru, namun harus ada regulasi dan juga infrastuktur yang mendukung pada pola hidup yang baru tersebut,” pungkasnya.  

 

 

Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis.

Jakarta – Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, menegaskan media massa harus menjadi sumber terpercaya dan penerangan bagi masyarakat di tengah maraknya berita hoax (bohong) yang muncul pada saat pademi Covid-19. Media khususnya media mainstream harus menghadirkan rasa optimis di antara kecemasan pada saat seperti ini. 

Menurut Andre, panggilan akrabnya, media perlu menyajikan berita dan informasi berimbang dengan tidak hanya menyebutkan angka kasus kematian akibat Covid, tetapi yang tak kalah penting juga memberi kabar tentang jumlah pasien yang sembuh.

“Ketika ada informasi yang membuat orang panik, yang mungkin melakukan aksi panic buying dan seterusnya. Di sinilah media  berperan, khususnya media massa arus utama seperti media cetak, televisi dan online yang kredibel, untuk menjelaskan duduk perkaranya,” kata Yuliandre saat mengisi kegiatan diskusi berbasis digital dengan tema “Wajah Media Penyiaran Indonesia dalam Menghadapi Covid-19” di Jakarta, Selasa (12/5/2020).

Dalam kondisi krisis akibat pandemi COVID-19, lanjut Andre, media massa memiliki dua fungsi penting, yaitu melakukan pengawasan dan juga edukasi. Dalam hal pengawasan, media hendaknya dapat membantu pemerintah dengan cara memantau secara ketat setiap kebijakan dan langkah-langkah konkrit yang diambil pemerintah dalam memerangi COVID-19.

“Media diharapkan tetap bersikap independen, tidak beritikad buruk sekaligus harus menempuh cara professional dalam menyajikan informasi. Informasi itu harus diuji dan memberitakannya harus secara berimbang dengan tidak mencampurkan opini serta fakta yang menghakimi,” pinta Andre.

Dia juga menyinggung pentingnya kompetensi seorang wartawan saat menggali informasi terutama dalam menyajikan pemberitaan yang akurat dan mengedukasi. 

Andre yang pernah menjabat Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) periode 2017-2018, menyampaikan adanya lonjakan peningkatan penonton televisi berdasarkan data survey Nilesen di masa Stay at Home. Penonton usia 5-9 tahun mengalami peningkatan 27 persen. Adapun penonton dengan rentang usia 10-15 tahun mengalami lonjakan sekitar 32 persen. 

“Ini menujukkan bahwa media mainstream masih menjadi rujukan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat,” tandasnya. 

Dia juga menjelaskan Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Nomor 123/K/KPI/31.2/03/2020 Tentang Penyiaran Wabah Corona. Ada enam yang diminta KPI pada lembaga penyiaran yakni sebagai berikut;

1. Mendukung intruksi Pemerintah dengan menginformasikan melalui Iklan Layanan Masyarakat (spot atau ad lips) dan pernyataan host/reporter/penyiar yang menginformasikan secara masif tentang imbauan kepada masyarakat agar melakukan social distancing measure atau membatasi interaksi sosial yaitu dengan melakukan kegiatan di rumah dan menghindari kerumunan massa;

2. Mengubah format program siaran yang melibatkan banyak orang (peserta dan/atau penonton) baik yang disiarkan secara on air {live atau tapping) maupun off air yang ditayangkan di televisi maupun radio di seluruh Indonesia;

3. Mengingat adanya kebijakan Pemerintah terkait pemindahan kegiatan belajar di rumah, maka Lembaga Penyiaran agar memperhatikan konten siaran yang ramah bagi semua usia dan mengutamakan perlindungan anak dan remaja, serta menyediakan program siaran pendidikan dan pembelajaran sebagai pengganti proses belajar dan mengajar;

4. Mengutamakan keselamatan para jumalis dan kru penyiaran lainnya dengan menaati protokol pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19. Dalam hal lembaga penyiaran tidak melaksanakan beberapa ketentuan di atas, maka akan ditindaklanjuti sesuai kewenangan KPI sebagaimana Peraturan KPI Nomor Ol/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran.

