Semarang - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah tengah mempersiapkan pembuatan Rekor Muri Baru Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) di Semarang, Rabu (12/6/2019).

Wakil Ketua KPID Jawa Tengah Asep Cuwantoro mengatakan, pihaknya ingin membuat rekor muri baru yaitu siaran terpanjang dan terbanyak dalam bahasa jawa. “Pembuatan rekor muri sendiri sudah dilakukan KPID Jawa Tengah pada tahun 2014 siaran terpanjang dengan waktu 2 jam siaran secara langsung,” lanjutnya.

KPID Jateng, lanjutnya, mengajak Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Radio seluruh Jawa Tengah untuk berkerja sama dalam pembuatan rekor muri ini.

“Pembacaan berita akan dilakukan para pejabat yang ada di wilayah Jawa Tengah seperti Gubernur, Kepala Diskominfo, Bupati, Wakil Bupati, dan tokoh masyarakat,” ujarnya.

Pelaksanaan pembuatan rekor muri sendiri dilaksanakan pada Selasa (18/6) yang akan dikordinasi oleh LPP RRI Semarang. Red dari berbagai sumber

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengucapkan selamat atas terpilih dan dilantiknya Ketua dan Anggota Dewan Pers masa bakti 2019-2022. KPI berharap kepengurusan baru Dewan Pers tetap menjaga kemerdekaan pers serta meningkatkan profesionalitas insan pers di tanah air.

Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah, saat menghadiri pelantikan dan pengenalan pengurus baru Dewan Pers di Hotel Sari Pan Pasifik, Rabu (13/6/2019). Turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin.

KPI juga mengucapkan selamat dan sukses untuk pengurus Dewan Pers periode 2016-2019 di bawah kepemimpinan Yosep Adi Prasetyo. 

Terpilih sebagai Ketua Dewan Pers 2019-2022 Mohammad Nuh, dengan Anggota yakni Arif Zulkifli, Hendry Ch Bangun, Jamalul Insan, Ahmad Djauhar, Agung Darmajaya, Asep Setiawan, Agus Sudibyo, dan Hassanein Rais. ***

 

The Condition of Free to Air Television in Digital Era

By:  Agung Suprio

Commissioner at Indonesian Broadcasting Commission 

Presented in a broadcasting conference at South Korea, 28th June 2018

I would like to share brief information about the condition of Free to Air television in the digital era. Beforehand, I will explain the responsibilities of Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) or Indonesian Broadcasting Commission.

The Responsibility of KPI and Free to Air Television

Indonesia Broadcasting Commission (KPI) is an independent state institution that aims to guarantee information delivery to society, to grow broadcasting industries in Indonesia, and to create qualified broadcasting based on nation ideology.  

KPI was established under the Broadcasting Law in 2002. At that moment, the condition of information technology and the broadcasting system was quite different compared to the present days where the system was still analog.

KPI is based on two principles, ownership diversification and content diversification. Ownership Diversification is aimed to avoid the monopoly in public frequency by certain parties. Content Diversification is aimed to create diverse content for society, such as educational, cultural, and women and children content.

National-private television in Indonesia known as giant broadcasters that have a bigger income, asset and capital also have a wide area of broadcasting to gain more viewers and advertisers than local-private television. At present, there are 700 Free to Air televisions, consist of public television, national-private television (known as networked television), and local-private television. National- private television is responsible to broadcast local content in each province at least 10 % of overall content every day.

Besides national-private and local-private television, pay-television also has a potential market in Indonesia. The number of the customer is predicted to be increasing each year, recorded around 4 million customers at present, since internet-based broadcasting, such as Over the Top, has also increased.

KPI expects the content of television can match with Indonesian values, especially on free-to-air television, so that it can broadcast high-quality local content. At this moment, one of national-private television holds a Dangdut (authentic Indonesian song genre) singing competition. It's participants not only from Indonesia but also from other Asian countries.  Respond to this, KPI appreciates and encourages local content to be a leader in Indonesian content which gaining viewers from other countries.

Broadcasting Trend

Nowadays, internet-based broadcasting can be enjoyed by most people because of the development of internet infrastructure in the majority of the Indonesia area. Almost 250 million Indonesians have a smartphone and connected to the internet. Therefore, they prefer to access information through new media such as YouTube, facebook, twitter, WhatsApp, which are able to be accessed anytime and anywhere, as long as there is an internet connection. It affects the decreasing of conventional television viewers while the new media gets more viewers.

