Depok - Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan program prioritas nasional yang ditetapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk mengukur kinerja lembaga penyiaran dalam menyajikan informasi dan konten siaran berkualitas di tengah masyarakat. Riset ini juga menjadi pembanding dari data yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat program siaran, karena penilaian diberikan secara kualitatif. KPI sendiri berharap, riset dapat diluaskan lagi cakupan kotanya dengan frekuensi yang lebih banyak. Sehingga, data yang diperoleh untuk setiap program siaran lebih komprehensif dan membantu lembaga penyiaran dalam membaca preferensi masyarakat tentang konten siaran. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Agung Suprio dalam acara koordinasi pelaksanaan Riset untuk wilayah Jakarta, bersama dengan jajaran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) dan KPI DKI Jakarta, di Depok (27/5). 

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2021 bidang politik dan komunikasi tentang perwujudan konsolidasi demokrasi, peningkatan kualitas lembaga penyiaran merupakan salah satu usaha menuju konsolidasi demokrasi. Riset ini diyakini dapat memberikan perbaikan atas kualitas lembaga penyiaran ke depan. Kepala Sub Bagian Perencanaan KPI Pusat, Rivai Nursetyo mengungkap, saat ini target yang diberikan BAPPENAS tidak lagi pada penilaian per kategori program siaran. Namun menargetkan pada kualitas lembaga penyiaran secara keseluruhan, ujar Rivai. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi KPI untuk dapat mencapai target yang telah ditetapkan BAPPENAS. 

Kerja sama KPI dengan UPNVJ untuk pelaksanaan riset telah berlangsung sejak tahun 2017. Pada pertemuan ini juga dibicarakan kemungkinan kerja sama antara UPNVJ dengan KPI DKI Jakarta. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPNVJ Dr Dudi Heryadi menyampaikan kewajiban perguruan tinggi untuk lebih memberikan manfaat kepada masyarakat. “Sehingga tidak menjadi menara gading.” Tegasnya. Dudi menyambut baik rencana kerja sama dengan KPI DKI Jakarta, terutama dalam mengedukasi masyarakat untuk menjadi penonton yang cerdas. 

Sementara itu Ketua KPI DKI Jakarta Kawiyan mengingatkan bahwa hasil riset indeks ini juga disosialisasikan pada lembaga penyiaran, sebagai pemilik layar kaca.  “Sehingga hasil riset ini dapat menjadi patokan bagi lembaga penyiaran dalam memproduksi konten siaran yang lebih baik lagi,” ujarnya. 

Hasil Riset tahun 2020 menunjukkan program siaran televisi secara rata-rata sudah berkualitas, dengan nilai 3,14 yang melebihi standar KPI di angka 3. Namun demikian untuk nilai dari setiap kategori, masih ada tiga program siaran yang belum mencapai angka 3, yakni program infotainment, sinetron dan variety show. Ketiga program tersebut mendapat penilaian rendah untuk prinsip perlindungan anak dan remaja, muatan kekerasan, ungkapan kasar dan makian, serta penghormatan terhadap pribadi.  

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan memberi sanksi teguran tertulis untuk Program Siaran “Om Shanti Om” di ANTV. Program bergenre film drama ini dan berklasifikasi R13+ ditemukan menayangkan adegan yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Hal itu dijelaskan dalam surat teguran tertulis KPI yang telah disampaikan ke ANTV, Kamis (27/5/2021).

Dalam surat tersebut juga dijelaskan bentuk pelanggaran yang telah dilakukan program yang ditayangkan pada 09 Mei 2021. Adapun pelanggaran ditemukan pada pukul 08.20 WIB yakni berupa visualisasi seorang pria yang sedang memegang dan menghisap rokok. Selain itu, pada pukul 08.43 WIB terdapat beberapa wanita penari latar yang menggoyangkan bagian pinggulnya dengan pakaian yang hanya menutupi bagian dada serta celana minim dan ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Meskipun telah dilakukan penyamaran, namun muatan tersebut masih memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang terbuka akibat pakaian minim.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan pelanggaran tersebut telah menabrak 10 (sepuluh) pasal dalam P3SPS yang meliputi ketentuan tentang kewajiban menghormati nilai dan norma kesopanan serta kesusilaan, perlindungan anak dalam siaran dan pelarangan serta pembatasan program terkait muatan rokok.