Dalam kesempatan yang sama, Produser Eksekutif Liputan 6, Donny Kurniawan, mengatakan pemerintah perlu meningkatkan sentimen positif dengan memperbaiki komunikasi kepada masyarakat “Transparan dan jujur, tidak ada data yang disembunyikan,” katanya.

Dia menilai optimisme publik dan perkembangan informasi harus disampaikan terus menerus agar masyarakat tidak panik dan juga tetap waspada menyikapi pandemi ini. “Tugas media di tengah pandemi saat ini tidak mudah. Media tetap harus jadi yang terdepan menyangkut untuk memenuhi keinginan masyarakat pada informasi yang tepat,” pungkas Donny. *

 

Jakarta – Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menepis anggapan jika Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai pengekang kebebasan industri penyiaran untuk berkreasi. Menurutnya, aturan siaran ini justru untuk membimbing agar konten yang diproduksi tidak berbenturan dengan etika, norma dan adat yang berlaku di masyarakat. ` 

“Saya pikir tidak juga jika pedoman siaran ini sebagai penghambat kebebasan untuk berkreasi. Ini lebih kepada rambu-rambu bagi teman-teman seniman, konten kreator dan juga industri penyiaran,” kata Agung saat mengisi Live Talk Show di Inspira TV dengan tema “Membangun Penyiaran yang Inspiratif dan Positif”, Minggu (10/5/2020) malam.

Dia mencontohkan, program acara tentang kesehatan boleh tetap tayang tapi dengan mengikuti acuan yang sudah dijelaskan dalamm aturan tersebut. Misalnya, dalam perbincangan soal sex di ranah penyiaran harus menyertakan narasumber yang ahlinya dan disiarkan di atas pukul 10 malam WIB (Waktu Indonesia Barat) yang KPI anggap sebagai waktu dewasa. 

“Dalam siaran itu dilarang melegitimasi sex bebas, aborsi dan menganjurkan kawin usia muda. Atau ada reka ulang pembunuhan yang ditampilkan secara detail prosesnya. Ini kan tidak boleh karena akan dikhawatirkan menjadi contoh buruk bagi masyarakat khususnya pada penonton anak dan remaja. Tentunya ini tidak mungkin disebut sebagai pengekangan kebebasan,” papar Agung.

Dia juga menjelaskan, P3SPS yang merupakan turunan dari Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan hasil konsensus yang harus diketahui dan diikuti semua pihak dalam hal ini industri penyiaran. P3SPS KPI telah beberapa kali mengalami perubahan. 

“Bahkan tahun ini, KPI sedang melakukan pembahasan untuk mengubah aturan tahun 2012 tersebut. Sayangnya karena ada pademi Covid-19 jalan proses revisi P3SPS jadi terhenti,” ungkapnya.

Agung menilai kalangan industri konten tidak akan menganggap P3SPS KPI sebagai batu sandungan. “Saya yakin seorang konten kreator, sutradara, produser serta yang lainnya akan memahami dan tidak akan kehabisan akal, ide dan kreativitas untuk membuat konten yang bagus dan bermutu dengan mengacu rambu tersebut,” kata Agung berharap.

Duta Sobat Cyber Indonesia, Tita Oxa Anggrea, menyatakan P3SPS merupakan aturan yang harus dipatuhi oleh konten kreator. Dia menilai saat ini justru sudah sedikit sekali tayangan TV yang melanggar aturan tersebut. 

Tita justru menyoroti platform lain yang dinilai masih sengaja menyiarkan konten-konten yang dilarang di penyiaran. Menurutnya, hal ini karena tidak adanya regukasi yang mengatur ruang media tersebut. “Masih ada konten-konten seperti itu biar ada yang lihat dan sengaja cari masalah. Kita harus konsen untuk melihat hal itu,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Ketua KPI Pusat, Agung menegaskan kembali tentang perbedaan KPI dengan Lembaga Sensor Film atau LSF. Dikatakan, tugas sensor konten ada pada LSF yang bekerja sebelum tayang. “KPI tidak  melakukan tugas itu. KPI berwenang pada saat konten tersebut tayang. Regulasi keduanya berbeda. KPI mengacu pada Undang-Undang Penyiaran sedangkan LSF pada Undang-Undang Perfilman,” tandasnya. *** 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan (Kemendikbud), Lembaga Sensor Film (LSF) dan LPP TVRI sepakat membentuk Tim Review atau pengulas materi tayangan program acara “Belajar dari Rumah” atau BDR. Tim ini diharapkan memberi masukan yang positif dan konstruktif pada program BDR agar makin baik dan berkualitas.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengapresiasi dibentuknya tim review materi tayangan program BDR. Menurutnya, tayangan BDR yang menjadi acuan belajar bagi anak sekolah pada masa pandemi harus benar-benar berisikan hal-hal yang baik, aman, bernilai, edukatif dan layak tonton. 

