Jakarta – Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, mengucapkan selamat kepada para pemenang dan berharap kualitas serta mutu program siaran terus ditingkatkan demi kemajuan bangsa.    

“Saya berharap para pemenang untuk terus menerus menjadi contoh bagi lembaga penyiaran yang lain untuk memberikan kepada bangsa kita ini siaran-siaran yang mendidik, bermanfaat dan mengembangkan bangsa ini,” kata Wapres dalam video sambutannya yang diputar di awal acara puncak Anugerah KPI 2018 yang disiarkan langsung Stasiun TV RCTI, Minggu (4/11/20180.

Sementara itu, Ketua Panitia Anugerah KPI 2018 yang juga Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, Anugerah KPI tahun ini mengangkat tema “Harmoni Indonesia” dengan harapan konten siaran sebagai proses kreatif senantiasa didasarkan pada semangat kebangsaan. Menurutnya, keberagaman agama, suku, budaya, bahasa, adat istiadat, dan seni  tradisional merupakan potensi untuk menghasilkan program siaran yang berkualitas.

“Kita ingin menjadikan perbedaan ini sebagai pemersatu dan anugerah dari Tuhan untuk menciptakan suatu harmoni yang indah bagi Indonesia di bidang penyiaran,” kata Hardly.

Dalam Anugerah KPI 2018, ada 19 kategori program yang diperlombakan antara lain 13 kategori untuk program televisi, 3 kategori program radio dan 3 kategori penghargaan khusus. Tahun ini KPI juga membuat satu kategori baru yakni kategori program siaran Dokumenter.  

“KPI mengucapkan selamat kepada para pemenang dan juga para nomine Anugerah KPI 2018. Kami berharap kualitas programnya dipertahankan dan terus ditingkatkan. Para pemenang dan nomine ini merupakan model program siaran yang diharapkan KPI,” kata Hardly.

Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, turut mengucapkan selamat kepada para pemenang Anugerah KPI 2018. Dia berharap pemenang dapat menjadi tuntunan bagi program lain dan terus meningkatkan kualitas program siarannya. ***

 

Mangupura - Literasi Media yang digencarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mampu memberikan dampak yang positif bagi masyarakat, Rabu (31/10/2018).

Masyarakat pada umumnya ingin melihat tayangan-tayangan yang berkualitas dan memiliki edukasi yang mampu memberikan hiburan.

Namun, berbagai tayangan yang ditampilkan saat ini berbanding terbalik dari apa yang diinginkan masyarakat.

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, KPI berusaha untuk terus meningkatkan kualitas tayangan yang ditampilkan ke masyarakat.

"Kami selaku KPI terus berupaya untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Banyak kritikan dan masukan yang kami dapat, hal itu yang membuat kami terus ingin mengubah tayangan-tayangan menjadi lebih  berkualitas," jelasnya.

"Meskipun tidak semua genre program itu tidak berkualitas tapi ada juga yang berkualitas. Nah yang berkualitas tetap kita upayakan lebih baik lagi, dan yang masih belum kita minta untuk bisa lebih baik lagi," ujarnya.

Gencarnya KPI dalam mengubah tayangan-tayangan yang berkualitas diikuti juga oleh beberapa kampus yang ada di berbagai provinsi di Indonesia.

Mahasiswa yang ada di 12 kampus dilibatkan untuk mensurvei tayangan-tayangan seperti apa yang diinginkan masyarakat.

Selain itu, anggota Komisi I DPR RI, Arvin Hakim Thoha mengatakan, KPI harus mampu merangkul para pemilik lembaga penyiaran.

"KPI harus mampu merangkul para pemilik lembaga penyiaran demi menciptakan penyiaran Indonesia yang lebih berkualitas," ujarnya.

Komisi I DPR RI akan terus mendukung langkah positif KPI untuk memberikan tayangan-tayangan yang mampu mengubah lebih baik lagi.

