Yogyakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berharap aplikasi online pemantauan siaran lokal di lembaga penyiaran induk berjaringan dapat membantu semua pihak dalam menghitung jumlah konten lokal yang disiarkan lembaga penyiaran. Pemenuhan konten lokal sebanyak 10% seperti yang diamanahkan Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002 menjadi terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan aplikasi online ini, baik SSJ ataupun OSS (online single submission), dibuat untuk mengawasi jatah wajib 10% konten lokal yang harus dipenuhi oleh lembaga penyiaran. “Aplikasi ini kami buat untuk mempermudah pelaksanaan pemantauan sistem siaran jaringan dan pemenuhan konten lokal tersebut,” katanya saat membuka Bimbingan Teknis Online Single Submission dan Pelaksanaan Pemantauan Aplikasi SSJ di Galeri Prawirotaman, Yogyakarta, Kamis (6/2/2020).

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, menyatakan pembicaraan SSJ dikondisi sekarang mestinya sudah meningkat lebih dari 10%. Menurutnya, porsi konten lokal sudah seharusnya lebih mendominasi. 

“Sepantasnya hari ini kita tidak lagi bicara 10 % tetapi 50 % konten lokal, jadi dalam hal ini lembaga penyiaran itu pantasnya adalah lebih banyak siaran lokal,” katanya.

Reza berujar bahwa dengan adanya aplikasi ini dapat terlihat bagaimana lembaga penyiaran melaksanakan komitmen atau tidak terhadap produksi konten lokal. “Jadi bila melanggar komitmen tersebut tentu akan dapat kita tegur atau kita tagih dengan melakukan pemeriksaan pemenuhan komitmen atau post audit,” jelas Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran atau PS2P KPI Pusat.

Dia juga menyampaikan tentang laporan KPID ke KPI Pusat yang menyebutkan semua lembaga penyiaran lokal menyiarkan 10% konten lokal. Memang ada beberapa bulan dan beberapa provinsi tidak menayangkan konten lokal tetapi secara menyeluruh memenuhi 10%. 

“Karena itu kami membutuhkan catatan dari KPI Daerah mengenai hal itu agar catatan tersebut dapat kami tindak lanjuti. Sehingga hal ini nanti menjadi catatan KPI Daerah sebagai acuan evaluasi tahunan berikutnya. Dan ketika lembaga penyiaran memberikan data tentang program siaran konten lokal, kami mengharapkan KPI Daerah untuk cek betul program siaran konten lokal apakah sesuai data yang dikirimkan oleh lembaga penyiaran tersebut,” jelas Reza.

Dalam kesempatan itu, Reza memantik diskusi tentang boleh tidak siaran lokal dari daerah lain dimasukkan ke dalam daerah lain (antar daerah). Misalnya, Provinsi Sulawesi Utara mendapatkan siaran lokal dari Sulawesi Barat, maka Sulawesi Utara harus memproduksi konten lokal 90 % dan 10 % dari daerah lain. “Ini hanya sebatas diskusi saja,” sahutnya di tempat yang sama.

Sementara itu, Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika, Geryantika, menegaskan proses perizinan yang sekarang ini dibuat simpel agar tidak bertele-tele. Harapannya, proses perizinan yang dilakukan lembaga penyiaran bisa dijalankan dengan cepat. 

“Namun begitu, Kominfo masih bergantung pada KPID dan Balai Monitoring karena yang tahu kondisi di lapangan adalah dua pihak itu,” kata Gery yang menjadi narasumber Bimtek tersebut. ***

 

 

Jakarta - Literasi media merupakan usaha intervensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menghadirkan program siaran yang berkualitas baik di televisi dan radio. Lewat literasi media ini, masyarakat diedukasi tentang program-program mana yang layak untuk ditonton dan mana yang tidak. Harapannya dengan hadirnya kesadaran yang baik ini, selera konsumsi masyarakat pun jadi lebih baik, hanya menonton program yang berkualitas baik. Hal ini disampaikan Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan,Hardly Stefano Pariela, pada Seminar Literasi Media yang dilaksakanakan dalam rangka Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa oleh KPI Pusat di Universitas Negeri Surabaya, Jawa Timur (06/02). 

Dalam kesempatan tersebut, Hardly menjadi pembicara bersama dengan Sekjend Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar serta artis senior sekaligus sutradara sinetron Deddy Mizwar. Turut hadir pua memberikan sambutan kunci, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz. 

Di hadapan peserta seminar yang didominasi kalangan akademisi dari perguruan tinggi dan sekolah menengah ini, Hardly menjelaskan penyebab program siaran di televisi dan radio masih kerap kali melangar regulasi penyiaran. Pertama, kualitas pembuat konten (content creator) yang rendah. Kedua, sistem proses produksi yang kejar tayang. Ketiga, tim produksi kurang memahami regulasi penyiaran.  Keempat, kelalaian dari lembaga penyiaran dalam menjaga kualitas siaran. Serta yang kelima adalah program tersebut disukai pemirsa yang dibuktikan dengan peroehan share dan rating yang tinggi. “Pada poin kelima inilah, literasi media hadir untuk mengintervensi selera masyarakat,” ujar Hardly. 

