Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mulai menyiapkan diri untuk menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di sejumlah daerah di tanah air pada 22 September 2020. Langkah awal persiapan dengan menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD di Jakarta, Kamis (5/12/2019). 

Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, mengatakan pihaknya ingin mendapatkan masukan sebanyak-banyaknya dari lembaga penyiaran terkait agenda Pilkada 2020 lewat diskusi ini. Meskipun Peraturan KPU sudah disusun, namun secara detail dan teknis menurutnya belum dijabarkan. 

“Dari hasil ekspose buku kemarin, banyak mengevaluasi pada liputan berita dan iklan kampanye. Karenanya, kami ingin bapak dan ibu narasumber memberikan masukan dan saran dalam FGD hari ini. Sebagai alat kontrol sosial, media diharapkan dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia penyiaran,” kata Santi saat membuka diskusi itu.

Di tempat yang sama, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengungkapkan aturan tahapan Pilkada 2020 tidak jauh berbeda dengan penyelenggaraan dengan Pilkada 2018 lalu. Sayangnya, penyelenggaraan Pilkada 2018 lalu belum sepenuhnya terevaluasi secara baik, namun demikian pihaknya tetap berusaha memberikan pengawasan secara maksimal.  

Narasumber diskusi yang juga Dirut dan Pemred CNN Indonesia, Titin Rosmasari, menyinggung persoalan keterbatasan slot dan regulasi yang ketat padahal lembaga penyiaran banyak mendapatkan pemasukan dari momen tersebut. Dia juga menyoroti aturan yang lebih fokus pada pemberitaan dan iklan kampanye yang dinilainya tidak ramah kepada media. 

“Masa kampanye yang singkat ini menyulitkan kami. Lalu, batasan jumlah spot yang hanya 10, apakah boleh batasan iklan ini dibicarakan lagi untuk memberikan spot lebih banyak. Kemudian, durasi spot iklan hanya 30 detik. Larangan pemberian ucapan, ini kenapa dipermasalahkan, pengucapan selamat tahun baru, dan sebagainya menjadi wajar sepanjang tidak menyapaikan visi dan misi,” ujar Titin dalam presentasinya.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Neil Tobing, berbicara mengenai batasan dan berbagai larangan yang ada dalam Peraturan KPU. Menurutnya, aturan itu membuat banyak orang tidak tidak tahu visi dan misi dari seorang calon.

Dia juga mempermasalahkan aktifitas media sosial dalam kegiatan Pemilu. Menurutnya, hal ini harus diatur secara tegas dalam PKPU. “Media sosial harus diklarifikasi. Apakah KPU tidak sadar bahwa lembaga penyiaran itu memiliki struktur yang jelas,” kata Neil, salah satu narasumber diskusi. 

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, mengatakan di banyak negara, iklan kampanye di lembaga penyiaran diatur oleh lembaga terkait. Tapi di Indonesia diatur oleh KPU. “Sebenarnya KPI yang memiliki otoritas dan mengetahai regulasi iklan kampanye lebih detail dan konkret,” tegasnya, di sela-sela diskusi. 

Irsal juga mempermasalahkan metode pendidikan politik yang hinga hari ini dinilai belum jelas. “Peraturan yang berubah-ubah menjadikan KPI sebagai follower dan hanya mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Makanya KPI perlu didorong untuk membuat sebuah regulasi yang konkret,” tandasnya. ***

 

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meluncurkan buku “Mengawal Demokrasi: Dinamika Pengawasan Penyiaran Pemilu 2019”, yang mendokumentasikan kontribusi lembaga ini dalam perhelatan politik Pemilu 2019. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz menyampaikan apresiasi atas kerja KPI mendokumentasikan kinerjanya selama Pemilu. Bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Pers, KPI ikut tergabung dalam Gugus Tugas Pengawasan Penyiaran Pemilu 2019. Karenanya Meutya menilai, keterlibatan KPI tersebut merupakan andil besar dalam kelancaran pelaksanaan Pemilu lalu. 

