Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, dan Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah diterima langsung Ketua dan Wakil Ketua serta Komisioner KPID DKI Jakarta di Kantor KPID DKI Jakarta, Rabu (8/8/2018).

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan koordinasi dalam rangka penguatan kelembagaan ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta, Rabu (8/8/2018). Kunjungan koordinasi ini diikuti Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, dan Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah diterima langsung Ketua dan Wakil Ketua serta Komisioner KPID DKI Jakarta.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, di awal pertemuan menyampaikan, KPID DKI Jakarta merupakan barometer bagi KPID di Indonesia, sehingga diharapkan tetap konsisten dalam menjalankan tupoksi sebagai regulator penyiaran di Ibu Kota.

“Ada 33 KPID dan setiap daerah memiliki dinamika penyiaran yang berbeda. Dan, sebagai KPID yang ada di Ibu Kota, tentunya KPID DKI Jakarta menjadi acuan bagi yang lain,” kata Andre, panggilan akrabnya.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah, menjelaskan strategi penguatan kelembagaan bagi KPID DKI Jakarta. Upaya ini agar keberadaan KPID DKI Jakarta sebagai lembaga publik dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, KPI Pusat melalui Yuliandre Darwis menyampaikan buku laporan hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 2018. Hasil survey ini diharapkan menjadi masukan dan data bagi KPID. ***

 

Suasana Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Kantor KPI Pusat, Djuanda, Selasa (7/8/2018).

 

Jakarta – Tingginya animo masyarakat untuk menonton tayangan dengan muatan mistik, horor dan supranatural (MHS) tidak terlepas dari kondisi sosiologis yang merupakan campuran dari fase theologis, fase metafisis dan fase modern positivistik. Ketiga fase tersebut hadir secara bersamaan dan bahkan saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal tersebut terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (7/8/2018).

FGD yang dipandu oleh Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, Nuning Rodiyah dan Dewi Setyarini menghadirkan narasumber dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag), Lembaga Sensor Film (LSF), Budayawan dan Psikolog. Forum ini juga menghadirkan peserta aktif dari lembaga keagamaan, lembaga penyiaran dan lembaga swadaya masyarakat.

Budayawan Ngatawi Al Zastro mengatakan, program mistik, horor dan supranatural tidak perlu dilarang tapi cukup ditata sesuai dengan etika dan norma yang berlaku. Menurutnya, hal-hal supranatural sebenarnya bersifat individual dan diperlukan kehati-hatian dalam menampilkan hal tersebut ke ruang publik.

“Membuat program demikian memang tidak gampang karena itu harus melibatkan orang yang memiliki kompetensi dan ahli seperti budayawan, sosiolog, atau ahli tasawuf. Selain itu, perlu juga kebijakan dan kepekaan dalam memproduksi tayangan. Jika secara manfaat dan kemaslahatannya lebih banyak ya silahkan ditayangkan,” kata Zastro.

Hal senada disampaikan Ketua MUI bidang Komunikasi dan Informasi, KH Masduki Baidlowi yang menyebutkan bahwa perlu ada batasan pengertian yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan mistik, horor, dan supranatural. “Karena mistik dalam pengertian yang luas adalah percaya pada yang ghaib dan itu terdapat pada semua agama, berlawanan dengan pengertian sekuler yang hanya percaya pada hal-hal material”. Menurutnya, pembangunan kreatifitas dengan menyisipkan nilai positif, edukatif dan karakter building dalam tayangan sangat penting.

Baidlowi berharap agar semua program siaran, termasuk dengan muatan MHS harus mampu memberi inspirasi positif bagi kehidupan keagamaan dan kebangsaan. “MUI senantiasa berkomunikasi dengan KPI, dan membuka ruang dialog dengan lembaga penyiaran”, tandasnya.

Anggota LSF, Nasrullah menyatakan, membuat tayangan mistik atau lainnya harus didahului komitmen menitipkan nilai-nilai edukasi. Dari berbagai dialog yang telah dilakukan LSF dengan berbagai kelompok kemudian dirumuskan batasan-batasan terhadap program dengan muatan MHS, diantaranya adalah tidak mengandung atribut/simbol agama tertentu. Selain itu perlu memperhatikan norma dan adat masyarakat pada tempat yang menjadi lokasi syuting.  

