Nunukan - Mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI membuat pemerintah mulai habis kesabaran. Pemerintah membuka wacana untuk mengeluarkan aturan alternatif terkait industri penyiaran di Indonesia.

“Saya tidak keberatan untuk mengeluarkan aturan baru terkait penyiaran. Bahkan kolega saya di DPR menyarankan agar pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk kemudian minta persetujuan parlemen,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara usai meresmikan digitalisasi penyiaran bagi daerah perbatasan di GOR Dwikora, Nunukan, Kalimatan Utara, Sabtu (31/8/2019).

Rudiantara mengungkapkan, idealnya pemerintah menunggu DPR untuk dalam melakukan pembahasan revisi UU No.32/2002 tentang Penyiaran. Hal ini terutama berkaitan dengan digitalisasi siaran televisi. Namun hingga jelang berakhirnya masa jabaran anggota DPR periode 2014-2019, RUU tersebut belum juga disahkan.

“Sejak awal saya menjadi menteri hingga hampir berakhir, pembahasan RUU-nya tidak juga tuntas,” ujarnya.

Terkait digitalisasi siaran TV, Rudiantara mengungkapkan, proses inisiasi TV digital sudah mulai sebelum 2010. Selain itu, pemerintah juga sudah menguji coba siaran TV digital lebih dari dua tahun.

“Persoalannya untuk menyelenggarakan penyiaran digital secara penuh, analognya dihilangkan dan pindah ke digital harus merevisi UU Penyiaran,” ujarnya.

Bahkan apabila dimungkinkan, tambah Rudiantara, pemerintah bisa membuat regulasi terkait digitalisasi siaran televisi ini tanpa mengacu ke UU Penyiaran. Hal ini pernah terjadi ketika pemerintah menerapkan aturan mengenai layanan ojek online yang tidak mengacu ke UU mengenai transportasi.

“Ojek online saja tidak ada aturannya, tapi bisa diterapkan. Kenapa tidak kita coba untuk digitalisasi siaran televisi ini. Toh publik juga tidak dirugikan,” ujarnya.

Menurut Rudiantara, penggunaan siaran tv digital akan lebih mengefisiensikan penggunaan frekuensi ketimbang siaran analog. Di samping itu, siaran TV digital bisa memberikan ruang untuk penggunaan frekuensi untuk kebutuhan lain di samping kualitas gambar yang lebih baik.

“Kelebihan frekuensi itu bisa untuk broadband dan sebagian untuk (teknologi antisipasi) kebencanaan,” paparnya. Red daru mediaindonesia

 

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, bersama narasumber saat pemaparan di depan peserta Rapat Kerja Teknis (Rakernis) 2019 Humas Polri yang dihadiri seluruh Humas Polda Provinsi, di  Mabes Polri, Kamis (29/8/2019).

Jakarta – Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengharapkan kerjasama yang sudah digalang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait permasalahan penyiaran dapat diterapkan oleh Polda dan KPID di setiap Provinsi. Jalinan dua instasi ini akan melahirkan solusi dan kebijakan jika timbul permasalahan penyiaran di daerah. 

“Saya sangat berharap Humas Polda di setiap provinsi dapat menjalin kerjasama dengan KPID. Apalagi tahun depan akan berlangsung Pilkada di sebagian besar wilayah di negara ini. Komunikasi antara humas Polda dan KPID akan menyelesaikan kasus yang mungkin sama yang pernah terjadi di pusat,” kata Hardly di depan peserta Rapat Kerja Teknis (Rakernis) 2019 Humas Polri yang dihadiri seluruh Humas Polda Provinsi, di  Mabes Polri, Kamis (29/8/2019).

Di awal pemaparan, Hardly menceritakan bentuk kerjasama KPI dengan Polisi dalam kaitan program jurnalistik. Menurutnya, penanganan program ini akan berhadapan dengan sisi kebebasan pers karena kebebasan pers itu diartikan siapapun tidak boleh menghalang-halangi kegiatan jurnalistik atau liputan serta publikasi liputan tersebut. 

“Dalam konteks program jurnalistik ini, KPI selalu mengatakan kebebasan pers itu harus sejalan dengan kepentingan publik. Kebebasan pers itu bukan demi kepentingan pers sendiri, tetapi harus untuk kepentingan publik,” kata Hardly.

Selain itu, dalam konteks program siaran, termasuk jurnalistik, konflik merupakan hal yang menarik perhatian pemirsa. Hardly menceritakan, upaya KPI dalam menjaga situasi tetap kondusif ketika demontrasi yang berjilid-jilid imbas Pilkada DKI. 

