- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 2390
Mentok – Anak-anak berhak mendapatkan siaran (informasi dan hiburan) yang layak dan sepadan. Di sisi lain, masih banyak konten siaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi psikologis mereka. Untuk melindungi anak dari dampak buruk siaran yang tak layak tersebut, partisipasi orang tua diperlukan lewat pendampingan.
Anggota KPI Pusat Evri Rizqi Monashi mengatakan, pendampingan terhadap anak saat mengkonsumi media merupakan salah satu bentuk perhatian sekaligus pengawasan dari orang tua. Bentuk lainnya berupa pembatasan waktu konsumsi atau menonton TV dan memilih tayangan (film) yang sesuai dengan usianya.
“Saat pendampingan, orang tua dapat mengingatkan anaknya tentang hal-hal baik yang patut ditiru dari tayangan yang ditonton. Anak-anak harus kita berikan pemahaman tentang nilai-nilai positif tersebut,” kata Evri secara daring dalam acara literasi yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Rabu (2/8/2023) kemarin.
Fungsional Perencanaan Ahli Madya dari KemenPPPA, Thomas Rizal, menyatakan proses pendampingan merupakan salah satu bentuk pola pengasuhan positif dalam rangka melindungi anak dari siaran atau hal-hal yang buruk. “Untuk mendapatkan informasi yang baik itu perlu pengasuhan yang baik. Supaya mereka dapat tumbuh kembang dengan baik,” ujarnya di acara literasi bertema “Peran Orang Tua Dalam Pengawasan Siaran Anak Untuk Mewujudkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak”.
Berdasarkan data dari BPS tahun 2022 bahwa jumlah anak usia dini mencapai 30,73 juta atau 13% dari total jumlah penduduk Indonesia. Adapun jumlah keluarga di Indonesia berdasarkan data dari BKKBN di tahun 2021 mencapai 87,83 juta keluarga.
Menilik angka itu, Rizal menyatakan anak-anak Indonesia membutuhkan perhatian (orang tua dan keluarga) besar. Wujud perhatian dengan membangun kelekatan dan kasih sayang melalui dialog atau diskusi.
“Diusahakan disaat anak-anak melihat televisi kita temani. Karena mungkin ada tayangan yang kurang layak buat mereka. Kita terangkan dan jelaskan. Kalau memang kontennya sudah mengarah ke negatif, kita alihkan siarannya,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPID Babel, Sonya Anggia Sukma menegaskan, kelayakan informasi dan isi siaran untuk anak tidak lepas dari tanggungjawab orang tua. Menurutnya, orang tua harus memberi pengawasan maksimal untuk anaknya. Apalagi sekarang teknologi komunikasi makin maju.
Kekhawatiran perempuan satu-satunya di kepengurusan KPID Babel ini cukup beralasan. Dia menilai orang tua saat ini cenderung membiarkan anak-anaknya (usia dini) bebas mengakses gadget (gawai mandiri). Padahal, risiko dari paparan konten media baru di gadget lebih mengerikan ketimbang siaran TV atau radio.
“Ini kesalahan yang fatal. Kalau anak nangis, langsung dikasih HP. Inikan bentuk penyelesaian yang tidak membangun. Hanya agar anaknya berhenti menangis, mereka membiarkan anaknya mengakses HP,” kata Sonya.
Meskipun ia menganggap siaran TV dan radio tergolong aman, tidak semuanya ramah terhadap anak. Di sinilah peran orang tua yang dominan. Akses memilih siaran ada di tangan mereka. “Fungsi kita mengendalikan tontonan mereka. Kita pilihkan anak-anak kita tontonan atau siaran yang baik, sesuai untuk mereka,” ujarnya.
Di awal acara, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Kabupaten Bangka Barat, Ridwan, membacakan sambutan dari bupati yang meminta kontribusi televisi agar lebih banyak memproduksi konten berkualitas. Bupati juga meminta supaya orang tua melakukan pengawasan terhadap anaknya. Hal ini untuk memastikan anak-anak tersebut menonton siaran yang baik.
“Anak-anak adalah sosok yang harus kita lindungi. Melindungi dari segala bentuk hal yang tidak baik. Ke depan kami berharap akan makin banyak tayangan yang sesuai dengan anak, bermanfaat dan edukatif. Ini demi terciptakan manusia Indonesia yang berkualitas,” tuturnya. ***