Jakarta --  Perpindahan dari siaran TV analog ke siaran TV digital semakin dekat. Tahap pertama peralihan akan dimulai pada 30 April di sejumlah daerah dan berlanjut bertahap sampai dengan batas yang telah ditetapkan, 2 November 2022.

Kehadiran siaran digital yang telah lama digadang-gadang ini tak hanya menghadirkan kebaikan secara teknis tapi juga keuntungan finansial secara digital. Penggunaan frekuensi pun menjadi lebih efisien sehingga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan yang lain. Selain itu, akan muncul pemain-pemain baru dalam industri penyiaran terutama di tingkat lokal.

“Jika selama ini pelaku industri penyiaran hanya tumbuh di kota-kota besar, penghentian siaran analog berpotensi menumbuhkan ekosistem penyiaran baru di tingkat lokal atau daerah,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, ketika mengisi acara diskusi publik bertajuk “Keluarga Keren Mendukung Migrasi TV Digital”, Rabu ((/2/2022) lalu.

Menurut dia, tumbuhnya industri penyiaran  daerah tak hanya berkutat pada wadah atau rumah produksinya, akan tetapi mencakup pembuat konten hingga sumber daya manusia penopang industri penyiaran tersebut. Artinya, penghentian siaran analog ini justru akan dapat memberdayakan masyarakat di daerah.

Selain soal manfaat, hal lain yang disampaikan Nuning mengenai tantangan utama keberagaman konten tersebut. Peran pengawasan isi siaran menjadi makin berat dan penting. “Keberagaman isi siaran ini akan membutuhkan pengawasan yang lebih massif daripada sebelumnya,” tutur dia.

Hal senada turut disampaikan Subkoordinator LPS dan LPA Televisi Kementerian Kominfo, Mesania Mimaisa Sebayang. Peralihan siaran televisi analog ke siaran digital membawa sejumlah manfaat. “Salah satu manfaat yang dihadirkan dari teknologi siaran digital adalah diversifikasi konten siaran," katanya dalam diskusi tersebut.

Mimaisa menambahkan, penghentian siaran televisi analog akan mendorong produksi konten-konten edukatif, kreatif, dan variatif dari industri penyiaran dalam negeri.

Sementara itu, Direktur Viva Media Group, Neil R Tobing menambahkan, kunci sukses migrasi ke siaran TV digital adalah pada sosialisasi kepada masyarakat."Kemudian hal lainnya harus dilakukan berbagai upaya untuk menjamin kualitas konten siaran," ujarnya.

Dia mengatakan, potensi keragaman konten yang ditimbulkan dari program Migrasi TV Digital harus diimbangi dengan sistem dan kebijakan pengawasan yang terstruktur. ***

 

Jakarta -- Rencana perpindahan dari siaran TV analog ke TV digital atau ASO (Analog Switch Off) di akhir tahun ini, menjadi pokok bahas dalam pertemuan KPI Pusat dengan DPRD Provinsi Jawa Tengah, Senin (7/2/2022). Muncul kekhawatiran terkait minimnya persiapan masyarakat menghadapi migrasi siaran tersebut. DPRD menyampaikan banyak masyarakat daerah yang belum tahu kapan waktu siaran tersebut akan beralih.

Tidak hanya soal waktu, persoalan ketersediaan STB (set top box) dan mekanisme pendistribusian ikut dikeluhkan. Belum ada kecocokan data  antara data pusat dan di daerah menyangkut penerima STB untuk masyarakat menengah ke bawah atau miskin. 

“Kita masih mengalami masalah dengan pendataan masyarakat miskin. Belum ada kecocokan data antara data di pusat, daerah dan provinsi. Data yang dipakai kementerian sosial, berbeda dengan yang ada di daerah. Bisa jadi dalam satu rumah itu ada beberapa anggota keluarga. Artinya, bisa lebih dari satu KK,” kata Mohamad Soleh. 

Menurutnya, diperlukan sosialisasi terarah dan berkelanjutan yang dilakukan Kominfo di daerah menyangkut distiribsi STB. “Mumpung masih ada waktu untuk antisipasi. Kalau alatnya banyak tidak masalah. Tapi kalau alatnya sedikit ini akan jadi masalah. Hal ini menjadi bahasan kami antara Kabupaten dan Kota. ASO ini tujuannya bagus tapi jangan sampai masyarakat tidak bisa lihat TV. Jangan sampai tiba-tiba dimatikan mereka tidak tahu,” tutur Soleh.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, mengatakan posisi KPI menyambut ASO ikut menyokong sosialisasinya. Namun begitu, KPI tetap menyampaikan berbagai masukan termasuk mengenai mekanisme  penyaluran STB termasuk membentuk gugus tugas wilayah. Sayangnya, upaya ini tidak berjalan dengan mulus karena salah pemahaman. 

