Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi administrasi berupa teguran tertulis untuk Program Siaran “Jalan Kesembuhan: Angga Praja Buana” yang ditayangkan Net. Sanksi diberikan karena program yang bermuatan praktik penyehatan atas nama Angga Praja Buana yang ditayangkan dalam acara tersebut tidak memiliki izin praktik kesehatan dari  lembaga berwenang.

Hal itu ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran untuk Program Siaran “Jalan Kesembuhan: Angga Praja Buana” Net tertanggal 21 Mei 2020 lalu.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan pihaknya tidak bisa mentolelir siaran yang muatan praktik kesehatan ilegal dan tidak memiliki izin praktik dari instansi resmi yang berwenang. Siaran seperti ini bertentangan dengan aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI tahun 2012.

“Praktik kesehatan dalam siaran harus memiliki izin resmi dari lembaga berwenang. Jika tidak ada izin resmi, siaran tersebut telah melanggar Pasal 11 Ayat (3) bahwa program siaran yang berisi tentang kesehatan masyarakat dilarang menampilkan penyedia jasa pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki izin dari lembaga yang berwenang. Selain itu, ada aturan lain dari Kementerian Kesehatan yang juga harus diperhatikan oleh program penyehatan tradisional. Karena itu, KPI selalu berkoordinasi dalam temuan seperti ini,” jelas Mulyo, Kamis (11/6/2020). 

Sebelum teguran ini dijatuhkan, beberapa waktu lalu, KPI telah meminta klarifikasi kepada NET terkait program bersangkutan. KPI pun telah melaksanakan beberapa kali Rapat Bersama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai tindak lanjut dari klarifikasi itu. NET juga telah melayangkan tanggapan mengenai program tersebut. 

Mulyo menambahkan, praktik kesehatan tak berizin dinilai sangat berisiko karena tidak memiliki jaminan kesehatan dan keamanan yang telah diverifikasi lembaga berwenang. “Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, terlebih praktik tersebut disiarkan di ruang publik. Pengaruh dan dampaknya sangat luas. Jika terjadi kesalahan akan fatal, apalagi praktik tersebut tidak berizin,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Mulyo mengingatkan Net dan seluruh lembaga penyiaran untuk memperhatikan aturan siaran sebelum sebuah program ditayangkan. Menurutnya, lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. ***

Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Yuliandre Darwis.

Jakarta -- Hasil dari Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV tahun 2020 kolaborasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Bappenas di 12 Kota diharapkan menjadi data bermanfaat bagi siapapun yang memerlukanya. Tak hanya masukan bagi industri penyiaran dan pengiklan, hasil evaluasi dari informan ahli pilihan dan berpengalaman serta ahli diberbagai bidang pengetahuan dari 12 Perguruan Tinggi ini, dapat menjadi bahan diskusi di ruang-ruang kelas formal maupun non formal.

“Kami berharap hasil dari riset indeks kualitas ini tidak mangkrak begitu saja setelah kegiatan riset ini usai. Tapi lebih dari itu harus bermanfaat dan diimplementasikan menjadi data yang berguna untuk penelitian dan diskusi di kalangan Akademisi dan Perguruan Tinggi. Data ini tidak boleh berhenti hanya pada workshop ini saja,” kata Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat membuka secara daring Workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode I tahun 2020 untuk wilayah Kota Jakarta, Rabu (10/6/2020).

Andre melanjutkan, data riset KPI ini dapat pula digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi produsen konten (rumah produksi) dan lembaga penyiaran membuat sebuah konten yang ideal untuk masyarakat Indonesia. Pasalnya, penilaian yang diberikan akan berbeda satu sama lain karena sudut pandang setiap kota berbeda dengan kota lainnya. 

“Jadi data ini dapat menjadi masukan membuat konten berdasarkan daerah yang diriset. Ada unsur kearifan lokal dalam data riset ini,” tambah Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat di depan Rektor dan akademisi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta yang digandeng sebagai patner dalam riset indeks KPI di tahun ini.