However, KPI optimists the presence of new media since it triggers the appearance of creative industries that create local content to be watched by a global citizen. The trend also made owners of national-private television deliver its content from free-to-air to the new media, such as YouTube or streaming platforms, so they also can gain more advertisements.

Since 2015, the conventional television industry has penetrated digital television. Digital television that broadcasts over-the-top content is also increasingly enjoyed by the public, especially in big cities. The duration of over-the-top content has also increased to rival the duration of content on free-to-air and pay-TV. The tendency of people to access the new media as entertainment has increasingly benefited the position of the new media itself. Is this a signal of the loss of conventional media, especially free-to-air television in Indonesia?

We may see this competition in a positive way. It can enhance the content creators to produce more qualified local content. Foreign programs, especially Hollywood movies, on free-to-air TV had confirmed that its viewers were decreased because that kind of program can be repeatedly watched through new media.  Eventually, the national content will dominate again in every form of media and bring more advertisers and more income. 

Therefore, KPI supports the effort of KCC to do co-production with other Asian countries, including Indonesia, in order to create content which is able to introduce Asian values on conventional television or new media.

Closing:  The New Regulation?

Indonesia has not to do broadcasting migration from analog to digital yet, because the draft bill has not passed the parliament. KPI optimists that the bill can be enacted this year because Indonesia has agreed in the ITU forum to do analog switch-off in 2020. The new broadcasting constitution will give legitimacy for the presence of new media and manage it based on the principles of a democratic country.

The migration will make all of Indonesia's areas connected with a fast internet connection. It will become more competitive between free-to-air television with internet-based broadcasting. Free-to-air television can do convergence while internet-based broadcasting can also be viewed through hybrid-mode television which the price will be cheaper in the upcoming year.

Finally, KPI would like to say thank you for the invitation to this forum. Through this forum, KPI can give information about the broadcasting in Indonesia and learn as much as possible from other countries, which have been doing such migration, in order to manage the competition among any form of media. 

 

Denpasar – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Buleleng menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Penataan dan Optimalisasi Infrastruktur dan Kebijakan Penyiaran Dalam Rangka Pemenuhan Hak Masyarakat Terkait Siaran di Bali Utara. 

Menurut Ketua KPID Bali I Made Sunarsa, penyelenggaraan kegiatan FGD yang bertempat di wilayah Kabupaten Buleleng menunjukkan keseriusan KPID Bali bersama stakeholderlainnya untuk menyelesaikan masalah siaran yang ada di Bali Utara khususnya di Kabupaten Buleleng hari ini.

FGD ini mengundang pemantik dari pihak pemerintah diantaranya I Nyoman Sujaya Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Kabupaten Buleleng, I Ketut Suweca Kepala Dinas Balai Monitoring SFR Kelas I Denpasar, Zainuddin Kalla Kepala Balai. FGD ini dipandu langsung oleh moderator I Nyoman Winata.

Kegiatan yang berlangsung selama 3 jam ini menghasilkan 3 poin rekomendasi yang disepakati oleh seluruh peserta FGD yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, pemerintah, lembaga penyiaran yang memiliki peran terhadap peningkatan kualitas penyiaran khususnya di Bali Utara. Adapun rekomendasi yang dihasilkan dalam FGD ini yaitu :

1. Penyiaran adalah hak masyarakat, Negara memberikan hak atas siaran sebagai media pencerdasan dan pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu semua komponen harus mengupayakan pemenuhan hak siaran kepada masyarakat Bali Utara.

2. Pemerintah Kabupaten Buleleng dan Provinsi Bali berkomitmen membantu dan mendukung baik dari kebijakan maupun penganggaran alternatif-alternatif yang sudah jadi kajian bersama yang melibatkan Pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali, Balai Monitoring Kelas I Denpasar, Lembaga Penyiaran dan masyarakat dengan tahapan sebagai berikut :

• Membuat kajian teknis tentang lokasi pemancar bersama yang akan diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng dengan asistensi dari Balai Monitoring Kelas I Denpasar ke Ditjen SDPPI Kementerian Kominfo RI dengan target waktu bulan Agustus 2019.