“Saya sering sampaikan kepada pusat untuk berkoordinasi dengan kominfo daerah. Selain itu, penting dibentuk posko ASO di setiap kabupaten, sebagai tempat masyarakat untuk mengadu soal migrasi ini. Hal ini sangat penting untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan,” kata Echa, panggilan akrabnya.

Selain itu, penanganan distribusi STB harus dilakukan secara tepat, detail dan terstruktur. Pasalnya, tidak semua daerah itu karakter dan kondisinya sama secara ekonomi. Hal ini tidak boleh disamakan, kata Reza.

Reza menuturkan, pihaknya telah mengupayakan sosialisasi ASO ini secara maksimal. Salah satunya mendorong media penyiaran untuk ikut terlibat. “Kami mengapresiasi TV-TV yang membantu sosialisasi ini. Beberapa upaya yang dinilai efektif mengajak masyarakat pindah ke siaran digital adalah dengan memasukan konten-konten populer atau killer konten setiap TV dalam siaran digitalnya,” pintanya. ***/Editor: MR/Foto: AR

 

Denpasar – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali menggelar Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan merangkul sejumah praktisi, media lokal, hingga akademisi di wilayah Bali. Kegiatan yang menerapkan protokol kesehatan ini berlangsung selama dua hari, Sabtu hingga Minggu (5-6 Februari 2022) di Denpasar, Bali. 

Sekolah P3SPS ini diharapkan membentuk rasa tanggung jawab khususnya di kalangan industri penyiaran dengan selalu menghadirkan konten berkualitas bagi masyarakat dengan memperhatikan kandungan P3SPS dan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ketika memproduksi karya terbaiknya.

Wakil Ketua KPI Pusat yang juga Kepala Sekolah P3SPS, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan penguatan kaidah P3SPS seperti ini sangat penting dilakukan agar dunia kreatif di tanah air semakin terarah dan bernilai baik. Selain itu, TV dan radio masih menjadi prioritas pilihan masyarakat mendapatkan informasi dan hiburan. Karenanya, sebagai media yang keabsahan informasinya dapat dipertanggungjawabkan, TV dan radio wajib memperhatikan instrumen dalam berkreasi yakni P3SPS.

“Memahami beberapa unsur P3SPS sama sekali tidak membatasi ruang gerak ekspresi industri,” kata Mulyo saat menjadi pemateri sekolah P3SPS, Sabtu (5/2/2022) lalu.

Lebih dalam disampaikannya, kalangan industri penyiaran harus memiliki kesadaran dan memperhatikan latar belakang informasi yang akan ditayangkan terutama dari sisi kebermanfaatan. Dalam P3 KPI Pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. 

“Faedah konten siaran  yang akan dipublikasikan menuntut mengedepankan kualitas. P3 dan SPS KPI bukan untuk membatasi konsep kreatif, perlu dipahami juga bahwa dalam merancang konsep sebuah program tentu memperhatikan dari sebuah kebermanfaatan,” katanya.

Pemateri lainnya, Komisioner KPI Pusat, Mohammad Reza, mengatakan dirinya merasa prihatin dengan berbagai kualitas tayangan infotainmen. Dalam kenyataannya, sering kali ditemukan contoh tayangan infotainmen yang abai dari unsur edukasi dan hanya mengedepankan asumsi. “Infotainmen ini selalu mendapatkan jam tayang di primetime, perlu dipahami juga oleh kita semua untuk dapat membedakan mana karya jurnalistik dan mana berita,” tuturnya.

Reza melihat kenyataan yang sering ditemui di lembaga penyiaran adalah mengejar eksistensi melalui sebuah rating. Dia juga mengingatkan setiap peserta Sekolah P3SPS untuk dapat memperhatikan kualitas siaran ketimbang rating yang belum diketahui apa instrumen di dalam sebuah penempatan rating itu sendiri. “Tidak selau rating menjadi tujuan utama, tapi ingat nilai dari sebuah tayanganlah yang harus diperhitungkan,” katanya.

