- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 7735
Banyumas – Sensor tayangan di televisi tak harus mengandalkan lembaga sensor yang ada. Peran sensor itu dapat dimulai dari masyarakat dengan kemampuan memilihkan tayangan yang pantas untuk keluarga khususnya anak-anak.
Hal itu disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah Asep Cuwantoro, di sela acara Nonton Bareng Layar Tancap dan Pertunjukan Rakyat di Desa Baseh, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Banyumas, Sabtu (15/6/2019) malam. Kali itu, Asep menyempatkan ‘manggung’ di tengah penampilan guyon maton dari Warung Ndeso, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tayangan televisi di Indonesia.
Menurutnya, saat ini masih ada tayangan di televisi yang kurang pas disaksikan anak-anak. Asep menunjuk contoh, sinetron dengan adegan kekerasan, tayangan musik dengan goyangan yang aduhai, bahkan film anak-anak atau kartun pun ada yang meloloskan adegan pukul-pukulan.
Pria itu mengibaratkan, jika dulu para pendahulu menghadapi penjajahan dari bangsa lain, namun sekarang justru masyarakat Indonesia seolah dijajah media. Semua produk yang dipakai oleh masyarakat adalah hasil pengaruh dari media.
“Saat ini kita dijajah oleh media, bukan bedil lagi. Dari ujung rambut sampai ujung kaki dipengaruhi oleh media,” ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Asep mengajak masyarakat Desa Baseh untuk lebih cerdas dan selektif dalam memilih tayanyan yang layak dikonsumsi, khususnya bagi anak-anak. Hindari tontonan yang saru dan mengandung unsur sadis.
“Ini harus kita sadari, Bapak dan Ibu yang ada di desa ini jangan sampai menjadi korban media. Jadilah masyarakat yang cerdas dalam mengonsumsi media,” jelasnya.
Besarnya pengaruh media disadari oleh Dumini (36), warga Desa Baseh. Ibu dari dua anak ini merasa diingatkan jika tayangan televisi bisa berbahaya, terutama untuk anak bungsunya Indi (7), termasuk pada film kartun yang sangat disukai putrinya. Sehingga Dumini berinisiatif mendampingi putrinya.
“Jadi tau kalau ternyata tayangan di televisi itu ada unsur bahayanya, walau di film kartun. Harus didampingi dan dikasih tahu mana yang baik dan tidak,” ungkap Dumini.
Sementara, Suimah (47) justru mengungkapkan kesulitannya menyuruh anaknya untuk belajar di malam hari ini. Sebab, masih ada film kartun yang tayang di malam hari. Dia berharap adanya pembatasan waktu tayang tontonan anak-anak.
“Anak saya sukanya Upin Ipin, bagus sih, agak mendidik, cuma tayangnya ada yang mulai maghrib sampai malam. Apalagi ada salah satu channel kartun (tayang) terus sampai malam,” ungkapnya.
Komisoner KPI Pusat Dewi Setyarini mengapresiasi kegiatan sosialisasi semacam itu. Tak hanya mengedukasi, tapi juga menjaga kearifan lokal. Tayangan di televisi dan radio pun diharapkan bisa mengangkat kearifan lokal menjadi global. Terlebih di era globalisasi saat ini, di mana suatu tayangan tidak hanya bisa dinikmati oleh daerah tertentu saja.
“Penyiaran kita harus menjadi tonggak budaya lokal menjadi budaya global. Seperti budaya Banyumas dengan ngapaknya bukan berarti menjadikan minder, tapi bisa menjadi totonan yang menarik. Terlebih tayangan lokal bisa didengar dan dilihat oleh siapa saja di seluruh dunia melalui streaming,” tandas Dewi. Red dari Diskominfo Jateng