- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 5994
Jakarta -- Peran lembaga atau media penyiaran dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di masa pandemi dinilai sangat vital. Selain dapat meningkatkan partisipasi pemilih, media seperti TV dan radio, bisa berfungsi sebagai media penjernih pelbagai informasi dari media baru yang kebenarannya tanpa verifikasi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat mengisi acara Seminar Nasional on line dengan tema “Pilkada di Masa Pandemi” yang diselanggarakan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Jawa Timur, bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kamis (13/8/2020).
Di awal paparan, Hardly menyampaikan, kondisi pandemi Covid-19 saat ini memunculkan apatisme publik yang cukup tinggi terhadap pelaksanaan Pilkada yang dikhawatirkan menurunkan angka partisipasi pemilih. Untuk menepis hal itu, lanjutnya, perlu ada penyampaian informasi secara massif kepada masyarakat melalui instrumen media penyiaran.
“Bahwa Pilkada di saat pandemi dilakukan dalam suasana new normal. Ada pembatasan pengumpulan orang dalam jumlah banyak. Sehingga penyampaian informasi paling efektif di saat ini adalah menggunakan media. Baik media konvensional maupun media baru atau internet,” kata Hardly.
Dalam konteks media penyiaran, lanjut Hardly TV dan Radio harus senantiasa mengacu pada pedoman penyiaran (P3SPS). Adanya aturan dan juga pengawasan dari KPI (baik di pusat maupun daerah), memastikan media ini menyampaikan informasi yang terukur, berkualitas, dan proporsional.
“Tentunya hal ini bisa melawan dan mengantisipasi informasi hoax, hate speech dan SARA. Dan, ini sering kali menjadi instrumen dalam sebuah proses yang disebut black campaign dan hal negatif lainnya,” katanya.
Berkaca hal di atas, KPI berpandangan bahwa media penyiaran dapat menjadi media penjernih untuk melawan hoax, ujaran kebencian (hate speech) maupun SARA. “Dalam konteks tersebut, maka kami ingin mendorong lembaga penyiaran terutama di saat pandemi ini menjadi instrumen penyampaian sosialisasi tentang Pilkada maupun juga berbagai materi kampanye secara proporsional dan berimbang. Menjadi medium pendidikan politik yang konstruktif pada masyarakat sehingga bisa mendorong partisipasi politik. Pada gilirannya akan meningkatkan kualitas demokrasi, khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada tahun ini,” tutur Hardly.
Selain itu, Hardly mendorong lembaga penyiaran untuk dapat menyuguhkan informasi Pilkada yang lengkap dan akurat serta diperlukan publik. Seperti informasi calon pemimpin serta apa esensi dari Pilkada meskipun dalam suasana pandemi. “Informasi-informasi seperti ini harus tersampaikan kepada publik secara massif melalui berbagai media khususnya media penyiaran agar dapat mendorong partisipasi publik dalam penyelenggaraan Pilkada,” pintanya.
Dalam kesempatan itu, Hardly mendorong lembaga penyiaran agar diprioritaskan dalam sosialisasi maupun medium kampanye. Alasannya, lembaga penyiaran senantiasa melakukan check dan recheck informasi.
“Ini berbeda karakteristiknya jika dibanding dengan media daring atau online. Karena di media itu, ada juga yang merupakan media pers dan tercatat di Dewan Pers tetapi banyak juga yang kemudian berkembang di sosial media. Nah, yang berkembang di sosial media ini, bisa menyampaikan informasi apa saja yang bisa saja bias kepentingan dan tendensius. Bahkan bisa menjadi media serang menyerang di antara peserta Pilkada, baik di antara timses dan lainnya,” tandasnya.
Pilih pemimpin berkualitas
Sementara itu, di awal seminar, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arif Wibowo, mengatakan penyelenggaraan Pilkada 2020 banyak ditentang karena khawatir terhadap penyebaran Covid-19. Namun, dalam prosesnya, Pilkada tetap dilangsungkan meskipun diundur hingga Desember mendatang.
“Diperlukan pemilihan agar ada legislasi yang kuat untuk kepala daerah. Jika kita tidak bisa memastikan kapan covid berakhir, maka tidak ada jalan yang lebih baik yang diambil karena pemerintahan harus terus berlanjut oleh karena itu kami memutuskan pilkada tetap berlanjut,” jelasnya.
Selain itu, kata Arif, jika tidak ada pemilihan dikhawatirkan adanya konflik karena ada pertanyaan soal tidak adanya legitimasi untuk kepala daerah. “Jadi pelaksanaan pilkada sangat penting dan tentunya nanti harus patuh dengan protokol kesehatan yang berlaku,” tambahnya.
Dia juga meminta semua pihak ikut terlibat dalam pengawasan dan ikut mendorong partisipasi masyarakat dalam Pilkada yang akan berlangsung pada Desember mendatang. Minimal jumlah partisipasi bisa sama dengan Pemilu 2019 lalu.
“Apatisme masyarakat cukup tinggi dan itu tidak sesuai dengan survey yang dilakukan selama ini. Kita harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam pilkada nanti dan menyampaikan informasi tentang calon secara lengkap agar publik dapat memilih pemimpin yang bermutu,” papar Arif.
Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan pihaknya sudah mengajukan perubahan Peraturan KPU tentang Pilkada 2020 kepada DPR. Perubahan ini menyangkut sejumlah pasal terkait kampanye dan iklan calon peserta di media massa.
Selain itu, Kade Wiarsa, menyoroti pemilih pemula dalam Pilkada mendatang yang angkanya mencapai 3 juta lebih. Menurutnya, jumlah pemilih pemula dalam Pilkada ini melebihi angka pemilih pemula pada Pemilu 2019 lalu.
Dalam kesempatan itu, Dia berharap kepada pemilih yang akan berpartisipasi dalam Pilkada di tengah suasan pandemi untuk memperhatikan protokol kesehatan. “Aspek kesehatan ini sangat penting. Kami juga berharap tahapan Pilkada dapat berjalan dengan baik,” kata Raka Sandi.
Adapun Rektor Untag 1945 Banyuwangi, Andang Subaharianto, sepakat pelaksanaan Pilkada tetap jalan dan jangan sampai diundur lagi. Menurutnya, proses pemilihan untuk memenuhi asas demokrasi dan membentuk pemerintahan yang sah serta berlegitimasi. ***