Karena jika tayangan yang baik akan mampu memberikan dampak yang baik bagi kehidupan di masyarakat. Red dari tribunbali.com

 

 

 

 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berfoto bersama Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla usai pertemuan di Kantor Istana Wapres, Kamis (1/11/2018).

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di Kantor Istana Wapres, Kamis (1/11/2018). Sejumlah persoalan penyiaran dibahas dalam audiensi yang berlangsung hampir satu jam tersebut.

Di awal pertemuan, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menyampaikan dinamika penyiaran di tanah air antara lain pelaksanaan desentraliasasi siaran melalui penyediaan konten lokal 10% di televisi berjaringan nasional. Menurutnya, sistem ini harus diawasi secara ketat oleh KPID. Untuk melakukan peran itu, KPID harus diperkuat baik dari sisi penganggaran maupun kebijakan.

“Tapi disini ada masalah karena benturan antara UU Pemerintah Daerah dan UU Penyiaran. Sehingga hal ini menyulitkan KPID untuk bekerja. KPID jadi sangat tergantung dari pemimpin pemerintah daerahnya,” kata Andre ke Wapres. 

Soal iklan layanan masyarakat (ILM) juga menjadi perhatian dalam pertemuan ini. KPI menyampaikan ke Wapres usulan agar setiap lembaga dan instansi pemerintah membuat ILM yang menyosialisasikan agenda pesta demokarasi tahun 2019. ILM ini sangat penting khususnya untuk masyarakat di perbatasan yang banyak dibanjiri siaran asing. 

“Berkaitan dengan informasi Pemilu di daerah perbatasan. Hal ini perlu ada sinergi seluruh lembaga untuk menyampaikan ILM terkait informasi ini ke daerah perbatasan,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, di pertemuan itu.  

Persoalan rating share yang menyebabkan konten menjadi seragam dan menyebabkan kualitas program tidak berkembang turut disampaikan ke Wapres. Terkait hal itu, Wapres diberirahu jika KPI telah melakukan survey indeks yang kontradiksi dengan rating share yang sudah ada. “Ada perbedaan pendapat dan keinginan dari setiap daerah terhadap siaran televisi dari survei di 12 kota yang kami lakukan pak,” tambah Ketua KPI Pusat.

Menurut Andre, panggilan akrabnya, permasalahan rating di Indonesia harus ada regulasi yang mengatur seperti di Amerika Serikat. FCC, lembaga semacam KPI di AS, bisa melakukan audit terhadap lembaga rating di sana. Sedangkan kita, kebijakan ini tidak bisa dilakukan. “UU Penyiaran yang baru nanti diharapkan dapat mengakomodasinya,” katanya ke Wapres. 

Dalam kesempatan itu, KPI melaporkan perkembangan broadcasting di internet yang makin massif. Menurut Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, hal ini perlu diawasi dan harus segera memiliki paying hukum alias regulasi. 

“Ada kecenderungan sekarang industri di dunia dan Asia khususnya sudah masuk ke teknologi over the top. Sayangnya, kita masih kita masih berkecimpung di free to air. Ini harus jadi pemikiran dan perlu ada regulasi karena Indonesia yang belum,” jelas Hardly.

Dia menjelaskan, konten di internet sangat bebas tanpa ada sensor dan lainnya. Pengaturan internet di Indonesia masih tergantung kepada UU ITE. Padahal ada kegiatan broadcasting di dalamnya. “Ke depan, harus ada pengawasan dan KPI bisa atur itu tapi harus ada UU nya dulu. Masyarakt kita nikmati hal ini, tapi tidak ada UU sehingga kita tidak bisa melindungi industri kita. Kita bisa melindungi masyarakat jika sudah dan aturan itu,” terang Hardly.

Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla, meminta KPI untuk bertindak tegas jika ada pelanggaran terhadap aturan penyiaran. Selain itu, Wapres mengakui jika perkembang tekonolgi tidak diimbangi dengan regulasi yang memadai. “Teknologi sekarang tanpa batas. Undang-undang selalu ketinggalan. Seharusnya UU itu fleksibel dan terbuka terhadap semua perubahan,” katanya. 

Wapres juga menceritakan bagaimana seumur hidupnya belum pernah menonton sinteron sampai habis.  Menurutnya, yang paling dari konten itu harus sesuai dengan etika, moral, nilai agama dan aturan yang berlaku. *** 

 

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano.

 

Jakarta – Hoax atau berita bohong maupun ujaran kebencian yang seringkali menyebar melalui media sosial adalah akibat freedom of speech yang tidak diimbangi oleh wisdom of speech atau kebebasan berbicara tidak disertai dengan kebijaksanaan dalam berbicara. Hal itu dikatakan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam satu diskusi yang diselenggarakan Forum Jurnalis Anti Hoax (JAH) di salah satu hotel di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (1/11/2018).

Hardly menyatakan, kebebasan berbicara itu harus dikontrol secara hati-hati dengan mengedepankan etika dan norma yang ada. “Saat ini, publik bebas mengeluarkan pendapat dan menyebarkan informasi apapun melalui media sosial tanpa harus ada verifikasi dan validasi. Ini dampaknya berbahaya jika informasi yang disampaikannya tidak benar dan berisikan kebencian,” jelasnya. 

Menurutnya, harus ada upaya pencegahan agar kebiasaan meneruskan informasi hoax dan membuat ujaran kebencian hilang yakni dengan meliterasi masyarakat. “Literasi media harus dilakukan secara massif agar publik dapat semakin cerdas dan selektif dalam menerima maupun menyebarkan informasi. Sehingga informasi yang disebarkannya nanti informasi yang benar dan juga bermanfaat,” kata Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat.

Ibarat strategi total football, perlawanan terhadap hoax dan ujaran kebencian tak bisa setengah-tengah, tapi harus total dan juga massif. Upaya itu juga harus didukung banyak sumber daya diantaranya oleh media mainstream seperti lembaga penyiaran. 

Harldy menegaskan, keterlibatan lembaga penyiaran dalam meredam informasi hoax yang beredar di media sosial dinilai efektif. Kepercayaan publik terhadap media seperti TV dan Radio, yang menerapkan prinsip jurnalistik, masih tinggi. Dan, salah satu cara menangkal hoax adalah dengan melakukan cek berita pada lembaga penyiaran. 

“Untuk melawan hoax, lembaga penyiaran harus senantiasa menyajikan informasi yang akurat dan kredibel,” katanya. 

Lembaga penyiaran juga harus berperan menjaga kohesitas sosial, dengan tidak menyebarkan informasi dengan muatan sara apalagi yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Sebaliknya lembaga penyiaran perlu menyampaikan berita yang mampu membangun optismisme publik.

Dalam kesempatan itu, Hardly meminta media mainstream khususnya lembaga penyiaran untuk senantiasa berpedoman pada kode etik jurnalistik dan P3SPS KPI, agar informasi yang disajikan kepada masyarakat berkualitas. ***

 

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah.

 

Badung - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah, mengingatkan lembaga penyiaran baik radio ataupun televisi untuk aktif melakukan sosialisasi pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2019, salah satunya melalui bentuk iklan layanan masyarakat (ILM).

Sebagai pengguna frekuensi publik, lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dan mengedukasi publik mengenai pelaksanaan pemilu. 

Hal tersebut diungkapkan Ubaidilah disela-sela kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Panel Ahli terkait survei indeks kualitas program siaran televisi tahun 2018 wilayah Bali di Badung pada Rabu, (31/10).

Menurut Ubaidillah, Sosialisasi melalui media penyiaran menjadi sangat penting karena hampir semua masyarakat memiliki televisi dan radio di rumah. Harapannya semakin banyak masyarakat yang teredukasi dengan ILM maka kualitas demokrasi kedepan juga menghasilkan pemimpin yang semakin baik.