Namun begitu, Andre meminta seluruh informan ahli agar dapat memberikan penilaian terhadap program yang menjadi sampel riset secara obyektif. Penilaian yang dilakukan secara obyektif dan tanpa tekanan akan memberi dampak positif terhadap peningkatan kualitas siaran. “Tidak boleh subyektif dalam menilai. Tonton, analisa dan perbaiki jika memang harus ada yang diperbaiki,” pintanya.

Riset indeks yang dulunya bernama survey indeks, saat ini telah menjadi bagian dalam program prioritas nasional. Karena itu, Andre berharap, data kualitatif tentang program siaran TV yang dihasilkan dari semua riset KPI dapat menjadi acuan semua pihak terutama masyarakat ketika akan mengakses tontonan di layar kaca. “Tolong data ini nantinya disyiarkan ke masyarakat bahwa banyak program yang bagus dan berkualitas di televisi kita,” tandasnya.

Dukungan penggunaan data riset sebagai bahan kajian dan diskusi turut disampaikan Rektor  UPN “Veteran” Jakarta, Erna Hernawati, dalam sambutannya dalam workshop. Menurutnya, data riset ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa untuk penelitian mereka terkait penyiaran di tanah air. Karenanya, UPN “Veteran” Jakarta sangat mendukung pelaksanaan riset KPI.

“Kami berikan yang terbaik untuk riset ini. Ini kegiatan yang baik dan dibutuhkan. Kita juga harus tahu bagaimana dampak dari isi siaran tersebut,” kata Erna.

Sementara itu, Kasubdit Komunikasi Direktorat Politik dan Komunikasi (Ditpolkum) Bappenas, Dewi Sri Sotijaningsih, tak hentinya mengapresiasi kegiatan riset KPI tahun ini meskipun dalam kondisi krisis, baik karena covid-19 dan keterbatasan anggaran. Menurutnya, riset yang telah jadi program prioritas nasional ini harus terus berkelanjutan. 

“Upaya ini sejalan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional pemerintah 2020-2024 terkait peningkatkan kualitas penyiaran nasional. Karena itu, saya berharap pada tahun ini setengah atau minimal 7 stasiun televisi dari 15 yang di evaluasi dalam riset ini nilai dapat mencapai kualifikasi yang KPI tetapkan. Harapannya pada tahun 2024 seluruh stasiun televisi telah mencapai indikator kualitas yang ditetapkan. Saya pikir target ini tidak memberatkan,” tegasnya dalam workshop virtual tersebut. ***

 

Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis. Foto; Agung Rahmadiansyah.

Jakarta – Undang-undang (UU) No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang telah berusia 18 tahun dinilai telah tertinggal dengan kemajuan teknologi dan media. Pembahasan sesegera mungkin revisi UU ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) dan kemudian mensahkannya menjadi UU baru adalah solusi untuk dapat mengejar ketertinggalan tersebut. 

Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan aturan dalam Undang-undang Penyiaran sekarang tidak dapat mengakses dan menindak tegas jika ada permasalahan di media baru yang banyak dipertanyakan publik dan dikeluhkan media penyiaran atau media mainstream. 

“Rasanya tidak adil jika siaran media penyiaran diperlakukan ketat atau berbeda karena ada pengawasan dan naungan regulasi yang memayungi. Sedangkan media baru yang belum ada payung hukum justru bebas bergerak tanpa pengawasan. Apalagi sudah banyak negara yang masuk ke media baru,” kata Andre, di sela-sela diskusi daring yang digelar Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) bertajuk RUU Penyiaran dan Prospek Industri Penyiaran Indonesia, Selasa (9/6/2020).

Andre menegaskan, KPI siap melakukan pengawasan terhadap media baru jika diamanahkan dalam UU Penyiaran baru nanti. Selain terlebih dahulu diberi penguatan pada kelembagaan KPI dan KPID secara sistematis, utuh dan tegas. KPI juga akan mengalami perubahan menjadi AI (artificial intelligence) ketika masuk dalam teknologi baru tersebut.

Menurut Ketua KPI Pusat Periode 2016-2019 lalu, pengawasan terhadap media baru sangatlah krusial, selain memberi perlakuan yang sama dengan media yang sudah ada, konten dalam media baru belum sepenuhnya aman yang dikhawatirkan justru berdampak lebih buruk terhadap publik, khususnya anak dan remaja. 