“Dalam rangka melindungi masyarakat, khususnya anak dan remaja LSF akan senantiasa melihat dan meneliti setiap tayangan, untuk kemudian ditentukan golongan atau klasifikasinya,” kata Nasrullah.

Sementara, Amirsyah Tambunan mengingatkan, tayangan mistik, horor dan supranatural jangan sampai mendegradasi atau mengikis nilai ber-Ketuhanan. “Jangan pula hal-hal mistis ini menjadi ajang untuk penipuan,” paparnya.

Perwakilan dari Kementerian Agama, Nur Khazin berharap, tayangan mistis atau lainnya dapat dikemas menjadi sebuah tontonan sekaligus tuntunan. “Kita ingin tayangan yang mengarah kepada bimbingan umat supaya masyarakat tidak terjerumus pada hal yang tidak baik dan keimanan mereka makin meningkat,” tuturnya.

Dari sudut pandang Psikolog Anak, Reza Indragiri mengatakan, industri penyiaran harus mengedepankan perlindungan anak dalam setiap tayangan. Tayangan horor pun harus ramah terhadap anak seperti film Scooby Doo. Menurutnya, film Scooby Doo menjadi contoh sebuah tayangan horor yang pada  bagian akhir memberikan  penjelasan rasional atau ilmiah sehingga tidak ada kengerian usai menonton film tersebut.

“Adalah sangat penting bagi kita menemukan akar rasionalitasnya dalam tayangan horor. Jika tayangan tersebut tidak ada penjelasan ilmiahnya, berarti tayangan tersebut tidak ramah anak. Kita juga berharap bagaimana tayangan itu bisa membangun fantasi dan imaginasi yang cerdas untuk anak,” tandasnya.

Menutup FGD tersebut, Hardly Stefano Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan bahwa semua dinamika pemikiran dan masukan yang berkembang dalam forum diskusi akan menjadi masukan bagi KPI dalam merumuskan kebijakan yang mengatur secara proposional tayangan dengan muatan MHS. ***

 

Jakarta – Hasil survey indeks kualitas program siaran televisi Periode I tahun 2018, kajian dari Tim Penelitian dan Pengembangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, mulai dipaparkan secara langsung ke lembaga penyiaran. Stasiun Trans TV mendapat kesempatan pertama dalam kegiatan penyampaian hasil survey indeks kualitas tersebut.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, ikut dalam penyampaian hasil survey KPI ke Trans TV mengatakan, terobosan nasional yang dibuat KPI melalui survey indeks banyak menghasilkan poin yang bagus dan perlu disampaikan kepada lembaga penyiaran. 

Menurutnya, langkah yang dilakukan KPI merupakan semangat bahwa industri sudah berubah dan konten kreatif itu sudah bermunculan. “Ini tidak bisa kita siarkan jika kita tidak bersama-sama melakukannya distribusi yang baik tersebut. Tayangan yang positif cukup banyak dan Trans TV memiliki nilai atau value yang banyak dalam hal nation karakter,” kata Andre, panggilan akrabnya, di Kantor Trans TV, Senin (7/8/2018).

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah menambahkan, hasil survey ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga penyiaran terkait arah tayangan yang diinginkan publik. 

Menurut dia, lembaga penyiaran dapat berinteraksi langsung dengan tim Litbang KPI Pusat untuk misalnya mengetahui arah narasi tayangan di lembaga penyiaran. “Nanti tim ini akan menginisiasi dan mengawal semua proses survey. Temuan yang ada di Litbang pun dapat dibagi ke lembaga penyiaran,” kata Ubaid. 

Selain ke lembaga penyiaran, KPI akan berkeliling ke lembaga pengiklan untuk menyampaikan hasil survey ini. Hal ini juga untuk menjawab keluhan dari lembaga penyiaran mengenai program bagus tapi iklannya sedikit. 

“Di sini kami akan berupaya mendorong para pengiklan untuk beriklan pada program yang baik dan berkualitas tersebut. Ini menjadi tanggungjawab KPI. Lembaga penyiaran tidak hanya harus sehat program tapi juga sehat bisnis industrinya,” jelas Ubaid.