“Karena itu sudah mandatory undang-undang (Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang penyiaran), 20 persen dari iklan niaga yang diatur oleh undang-undang, 10 persennya iklan layanan masyarakat dan kami minta penayanganya juga di jam-jam produktif, sehingga masyarakat juga teredukasi,“ ujar Ubaidillah.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa “iklan layanan masyarakat (ILM) adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut”.

Dampak penayangan ILM terhadap perubahan pola pikir masyarakat sudah terbukti sejak lama. Melalui ILM lembaga penyiaran memiliki peran dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan perbaikan.

Jika dicermati dari segi tujuan, ILM merupakan kampanye sosial yang bertujuan menawarkan ide atau pemikiran untuk kepentingan layanan masyarakat umum. Mengingat ILM berisi pesan ajakan kepada masyarakat untuk melakukan suatu aksi untuk kepentingan umum.

Ubaidillah menegaskan tidak ada alasan keterbatasan alat dan sumber daya manusia untuk tidak menayangkan ILM, karena ketika pengajuan ijin  sebagai lembaga penyiaran seharusnya sudah siap.

“Lembaga penyiaran juga diharapkan tidak mencari-cari alasan,  kewajiban mereka sebagai lembaga penyiaran harus sudah siap dengan SDM dan peralatan. Kalau itu terjadi kami minta KPID mengevaluasi ijin lembaga penyiaran tersebut, sebagai lembaga penyiaran harusnya sudah siap,” tegas Ubaidillah.

Ubaidillah mengakui selama ini penayangan ILM di lembaga penyiaran secara umum masih sangat minim. ILM juga cenderung di tayangkan pada jam-jam dengan jumlah penonton yang minim dan bukan di prime time.

Berdasarkan hasil survey uji petik yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Bali pada 2014 terhadap 15 radio menunjukkan hanya 5 radio yang memproduksi ILM sendiri. Sedangkan radio lainnya menayangkan ILM milik lembaga atau instansi lain.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali Dewa Agung Gede Lidartawan mengakui sampai saat ini belum ada melihat adanya penayangan ILM oleh lembaga penyiaran di Bali. Semestinya ada rasa tanggungjawab dari lembaga penyiaran untuk menyiarkan dan memproduksi sebagai konsekuensi penggunaan frekuensi publik.

"Untuk iklan layanan masyarakat seperti ajakan, himbauan memang sangat kita harapkan, apalagi jika teman-teman mampu melakukannya sebanyak mungkin ,  sehingga dengan semakin banyaknya iklan layanan akan menjaga pemilu itu tetap demokratis tetapi tetap berintegritas,” kata Mantan Ketua KPUD Bangli tersebut.

Lindartawan berharap lembaga penyiaran mampu berperan secara optimal dalam mensukseskan pelaksanaan Pemilu 2019. Dimana melalui ILM lembaga penyiaran pada dasarnya dapat berkontribusi bagi pelaksanaan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Lindartawan juga berharap KPI mendorong lembaga penyiaran lebih proaktif dan mengambil peran dalam pelaksanaan Pemilu 2019.

Pada sisi lain, Lindartawan menyesalkan sikap lembaga penyiaran yang selama ini cenderung hanya mencari untung. Padahal seharusnya untuk informasi yang sifatnya untuk kepentingan publik diberikan harga khusus dan tidak sama dengan harga iklan komersial.

“Saya sayangkan kemarin diberikan harga yang terlalu tinggi, jangan harga komersial yang diberikan ke kita, jangan terlalu tinggi,” ungkap Lindartawan.

 

Ketua Bali Sruti Luh Riniti Rahayu menilai wajar jika lembaga penyiaran hingga kini belum mengambil peran melakukan edukasi melalui iklan layanan masyarakat karena cenderung menunggu iklan layanan masyarakat dari penyelenggaran pemilu.