“Kita tahu ada layanan tontonan streaming yang menyediakan film-film berkualitas, tapi apa sudah sesuai dan pantas dengan budaya dan adat kita. Apa yang mereka sampaikan belum disaring sesuai dengan kultur bangsa kita. Kami apresiasi Komisi 1 DPR yang sudah menstimulasi perkembangan RUU Penyiaran,” katanya.

Karenanya, lanjut Andre, jika KPI diberi kewenangan oleh UU baru akan dibuat batasan untuk konten asing terhadap konten lokal. “Batasan ini agar tidak terjadi dominasi siaran asing. Minimal 60% untuk ketersediaan konten lokal dalam siaran,” ujarnya.

Terkait produksi konten ini, Andre memandang penting keterlibatan pemerintah terhadap usaha-usaha pembuat konten lokal. Menurutnya, konten agregrator atau penyedia diberikan dukungan berupa subsidi berkesinambungan dari pemerintah. “Kami sangat peduli dengan urusan konten. The King is Konten. Ini menjadi konklusi industri ke depan,” paparnya.   

Sementara itu, kalangan industri penyiaran saat ini sangat bergantung dengan akselerasi proses pembahasan kembali revisi Undang-Undang Penyiaran di DPR agar dapat bersaingan secara adil dengan media baru dan memberi perlindungan terhadap usaha mereka. 

Ketua Umum ATVSI, Syafril Nasution.

Harapan itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution. ATVSI bahkan meminta pemerintah dalam menyusun RUU Penyiaran memasukkan aturan untuk menjamin keberlangsungan industri televisi yang sudah lama eksis.

"Dengan banyaknya televisi tentunya iklim kompetisi di televisi ini sangat ketat. Nah kami berharap dengan UU yang baru nanti, televisi-televisi eksisting ini tidak menjadi seperti kata Pak Menteri menjadi sunset atau menjadi suatu bisnis yang mati karena begitu besarnya investasi ditanamkan ditelevisi ini," tutur Syafril dalam ruang diskusi yang sama.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, mendukung upaya revisi dan pengesahan UU Penyiaran baru agar dipercepat. Dia mengatakan, RUU Penyiaran mendorong percepatan digitalisasi di Indonesia. “Digital itu harus karena untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya. 

Anggota Komisi I DPR, Utut Adianto, mengatakan revisi UU Penyiaran memang diperlukan. Dia mengambarkan, substansi RUU ini akan sangat berkaitan dengan hal yang bermanfaat bagi berbagai pihak. “Akan adanya perlindungan hukum bagi pelaku industry dan juga masyarakat. RUU ini harus membuat dan menumbuhkan lapangan kerja baru,” katanya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR lainnya, Dave laksono, menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPI dalam RUU Penyiaran. Dia juga memandang perlu adanya pajak untuk platform digital. ***

Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate.

 

Ambon - Kehadiran Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertujuan memberikan sebuah sudut pandang yang berbeda kepada industri penyiaran, agar tidak semata-mata menggunakan data kuantitatif dalam bentuk rating dan share, namun juga memperhatikan kualitas konten siaran. Mengingat tujuan dari penyiaran adalah membangun karakter bangsa di satu sisi, dan juga mengembangkan industri penyiaran pada sisi yang lain. Kedua tujuan ini harus berjalan secara sinergi, dalam artian industri harus dapat berkembang dengan keragaman konten, tapi kualitas konten yang tersaji juga tetap harus diperhatikan. 

Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam Workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2020 untuk wilayah Ambon, yang dilaksanakan KPI secara daring bekerja sama dengan Universitas Pattimura, (10/6). Saat membuka workshop tersebut, Hardly memaparkan esensi dari penyiaran, yang merupakan medium hiburan dan informasi. Dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, selain menyebut dua fungsi tersebut, penyiaran juga berfungsi sebagai media pendidikan, kontrol dan perekat sosial, serta menjalankan fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Pada awalnya penyiaran di Indonesia hanya dilakukan oleh satu stasiun televisi, yaitu TVRI yang pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah. Hal ini tentu berdampak pada agenda siaran yang juga sepenuhnya ditentukan pemerintah. Perkembangan berikutnya, pihak swasta diberikan kesempatan mendirikan stasiun televisi yang kemudian menjadi tonggak awal industrialisasi penyiaran. Jika TVRI mendapatkan pembiayaan dari pemerintah, televisi berlangganan memperolehnya dari iuran konsumen, maka televisi free to air mendapat pemasukan dari pemasangan iklan. Sehingga mengakibatkan orientasi utama dalam produksi konten siaran yakni mendapatkan sebanyak mungkin penonton. “Pengukuran kinerja program siaran dari televisi free to air, untuk mendapat kue iklan yang potensial, diperoleh dari lembaga survey kepemirsaan yang disajikan dalam data dengan satuan rating dan share,”  ujar Hardly.  

Saat ini, terdapat 16 stasiun televisi free to air, yang dapat bersiaran lintas wilayah melalui sistem stasiun jaringan. Banyaknya lembaga penyiaran ini, terang Hardly, mengakibatkan terjadinya over kompetisi, sehingga lebih terfokus untuk saling memperebutkan penonton, dan hampir tidak menyisakan ruang untuk membangun idealisme konten.  

Sedangkan untuk program siaran yang berkualitas namun tidak mampu mendapatkan rating dan share yang baik, tentu berkonsekuensi pada kurangnya pemasang iklan. ”Ujungnya adalah pemberhentian program siaran, lantaran bukan saja tidak mendapatkan keuntungan, namun mengalami defisit pembiayaan dalam proses produksi,” terang Hardly.    

Sebagai regulator penyiaran, tentunya KPI berkepentingan menjaga agar setiap program siaran yang hadir di tengah masyarakat memiliki nilai-nilai yang selaras dengan pembentukan karakter bangsa. Dari hasil riset yang dilaksanakan KPI ini, diharapkan menjadi catatan bagi lembaga penyiaran untuk melakukan perbaikan atas program siaran yang dinilai belum berkualitas. Dalam riset ini, KPI mengikutsertakan para informan ahli yang berasal dari kalangan akademisi untuk melakukan analisis terhadap sembilan kategori program siaran. Tentunya penilaian dari kalangan pendidik ini juga menjadi cermin aspirasi masyarakat terhadap kualitas program siaran.

 

Hasil riset menjadi instrumen bagi berbagai pihak, khususnya lembaga penyiaran untuk senantiasa meningkatkan kualitas, serta panduan menonton bagi masyarakat. Program siaran yang mendapat penilaian berkualitas dalam riset ini, akan masuk dalam data base KPI bersama program siaran lainnya yang menjadi nomine dalam berbagai penganugerahan KPI. 

Hingga saat ini, KPI telah menghimpun 129 program siaran berkualitas berdasarkan penilaian tahun 2019, dan masih tayang hingga saat ini. “Ini adalah role model, sekaligus menegaskan positioning KPI dalam menilai kualitas konten siaran,” tegas Hardly. KPI juga sudah melakukan publikasi terhadap 129 program siaran tersebut dalam kampanye Bicara Siaran Baik melalui sosial media KPI. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki panduan dalam memilih program siaran, sekaligus menjadi stimulan atau pemicu masyarakat untuk ikut mereferensikan dan menviralkan siaran yang baik. Selain itu, program-program siaran yang berkualitas ini juga menjadi bagian dalam agenda Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa. Dalam setiap kegiatan literasi yang dilakukan oleh KPI, dihadirkan perwakilan dari salah satu program berkualitas, agar dapat menyampaikan tentang dinamika proses produksinya kepada khalayak secara luas. “Kami berharap, masyarakat dapat memahami bagaimana standar diproduksinya sebuah program siaran yang berkualitas,”ujarnya. Tentu saja harapannya masyarakat juga memberikan apresiasi demi menjaga keberlangsungan program siaran berkualitas di layar kaca.