Di tempat yang sama, Senior Editor VOA Indonesia, Eva Mazrieva mengatakan, sisi jurnalisme dan ekosistem penyiaran yang sehat harus dijaga. Terkait ini, dia mengapresiasi terselenggraranya Sekolah P3SPS yang menurutnya menawarkan pengalaman lain dalam melihat regulasi penyiaran. 

Dalam prespektif jurnalisme, Eva meminta tim yang terlibat langsung dalam sisi produksi siaran untuk sensitif dengan kaidah yang terkadung dalam kode etik jurnalistik (KEJ). Dia juga meminta kepada peserta sekolah ini untuk bisa menambah wawasan hingga skala global. 

Dia mencontohkan kebanyakan praktik media sekarang hanya merancang dan mengemas isu dalam lingkup nasional ketimbang global. Hal ini berdampak pada minimnya isu nasional di level internasional. “Sebuah gaya berita yang mencakup pandangan global dan memberitakan tentang isu yang melampaui batas nasional seperti perubahan iklim, terorisme hingga pemberitaan terkait covid-19,” kata Eva.

Sementara itu, pada Minggu (6/2/2022), pemateri akan diisi Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, Ketua KPID Provinsi Bali, I Gede Agus Astapa dan Dosen Universitas Warmadewa Denpasar, Nengah Muliartha. Di sesi akhir kegiatan, para peserta Sekolah P3SPS akan menjalani serangkaian prosesi ujian untuk memperoleh kelulusan dalam sekolah kali ini. Maman/Editor: RG dan MR

 

 

Jakarta -- Komisi A DPRD Provinsi Jawa Tengah melakukan kunjungan kerja ke KPI Pusat, Senin (7/2/2022). Ikhwal kunjungan ini dalam rangka rencana membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyiaran di Jateng. Kunjungan tersebut diterima langsung Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, dan Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza.

Di awal pertemuan, Ketua Komisi A DPRD Jateng, Mohamad Saleh, menyampaikan jika pembentukan Perda tentang Penyiaran menunggu kepastian ditetapkannya regulasi penyiaran yang baru oleh DPR RI. 

“Karena niat kami membuat Perda Penyiaran maka kami datang ke KPI Pusat dan juga ke Kementerian Dalam Negeri. Karenanya, kami ingin mendapat info terbaru mengenai revisi undang-undang penyiaran supaya regulasi yang kami buat tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut,” kata Soleh.

Menurut Soleh, nantinya rancangan Perda akan menyerap semua kebutuhan stakeholder penyiaran di daerah termasuk penguatan anggaran KPID Jateng.  “Biar ada cantolan anggarannya. Jika hanya mengandalkan hibah, ini akan membahayakan nasib KPID ke depan dari segi anggaran. Kami akan masukan klausul ini dalam rancangan perda tersebut,” tambahnya.

DPRD Jateng juga berniat memasukan poin pengaturan tentang siaran di media baru dalam perdanya. Fenomena radio yang bersiaran lewat streaming seperti Youtube dan Facebook bukan hal yang baru lagi. Sayangnya, dinamika siaran ini tidak tertampung dalam UU Penyiaran yang sekarang. 

“Raperda akan memasukan poin-poin ini jika undang-undang penyiaran baru memasukannya. Ini dampaknya luar biasa bagi masyarakat kita di daerah,” ujar Soleh.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengungkapkan bahwa Komisi I DPR RI menginformasi akan kembali membahas revisi UU Penyiaran yang tertunda di tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, ada kabar jika DPR akan menyelesaikannya di tahun ini. 

Mulyo menambahkan, hadirnya UU baru diharapkan menampung pengaturan tentang media baru yang nantinya memberi kepastian hukum dan keadilan berusaha bagi media apapun. “Keadilan berusaha dan pendapatan pemerintah yang akan diprioritaskan karena selama ini media baru tersebut tidak memberi kontribusi buat negara. Ini harus diatur dan penyiaran yang eksisting harus dilindungi,” tandasnya. ***/Editor: MR/Foto: AR

 

Tarakan -- Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang menjadi program prioritas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ditujukan melecut penyadaran masyarakat Indonesia untuk kritis dan cerdas memilih tayangan atau siaran media yang baik, tepat dan bermanfaat. 