Secara khusus Meutya juga meminta KPU membuat aturan tidak terlalu ketat sehingga membatasi akses dan hak publik atas informasi kepemiluan. Menurutnya, jika aturan dibuat terlalu ketat, media menjadi kesulitan memenuhi kebutuhan informasi Pemilu. Padahal dalam undang-undang penyiaran tertulis kewajiban bagi lembaga penyiaran menyiapkan waktu yang cukup untuk Peliputan Pemilu. Selain itu, tambah legislator dari Partai Golkar ini, kesenjangan informasi kepemiluan antara masyarakat dan peserta pemilu yang akan dipilih, dapat berujung pada praktek money politic yang akan mencederai demokrasi. 

Momentum peluncuran buku ini juga digunakan KPI untuk memberikan penghargaan kepada lembaga dan mitra terkait yang mendukung KPI dalam melakukan pengawasan penyiaran pemilu. Penghargaan tersebut diberikan kepada Komisi I DPR RI, KPU, Bawaslu, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dewan Pers, dan Perludem. 

Terkait buku ini sendiri, Ketua KPU yang hadir menerima penghargaan dari KPI menyatakan, buku ini merupakan sebuah legacy  yang sangat penting untuk pelajaran bagi generasi yang akan datang.  Buku ini mendokumentasikan pula hal-hal baik apa yang dapat diadopsi untuk Pemilu berikutnya, baik itu Pilkada 2020 ataupun Pemilu 2024 mendatang, ujar Arif. Catatan kritis dari KPI dapat dijadikan perbaikan bagi penyelenggara dan peserta pemilu nanti. Merujuk masukan dari KPI, ternyata kampanye 21 hari melalui iklan media massa, cetak dan elektronik dirasa tidak cukup. Arif mengatakan, berarti pada pemilihan kepala daerah yang  terdekat, ada kesempatan untuk melakukan perbaikan aturan. “Sebelum perhelatan yang lebih besar di Pemilu2024”, tegas Arif.

Selain itu, tambah Arif, KPU juga akan mencermati aturan tentang durasi penayangan dan periode kampanye di media elektronik. Hal ini terkait dengan teguran yang diberikan baik kepada peserta pemilu ataupun lembaga penyiaran karena ada beberapa iklan yang tidak sesuai dengan aturan. “Kalau memang regulasi yang ada sekarang tidak cukup mengatur perbaikan, kita dapat lakukan perbaikan regulasi”, tegasnya. 

Usai peluncuran buku, acara dilanjutkan dengan dialog khusus tentang kiprah KPI dalam pengawasan penyiaran pemilu 2019, bersama Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini, Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano Pariela, Nuning Rodiyah dan anggoda Bawaslu Afifudin.  

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyerahkan buku “Mengawal Demokrasi: Dinamika Pengawasan Penyiaran Pemilu 2019” kepada PerpustakaanNasional. Buku tersebut diserahkan Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Nuning Rodiyah kepada Kepala Pusat Pengadaan Bahan Pustaka Perpustakaan Nasional, Upriyadi. Penyerahan buku tersebut merupakan penunaian kewajiban KPI sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang nomor 13 tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Rekam. 

Dengan menyerahkan buku ini kepada Perpustakaan Nasional dan juga nantinya kepada Perpustakaan Umum Daerah (Perpumda) DKI Jakarta, Nuning berharap, kiprah kinerja KPI dalam mengawal demokrasi lewat pengawasan penyiaran pemilu 2019 dapat diambil pelajarannya oleh generasi mendatang. Buku ini diharapkan menjadi nara hubung pada sebuah lintasan sejarah bangsa ini. Bagaimana pun juga, kiprah KPI dalam mengawasi penyiaran pemilu merupakan sebuah pengalaman berharga. 