• Pengajuan proposal dari Pemerintah Kabupaten Buleleng kepada Bapak Gubernur Bali terkait kebutuhan anggaran dengan target waktu bulan September 2019.

• Pertemuan secara teknis terkait dengan pembangunan, tata kelola, kerja sama pemanfaatan, dan lain-lain akan dilaksanakan awal September 2019.

3. Lembaga penyiaran memberikan dukungan terhadap pemenuhan hak masyarakat terkait siaran televisi di Bali Utara dengan memperhatikan aspek manajemen, aspek program siaran dan aspek teknis.

Menurut I Made Sunarsa, rekomendasi ini menjadi salah satu bukti nyata komitmen KPID Bali menjadi jembatan untuk meningkatkan kualitas penyiaran Bali Utara hari ini. “Dengan lahirnya rekomendasi dalam FGD kali ini, diharapkan dapat memperjelas langkah Stakeholder dalam menentukan langkah ke depan dan tenggat waktu yang harus ditepati agar penyiaran di Bali Utara yang baik dan merata dapat segera terwujud,” katanya.

Acara diakhiri dengan penandatanganan rekomendasi FGD Penataan dan Optimalisasi Infrastruktur dan Kebijakan Penyiaran Dalam Rangka Pemenuhan Hak Masyarakat Terkait Siaran di Bali Utara dan foto bersama oleh seluruh peserta FGD. Red dari KPID

 

Nyala Pancasila di Layar Kaca

Ubaidillah, Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat

The fourt estate of democacy dalam tradisi demokrasi menempatkan media massa salah satunya. Media massa menjadi pilar keempat dalam demokrasi, bersama dengan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ia sebagai kontrol atas kebijakan, medium informasi, serta tempat aspirasi dan upaya-upaya integrasi nasional. Manakala perselingkuhan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif berlangsung intim, media massa menjadi satu-satunya kekuatan kontrol untuk melerainya.

Indonesia mempunyai kaca sejarah dalam cerminan itu. Perselingkuhan tiga pilar dalam aras pemerintahan Orde Baru, hingga dalam proses pendelegitimasian eksistensi dan keangkuhannya, peran media massa tidak dapat ditutupi. Tentu saja tak menutup peran organisasi kemasyarakatan di dalamnya, media massa menjadi salah satu ujung proses protes itu berlangsung.

Lambat laun, demokratisasi melalui media massa termasuk di dalamnya lembaga penyiaran mengalami ironi. Di tengah godaan arus ekonomi kapital, keberadaan media penyiaran mengalami pergeseran. Ditambah lagi dengan kepemilikan terpusat beberapa media. Ia dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan informasi publik, berat sebelah ke keuntungan komersialnya. Informasi yang ditujukan kepada publik, dikonstruksi dengan konten-konten yang bisa menguntungkan semata. 

Problem ini, sedikit banyak dikupas dalam buku Televisi Jakarta di Atas Indonesia (2011). Ade Armando, mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan penulis buku ini, meletakkan problem dasar sistem pertelevisian berada di ketiak Jakarta yang sentralistik. Konten-konten politik, budaya dan ekonomi, tuturnya, semua mengalir ke Jakarta.

Pemberitaan-pemberitaan lokal hanya bersifat parsial, tak jarang dengan degup kekerasan, pembunuhan dan semacamnya yang mengerikan. Budaya dan ekonomi lokal nyaris hanya menjadi pelengkap belaka.  Sehingga, infomasi dengan konten-konten kebangsaan kian jauh panggang dari api.

Untungnya, kebijakan sistem stasiun jaringan bisa menambal dari upaya-upaya sentralisasi konten ini kendati belum bisa dicium aroma maksimalnya. Beberapa lembaga penyiaran mempunyai anak jaringan yang menghidupkan suasana lokalitas dari masing-masing daerah.

Anak jaringan inilah yang saat ini diharapkan bisa menghidupkan upaya-upaya desentralisasi konten kedaerahan. Kekayaan budaya lokal, bisa dilihat dengan kemasan informasi dari ragam program siaran yang menarik. Publik dengan demikian, tidak hanya melihat Jakarta sebagai ukuran layaknya konten, tetapi juga menikmati kekayaan lokalitas dengan segala keragamannya.