Apalagi selama ini lembaga penyelenggaran pemilu juga cenderung memproduksi iklan layanan masyarakat untuk kepentingan sosialisasi.

“Soalnya iklan seperti itu dibuat juga oleh lembaga penyelenggara pemilu dan berbayar jadi wajar-wajar saja mereka menunggu itu, walaupun menyadari mempunyai kewajiban untuk memproduksi” jelas perempuan yang juga seorang akademisi di Universitas Ngurah Rai Denpasar.

Riniti mengungkapkan terdapat keengganan dari lembaga penyiaran untuk memproduksi ILM, karena tidak ada sanksi bagi lembaga penyiaran. 

“Jadi saya kira wajar saja, itu tidak dibuat karena tidak ada sanksi ketika tidak dibuat. Saya kira lebih menguntungkan, ngapain bikin susah-susah , tunggu saja dari KPU, di bayar lagi, daripada bikin sendiri” papar Riniti.

Sedangkan Kepala Biro INews Bali Lutfi Setiawan mengakui belum memproduksi dan menayangkan iklan layanan masyarakat karena belum ada surat edaran dari KPI. Apalagi umumnya lembaga penyiaran baru akan memproduksi jika sudah ada seruan dari KPI.

“Biasanya akan membuat kalau ada surat edaran, sekarang belum ada, jadi kita sifatnya masih nunggu,” ujar Lutfi.

Permasalahan lainnya yang menjadi kendala bagi lembaga penyiaran, khususnya yang di daerah adalah keterbatasan jam tayang. Mengingat lembaga penyiaran yang berjariungan di daerah memiliki waktu siaran yang terbatas dan siarannya lebih banyak merelay dari induk jaringan yang ada di Jakarta.

“Kita siaran lokal Cuma 2,5 jam, jadi terbatas. Sebenarnya bisa membuat ILM, tergantung kreativitas, tapi tetap menunggu komando pusat. Ketika lampu hijau baru kita produksi,” kata Lutfi.

Penayangan ILM merupakan sebuah kewajiban bagi lembaga penyiaran sesuai aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran  pasal 46 ayat (7). Pada ayat (9) disebutkan “waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya.

Dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) bahkan terdapat aturan terkait penayangan ILM secara cuma-cuma. Pasal 44 ayat (4) P3 menyebutkan lembaga penyiaran wajib menyediakan slot iklan secara cuma-cuma sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh siaran iklan layanan masyarakat per-hari untuk iklan layanan masyarakat yang berisi : keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, dan/atau kesehatan masyarakat, yang disampaikan oleh badan-badan publik.

Khusus untuk ILM yang berasal dari lembaga pemerintah atau institusi sosial lembaga penyiaran wajib memberikan potongan harga sekurang-kurangnya 50 persen dari harga siaran iklan niaga, sesuai ketentuan dalam pasal 44 ayat (5) P3.

Tentunya kewajiban-kewajiban tersebut terkait hak masyarakat sebagai pemilik frekuensi untuk mendapatkan informasi dan pendidikan secara cuma-cuma melalui ruang publik di lembaga penyiaran.

Ketentuan pada pasal 44 ayat (4) dan (5) juga memberi amanah bahwa lembaga penyiaran juga wajib memproduksi dan menyiaran ILM, tanpa menunggu adanya permintaan ataupun pesanan dari badan-badan publik.

Pelanggaran terhadap penayangan ILM, baik disengaja atau tidak tentu berujung pada penjatuhan sanksi. Pada aturan Standar Program Siaran (SPS), khususnya pasal 83 menyebutkan lembaga penyiaran swasta yang tidak menyediakan waktu siaran untuk program siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 10 persen dari seluruh waktu siaran iklan niaga perhari, setelah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 kali dikenakan sanksi adminitratif berupa denda administratif yang untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp. 100 juta. Sedangkan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp. 1 miliar. Red dari BBN

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.