 

Hal serupa juga disampaikan Mayong Suryo Laksono selaku Komisioner KPI Pusat periode 2016-2019 sekaligus penanggungjawab penulisan buku ini. Mengutip sebuah peribahasa latin, “Verba Volant, Scripta Manent”, ujar Mayong. Kata-kata akan hilang tertiup angin, tapi tulisan itu akan menetap. 

Buku ini tentunya akan menjadi sebuah penghubung lintasan sejarah dari generasi ke generasi. Agar demokrasi di negeri ini menjadi jauh lebih baik dan lebih berkualitas, dengan pemanfaatan frekuensi penyiaran yang lebih adil dan penuh manfaat. 

 

Jakarta -- Peluncuran Buku “Mengawal Demokras: Dinamika Pengawasan Penyiaran Pemilu 2019” Komisi Penyiaran Indonesia, Rabu (4/12/2019) lalu, direspon positif stakeholder penyiaran termasuk pihak penyelenggara Pemilu. Buku tersebut dapat menjadi pembelajaran sekaligus evaluasi bagi penyelenggara Pemilu khususnya dalam membuat aturan yang detail terkait siaran dan iklan kampanye di media penyiaran, apalagi tahun depan akan berlangsung Pemilukada Serentak.

Salah satu yang perlu dikaji ulang oleh penyelengara Pemilu adalah waktu kampanye di media penyiaran. Berdasarkan aturan, peserta Pemilu hanya diberi waktu 21 hari untuk kampanye di media penyiaran. Waktu tersebut dinilai singkat dan cenderung kurang efektif jika arahnya ditujukan untuk pendidikan politik masyarakat. 

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan waktu 21 hari terlalu singkat bagi peserta Pemilu berkampanye di media penyiaran. Padahal masa kampanye pemilu 2019 cukup panjang hingga delapan bulan. “Hal ini justru akan menimbulkan berbagai modus dari peserta pemilu untuk berkampanye dengan tanpa memunculkan  visi, misi, program dan logo partai namun tetap bernada kampanye. Hal ini timbul karena singkatnya waktu kampanye di lembaga penyiaran,” katanya di sela-sela acara dialog usai peluncuran buku. 

Menurut Nuning, dengan memperpanjang waktu kampanye di media penyiaran, upaya meningkatkan elektabilitas pemilih dapat terwujud. Selain itu, rentang waktu tersebut dinilai cukup efektif memberi kesempatan partai politik melakukan pendidikan politik ke publik. “Ke depan, durasi kampanye di media penyiaran harus diperpanjang. Yang diperkecil itu cukup frekuensi iklan perharinya,” tuturnya.

Hal lain yang menjadi perhatian Nuning tentang larangan blocking time oleh peserta Pemilu dalam Peraturan KPU. Larangan ini justru mempersulit karena tidak sejalan dengan upaya penyelenggara untuk meningkatkan partisipasi dan sarana pendidikan politik. Menurutnya, yang perlu diatur adalah batasan berapa kali setiap peserta bisa melakukan blocking time. 

“Ini harus dibuka seluas-luasnya untuk pendidikan politik dan ini akan membuat lembaga penyiaran semakin nyaman menghitung berapa blocking time-nya. Jika sudah dibatasi misalkan sebanyak tiga kali maka tidak akan terjadi dominasi blocking time oleh peseta pemilu.  Pendidikan politik akan dapat dilakukan secara massif dengan pembatasan tadi,” tambahnya seraya berharap hal itu bisa diterapkan saat Pemilukada 2020 yang masa kampanye di media penyiaran hanya dua minggu.

Anggota Bawaslu Republik Indonesia, Mochamad Afifuddin, menyatakan sepakat jika waktu kampanye peserta Pemilu di media penyiaran ditambah dengan catatan tidak sepanjang masa kampanye Pemilu 2019. Dia mengusulkan durasi selama tiga bulan untuk peserta Pamilu kampanye di media penyiaran. Durasi yang lama akan memberatkan peserta dari segi pembiayaan dan juga pengawas seperti KPI.   