Dukungan terhadap pelaksanaan Riset ini disampaikan pula oleh Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Wariki Sutikno.  Menurutnya, BAPPENAS berkepentingan untuk menjaga Riset yang merupakan program prioritas nasional ini tetap eksis. Sebagaimana BAPPENAS juga berkepentingan menjaga agar lembaga penyiaran senantias meningkatkan kualitasnya. “Dari hasil survey terbaru, diketahui penonton televisi masih mencapai 95% dari penduduk,”ujarnya. Meskipun  saat ini ada penetrasi yang luar biasa dari media dengan platform digital. “Peran lembaga penyiaran di negara mana pun juga sangat penting,” ujar Wariki. Karena itu kualitas siaran harus diawasi dengan tata nilai, indicator dan ukuran yang telah disepakati bersama untuk dikedepankan. Untuk itulah, tambahnya, posisi KPI sebagai regulator penyiaran menjadi sangat strategis guna menjaga kualitas konten siaran di negeri ini. 

Prof Dr Tonny D Pariela, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura menyatakan komitmennya untuk mendukung pelaksanaan Riset KPI di wilayah Ambon. Tony menyampaikan pula bahwa Riset ini diharapkan dapat menjadi basis pengambilan kebijakan untuk memebuhi kebutuhan masyarakat secara obyektif.  

 

Suasana workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV KPI untuk Kota Banjarmasin yang bekerjasama dengan Universitas Lambung Mangkurat, Selasa (9/6/2020). 

Jakarta -- Riset indeks kualitas terhadap siaran TV yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indoneia (KPI) memiliki perbedaan dengan riset yang dilakukan lembaga lain. Jika riset lain mengukur seberapa jumlah penonton, riset oleh KPI mengedepankan kualitas isi siarannya. 

“Riset KPI memberikan pemahaman yang berbeda apakah program tersebut berkualitas. Jika secara kualitas siaran itu baik maka penontonnya menjadi baik. Karenanya, KPI mendorong industri untuk berorietasi kepada kepentingan publik,” kata Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, disela-sela pembukaan Workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode I 2020 untuk Kota Banjarmasin yang bekerjasama dengan Universitan Lambung Mangkurat, Selasa (9/6/2020).

Irsal menjelaskan beberapa isu besar dalam penyiaran yang sering jadi pembahasan seperti dominannya informasi Jakarta dan kota besar lain di lembaga penyiaran. Riset yang dilakukan KPI bagian dari upaya mendorong agar wajah penyiaran dapat mengakomodir kepentingan daerah. 

“Riset ini sebagai bahan dan cara melihat dari sudut pandang yang berbeda di 12 kota tersebut. Penyiaran ini bisa mendorong informasi yang ada di daerah. Selain itu, bisa mendorong industri agar informasi daerah dapat diangkat ke publik,” kata Irsal.

Irsal berharap hasil riset yang dibuat KPI dapat dimanfaatkan semua pihak termasuk industri penyiaran. Hasil riset sebelumnya menunjukkan sejumlah kenaikan nilai di beberapa kategori. Namun untuk kategori sinetron dan infotainmen belum mencapai hasil maksimal. 

“Riset ini menjadi masukan bagi industri penyiaran untuk membuat sinetron yang lebih baik lagi. Kita harapkan hasil ini bisa mendorong ke arah tersebut. Jangan jadikan hasil riset ini hanya sebagai data,” tegas Irsal.

Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas, Wariki Sutikno, mengatakan indeks kualitas penyiaran harus terus jalan dan main dipertajam ke depannya. Pasalnya, banyak perilaku masyarakat yang perlu diperbaiki dan ini sangat berkaitan dengan indeks demokrasi yang juga harus dikembangkan. 

Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Sutarto Hadi, memberi perhatian akan maraknya tayangan televisi yang menayangkan youtuber dan informasi yang Jakarta sentris. Selain itu, dia menekankan pentingnya pesan edukasi dalam isi siaran. Menurutnya, media komunikasi seperti TV bisa menjadi alat untuk memperkuat integritasi bangsa.

Dalam kesempatan itu, Sutarto menegaskan komitmen kampusnya untuk terus mendukung program riset KPI. Riset ini menjadi satu wadah untuk mengkritisi tayangan televisi. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.