“Kami menyayangkan adanya muatan ini terutama visualisasi pria sedang merokok dan gerakan sensual penari dalam film tersebut. Meskipun sudah ada pemburaman, tetap saja terlihat bagian-bagian tubuh dari wanita penari tersebut. Semestinya, proses edit atau bluring harus utuh agar tidak nampak bagian-bagian yang tidak pantas. Bahkan rasanya mungkin juga dilakukan editing lebih ekstrim dengan memotong bagian tarian tersebut tanpa mengurangi esensi cerita. Apalagi film ini tayang di waktu pagi hari ketika anak banyak yang menonton TV dan pada suasana Ramadan,” jelas Mulyo. 

Menurut Mulyo, semestiya program siaran dengan klasifikasi R13+ cermat dalam quality control kemungkinan terjadinya pelanggaran. Karena itu, pemahaman terhadap aturan penyiaran khususnya Pasal 21 Ayat (1) Pedoman Perilaku Penyiaran harus benar-benar utuh dan jelas. 

“Dalam pasal ini, lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan penggolongan program siaran berdasarkan usia dan tingkat kedewasaan khalayak di setiap acara. Program dengan klasifikasi R sewajibnya mengandung muatan, gaya penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Mulyo meminta ANTV untuk memperhatikan aturan terkait pembatasan muatan rokok dalam siaran. Ada dua pasal yakni Pasal 18 di P3 dan Pasal 27 Ayat (2) huruf a SPS. “Kami berharap hal ini tidak lagi terulang. Kami juga berharap lembaga penyiaran lebih ketat melakukan sensor internalnya dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku dalam P3SPS untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran,” paparnya. ***

Jakarta - Riset Indeks Program Siaran Televisi yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan sebuah usaha dalam menghambat kuatnya penggunaan data kuantitatif dalam rating siaran dari lembaga pemeringkatan siaran yang sudah ada. Lembaga penyiaran, dalam disain kontennya, salah satunya berkiblat riset kuantitatif sebuah lembaga pemeringkat siaran. Hal ini berimplikasi adanya duplikasi program siaran yang memiliki rating tinggi, oleh berbagai stasiun televisi, sekalipun kualitasnya buruk. 

Karenanya Riset KPI sangat strategis untuk memberikan nilai pembanding dari data pemeringkatan yang sudah ada. Apalagi, pangkal persoalan kualitas konten siaran kita salah satunya karena tidak melalui riset audiens. Melainkan  mengambil data mentah dari lembaga pemeringkat. Hal tersebut disampaikan Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta, Prof Iswandi Syahputra, dalam pembukaan Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion (FGD) Informan dalam rangka Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2021 di wilayah Yogyakarta, (27/5). Turut hadir dalam FGD, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN SUKA Dr Mochammad Sodik, dan Pengendali Lapangan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi di Yogyakarta, Bono Setyo.  

Iswandi berharap, hasil dari FGD ini dapat disosialisasikan seluas-luasnya pada publik. “Terutama tentang hasil yang diperoleh dari FGD ini,” ujarnya. Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN SUKA ini juga mengingatkan tentang prinsip dasar sebuah industri, yakni dengan modal sekecil-kecilnya, produksi sebesar-besarnya, distribusi seluas-luasnya, keuntungan setinggi-tingginya. Hal ini juga berlaku pada industri penyiaran di Indonesia.

Ini juga yang mendasari kenapa lembaga penyiaran cenderung mengikuti sebuah program yang sudah popular, tanpa melakukan riset audience. “Kalau di luar negeri, program siaran dibuat dengan riset mendalam sehingga dapat menghasilkan program yang diminati banyak orang,” ujarnya. Sedangkan di Indonesia lebih memilih membeli hak siar. Ini juga yang menjadi penyebab konten siaran televisi cenderung seragam, ungkapnya. 