“Kerja bersama ini tentunya akan menghasilkan tayangan BDR yang sesuai dengan keinginan sekaligus sejalan dengan arah pendidikan nasional meskipun dalam masa darurat covid. Penyelenggaran pendidikan di tanah air harus terus berjalan melalui program BDR yang telah terverifikasi tim bentukan dari keempat lembaga ini,” kata Mulyo usai pertemuan dengan Kemendikbud, LSF dan TVRI secara virtual, Senin (11/5/2020).

Dikatakannya, KPI akan bekerja berdasarkan ketentuan yang menjadi acuan yakni Undang-Undang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Setiap tayangan yang akan masuk dalam ranah penyiaran harus menyesuaikan atau mengacu pada dua regulasi itu. 

“Apalagi tayangan ini diperutukkan anak sekolah yang tentunya penyajian dan isinya harus memberikan kandungan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, ada unsur hiburannya agar tak membosankan, serta bisa menumbukan rasa ingin tahu tentang lingkungan sekitar. Hal ini ada dalam pedoman penyiaran KPI,” jelasnya.

Sementara itu, di dalam rapat tersebut, Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, mengatakan tim ini bisa menjadi jembatan ketika ada masalah isi atas tayangan tersebut. Dia memandang perlu ada penilaian mendalam terhadap sebuah tayangan seperti soal konteks cerita dari program yang bersangkutan. 

“Program ini niatnya dalam koteks edukasi dan ini harusnya dapat pertimbangan khusus. Ini jadi perbandingan. Tim ini bisa jadi jalan tengah. Titik temunya bisa dicari lewat tim ini dan bukan dipandang menyampaikan intensi negatif,” katanya.  

Dalam rapat yang diinisiasi Kemendikbud tersebut, turut hadir Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid dan sejumlah perwakilan dari LPP TVRI. ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat mengisi diskusi yang diselenggarakan DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesi (GMNI) dengan tema “Analisa Pemberitaan dan Peran Media di Tengah Pandemi”, Jumat (8/5/2020).

Jakarta -- Dalam situasi pembatasan aktifitas sosial secara fisik di ruang publik karena kebijakan social distancing dan physical distancing akibat pademi Covid-19, keberadaan infomasi yang benar menjadi sangat penting. Apalagi di tengah hiruk–pikuk komunikasi melalui sosial media, dimana seringkali berkembang informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan masuk dalam kategori hoax atau berita bohong.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan bahwa KPI senantiasa mendorong Lembaga Penyiaran TV dan radio agar menghadirkan informasi yang benar demi kepentingan publik. “Pemberitaan melalui lembaga penyiaran merupakan kontrol sosial yang harus senantiasa melalui proses verifikasi agar dapat menyampaikan fakta yang benar serta berdasarkan data yang akurat. Namun di tengah pandemi Covid-19, pemberitaan melalui televisi kerap mendapat tudingan negatif,” kata Hardly dalam Diskusi Online yang diselenggarakan DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesi (GMNI) dengan tema “Analisa Pemberitaan dan Peran Media di Tengah Pandemi”, Jumat (8/5/2020) malam. 

Ketika memberitakan perkembangan covid-19, media dianggap menakut-nakuti. Sebaliknya ketika tidak menyampaikan berita tentang covid-19, dinilai menutupi fakta. Ketika menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintah, media dinilai tendensius, namun ketika mengapresiasi pemerintah, media dianggap telah menjadi alat kekuasaan. 