“Saat itu, demontrasinya berjalan damai, tapi ketika massa dibubarkan pada sorenya, di beberapa titik terjadi konflik. Pada saat itu, ada beberapa TV yang dengan sengaja mengambil angle titik konflik tersebut untuk disiarkan. Bahkan, ada satu stasiun televisi yang dengan sengaja menampilkan visualisasi ban terbakar secara close up, sehingga dapat menimbulkan kesan Jakarta terbakar. Karena pada saat itu adalah siaran live, maka KPI langsung berkomunikasi dengan pimpinan redaksi stasiun televisi, agar dapat berhati-hati dalam memilih visualisasi maupun narasi yang akan disampaikan agar tidak menimbulkan ekses negatif,” terang Hardly. 

Kebijakan KPI lainnya terkait program siaran jurnalistik adalah pada saat demo pengumuman penetapan pemenang Pemilu 2019 di depan Bawaslu. Ada beberapa lembaga penyiaran yang menyiarkannya secara live, mulai sore hingga keesokan harinya. Hal itu, kata Hardly, membuat KPI mendapat beberapa aduan publik karena dianggap melakukan pembiaran liputan yang mengandung kekerasan.

“Saat itu, KPI memilih membiarkan, karena di satu sisi lembaga penyiaran masih cukup proporsional dalam menyampaikan peristiwa tersebut, tidak ada eksploitasi kekerasan, dan masyarakat membutuhkan update informasi tentang dinamika demonstrasi yang sedang terjadi. Di sisi lain juga beredar dan viral berbagai video amatir di media sosial, yang mengklaim sebagai rekaman dari peristiwa di sekitar kantor bawaslu. Beberapa dari video amatir yang viral tersebut terkesan tendensius dan belum tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Supaya informasi tentang kejadian demonstrasi itu tetap obyektif, maka kami memilih melakukan pembiaran pada lembaga penyiaran yang melakukan liputan live. Meskipun catatan dari KPI terkait liputan itu, sampai dengan keesokan harinya seluruh liputan adalah live dari lapangan. Hampir tidak ada penyampaian informasi dari studio yang bersumber pada pihak yang memiliki otoritas memberikan penjelasan resmi. Ini juga sekaligus kritik terhadap Humas Polri,” jelas Hardly. 

Hardly meminta, pada setiap liputan live, stasiun televisi harus mencari sumber resmi untuk menjelaskan dinamika dan memberikan konteks terhadap liputan dari lapangan. 

Dalam kesempatan itu, Hardly meminta seluruh Polda untuk senantiasa mengedepankan asas praduga tak bersalah dengan tidak memberi keterangan terbuka soal identitas pelaku kejahatan. “Kadang-kadang medianya sudah patuh tetapi ketika polisi di wawancara malah menyebut nama pelaku. Harusnya jika menggunakan asas tersebut, identitasnya tidak disampaikan,” katanya. 

Kemudian pada proses pemeriksaan, di dalam P3SPS KPI diatur bahwa pemeriksaan yang sedang dilakukan oleh kepolisian, tidak boleh ditampilkan di layar kaca. “Tetapi masih saja kami temukan ada kejadian ini. Televisi justru diizinkan untuk menyiarkan proses pemeriksaan itu dan tentunya media yang diberi kesempatan, akan senang karena mendapat liputan ekslusif,” jelas Hardly. 

Tak kalah pentingnya, soal perlindungan terhadap anak dan remaja dalam kaitan kasus hukum. Hardly menegaskan, identitas anak dan remaja harus disembuyikan baik posisi sebagai pelaku maupun sebagai korban. “Indentitas mereka tidak dibuka secara luas karena alasan masa depan dan psikologis, larangan itu diatur dalam P3SPS,” tuturnya. 

Hal lain yang disampaikan Hardly soal program non jurnalistik seperti reality show tentang polisi. Dia mengapresiasi program ini dapat memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat. Tapi yang penting diperhatikan adalah jika kasusnya melibatkan anak-anak karena tidak boleh indentitasnya terbuka. 

“Terhadap program acara polisi melalui reality show sangat menarik untuk mengenalkan polisi kepada generasi milenial dan juga membuat masyarakat bisa memberi apresiasi positif pada polisi,” tandasnya. ***

 

Tangerang - Keberadaan radio di era digitalisasi saat ini banyak menghadapi tantangan. Laporan yang diterima Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Republik Indonesia,  menyimpulkan bahwa lebih dari setengah kaum melinial ketika mendengarkan siaran radio tidak lagi mengunakan media radio tetapi mengunakan ponsel. 