Dalam industri televisi, Iswandi juga mengungkap ada entitas lain yang saling berkaitan, yakni regulator, konten siaran dan publik. “Kehadiran kita di sini untuk membahas konten televisi,” ujarnya. Kalau hasil dari FGD ini mencerahkan, tentu dapat berimplikasi pada perilaku menonton di masyarakat. Perilaku menonton dapat berakibat pada turunnya rating dari program siaran yang memang berkualitas buruk. “Dengan sendirinya konten pun akan berubah,” tambahnya lagi. 

Tentang KPI sendiri, Iswandi mengakui sebagai regulator senjata KPI saat ini satu per satu mulai dipangkas. Padahal untuk dapat menjadi regulator penyiaran yang berwibawa, harus ada kewenangan besar bagi KPI. “Saya mendukung revisi undang-undang dengan memberlakukan undang-undang penyiaran sebagai lex spesialis”, tegasnya. KPI dapat fokus di konten siaran dan berhak menjatuhkan sanksi denda. Menurutnya, jika KPI sudah diberikan kewenangan seperti itu, baru bicara tentang demokrasi penyiaran yang lebih sehat dalam lanskap penyiaran ke depan. Karenanya, tutup Iswandi, revitalisasi regulasi penyiaran menjadi sangat penting dan strategis bagi KPI dalam usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas konten siaran di Indonesia. 

 

Depok - Pemanfaatan konten media sosial sebagai materi dalam program siaran televisi harus mendapatkan pengaturan yang lebih rinci, mengingat konvergensi media saat ini kerap kali mengabaikan aturan yang sudah ada. Dalam program infotainment di televisi misalnya. Kerap kali mengambil konten dari saluran media sosial artis untuk diolah sedemikian rupa dengan penambahan narasi tertentu, tanpa ada wawancara ulang dengan artisnya. Bagaimana pun juga, ada aturan yang berbeda antara penayangan konten di media sosial dan lembaga penyiaran. 

Bahasan ini mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion (FGD) Informan yang digelar dalam rangka Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2021 untuk wilayah Jakarta, (28/5). Dalam pembukaan FGD tersebut, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio mengungkap tantangan bagi KPI ke depan, baik dalam menyongsong digitalisasi penyiaran ataupun konvergensi media yang sudah berlangsung saat ini. 

Dunia penyiaran dan media sosial saat ini saling bersimbiosis untuk tetap eksis dalam industri media. Banyak tayangan media sosial yang viral, diangkat oleh televisi di layar kaca, ujar Agung. Misalnya pernikahan artis atau seleb media sosial yang disiarkan di televisi. Agung memperkirakan fenomena siaran seperti ini ke depan akan semakin banyak. Untuk itu, dia menilai, harus ada sinergi antara pemerintah yang saat ini memiliki kewenangan dalam pengaturan media sosial dengan KPI yang berwenang mengawasi layar kaca, tambahnya. 

Hal lain yang terungkap dalam FGD Informan yang digelar KPI bekerja sama dengan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) adalah tentang opini redaksi yang dinilai kerap kali muncul dalam pemberitaan. Menurut informan ahli untuk kategori program berita, dalam sample program yang dinilai pada riset ini, ditemukan narasi pemberitaan yang tidak didukung fakta. Baik fakta berupa data ataupun pendapat narasumber. Memang redaksi dapat memiliki pendapat atau opini sendiri, namun harus dinyatakan oleh pihak lain dalam hal ini narasumber. 

Catatan lain dalam kategori program berita adalah tidak menyajikan tayangan yang keji. Informan ahli menemukan adanya berita yang memuat konten sadis, seperti suami membakar istri dan perempuan yang memakan kucing. Jika mengutip teori kultivasi dalam komunikasi, berita seperti ini dikhawatirkan dapat menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan serupa. 

Kategori lain yang juga dibahas dalam FGD adalah program anak, variety show, berita, talkshow, religi dan wisata budaya. Riset Indeks yang digelar KPI ini berlangsung secara bergiliran di sebelas kota lainnya, yaitu Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Denpasar, Makassar dan Ambon.  Dalam FGD ini, para informan ahli berkesempatan menyampaikan konfirmasi penilaian atas sample program yang menjadi obyek riset. 