 

 

 

Masyarakat harus paham juga bahwa masih banyak program-program siaran di televisi yang memiliki kualitas baik. Namun konsumsi siaran televisi hingga saat ini justru masih didominasi pada program hiburan yang justru kecenderungan untuk terjadi pelanggaran regulasi siaran lebih banyak. Selain itu, terhadap program-program yang menjadi favorit dan dianggap memberi banyak inspirasi, Hardly berharap dapat lebih sering dibicarakan lewat ruang-ruang publik. Apreasiasi publik terhadap program-program yang baik ini menjadi feedback yang sangat berharga untuk kalangan televisi. “Apresiasi masyarakat terhadap program berkualitas, akan meningkatkan kepercayaan diri para pelaku di industri penyiaran untuk terus memproduksi program tersebut secara berkesinambungan,”ujarnya. 

Hardly juga memberikan tips singkat untuk menjadi penonton yang cerdas di hadapan media. Tips tersebut adalah, perhatikan klasifikasi program siaran, pilih siaran yang bermanfaat, batasi dan dampingi anak dalam menonton, laporan program siaran yang buruk, serta apresiasi dan viralkan program siaran yang baik. Tips ini, menurut Hardly, dapat menjadi sebuah kontribusi dari masing-masing individu untuk melanggengkan hadirnya program-program berkualitas di layar kaca dan getar radio kita. Hardly pun terus mengajak publik untuk terus bergerak karena mewujudkan konten siaran yang baik dan berkualitas adalah tanggung jawab bersama. 

 

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat member sambutan di Kick Off Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa di Kampus UNESA, Surabaya, Kamis (6/2/2020).

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meresmikan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) untuk menguatkan hak publik atas pengawasan dan peningkatan kualitas siaran televisi dan radio. Peresmian GLSP ini dilakukan oleh Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz dalam kegiatan Seminar Literasi Media di kampus Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Jawa Timur (06/02). Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan yang merupakan penanggung jawab GLSP, Nuning Rodiyah mengatakan, gerakan ini bertujuan mengajak pemirsa untuk lebih kritis menanggapi pesan media melalui televisi dan radio. “Apa yang disampaikan oleh media itu tidaklah bebas nilai, karenanya masyarakat harus punya keterampilan dalam mengonsumsi media, sehingga tidak mudah terpengaruhi jika muatan media yang hadir tidak sesuai dengan norma yang ada di tengah masyarakat,” ujar Nuning.

Gerakan GLSP ini digagas KPI sebagai pelaksanaan undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang  mengamanatkan KPI bersama masyarakat untuk melakukan literasi media. Pada tahun ini literasi media akan dilaksanakan dalam berbagai format acara, seperti seminar, talkshow di televisi dan radio ataupun sosialisasi literasi media pada berbagai even publik. Sebelumnya literasi memang sudah menjadi kegiatan rutin KPI melalui seminar di berbagai daerah yang mengikutsertakan berbagai elemen masyarakat, baik dari kalangan perguruan tinggi, organisasi kepemudaan ataupun organisasi masyarakat lainnya.

Pada tahun 2020, Nuning mengatakan, KPI ikut menggandeng pengelola televisi dan radio untuk ikut serta dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa. Pada kesempatan Seminar Literasi Media di Surabaya ini misalnya, KPI menghadirkan artis senior sekaligus sutradara sinetron yang berulang kali mendapatkan penghargaan dari KPI, Deddy Mizwar. “Kehadiran Deddy Mizwar dalam Literasi Media ini sangat penting, untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa masih ada sinetron karya anak bangsa yang memiliki kualitas baik,” ujar Nuning.  Selain itu, diharapkan dapat menginspirasi para pelaku industri penyiaran untuk ikut serta membuat siaran yang berkualitas di tengah masyarakat.

Televisi hingga saat ini masih menjadi media rujukan utama masyarakat di Indonesia, sekalipun pertumbuhan internet juga sudah semakin tinggi. Karenanya KPI menilai literasi media kepada publik harus lebih dimasifkan lagi. “Dengan teknologi informasi yang semakin berkembang serta mudahnya masyarakat mengakses informasi, justru literasi media harus lebih gencar disosialisasikan,” tukas Nuning. Membekali masyarakat dengan keterampilan literasi menjadi cara melindungi bangsa ini dari konten-konten negatif seperti hoax, hatespeech, pornografi dan kekerasan yang potensial turut hadir sebagai residu dari kemajuan teknologi.

Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, dan Deddy Mizwar di acara peluncuran "Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa" di Auditorium Kampus Universitas Negeri Surabaya, Kamis (6/2/2020).

Surabaya -- Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz mengatakan, kemajuan teknologi informasi termasuk teknologi penyiaran harus dibarengi dengan pendidikan atau literasi di dalamnya, sehingga industri penyiaran dapat bertahan. Menurutnya, dua hal ini yakni kemajuan teknologi dan literasi, merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan.