Sementara itu, Direktur Operasional Trans TV, Latif Harnoko menuturkan, hasil survey KPI menjadi masukan yang bagus bagi pihaknya. Menurutnya, lembaga penyiaran membutuhkan masukan positif untuk pengembangan arah program acara. “KPI harus mendukung industri,” katanya. *** 

 

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah.

 

Jakarta - Mahasiswa Universitas Semarang (USM) mengeluhkan sedikitnya porsi konten lokal di daerah mereka. Keluhan tersebut disampaikan saat menyambangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Selasa (07/08/2018). Kunjungan tersebut diterima oleh Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Ubadillah Sadewa.

Ikhsan, salah satu Mahasiswa USM yang menyampaikan keluhan itu bahkan bertanya alasan tayangan lokal di Semarang belum sepopuler  MNC Jateng, Net Jateng dan sebagainya. 

Menanggapi hal itu, Ubaidillah menjelaskan bahwa konten tayangan lokal merupakan wewenang lembaga penyiaran lokal. Namun, KPI memiliki regulasi yang mengatur porsi konten lokal yang tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). “Seluruh lembaga penyiaran wajib menampilkan 10% konten lokal dari keseluruhan waktu siaran,” ujar Ubaidillah.

Ubaidillah juga menyampaikan ke mahasiswa bahwa KPI bekerja mengawasi tayangan dengan P3SPS sebagai acuan. “Karena pengawasan pasca tayang, tentu saja sensor bukan menjadi wewenang kami. Sensor dilakukan internal oleh lembaga  penyiaran,” imbuhnya.

Pertemuan ini juga membahas perihal quick count di Pilkada maupun Pilpres. Pada sesi ini, Ubaidillah menekankan bahwa KPU merupakan lembaga yang berwenang mengatur lembaga survey atau quick count, sedangkan KPI megatur tata cara penyampaian quick count di televisi. 

“Beberapa waktu yang lalu, KPI mengeluarkan surat edaran yang mengatur setiap lembaga penyiaran dapat menampilkan hasil quick count pada pukul 13.00 waktu setempat. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya penggiringan opini saat pemilihan,” pungkasnya.

Diakhir kunjungan, Ubaidillah menyampaikan pesan pada para mahasiswa untuk bersama – sama menciptakan tayangan yang sehat serta melaporkan jika menemukan adanya tayangan yang dinilai tidak pantas. “Tertibkan layar pertelevisian, tayangan sehat kita sehat,” tutup Ubaidillah. *

 

Afrika Barat – Menurut sebuah penelitian, kampanye kesehatan di Radio Burkina Faso, Afrika Barat, telah menyelamatkan ribuan nyawa anak-anak. Kampanye tersebut mendorong para orang tua agar melakukan perawatan yang tepat bagi anak-anak yang sakit. Kampanye melalui radio merupakan satu cara yang paling hemat biaya dan efekitf dalam menyelamatkan nyawa anak-anak.

Berdasarkan catatan penelitian menunjukkan bahwa daerah-daerah yang menerima siaran radio tersebut ada peningkatan signifikan untuk jumlah anak-anak yang dibawa ke fasilitas kesehatan. “Secara khusus, peningkatan itu adalah untuk kondisi yang menjadi fokus kampanye yaitu malaria, diare, pneumonia," kata Simon Cousens, seorang Profesor epidemiologi dan statistik medis di London School of Hygiene and Tropical Medicine

Kampanye di Radio Burkina Faso memberikan informasi kepada orang tua tentang apa yang harus dilakukan jika anak-anak mereka mengalami gejala diare, malaria, atau pneumonia. Kampanye ini disiarkan di tujuh stasiun radio dengan radius sinyal sekitar 50 kilometer (31 mil) antara tahun 2012 dan 2015. Tujuh stasiun radio lainnya berfungsi sebagai zona kontrol, di mana mereka tidak melakukan kampanye.

Hasil dari kampanye tersebut menyebabkan jumlah pasien yang mendatangi pusat kesehatan untuk mencegah dan mengobati malaria, diare dan pneumonia untuk anak-anak di bawah usia 5 tahun meningkat secara dramatis hingga 73%. Dengan menggunakan pemodelan matematika, para peneliti memperkirakan bahwa 3.000 jiwa telah diselamatkan sebagai hasil dari kampanye tersebut. Red dari bbc.co.uk 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.