Sebagai sebuah program prioritas nasional, diharapkan dari riset ini angka indeks untuk semua kategori dapat mencapai angka tiga. Pada Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2020, nilai rata-rata yang diperoleh sudah mencapai 3,14. Namun masih ada tiga kategori yang mendapatkan angka di bawah standar yang ditetapkan KPI, yakni infotainment, sinetron dan variety show. 

 

 

Yogyakarta - Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi kembali digelar oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerja sama dengan dua belas perguruan tinggi di dua belas kota besar di Indonesia. Riset periode pertama tahun 2021 ini telah memasuki tahapan Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion yang melibatkan informan ahli dalam melakukan pendalaman penilaian serta konfirmasi lanjutan atas penilaian yang dilakukan terhadap delapan kategori program siaran televisi. Adapun kategori program siaran yang dinilai adalah berita, talkshow, sinetron, variety show, religi, anak, wisata budaya, dan infotainment. 

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menjelaskan, riset yang dilakukan KPI terhadap program siaran televisi adalah untuk menilai kualitas. Maka, angka indeks menjadi alat bantu untuk memudahkan penilaian. Namun demikian, tambah Hardly, yang jauh lebih penting adalah catatan dan rekomendasi yang diberikan oleh para informan ahli di balik angka indeks tersebut. Hal tersebut disampaikan Hardly dalam pembukaan FGD di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta (27/5), yang turut dihadiri oleh Wakil Rektor I UIN SUKA Prof Iswandi Syahputra, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN SUKA Dr Mochammad Sodik, dan Pengendali Lapangan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi di Yogyakarta, Bono Setyo.  

Dalam kesempatan tersebut Hardly memberi tantangan pada forum agar tidak hanya mendiskusikan sebatas pernyataan yang ada dalam instrument riset. “Saya mengajak untuk mendiskusikan secara lebih mendalam berbagai dinamika penyiaran sehingga forum ini memungkinkan untuk berdiskusi melampaui instrument riset yang sudah ada,” ujarnya. Harapannya, riset yang dikembangkan KPI sejak tujuh tahun lalu menjadi riset yang lebih progresif.  

Lebih jauh Hardly juga mengingatkan tentang pentingnya diseminasi hasil riset kepada seluruh pemangku kepentingan masyarakat. Selain melakukan diseminasi sebagaimana yang sudah disiapkan oleh pihak Dekanat, Hardly mengusulkan untuk melakukan diseminasi dengan menggunakan perangkat sosial media yang sedang tren, seperti Podcast. “Setidaknya untuk diseminasi, kita bisa melakukan 10 kali siaran Podcast”, ujarnya. Dua kali untuk pendalaman riset dari KPI Pusat dan pengendali lapangan. Sedangkan sisanya untuk wawancara informan ahli sesuai kategori riset yang dinilai. Dengan demikian pendapat informan ahli tidak sekedar tercatat dalam dokumen riset belaka, namun juga dapat disiarkan lewat ruang-ruang publik. Ini tentu dapat menjadi sebuah pemantik diskusi bagi para mahasiswa dan sivitas akademika untuk ikut memberikan penilaian ataupun pendapat pribadi. “Sehingga diseminasi bukan hanya hasil riset, tapi juga prosesnya dapat menjadi dinamis dan memantik kepedulian masyarakat untuk menjadi bagian dalam upaya mendorong peningkatan kualitas siaran televisi.  

Gagasan ini diharapkan Hardly dapat direalisasikan UIN SUKA sebagai pelopor dan memberi inspirasi bagi daerah lain yang juga melakukan riset serupa. Diseminasi melalui serial podcast ini juga menjadi upaya memenuhi ruang-ruang digital dengan konten positif dan bermanfaat. “Sehingga digital deviden yang didapat dari digitalisasi penyiaran, tidak sekedar menimbulkan residu konten negatif di dunia maya, namun juga memberikan penguatan dan manfaat yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.

Foto: Dok UIN SUKA

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.