Gerakan literasi yang sudah dicanangkan KPI sejak 2020 lalu ini juga difokuskan mencetak agen-agen literasi di berbagai elemen yang ada di kalangan pendidikan atau akademis hingga kelompok masyarakat. Mereka nantinya menjadi kepanjangan tangan KPI sebagai penyampai pesan-pesan literasi kepada masyarakat. Kapasitas literasi itu harus dimiliki oleh siapapun tanpa terkecuali.

Pencetus GLPS sekaligus Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyatakan niat kegiatan ini adalah membentuk masyarakat Indonesia yang cerdas. Cerdas di sini artinya masyarakat memiliki kemampuan menilai, memfilter, dan bisa menanggapi dalam koridor yang positif setiap siaran atau tayangan yang mereka terima atau nikmati. Selain juga ikut berpartisipasi membentuk siaran yang berkualitas. 

“Bukan berarti pencerdasan ini mengajak masyarakat untuk tidak nonton TV atau matikan TV jika ada tayangan yang tidak sesuai atau buruk. Tapi bagaimana kita mengarahkan mereka untuk dapat mengalihkannya dengan memilih dan menikmati siaran atau tayangan yang baik, manfaat dan pantas. Artinya, hal ini juga akan memberi efek yang positif terhadap perkembangan TV atau radio tersebut. Bagaimanapun, KPI bertanggungjawab terhadap perkembangan lembaga penyiaran di tanah air,” kata Nuning di sela-sela kegiatan GLSP di Universitas Borneo Tarakan, Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Kamis (3/2/2022).

Menurutnya, permasalahan tayangan itu ada pada kebutuhan pasar atau apa yang menjadi konsumsi masyarakat dan pengiklan. Publik gemarnya siaran atau tayangan seperti apa dan disitulah iklan ikut membuntuti. 

Karenanya, lanjut Nuning, nilai-nilai positif ini harus terus dikedepankan dan didorong lewat gerakan literasi semacam ini. Supaya setiap orang bisa menyampaikan atau bicara apa yang baik dari siaran atau tayangan yang mereka terima. 

“Sampaikan kembali apa yang baik-baik itu. Posting atau viralkan hal-hal baik tersebut dan yang baik lainnya. Jangan sungkan memberi apresiasi pada program yang baik. Dengan begitu, kita sudah membentuk budaya masyarakat yang baik pula dan tentunya membuat penasaran orang lain untuk melihat,” ajaknya kepada peserta literasi yang sebagian besar mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Borneo Tarakan.  

Nuning juga menyinggung peran orangtua dalam membimbing anak-anak pada saat menonton TV. Menurutnya, setiap program acara TV telah terklasifikasi jenis penontonnya seperti D untuk Dewasa, R untuk remaja, SU untuk semua usia, hingga klasifikasi A bagi anak. Jadi, ketika ada tayangan berklasifikasi D kemudian anak didiamkan menonton, hal ini tentu ada yang salah pada pengawasnya.

“Karena itu, kami mengajak adek-adek semua untuk mengindentifikasi hal ini. D itu untuk siaran dewasa dan tayang pada jam 10 atau pukul 22.00 malam ke atas. Tidak boleh ditonton anak di bawah umur. Tidak boleh ada toleransi apapun soal ini. Ini adalah petunjuk yang harus diikuti,” tegas wanita yang aktif membela kepentingan anak dan perempuan dalam siaran ini. 

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Dekan Fakultas Hukum UBT, Nurasikin, menyampaikan kebutuhan informasi merupakan hak setiap warga negara. Namun dia menggarisbawahi informasi yang disampaikan dan menjadi kebutuhan masyarakat adalah yang memiliki nilai manfaat dan mendidik. “Tayangan itu harus memiliki nilai-nilai yang memberi edukasi bagi penontonnya,” katanya di acara literasi tersebut.

Sementara itu, sejumlah mahasiswa yang hadir meminta kepada lembaga penyiaran lebih banyak membuat tayangan yang berbobot dan berkualitas dari segi isi. Mereka mengeluhkan masih adanya TV yang menayangkan atau mengundang seleb-seleb yang viral di media sosial karena hal yang tidak memiliki nilai pendidikan. “Kembalikan fungsi TV yang sebenarnya. Jangan gelap mata karena rating,” tutup Yuni yang disambut tepuk tangan peserta lain. ***/Editor: MR/Foto: AR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.