"Kreatifitas dan Berkualitas menjadi kunci utama bagi industri penyiaran untuk bertahan, jika melihat sosial media memang mereka menghibur akan tetapi dari segi kualitas, misalnya informasi yang beredar belum terverifikasi dengan benar," kata Meutya Hafidz saat menjadi keynote speech di acara Kick Off Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa yang diselenggarakan KPI di Universitas Negeri Surabaya, Kamis (6/2/2020).

Dalam kesempatan itu, Meutya berharap dari literasi ini masyarakat dapat menyeleksi dan memilah tayangan yang baik dan berkualitas. Menurutnya, semakin masyarakat memilih tayangan yang baik dan bermutu itu, jumlah tayangan tersebut semakin berkembang.

Dia juga berharap tayangan hiburan yang jumlah banyak di layar kaca kita dapat menjadi tayangan yang informatif dan mencerdaskan. “Kita pun meminta peran masyarakat untuk kritis dan membantu KPI melakukan pengawasan terhadap tayangan.Saya juga berharap peran akademisi untuk mewujudkan tayangan Indonesia yang cerdas, menghibur dan mempersatukan kita,” kata Meutya.

Sementara itu, Dedy Mizwar, dalam pemaparannya, menyebutkan pentingnya menumbuhkan kreativitas dalam diri anak-anak kita. Menurutnya, pekerjaan yang tidak akan dimakan perkembangan teknologi adalah kreativitas.

"Pekerjaan yang tidak akan tergantikan oleh adanya robot atau mesin adalah kreativitas. Karenanya, para guru harus dapat memberi dorongan pada siswa untuk memicu berkembangannya kreativitas mereka misalnya melalui penciptaan konten-konten film pendek oleh kalangan siswa," kata Deddy.

Dedy juga mengusulkan berdirinya banyak lembaga penyiaran komunitas di setiap desa di tanah air. Kehadiran TV atau Radio Komunitas di desa akan memberi ruang bagi masyarakat membuat konten tentang desanya. Selain itu, adanya lembaga penyiaran ini dapat menjadi wadah informasi bagi masyarakat desa mengenainya daerahnya. ***

 

Surabaya – Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengungkapkan bahwa era digital telah menjadi fenomena baru seiring akselerasi teknologi digital. Demokrasi digital merupakan bentuk persilangan antara demokrasi dengan digitalisasi dan itu terjadi di era Revolusi Industri 4.0 saat ini.

Yuliandre yang pernah menjabat sebagai Ketua KPI Pusat periode 2016-2019 ini menyatakan bahwa berkat kemajuan teknologi digital, proses demokrasi konvensional semakin banyak terdisrupsi. Salah satunya terkait pola relasi antarwarga negara serta antara pemerintah dengan warga negara. “Kemunculan fitur berita online menjadi peluang baru bagi media cetak. Pembaca juga semakin banyak yang menikmatinya,” kata Yuliandre saat di temui di Surabaya, Jawa Timur (5/2/2020).

Yuliandre menilai portal media baru menawarkan kemudahan dalam mencari berita kepada pembaca. Banyaknya pilihan berita dalam halaman dan disertai penggunaan navigasi yang mudah menjadi daya tarik pembaca saat ini. 

Beberapa media online saat ini juga sudah merambah dalam platform media baru. Media semakin dekat dengan kehidupan masyarakat dan mudah didapatkan dengan hanya menggunakan telepon pintarnya.

Setelah mengamati, Andre sapaan akrabnya memandang dampak perkembangan teknologi terhadap media dulu dan sekarang, maka perlu melihat bagaimana media baru di masa mendatang. Media masa kini saja masih sangat perlu diperhatikan dalam hal kemampuan wartawan yang dituntut mencari berita dengan cepat karena kebutuhan informasi secara online sangat dibutuhkan. 

“Saat ini, wartawan sudah dituntut untuk menambah skill dan kecepatan dalam mengolah berita maupun kemampuan multimedia dengan menggunakan teknologi sangat dibutuhkan media online,” ujar Andre.

Merujuk hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 mencatat bahwa jumlah pengguna internet mencapai 171,2 juta orang atau 64,8 persen total populasi penduduk Indonesia. Andre mengklaim pengguna internet akan semakin bertambah setiap tahun. 

Menyikapi hal ini, Andre berpandangan bahwa saat ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menyadari UU Penyiaran yang ada sekarang belum mengakomodasi pengawasan terhadap media baru. 

Namun KPI tetap optimis dengan langkah pertama yang pihaknya bahwa UU penyiaran baru akan memberikan wewenang pada KPI untuk mengawasi media baru tersebut. Ia menegaskan, kalaupun nantinya UU Penyiaran tak juga disahkan, UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang telah ada saat ini sebenarnya juga mengakomodir KPI untuk melakukan pengawasan terhadap media baru.*

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.