Apa relasi kebangsaan dalam anak jaringan ini? Salah satunya adalah menarik benang merah keberadaan media penyiaran dengan implementasi nilai-nilai Pancasila. Mafhum kita pahami, tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Sebuah momentum, untuk kembali mengingat dan menghadirkan nilai-nilai Pancasila di layar kaca.

Isu Strategis

Yudi Latif (2019), memaparkan bahasan penting tentang isu strategis dalam pembinaan Pancasila; pemahaman Pancasila, inklusi sosial, keadilan sosial, pelembagaan Pancasila dan keteladanan Pancasila.

Kita menyadari dan merasakan polarisasi dan fragmentasi sosial, serta politik identitas yang melibatkan agama, suku, antar golongan dan ras. Letupan-letupan kecil menjelang dan setelah pelaksanaan kontelasi politik semisal, yang menjadi pemicu polarisasi dan fragmentasi tersebut, diakui atau tidak telanjang di hadapan mata kita semua. Fanatisme atas dukungan politik, keyakinan buta terhadap teks agama, serta demarkasi garis budaya dan etnis mengantarkan kebusukan budaya kewargaan kita diantara sesama yang berbeda.

Munculnya polarisasi sosial dan politik, bisa juga dikatakan tidak berdiri sendiri. Dalam kancah sosial dan politik kita, sangat sulit mencari figur publik yang bisa mencerminkan sifat-sifat keteladanan. Kecenderungannya justeru memberikan narasi-narasi yang bisa menimbulkan tindakan-tindakan destruktif. Padahal di titik tertentu, dalam buku Mata Air Keteladanan (2014), Yudi Latif  membentangkan bagaimana pendahulu kita, saling lengkap dengan laku keteladanan yang paralel dengan Pancasila. 

Lemahnya pelembagaan atau institusionalisasi Pancasila, menjadi catatan. Salah satu contoh yang sering kita dengar dan lihat, beberapa institusi pendidikan meminta muridnya atau mengajarkan yang bertolak belakang dengan kaidah Pancasila, bahkan penentangan.  Ini menjadi potret bagaimana pelembagaan Pancasila juga lemah, di samping memang terjadi ketimpangan sosial di kehidupan kita.  

Menyalakan Pancasila

Sudah ada bahasan di atas, tentang bagaimana konten-konten layar televisi hari ini, titik balik harapan yang dihidupkan oleh kebijakan Sistem Stasiun Jaringan. Di satu sisi, konteks sosial kita masih menyisakan persoalan yang membutuhkan suntikan informasi dari media penyiaran terkait Pancasila. Tanggal 1 Juni sangat disayangkan apabila dilewati dengan kegiatan-kegiatan seremonial saja, minus perenungan reflektif. 

Ada benarnya, bahwa layar televisi selalu membuka dan menutup acara dengan lagu-lagu kebangsaan setiap harinya. Tetapi, tidak menyentuh waktu prime-time. Satu durasi waktu yang banyak publik menyalakan layar televisi. Di konteks inilah sebenarnya, semangat dan nilai Pancasila serta kebangsaan itu musti hadir di layar kaca. Sebab kita sadar, bahwa lembaga penyiaran mempunyai efek dominan dalam pembentukan karakter publik.  Ia musti menjadi medium kampanye dan transmisi dari penghayatan-penghayatan yang kerap membosankan.

Perbaikan-perbaikan pengawasan Sistem Stasiun Jaringan oleh KPI sudah merangkak dengan maksimal terhadap layar televisi. Kebijakan ini juga muncul dari pemerintah-pemerintah daerah, dengan mengaktifkan peraturan daerah berkaitan dengan lokalitas masing-masing daerahnya. Dalam konteks ini bukan legitimasi Pancasila dengan baku yang diharapkan di layar televisi, tapi ia berdiri aplikatif dan menimbulkan pengaruh bagi perilaku publik. 

Konten-konten dalam setiap program siaran dapat menghidupkan imajinasi publik, tentang keindonesiaannya, lalu bagaimana bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Kreasi program siaran harus beranjak kreatif. Penguatan Sumber Daya Manusia menjadi kuncinya, dengan tidak kualitas pengetahuannya terhadap Pancasila. Akhirnya, dengan nalar Pancasila dan nilai-nilai keteladannya, sangat mungkin televisi menjadi ruang tranmisi yang kreatif. Sebuah tafsir baru dalam layar televisi, biar tak menjadi fosil peninggalan masa lalu.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.