Komisioner bidang kelembagaan ini mengakui bahwa dalam pemberitaan melalui TV terkadang menyampaikan informasi yang cenderung sensasional, untuk menarik perhatian publik. “Namun selama ditujukan untuk kepentingan publik, serta tetap berada dalam koridor Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, maka KPI menilai bahwa pemberitaan masih menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial khususnya terhadap berbagai kebijakan pemerintah,” ujar Hardly.

Menurut data yang dirilis oleh Nielsen, sejak dimulainya kebijakan social distancing, ada peningkatan pemirsa televisi sebanyak satu juta orang, dan peningkatan penonton berita sebanyak 25%. Oleh sebab itu, KPI telah mengeluarkan edaran dan menyampaikan imbauan tentang pemberitaan pandemi covid-19. 

“Pada intinya, KPI meminta agar pemberitaan melalui media penyiaran senantiasa menyampaikan data yang benar dan fakta yang proposional, agar dapat membangun optimisme publik dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. Selain itu, KPI juga meminta agar berbagai kebijakan pemerintah terkait penangangan covid-19 disampaikan melalui Iklan Layanan Masyarakat, serta disisipkan dalam berbagai program siaran lainnya,” tegas Hardly.

Di ruang diskusi daring yang sama, Jurnalis Kompas TV, Aiman Witjaksono, melihat kondisi saat ini bukanlah hal yang baru bagi kalangan jurnalis seperti dirinya. Ada beberapa situasi darurat yang pernah dia alami seperti saat bertugas di Aceh dan daerah lainnya. Menurutnya, dalam keadaan seperti ini yang akan muncul adalah insting atau naluri seorang wartawan. Dan, insting tersebut harus diwujudkan dalam bentuk atau hasil yang bisa bermanfaat bagi masyarakat.

“Insting jurnalis itu menjadikan bagaimana memberi sesuatu yang baik dan bernilai bagi publik. Namun hal itu sangat tergantung dari hati nurani. Sifat pragmatis itu ada di jurnalis, namun sebagai manusia hal itu harus kita singkirkan,” kata Aiman.

Melihat situasi saat ini yang serba tidak jelas, Aiman menilai perlu menjadikan media sebagai rumah penjernih atau clearing house. “Dalam situasi krisis seperti sekarang ini, fakta itu menjadi sesuatu yang suci. Jadi, jangan karena kita harus di rumah tugas investigasi jadi terhenti. Fakta juga bisa menjadi manfaat dan bisa membangun optimisme masyarakat,” tambahnya.

Selain itu, Aiman yang pernah meraih penghargaan Anugerah KPI 2017 sebagai Presenter Talkshow Terbaik memandang penting pengamatan jurnalis dari dampak berita yang akan disampaikan. Menurutnya, faktor psikologis dari pembaca, pendengar dan penonton harus menjadi pertimbangan. 

Anggota Dewan Pers, Agung Dharmajaya, menyampaikan lalulintas pemberitaan terkait pandemi mulai dari awal kasus covid-19 di Indonesia dimulai. Menurutnya, ada sekitar dua ratus ribu artikel berita terkait soal covid. Sayangnya, hampir sebagian besar isi artikel tersebut menyuguhkan pemberitaan yang cenderung tendesius dan sensasional.

“Pada awal-awal kejadian itu kami menilai belum ada pemahaman tentang kasus ini. Jadinya sifat beritanya masih sensasional yang membuat orang takut. Sekarang ini masyarakat seperti sudah biasa dan mereka lebih senang untuk membaca atau menonton informasi tentang kesembuhan, bagaimana menjaga kesehatann dan berita positif lainnya,” kata Agung.

Sementara itu, Jurnalis Senior dan salah satu pendiri AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia), Dhia Prekasa Yoedha, memandang tugas jurnalis harus mengedepankan nilai kemanusiaan sekaligus patuh pada kaidah jurnalistik. Namun, lanjutnya, tugas jurnalis jangan hanya mencari kebenaran tapi juga kebenaran yang inspiratif.

“Patuh terhadap KEJ. Kemudian lihat apa yang terjadi di luar. Selain itu, jurnalis harus dapat melihat apakah berita yang disampaikan itu manfaat atau tidak bagi masyarakat. Jika memang tidak, jangan disampaikan. Tugas jurnalis itu sama mulianya dengan tugas dokter, perawat, hakim dan lainnya,” tandas Yoedha.  ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.