Hal itu diungkapkan Menteri Kominfo, Rudiantara, dalam sambutannya usai mengukuhkan pengurus Persatuan Radio TV Publik Seluruh Indonesia periode 2019-2023 di Hotel Atria Tangerang, Banten, Rabu  (28/08/19). Dalam kesempatan itu, hadir Bupati Kabupaten Tangerang, Ahmad Zaki, Kepala Dinas Kominfo Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).

Rudiantara mengatakan, tantangan tersebut harus jadi perhatian pengelola Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) agar tidak ditinggal pendengarnya. Menurutnya, LPPL harus menyiapkan konten yang berisi informasi menarik dengan sajian hiburan yang baik, bukan hanya bagaimana cara menyajikan tapi harus menyiapkan konten yang baik dan bermutu. "Saat ini, siapa yang menguasai konten, maka dia akan menjadi pemenang dalam konteks brodcasting," jelasnya.

Menjawab pernyataan Ketua Persada.Id, Saifullah Yusuf tentang keberadaan LPPL yang selama ini vakum dan tidak tertata dengan baik, Rudiantara berharap hadirnya Persda.ID dapat mengawal revisi perubahan UU Penyiaran.

"Memang kita sedang menunggu revisi UU Penyiaran, saya berharap Persada.Id bisa berkontribusi dalam penyiapan amandemen revisi UU penyiaran agar porsinya lebih jelas, LPPL berada dimana," kata Rudiantara.

Sebelumnya, Ketua Persada.Id, Saifullah Yusuf, menyebutkan ada lima rekomendasi hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I Persada.Id. Rekomendasi ini akan diperjuangkan dalam upaya menumbuhkembangkan keberadaan LPPL di daerahm, selain sebagai mitra strategis pemerintah dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa.

"Ada beberapa hal yang dihasilkan dalam rekomendasi Persada.Id diantaranya peningkatan SDM insan penyiaran dan meminta dukungan pemerintah daerah melalui Menteri Kominfo agar pengelola LPPL daerah diperhatikan sehingga dapat berkembang," ujar Saifullah Yusuf.

Sementara itu, Komisioner KPID Sulbar, Busran Riandhy mengatakan, kehadiran Persada.ID diharapkan dapat memberi pembinaan sekaligus mitra kerja LPPL di daerah. Selain itu, menjadi tandem KPID dalam mendorong pemerintah daerah agar intens dan peduli terhadap kehadiran radio dan TV publik. 

"Kita di Provinsi Sulbar hanya ada dua Kabupaten yang memiliki LPPL Radio dan belum ada LPPL TV Publik. Padahal, LPPL ini dibutuhkan selain sebagai hiburan juga menjadi media bagi pemerintah menyampaikan program dan sosialisasi dan capaian kinerja," ujar Busran. Red dari Humas KPID Sulbar

 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, berjabat tangan usai menerima klarifikasi dari El Shinta, Kamis (29/8/2019).

Jakarta – Radio Elshinta memenuhi undangan klarifikasi KPI Pusat, Kamis (29/8/2019), guna menjelaskan salah satu program siaran yang diadukan masyarakat karena dianggap bermuatan SARA. Penjelasan yang disampaikan Elshinta menjadi bahan pertimbangan KPI untuk memutuskan apakah siaran tersebut melanggar atau tidak dalam rapat pleno putusan penjatuhan sanksi. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, yang menerima pihak El Shinta mengatakan, apa yang disampaikan Elshinta akan menjadi bahan kajian sebelum memutuskan sanksi. “Kami harus mendengarkan dulu penjelasan dari pihak yang diadukan dan untuk kemudian ditindaklanjuti penjelasan ini ke dalam rapat,” tuturnya pada perwakilan Elshinta yang hadir di Kantor KPI Pusat.

Menurut Mulyo, aduan soal SARA harus dicermati dan disikapi secara hati-hati oleh lembaga penyiaran karena ini perkara sangat sensitf. 

“Yang harus dipahami adalah frekuensi merupakan ruang publik yang bisa akses siapapun dan karenanya tidak boleh sembarang membahas hal-hal yang negatif dan dapat menyinggung pihak-pihak lain, terlebih soal SARA. Jadi, setiap siaran radio harus memperhatikan ruang publik tersebut,” jelas Mulyo.

Kepada KPI, Wakil Pemimpin Redaksi El Shinta, Haryo Ristamiji, menyatakan meminta maaf atas siaran salah satu program radionya yang diduga berbau unsur SARA. Elshinta menegaskan tidak berniat buruk sedikitpun untuk menjelekan atau menghina kelompok tertentu melalui siarannya. 

“Tidak ada faktor kesengajaan untuk menyebarkan hal itu. Kita sangat menjaganya dan menjunjung tinggi etika jurnalistik dan etika siaran di udara. Kami siap membuka diri untuk diskusi terkait laporan tersebut.” katanya.  