Dalam kesempatan itu, Afif menegaskan pentingnya kesamaan hak seluruh peserta Pemilu atau partai politik untuk bisa beriklan. Dia juga menyinggung peserta yang memiliki kemampuan dan punya TV untuk tidak bisa semau-maunya beriklan dalam kontestasi politik. Hal ini harusnya dapat dinarasikan dalam aturan berikutnya.

“Aturan kemarin agak berbeda. Ada juga dinamika yang menarik ketika kita bahas Pilkada 2018. Misalnya juga calon kepala daerah yang sudah main sinetron sebelum kampanye main lagi pas masa kampanye. Lalu, calon kepala daerah jadi pembawa azan di daerah. Ini menarik, kita harus memikirkan hal ini agar kesamaan hak para peserta dapat terjamin,” jelas Afif.

Komisioner KPI Pusat Periode 2016-2019, Dewi Setyarini, mengungkapkan adanya perbedaan aturan ketika menyikapi adanya temuan pelanggaran siaran kampanye. Menurutnya, KPI sebagai regulator penyiaran menggunakan semua hal yang masuk dalam kategori penyiaran. “Term itu yang kita pakai dalam keseharian,” katanya. 

Dewi mendorong adanya pembahasan bersama mengenai aturan terkait siaran Pilkada mendatang dengan penyelenggara Pemilu. “Karena ada hal yang berbeda dan berubah. Karena itu, kita harus mengantisipasi agar menghasilkan aturan yang detil,” tandasnya. ***

Ismid Hadad saat menerima penghargaan di malam Anugerah KPI 2019, Rabu (5/12/2019)

Jakarta – Tokoh eksponen Angkatan 66, Ismid Hadad, memperoleh penghargaan Pengabdian Seumur Hidup (lifetime achievement) oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam ajang Anugerah KPI 2019, Rabu (4/12/2019). Ismid Hadad dinilai KPI berkontribusi besar pada bidang penyiaran Indonesia baik dari segi pemikiran dan upayanya. 

Ismid pernah menjabat sebagai Kepala Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat. Melalui KAMI, dia menginisiasi berdirinya sejumlah radio yang berlatar perjuangan kala itu seperti Radio Amanat Penderitaan Rakyat dan Radio Arif Rahman Hakim. Berdirinya radio ini memicu munculnya radio-radio baru di sejumlah daerah. 

Setelah muncul banyak radio yang mengakhiri dominasi RRI dan TVRI, Ismid mendirikan Asosiasi Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Dia juga didapuk sebagai Ketua Umum PRSSNI untuk pertama kalinya.

“Sejarah dunia siaran pada saat ini hanya ada di RRI dan TVRI. Berkat perjuangan teman-teman yang waktu itu disebut Angkatan 66, telah membongkar monopoli tadi dan kemudian berdirilah Radio Ampera dan Arif Rahman Hakim. Setelah itu, penyiaran berkembang hingga sekarang, siaran tidak hanya ada RRI dan TVRI saja. Banyak berdiri radio di daerah dan juga TV swasta,” kata Ismid usai menerima penghargaan tersebut.

Ismid Hamid juga tercatat sebagai seorang pendiri dan sekaligus Direktur Eksekutif LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) dari tahun 1975 hingga 1980. Ia juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Yayasan KEHATI (Yayasan Keanekaragaman Hayati).

Di LP3ES, Ismid memberi perhatian besar pada masalah penyiaran dan jurnalistik. Hal itu dibuktikannya dengan mendirikan Radio Pendidikan Pemuda yang ditujukan bagi pemuda putus sekolah, pengangguran, dan masyarakat yang tinggal di daerah perkampungan kumuh di Jakarta. Ismid juga membuat majalah Prisma, sebuah jurnal pemikiran sosial ekonomi yang fenomenal. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.