Haryo juga menceritakan, Elshinta sudah menjalankan SOP yang berlaku sebelum siaran dimulai. Pihaknya juga telah meminta narasumber terkait hal tersebut meminta untuk berhati-hati  ketika berbicara di ruang publik. “Kami jadi lebih mawas diri ketika siaran langsung. Kami juga sudah merespon hal itu dan berbicara langsung dengan pengadu,” jelasnya.

Usai memberi klarifkasi, pihak Elshinta menandatangani berita acara yang dibuat tim Isi Siaran KPI Pusat. ***

 

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Nuning Rodiyah, saat menerima kunjungan DPRD Provinsi Babel guna mengkonsultasikan rencana Perda tentang televisi berlangganan di Kantor KPI Pusat, Kamis (29/8/2019).

Jakarta -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) tengah mempersiapkan rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengaturan Televisi Berlangganan. Peraturan ini diharapkan dapat memberi perlindungan hak-hak masyarakat serta memberdayakan eksistensi KPID Babel dalam pengawasan isi siaran TV Kabel meskipun saat ini mengalami kesulitan anggaran karena hanya dibantu dana hibah pemerintah daerah.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perda, Harpan Effendi mengemukakan, tujuan DPRD datang ke KPI Pusat untuk meminta masukan terkait rencana membuat Perda tentang televisi berlangganan. Perda ini untuk mengatur keberadaan televisi belangganan atau kabel yang mulai banyak bersiaran di wilayah Babel khususnya Kota Pangkal Pinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Babel.

“Saat ini jumlah televisi kabel di kota Pangkal Pinang ada lima. Kita ingin keberadaan televisi kabel dan penyiaran di Babel taat aturan dan memberi kontribusi positif bagi pengembangan daerah,” katanya pada Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano di Kantor KPI Pusat, Rabu (28/8/2019). 

Menanggapi niat itu, Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah, mengatakan persoalan penyiaran di daerah tak bisa dilepaskan dari peran KPID. Keberadaan KPID sangat penting terutama dalam pengawasan lalu lintas siaran di daerah. Apalagi tahun depan akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di hampir sebagian besar dari di tanah air. 

“Selain itu, maraknya televisi kabel di daerah harus jadi perhatian dan aturan yang akan dibuat harus merujuk pada regulasi yang berlaku. Yang perlu saya sampaikan bahwa ada perlakuan berbeda antara televisi berlangganan dengan televisi free to air atau teresterial,” kata Nuning.

Dalam kesempatan itu, Nuning mendorong DPRD memberi perhatian besar pada KPID jika Perda tersebut akan mengoptimalkan fungsinya sebagai pengawas siaran televisi kabel. Menurutnya, pengadaan infrastruktur pengawasan harus disiapkan dan kualitas sumber daya manusianya ditingkatkan. “Alat tersebut dibutuhkan sebagai bukti jika terjadi pelanggaran dalam siaran,” jelasnya.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano, mengingatkan Perda yang dibuat harus mengacu pada pasal-pasal tentang pengaturan lembaga penyiaran berlangganan dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Pembahasan tentang lembaga penyiaran ini sangat berkaitan dengan self censorship atau kebijakan sensor internal. 

“Sensor internalnya akan berbeda dengan sensor internal yang dilakukan televisi free to air karena televisi kabel berbayar. Dan, ini berkaitan penyedian parental lock oleh televisi kabel untuk mencegah anak-anak dan remaja menonton tayangan yang bukan peruntukan,” jelas Hardly.

Menurut Hardly, perbedaan lain yang harus jadi perhatian dalam Perda tersebut adalah televisi berlangganan memberlakukan sistem saluran atau kanal, sedangkan televisi free to air jam tayang. “Jadi, kanal yang ada di televisi berlangganan terbagi jadi saluran anak dan saluran untuk dewasa. Adapun di televisi free to air menggunakan kebijakan jam tayang anak dan jam tayang dewasa. Ini harus diperhatikan,” tegasnya.

Hardly juga mengusulkan Pansus memperhatikan pengaturan tentang komposisi televisi lokal maupun nasional dengan siaran asing. Pengaturan ini untuk mengakomodasi LPS dan LPP (lembaga penyiaran publik) minimal 10% dari keseluruhan kanal yang disediakan televisi berlangganan.  “Televisi lokal harus masuk dalam persentase itu. Selain juga kewajiban menyiapkan satu saluran yang menyiarkan  berbagai hal tentang Babel. Upaya ini untuk memperkaya khazanah keberagaman lokal dalam siaran,” pintanya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.